Pages

Senin, 22 Maret 2010

AKU INGIN oleh R.Yulia


Aku ingin menulis puisi
hingga jemari renta dan bergetar menggenggam pena
Tapi kau bilang, kata-kata itu basi!
Hanya setumpuk sampah untuk dibakar esok pagi
Aku ingin menulis puisi
tentang cinta dan rumah tua di pinggir kali
yang dulu kita diami
tentang ilalang yang kita jalin
tuk penutup aurat
Tapi kau bilang.., kata-kata itu tak punya harga
kecuali untuk pemimpi tak bermata!
Begitukah?
Kupandang kau lewat cawan keruh
penuh retak
Kau buat aku ingin menulis puisi (lagi)
Meski nadi tlah henti sejak tadi

Minggu, 21 Maret 2010

Aku Suka Hari Senin








Nikmatnya libuuuuurrrr......!!
Setelah sekian lama, akhirnya kesampaian juga menikmati libur Sabtu Minggu. Libur dalam arti yang sesungguhnya. Bukan libur dengan makna perpindahan kerja di tempat berbeda. Misal nih, libur dari urusan satu pekerjaan rutin di kantor tapi masih tetap harus mengerjakan setumpuk pekerjaan rutin lainnya di rumah. Lha kalau menurutku itu sih tak libur namanya.
Nah, yang Sabtu Minggu kemarin kunikmati adalah libur dalam arti sesungguhnya. Sesuatu yang sudah agak lama tak pernah kukecap nikmatnya. Nyantai di rumah, main dengan anak-anak, membuatkan mereka makanan istimewa, membaca dan menulis... Lalu Minggu-nya jalan-jalan ke Padang Panjang, ngumpul dengan teman-teman plus keluarga mereka masing-masing. Lanjut ke Bukittinggi, cuci mata sebentar lalu pulang.

Dampak dari libur ini benar-benar terasa. Khususnya di Senin pagi ini. Bangun jauh sebelum adzan Subuh berkumandang, menggeliat sebentar, senyumku mengembang saat membisikkan, Aku suka hari Senin...
Sebelumnya aku bahkan tak pernah merasa kalau Senin itu adalah hari pembuka, yang akan menjadi pintu utama masuknya hal-hal baru dalam enam hari setelahnya. Dan semangat serta energi positif yang meluap-luap ini, semoga bermuara pada hal-hal baik yang tertanam di benak. Bukankah kenikmatan yang telah diterima harus disyukuri dengan baik dan dimanfaatkan untuk menghasilkan segala hal baik juga? Tubuh memerlukan istirahat dari segala rutinitas.
Jadi, temanz...libur itu ternyata penting juga lho, untuk me-recharge spirit kita dalam menjalani hari dan memberi warna indah dalam catatan sejarah hidup kita. Karena setelah Sabtu Minggu berlalu, kau akan mampu tersenyum saat membuka jendela dan membiarkan mentari memberikan energi kehidupannya. Lalu membisikkan, Aku suka hari Senin..

Minggu, 14 Maret 2010

NABILA


Untuk bidadari cantikku,

NABILA FANNY SYAHIRA


9 tahun lalu,
kau hadir memberi warna baru
cinta baru
juga kisah baru
Seiring waktu
cintaku kian membesar bersama laju
tumbuh dalam pemahaman yang lugu
tentang kau dan duniamu
Harap ku tanam setiap detik
pada tembang yang kau dendangkan
dari eja dan kalimat sederhana
Semoga buahnya akan berkilau sempurna
Sesempurna asa yang kau bawa pada dunia
Amin..

Selamat ulang tahun, Sayang..

Sabtu, 13 Maret 2010

HUJAN TURUN TERLALU PAGI oleh R.Yulia


Kalau saja hujan tak turun terlalu pagi,
Mungkin masih sempat aku bertutur padamu

Tentang asa yang ku punya

Tlah tertinggal di ujung senja

Menguap bersama datangnya gelap

Dan aku hanya bisa duduk bersandar

Pada dinding malam yang dingin

Sambil mendengar jangkrik bernyanyi
Menghiasi mimpi-mimpi

Kalau saja hujan tak turun terlalu pagi

Mungkin masih sempat aku berlari

Menuntun pesan dari matahari

Dan berharap kau takkan pergi

Tapi aku bisa apa?

Karena hujan tlah turun

Jauh sebelum pagi meranum

MENDUGA-DUGA oleh R.Yulia


Menghitung kembali di pertigaan waktu malam itu
Sepat mata menahan arah waktu

Ngilu..
Dalam menanti yang tak berkesudahan

Kulayangkan mimpi pada kerjap-kerjap yang berkejaran
Mungkin sudah bukan saatnya lagi

Karena ucap tinggal menunggu pagi

Aku tak sempat tahu berapa lama kantuk menunggu

Dalam penat yang tercampak ragu
Ku tetaplah bayangan di pertigaan tak berpangkal

Tanpa sisa nafas ataupun lenguh yang bengal

Juga buta akan kemana matahari beberapa jam lagi

Ke tempatku atau pada tepi-tepi yang KAU ingini.

HITAM oleh R.Yulia


Aku mencintaimu dalam satu tarikan nafas
Yang tersengal mengikuti lafadz

akhirku di nadi yang sobek oleh amarah

jantung yang memar hitam merekah

tak lagi ingat, meskipun samar
binatang apa yang kau kirimkan penuh cakar

memelukku dalam teguk penghabisan

mual
terpental!!
dan aku sekarat sempurna di belatimu ..

dan aku berkarat sempurna di hatimu ..

GEMPA, CERPEN DAN DEGUP JANTUNG oleh R.Yulia


Berdiam di sebuah kawasan rawan gempa seperti Sumatera Barat, tentu membutuhkan kekuatan mental dan jantung, yang melebihi orang-orang yang tak berada di area tersebut. Gempa hadir setiap saat, tak kenal waktu, tak kenal libur. Juga tak memiliki jadwal tetap. Kapan saja bisa datang. Menyentak dan membuat jantung berdegup dengan kecepatan maksimum. Seperti gempa besar 7,6 SR yang terjadi 30 September 2009 lalu, benar-benar mampu membuatku 'terbang' dari duduk dan menghambur keluar rumah. Kalau diingat-ingat, mungkin saat itu aku dapat diibaratkan elang yang melesat laksana kilat setelah sebelumnya menyambar anaknya yang tak paham bahaya. Bahkan jantungku pun ikut 'terbang', diikuti tubuh yang menggeletar. Saat itu hanya satu kata, pasrah dan ikhlas. Lalu setelah tenang selama lima bulan, tadi malam (120310) 'terapi kejut' itu kembali datang. Tepatnya pukul 00.17 WIB. Entahlah kalau jam di rumah terlambat ataupun cepat. Hanya beberapa menit setelah memasuki peraduan mimpi, gempa menyentak. Saat terjaga, yang dilakukan adalah reflek ritual gempa. Lompat dari ranjang, meraih anak-anak dan keluar rumah secepatnya. Lalu mematung, merasakan apakah masih ada getaran yang tersisa. Meramal, apakah telah aman untuk kembali ke rumah. Dan menentramkan degup jantung, irama nafas dan geletar tubuh. Lalu merengkuh anak-anak untuk memastikan, tak ada lagi bahaya di depan mereka. Meski sifatnya sementara. Ritual berikutnya, kembali ke rumah dan mencoba menghapus bayang-bayang malapetaka. Menyerahkan urusan selanjutnya pada Yang Kuasa, meskipun itu tak berarti berani membiarkan pintu dalam kondisi terkunci.. Dan tidur pun tak lagi berbuah mimpi. Status siaga dan waspada..(halah!) Paginya terjaga dengan sedikit kantuk menggantungi mata, mendengarkan tetangga kiri kanan berceloteh tentang 'mencekamnya' suasana tadi malam. Tak bernafsu menambahkan. Hanya senyum dan angguk untuk mengiyakan. Mulai membuka pintu ke dunia maya, menjelajah satu-persatu alamat yang tertera di kepala. Dan kado itu disuguhkan untukku. Cerpenku dimuat di salah satu surat kabar. Wuaahh...., darahku mendesirkan kebahagiaan. Degup jantungku menyiratkan lonjak kegirangan. Aih..., sebuah sensasi yang nikmat untuk dirasakan. Dan itu memacuku untuk kembali menelurkan tulisan. Gempa dan Cerpen, hmm.... Kiranya kedua hal itu mengalirkan dentum dan riak jantung yang nyaris senada. Meski beda warna dan muaranya... Salam,


Jumat, 12 Maret 2010

SEPULUH TAHUN


Sepuluh tahun. Aku mendesah seraya mengitari seluruh sisi tempat ini dengan pandangan mengabur. Ya, airmataku mulai menggenang. Namun, buru-buru kuseka sebelum membasahi pipi. Tidak, aku harus kuat. Tak boleh menangis lagi! Kuhembuskan nafas panjang dan menguatkan hati, sebelum akhirnya perlahan melangkah. Ini tempat terindah dan bersejarah untukku. Tepatnya sepuluh tahun lalu, sebelum Rangga pergi dan meninggalkanku.
Sesosok tubuh berdiri tak jauh di depanku. Ia menunggu hingga aku menghampirinya. Seorang lelaki tampan dengan postur menjulang dan senyum mengembang. Sayangnya, aku tak berminat untuk membalasnya. Hatiku diliputi bauran perasaan yang tak dapat kuterjemahkan. Dan ini cukup aneh. Mengingat rentang waktu yang tlah cukup lama berlalu, ternyata tetap saja tak mengubah perasaanku.
“Sudah?” Pertanyaan itu begitu lembut dilontarkan. Tanpa tekanan apapun. Aku mengangguk tanpa memandangnya. Terus berjalan melewatinya.
“Icha, tunggu!” serunya tertahan. Aku menghentikan langkah dan menunggu hingga ia tiba di dekatku. Ia berdiri tepat di depanku dengan mimik penuh kebingungan.
“Ada apa, Cha? Kenapa kamu diam aja? Hei, tunggu! Kamu menangis?” Ia mengangkat daguku dan memperhatikan dengan seksama. Aku mencoba tersenyum dan buru-buru menyeka air yang tersisa di sudut mata.
“Nggak, aku nggak apa-apa kok, Har. It's fine.” jawabku. Tapi bukan Harry namanya kalau mudah kukelabui.
“Ayolah Cha, jangan begitu. Katakan, ada apa? Atau setidaknya, kalau bukan sekarang, berjanjilah untuk mengatakannya kemudian. Bagaimana?” tawarnya dengan lembut. Kali ini aku tak dapat menahan laju airmata yang mengalir kian deras. Pertahananku runtuh. Aku terisak penuh kepedihan. Tanpa tahu pasti apa yang membuat perasaanku begitu galau. Mungkinkah setelah sekian lama, aku masih juga mencintainya?
Kami berdiam di sana beberapa saat lamanya tanpa sepatahpun kata-kata terucap.
“Ada apa, Cha? Kamu membuatku cemas. Kita pulang saja, ya?” ajaknya. Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Sekilas aku menoleh ke belakang dan menatap sekeliling. Selamat tinggal, bisik hatiku lirih.
Sampai di rumah, aku tak bisa berlama-lama dengan perasaan sentimentilku. Ada tumpukan pekerjaan rumah dan kegiatan lain yang harus kulakukan. Karena masa cutiku akan berakhir hari ini. Besok aku akan kembali sibuk dengan berbagai detil pekerjaan di kantor, yang bahkan untuk memikirkan ingin menu apa saat istirahat makan siang saja aku tak sempat. Begitu juga dengan Harry, suamiku. Kami akan kembali pada ritme harian, yang hanya akan memungkinkan kami berjumpa setelah jam delapan malam atau lebih. Jadi, hari ini adalah hari terakhirku untuk memanjakan suami dengan masakan buatanku dan menemaninya duduk menikmati pemandangan lautan pencakar langit dari beranda samping apartemen kami. Besok dan seterusnya semuanya akan kembali ditangani oleh Mbak Yan, pembantu harian kami.
“Cha, kamu sudah fresh untuk besok kan?” tanya Harry masih dengan tatapan khawatirnya.
“Yap. Aku nggak apa-apa kok, Har. Santai aja. Aku udah kembali siap tempur,” kataku sambil tersenyum lebar. Harry menatapku sejurus.
“Kenapa?” tanyaku salah tingkah.
“Kamu tidak ingin mengatakan apapun padaku tentang kejadian di tepi danau pagi tadi, Cha?” Aku terdiam. Masalah itu sepertinya masih mengganggu pikiran Harry. Aku berfikir sejenak.
“Tidak. Rasanya itu bukan sesuatu yang teramat penting untuk diceritakan, Har. Aku bahkan sudah tidak memikirkannya lagi. Sungguh..” Aku berusaha meyakinkannya. Lelaki di depanku menyipitkan matanya.
“Apa kamu yakin, Cha?” Aku mengangguk cepat.
“Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudahlah, kita ganti topik pembicaraan ya? Mau kubuatkan roti bakar dengan segelas jeruk hangat?” Harry masih meragukan kata-kata Icha. Tapi ia tak mau memaksa.
“Baiklah, Sayang. Terserah kamu saja. Tapi kalau ada sesuatu yang memberatkanmu, ceritakan ya? Aku akan menyisihkan waktu untukmu.” Icha mengangguk dengan senyum. Harry, bagaimana mungkin aku bisa menceritakan padamu, bahwa aku masih mencintai lelaki lain selain dirimu? Bahkan sejak awal perkenalan kita dulu?
“Hallo, cantik? Bagaimana cutinya? Menyenangkan nih?” Pertanyaan beruntun menyambutku begitu membuka pintu kantor. Keisha, rekan kerjaku. Aku tertawa lebar tanpa suara.
“Lumayan..” sahutku pendek sambil meneruskan langkah ke ruangan kerjaku.
“Icha, Sayaaaang? Gimana, udah siap menyongsong hari?” Sambutan lain menyusulku. Seorang lelaki berwajah genit dengan langkah melenggok mendekatiku. Ia merangkul lenganku dengan gemulai. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.
“Nggak berubah juga ya?” sahutku. Lelaki yang bergayut di lenganku tergelak mendengar komentar pendek yang kulontarkan.
“Demi kamu, Cha. Swear!” Aku manyun sambil mengibaskan tangannya seketika.
“Dasar gila..,” desisku menahan tawa.
Ah! Aku menatap ruanganku dengan sedikit mengeluh. Di sinilah aku kembali berada. Menghabiskan lebih dari tiga perempat hariku dengan tumpukan berkas dan memelototi komputer. Entahlah, baru tadi aku merasa begitu bersemangat. Namun begitu membuka pintu dan memasuki ruangan ini, semuanya kembali menguap dan aku seperti terlempar kembali dalam rutinitas yang menjemukan. Kucoba menghalaunya dan melangkah dengan tegap menghampiri kursi putarku yang empuk. Baiklah – aku mengangguk dengan mantap- sekarang saatnya! Kuraih selembar berkas dari tumpukan dan mulai membukanya. Sejenak aku telah melupakan rasa bosan tadi. Kembali tenggelam dalam beragam persoalan hukum yang menjadi bidang profesiku.
“Hallo, Icha. Aku ada hadiah bagus buatmu. Tradaaa!!” Seorang perempuan bertubuh mungil tiba-tiba muncul dari pintu ruanganku. Melangkah dengan cepat ke arahku sambil mengacungkan sebuah bingkisan berbakut kertas kado warna pink, yang tadi disembunyikannya di balik punggung. Dahiku seketika berkerut melihat bingkisan itu. Aku menunjuk ke dada.
“Untukku?” tanyaku ragu.
“Aha..” Perempuan mungil di depanku segera meletakkan bingkisan manis itu di meja kerjaku.
“Dari siapa?” tanyaku sambil mengamati bingkisan itu dengan penuh keheranan.
“Oh, don’t ask me, Baby.” Cepat perempuan muda itu menggelengkan kepalanya. “Mungkin dari seorang pengagum rahasia,” sahutnya sambil mengerling nakal. Aku mencibir.
“Saskia, kamu terlalu sentimentil ya?” Aku meraih bingkisan itu dan mulai mengamatinya. Tak ada nama dan alamat pengirim. Yang ada hanya namaku, tertera dalam tulisan sambung yang begitu indah. “Hey, aku bukan orang yang selalu ingin tahu lho. Jadi sebaiknya aku keluar aja ya?” Di ujung kalimatnya, Saskia telah ‘terbang’ keluar.
“Makasih, ya?” kataku setengah berteriak. Takut ia tak mendengar karena pintu keburu menutup.
Kini aku menyobek pembalut pink itu dengan tak sabaran. Aku tak ingin membuang waktu untuk menebak-nebak terlebih dahulu. Sebuah kotak pink mungil muncul di depanku. Dengan hati-hati aku membukanya. Dan aku tak siap untuk melihat isi kotak itu. Begitu tiba-tiba. Tanganku gemetar saat meraihnya keluar dari kotak. Sebuah kalung perak yang indah, berhiaskan tiga buah permata berbentuk bintang biru mungil yang kemilau. Aku benar-benar terpana. Bukan saja karena hadiah ini begitu indah, namun karena tak ada nama pengirimnya. Ah, tidak! Aku pasti tengah bermimpi. Kugenggam kalung itu dengan erat. Berharap saat kubuka genggaman, tak ada apa-apa lagi di telapak tanganku. Tapi sia-sia. Karena begitu kubuka, keindahannya kembali memukauku. Benarkah? Reflek aku menghambur keluar ruangan sambil tetap menggenggam kalung itu.
“Saskia...” sapaku setengah berbisik saat tiba di depan mejanya. Saskia memalingkan wajahnya dari komputer dan menatapku dengan heran.
“Ada apa? Kok seperti barusan melihat hantu aja?”
“Sas, siapa yang mengirimkan bingkisan itu?” tanyaku tak sabaran.
“Loh, aku kan udah bilang nggak tahu tadi. Memangnya kenapa? Isinya nggak bom kan?” tanyanya cemas. Beberapa rekan menoleh ke arah kami, mendengar kalimat Saskia.
“Aduh, ya enggak lah. Kalo isinya bom, mana sempat kita bicara seperti ini.” Saskia menarik nafas lega. “So?”
“Kamu menemukan bingkisan itu dimana? Kapan?” Sepasang alis Saskia seketika saling bertaut.
“Aduh, Cha. Jangan borongan gitu dong nanyanya. Satu-satu atuh. Oke, aku jawab. Aku nemuin bingkisan itu di dekat mejaku tadi pagi. Tepatnya di lantai ini nih. Tadinya kukira untukku. Tapi karena ada namamu, ya berarti untukmu dong.” papar Saskia. Aku menatapnya bingung. Bingkisan ini ditujukan untukku tapi kenapa diletakkan dekat meja Saskia?
“Pertanyaanmu sama dengan pertanyaanku juga, Cha? Kenapa nggak langsung di depan pintu ruanganmu ya?” timpal Saskia lagi. Aku mengibaskan tangan. “Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Mungkin hanya orang iseng,” kataku akhirnya.
“Cha, tunggu..” Saskia menahanku untuk melangkah.
“Kenapa?” Aku berharap ia memberikanku sedikit petunjuk. Tapi kelihatannya tidak.
“Ngomong-ngomong, boleh aku tahu isinya apa?” Ia mengerjap manja. Aku melengos.
“Maaf, bukan untuk konsumsi publik,” sahutku pendek sambil meninggalkannya, kembali ke ruanganku. Tak kuhiraukan gerutuannya.
Kalung itu benar-benar mengganggu. Hampir satu jam lamanya aku tak mengerjakan apa-apa, selain hanya memandangi kalung perak itu.
Tapi aku tak bisa terlalu lama bermain-main dengan perasaan. Setelah kutimbang-timbang, akhirnya kulekatkan kalung itu di leherku. Memegang sejenak ketiga bintangnya dengan perasaan galau.
“Hei, kalung baru ya? Beli dimana?” tanya Keisha saat istirahat makan siang ketika melihat kalung yang melingkari leherku. Aku tersenyum simpul. Keisha adalah rekan kerja yang cukup denganku selama ini. Meskipun begitu, aku tak hanya sedikit membicarakan hal pribadi dengannya.
“Dari seseorang...,” kataku dengan wajah sumringah. Aku sendiri tak tahu kenapa harus begitu.
“Wah, kado spesial dari suami nih nampaknya..” godanya. Aku seperti dilemparkan pada tempatku semula oleh pertanyaan itu. Entahlah, sepertinya tadi aku sedikit melupakan Harry. Sorry.
“Bukan. Bukan dari Harry,” kataku dengan nada berat. Dahi Keisha berkerut mendengar jawabanku.
“Dari Mama, ya?” Aku menggeleng. Nggak mungkin Mama. Ia pasti akan segera menelfon begitu memberiku kado. Keisha menatapku sejurus. Toh, kemudian ia hanya mengangkat bahu. “Sepertinya itu bukan urusanku, ya?” Keisha memutus pembicaraan.
“Kei, jangan begitu. Lagian, aku juga masih bingung dengan identitas pengirim kalung ini.” Kataku mencoba menghibur Keisha.
Keisha menatapku heran. “ Maksudmu...?”
“Ya. Kalung ini memang ditujukan untukku. Tapi aku tak tahu pasti siapa yang memberikannya.” Tandasku lagi. “Aduh, Cha. Rasanya kurang bijaksana memakai pemberian dari orang yang tidak kita kenal. Karena dengan mengenakannya, berarti kamu menyukai pemberian itu. Dan gawatnya lagi, kalau saja si pemberi punya maksud tertentu, ia akan mengira kamu menanggapinya.” Senyumku merekah.
Sebelum tiba di rumah dan bertemu Harry, aku sudah menduga reaksinya bila melihat kalung yang kukenakan.
“Ada yang baru nih nampaknya,” sindirnya sambil mengerling nakal. Aku tersenyum. “Iya. Hadiah dari teman.” Sahutku singkat. Sebuah jawaban yang telah kupersiapkan selangkah sebelum mencapai pintu.
“Oh ya? Wah, teman mana nih yang begitu baik menghadiahkan barang secantik ini?” Harry meraih tiga bintang biru di leherku.
“Klien, Har. Mungkin dia puas dengan hasil kerjaku. Udahlah, nggak penting. Untuk orang kaya apalah artinya barang seperti ini.”
“Laki-laki ya?” Harry menatapku tajam. Aku tergelak.
“Aduh Har, tolong deh. Jangan bilang kalo kamu cemburu ya?” sahutku sambil memandangnya dengan geli. Rasanya aku tak pernah mendapati ekspresi seperti itu selama ini.
“Kalo iya, kenapa? Apakah itu terlalu berlebihan?” Kuhentikan tawa dan menatapnya. “Harry, kamu serius ya? Ini nggak lucu kan? Ayolah, masa sih setelah selama ini baru sekarang kamu cemburu padaku?”
Harry merogoh saku celananya dan mengangsurkan amplop mungil merah muda di tangannya kepadaku. Perasaanku sedikit tidak enak menerimanya. Ia meninggalkanku ke ruang dalam. Aku membuka amplop dan mengeluarkan sebuh kartu mungil dari sana. Berwarna merah muda pucat dengan lukisan dua ekor kelinci berwajah imut di padang rumput.
Rembulan pucat mungkin lebih baik
Ketimbang berkilau kepalsuan
Di atas jejak-jejak yang bertebaran
Dan mencoba sembunyi pada sebatang ilalang
Hanya sepenggal puisi itu yang tertera di sana. Tanpa kalimat basa-basi ataupun nama pengirim. Aku kembali mengulangi kalimat itu. Aku bisa menduga arahnya. Hanya saja aku tetap tak berani memastikan. Siapa sebenarnya pengirim semua kejutan ini? Rasanya Harry bukan tipikal orang yang suka memberi kejutan. Tapi aku cepat menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena ada yang lebih penting harus kuurus. Harry. Aku mendapatinya tengah duduk berjuntai diruang tengah. Matanya tertuju lurus ke layar televisi. Namun aku yakin sekali, fikirannya tak di sana.
“Aku tak tahu siapa pengirimnya dan apa maksudnya. Kuharap kamu masih percaya padaku, Sayang..,” kataku bersungguh-sungguh.
“Aku percaya, Cha..” sahutnya dengan mimik serius. Aku menatapnya dengan tajam, penuh selidik. Entahlah, rasanya tadi aku melihat senyumnya sekilas, tersembunyi di balik wajah serius.
“Harry, kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu kan?” tanyaku curiga. Ia menggeleng cepat. Aku menyipitkan mata tak percaya. Terlebih melihat ia bersusah-payah menyembunyikan senyum. Aku menatapnya tajam, pura-pura marah. Akhirnya, tawanya pecah juga. Ia tergelak sambil mendekap perut.
“Kenapa?” tanyaku setengah gusar. Firasatku mengatakan ia tengah mempermainkanku. “Apa jangan-jangan kamu dalang di balik semua ini ya? Kado dan puisi misterius itu?!” Harry terus tertawa. Ia bahkan tak sanggup untuk berbicara.
“Maaf ya, Sayang.” Mohonnya di sela-sela tawa yang masih tersisa. Aku cemberut.
“Maafkanlah. Ya? Jangan marah lagi. Aku maksudnya cuma ingin buat kejutan aja ke kamu.” bujuknya sambil meraih tanganku.
“Kejutannya dengan cara membuat aku ge-er kalo ada pengagum rahasia. Gitu?” Harry mengangguk-angguk.
“Boleh kan? Sesekali aku ingin lihat mimikmu kalau kege-eran. Ternyata lucu juga ya?” godanya. Aku manyun. “Nggak lucu!” hardikku kesal.
“Iya deh, maaf. Kalo gitu, selamat ulang tahun yah?” Ia menatapku dengan wajah memelas. Tak urung aku tertawa juga. Setelah sepuluh tahun kepergian Rangga, seseorang yang mengisi hatiku sebelum hadirnya Harry, ternyata kali ini aku baru merasakan getar membahagiakan itu lagi. Tidak juga ketika kami menikah dulu. Mungkinkah ini berarti nama Rangga telah terkikis dan memudar di hatiku? Entahlah, mudah-mudahan saja begitu.
“Tapi aku punya permohonan nih. Cuma satu kok, biarpun hadiahnya dua,” pintanya dengan wajah bersungguh-sungguh. Aku memandangnya penuh tanya.
“Apa itu?”
“Tolong dong jangan panggil aku dengan nama lagi. Pingin yang lebih mesra.”
“Apaan? Mas? Abang? Papa?”
“Terserah kamu aja.”
“Kalo gitu Mas aja ya? Mas Harry...” Aku tergelak berbarengan dengan derai tawa Harry.Yah, aku memang harus menghapus bayangan Rangga, maupun bayangan lain yang ingin menyelinap dan berdiam di hatiku. Karena Mas Rangga sudah begitu setia mendampingiku. Berjalan di sisiku dengan segala cerita, suka maupun duka.

Situs Kab.Agam, 2008

TALI DINI



Malam begitu tua. Dan ringkih. Di halaman masih terdengar geraman dua ekor anjing yang saling berseteru. Entah memperebutkan apa. Mungkin betina atau sekerat daging sisa di onggokan sampah.
Aku baru saja berdiri di teras depan. Memandang langit yang penuh dengan pendar kemilau ribuan bintang. Rembulan tak membulat sempurna. Tapi ku rasa, sudah cukup untuk membuat langit terlihat menawan. Tiba-tiba aku bersendawa. Hah, untung saja tak ada Ibu ataupun Bapak. Kalau tidak, kupingku sudah penuh dengan ceramah tentang etika.
Sekelebat, Dini, adik bungsuku, lewat dengan langkah berjingkat. Ia tak melihatku meskipun telah melongok kesana-kemari. Mungkin karena posisi berdiriku yang terlindung, bersebelahan dengan pilar penyangga beranda. Juga temaram. Aku tersenyum. Mau apa dia berlaku seperti itu? Semula aku ingin tak menghiraukannya dan meneruskan kesibukanku, memintal angin yang semilir bertiup. Menggoda mata untuk terkatup. Tapi, sebuah benda di tangan Dini, menggelitik rasa penasaran. Kusipitkan mata untuk melihat lebih tajam lagi. Seutas tali? Untuk apa?
“Dini..” sapaku sebelum gadis tujuh belas tahun itu mengenakan sandal kirinya. Keterkejutannya tak dapat ditutupi, meskipun dalam cahaya samar yang mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku mendekat.
“Mau kemana?” tanyaku dengan nada tajam.
“Mmm.., mau ke belakang, Bang.” Jawabnya sedikit gugup. Ia tak berani menatap wajahku. Tunduknya semakin dalam.
“Ngapain?” kejarku lagi.
“Mau.., mau..anu Bang,” Ia terlihat semakin gugup. Tali di tangannya bergoyang karena getaran tubuh. Ketakutannya mencuat. Meskipun temaram coba menyamarkan, toh rembulan membantu memantulkan.
“Anu apa?” Aku mengernyitkan dahi. Di benakku muncul tanda tanya dan syak wasangka.
“Untuk besok, Bang. Disuruh bapak. Mungkin untuk kerbau..” Dini menjawab tersendat. Kerbau? Hmm, setahuku tak pernah kerbau diikat. Hanya dimasukkan dalam kandang dan dikunci dari luar. Itu saja. Kenapa harus diikat? Dan kenapa besok? Dan kenapa Dini? Meskipun Samin, orang kepercayaan bapak sudah pulang, biasanya hal-hal seperti itu dilimpahkan padaku. Bukannya Dini.
“Kenapa mesti malam-malam? Besok pagi juga bisa. Sini..” Aku meminta tali di tangan Dini. Namun reflek gadis itu menyembunyikannya ke balik punggung.
“Tak usah, Bang. Bapak yang nyuruh. Nanti Dini dimarahi.” Tolaknya dengan ekspresi yang tak ku mengerti. Jadi penasaran…
“Kok dimarahi? Di belakang kan gelap. Nanti kamu tersandung, jatuh.., siapa yang nolongin?” Aku berkeras juga. Tapi dia menggeleng panjang. Waah!
PRRAAANG!! Suara benda kaca jatuh. Aku terkesiap. Dini juga terperanjat. Namun kemudian, ia mengambil kesepatan itu untuk cepat-cepat berlalu meninggalkanku. Masih kucoba mencegah, meski sia-sia. Ia hilang dalam kegelapan. Tapi aku juga tak begitu menghiraukannya lagi, karena naluri menuntun kakiku melangkah cepat ke dalam rumah. Mencari tahu muasal keributan tadi. Ada apa?
Aku menghentikan langkah di kamar bapak dan mendapati sebuah pemandangan yang tak biasa. Khususnya selama dua puluh tahun hidup di rumah ini. Bapak duduk di ranjang dengan wajah kusam. Dahinya berlipat-lipat menahan geram. Nafasnya tersengal menahan muntahan amarah. Sepasang alisnya bertaut menyatukan kedua mata yang dipaksa merapat. Kulihat sepintas ada darah di tangannya yang terkepal. Sementara ibu, duduk mencangkung di sudut ruangan. Ada raut cemas. Dari matanya yang menekur takut-takut. Dan bibir yang memucat dalam geletar tak berkesudahan.
“Bapaaaak! Masyaallah, ada apa ini?!” Aku kebingungan. Lenyap sudah fikiran tentang Dini. Mungkin dia sudah di dekat kandang. Aku mendekat ke ibu. Kurengkuh tubuhnya yang terus bergetar. Tanganku bergerak mengusap punggung, mencoba menenangkan.
Bapak berdiri dan melangkah keluar. Ia sama sekali tak menghiraukan serpihan cermin yang merajam di bawah kakinya. Meski beralas sandal, aku yakin tetap terasa sakitnya. Tapi ia terus berjalan. Aku menghela nafas panjang. Sejak gagal di pemilihan kepala desa tempo hari, bapak memang berubah. Lebih pendiam dan perasa. Sehingga kerap bertengkar dengan ibu. Kupapah ibu ke bibir ranjang. Kami duduk dalam cahaya kamar yang nanar.
“Ada apa, Bu? Bertengkar sama Bapak?” Ibu tak mengangguk atau menggeleng. Tunduknya semakin dalam. Perlahan isaknya menyeruak. Kemudian mengalir menjadi tangis yang menyayat. Tubuhnya berguncang-guncang menahan kemelut dalam hati dan fikirannya.. Aku tak sampai hati bertanya lebih jauh lagi. Sudahlah. Nanti saja. Kufikir, membuat ibu tenang lebih dibutuhkan sekarang ketimbang meminta penjelasan yang hanya dijawab dengan derai tak berkesudahan.
Bapak tak balik lagi. Entah kemana mengasingkan diri. Aku tak bisa mencari tahu. Langkahku terhambat karena ibu tertidur di bahuku, dalam tangisnya yang terbawa sampai ke mimpi. Aku mencoba melawan kantuk. Tapi tubuh lunglaiku tahu-tahu sudah menyandar di kepala ranjang. Hhh, benar-benar tak kuasa menerjang kepenatan yang mengganjal mata. Seperti tersihir, aku benar-benar lumat dalam lelap. Tak menyadari apa-apa. Dan baru tersentak keesokan harinya, oleh cahaya matahari yang garang menerobos jendela. Ya ampuun, jam berapa ini? Panik aku menatap sekeliling dan menyadari ibu tak ada. Lantai sudah bersih. Tak ada serpih kaca dan juga darah. Bersih. Aku yakin ibu sudah bangun dari tadi dan melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bahkan bantal-bantal di ranjang pun sudah tersusun rapi. Selembar kertas terlipat melekat di bantal terbawah. Aku tersentak. Apa itu surat? Hei, surat apa?! Puluhan tanya menggerakkan tanganku terulur meraih kertas yang sepertinya dilipat dengan tergesa-gesa itu..
Dalam lembaran kertas kecil lusuh di tanganku, berbaris huruf-huruf kecil yang rapi. Aku tersenyum. Tulisan Ibu.. Masih saja bagus seperti dulu. Tapi isinya mengagetkanku.
Ibu pergi, Nak. Tak usah dicari. Memang sudah seharusnya ibu sendiri. Karena ibu tak tahu menghargai suami dan juga diri sendiri. Maafkan ibu, Nak. Tak bisa cerita banyak. Tapi yang jelas, ibu tak perlu dicari. Tolong jaga Bapak dan Dini. Ya…?
Ibu yang selalu mencintaimu..
Aku tergagap. Seketika jariku bergetar. Kertas terlepas dari genggaman. Aku seperti kehilangan nafas sesaat. Kenapa harus begini? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Rumah sepi sekali? Tak ada suara sedikitpun. Kemana bapak dan Dini? Pertanyaan ini menyadarkanku. Dan reflek mengantarkan langkah terayun keluar kamar. Tak ada bapak di ruang depan. Padahal jam segini biasanya bapak sedang asyik menikmati kopi dan rokoknya, sambil menonton televisi. Tidak kali ini. Meja bersih. Tak ada sisa kopi. Asbak juga. Tak ada sisa abu rokok di sana.
Dini bahkan tak terdengar bernyanyi. Satu kebiasaan yang memberi isyarat keberadaannya. Meskipun suaranya pas-pasan, tapi selalu menjadi magnet bagi rumah ini. Yang akan membawa penghuni lain berkomentar atau ikut merasakan detak keriangan Dini.
Kucoba menenangkan diri sesaat dan memusatkan fikiran. Menghalau fikiran-fikiran buruk yang saling berkecamuk. Seperti digiring oleh alam bawah sadar, aku melangkah. Melangkah terus tanpa tahu mau kemana. Sampai akhirnya kusadari, telah tiba di belakang rumah! Tempat sawah-sawah bapak menghampar hingga ke tepi parit kecil yang tak terjangkau pandangan. Tempat kerbau-kerbau Bapak bertambat. Tapi aneh. Ya.., ada yang aneh. Meski tak tahu apa yang aneh. Dan keanehan itu seperti merasuki seluruh panca inderaku.
Aku mematung di depan kandang. Takjub dalam belai semilir angin. Takjub oleh hening yang mencekam. Takjub oleh pemandangan di depanku yang rasanya bagai mimpi saja. Atau illustrasi puisi yang belum jadi. Aku melihat bapak dan Dini. Mereka juga melihatku. Tidak dengan tatapan yang biasa. Tatapan dingin dan penuh kepedihan. Mereka berdiri di sana. Tidak! Bukan berdiri! Mereka tergantung di sana!! Di kayu pipih penopang atap kandang. Dengan tali yang kemarin dibawa Dini…
Hanya saja, aku tak mau melihat ibu. Meskipun ibu berada dekat sekali. Genangan merah yang menggelumur di sekujur tubuhnya, membanjiri sisi baringnya, membuatku enggan memandang. Terlalu menyakitkan! Untuk mata, juga hati.

Harian Global, 13 Maret 2010

TANYA



Bunda…, lihatlah! Bunga kita mulai merekah, menyembul dalam hitam dan merah
Cantik sekali.. Tapi, bukankah itu sulit dimengerti?
Kita hanya menanam satu kali
Tanpa tanah

Tanpa air
Tanpa cinta
Kita hanya menyiram satu kali
Juga tanpa air!
Tapi, lihatlah! Ia merekah hari ini
Menguak begitu saja di balik ilalang jalang dan rumpun liar
Tapi, bukankah itu semakin sulit dimengerti?
Kita hanya menanam satu warna
Itupun kuning yang tak mengesankan

Mengapa jadi merah dan hitam?
Bunda, lihatlah! Aku kini tengah memikir dalam hening yang berlapis-lapis
Mungkinkah ini bunga yang kita tepis dari taman tempo hari?

JEJAK



Udara yang sama, lokasi yang sama. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun suasananya sudah jauh berbeda. Aku menyimpan senyum sambil mendesah. Berapa lama sudah aku tak menginjakkan kaki di sini, kota tempatku lahir dan besar, kota tempat sejuta kenangan dari belasan juta yang kupunya. Sembilan, sepuluh atau bahkan sebelas tahun rasanya. Waktu yang cukup lama. Aku memanggil taksi bandara. Dan dalam hitungan menit aku sudah meluncur menghadang siang yang nyalang di kota Medan.Ampuuun, panas kota ini benar-benar tak berubah. Bertahun-tahun terakhir tinggal di kota dingin membuatku sedikit kerepotan mengatasi kegerahan ini. Meskipun taksi dilengkapi AC. Tak berpengaruh sama sekali. Belum lagi rentetan klakson yang riuh-rendah bersahutan di perempatan traffic light. Seluruh kendaraan tak sabaran untuk saling mendahului, takut tertambat lampu merah lagi. Supir taksi yang kutumpangi mengumpat kasar saat sebuah motor menyalip tiba-tiba. Aku tersenyum simpul. Ini Medan, Bung!
Setengah jam kemudian, taksi berhenti di depan sebuah rumah mungil bercat hijau, yang halaman luasnya dipenuhi dengan sejumlah pohon dan tetumbuhan. Aku turun dan menatap sejurus dalam diam. Taksi melaju meninggalkanku begitu ongkosnya telah kuserahkan. Assalamualaikum..” Aku mengetuk pintu rumah.
Suara langkah mendekat membuat jantungku berdegup lebih kencang. Pintu terkuak. Namun wajah yang muncul bukan yang ku harapkan. Padahal, nafas sudah begitu sesak rasanya ingin melampiaskan rindu yang sudah kapalan. Anak perempuan delapan tahunan menyambutku dengan pandangan bertanya, meskipun ia hanya diam tanpa sapa. Aku tersenyum, meski tak pasti ia siapa.
Nenek ada?” tanyaku. Wajahnya berubah kebingungan.
Nenek siapa, Bu?” Ganti aku yang bingung. Kuperhatikan sekeliling dengan seksama. Apa aku salah masuk rumah orang? Tapi rasanya tidak. Meskipun cat rumah dan bentuknya cukup banyak berbeda, tapi aku yakin ini masih rumah yang dulu. Tempatku bermain, tumbuh dan berkembang menjalani waktu. Tidak! Ini sudah benar.
Nenek Nani.” Jawabku akhirnya. Si anak terdiam. Tak lama ia berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak lantang.
Maaaakkkkkk! Maaaakk! Ada orang!” Aku menunggu dalam kecemasan dan tanda tanya besar yang bercabang-cabang.
Tiba-tiba perasaan cemas dan tak enak menyergap fikiran. Jangan-jangan…., ah tapi tak mungkin! Aku mencoba menghalau berbagai kemungkinan negatif. Tak lama berselang, seorang perempuan muncul. Tubuhnya yang gemuk membuat langkahnya bagai terengah menyongsongku. Tapi yang paling penting, siapa dia? Aku tak mengenalnya.
“Cari
siapa?” tanyanya dengan nada kurang bersahabat. Kupaksakan diri untuk tersenyum. Padahal biasanya aku paling anti diperlakukan seperti itu.
Saya mencari ibu saya, Kak. Nek Nani yang tinggal di sini.” Dahinya berkerut.
Nek Nani? Kapan tinggal di sininya?” Aku terperangah.
Wah, ya dari sejak saya belum lahir, Mbak. Soalnya Ibu Nani itu ibu saya dan saya tinggal di sini selama bertahun-tahun, sebelum menikah dan akhirnya pindah.” Aku mencoba menjelaskan. Wah, kalau benar seperti itu kenapa sampai tak tahu kalau ibu kamu sudah tak tinggal di sini lagi? Memangnya tidak pernah menghubungi?” Aku terperanjat mendengar kata-katanya. Tak kuperdulikan pertanyaan terakhirnya yang diucapkan dengan nada sinis. Aku sudah terbiasa selama beberapa tahun terakhir ini, dicemooh karena dianggap melupakan keluarga.
“Oh, jadi sudah tidak disini lagi, Kak? Berarti rumah ini sudah dijual?” kejarku penasaran.
“Ya.”
Jawabnya singkat sembari menguliti seluruh tubuhku dengan tatapannya.
Berikutnya aku tak mendapatkan keterangan apapun mengenai keberadaan ibuku. Aku merutuki diri. Mencari ke rumah kerabat adalah pilihan yang kuambil. Sesekali di perjalanan, kusesali waktu dan langkah yang telah menghalangiku bertemu dengan ibu. Kusesali karena kini semua tlah menjadi abu. Kusesali karena selama ini aku menganggapnya hanya sebagai pengorbanan kecil atas nama cinta. Cinta yang terkoyak helai per helainya dalam setiap helaan nafas yang kupunya. Yang membuatku melupakan cinta lain yang begiku kuat mengakar.
Aku memang tak punya nyali! Untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai tradisi. Tradisi yang salah kaprah, tentang seorang perempuan menikah yang menjadi milik mutlak suaminya dan harus mengesampingkan ‘keluargaasalnya.
Senja turun, melampirkan semburat jingga di kanvas langit. Lampu jalanan beradu cantik dengan kemilau lampu hias di bangunan-bangunan menjulang. Aku sudah menyinggahi tiga rumah kerabat dekat. Tetap tak ada jejak yang ku dapat. Dimana ibuku? Apakah Tuhan telah menutup segala arahku kepadanya?Apakah ini balasan atas sebuah pembiaran yang kulakukan selama bertahun-tahun?
Aku berhenti di depan mesjid Raya. Kulirik arloji di pergelangan. Hampir Magrib. Kuputuskan untuk beristirahat sejenak di mesjid megah yang berdekatan dengan Istana Maimoon itu, sembari menunaikan sholat Magrib. Sudah dua waktu sholat kulewati sepanjang hari ini.
Aku ingat, mesjid ini adalah mesjid favorit ibuku. Padahal letaknya jauh dari rumah. Tapi minimal sebulan sekali ia minta diantarkan untuk sholat di sini. Terlebih kalau masuk bulan Ramadhan. Lima belas hari penuh ia bolak-balik menunaikan tarawih di mesjid kebanggaan masyarakat Medan ini. Alasannya sederhana, namun mengena; “Plaza megah selalu menggerakkan langkah kita untuk mengunjunginya, kenapa mesjid megah tidak? Padahal, plaza itu kan isinya banyak menjauhkan kita dari Sang Pencipta. Yang artinya menjauhkan rezeki juga. Sedangkan mesjid, selain mendekatkan kita ke Sang Khalik, juga membukakan seluruh pintu rezeki yang ada.” Itulah ibuku. Dan akulah yang selalu bertugas menemaninya. Sejak kelas dua SD hingga tamat SMA. Karena kedua abangku sibuk dengan urusannya masing-masing dan menganggap ibuku kurang kerjaan sholat jauh-jauh padahal banyak mesjid yang dekat. Lalu, seusai sholat, biasanya kami naik becak mesin menuju jalan Pagaruyung dan makan di sana. Ibu dengan menu tetapnya, nasi goreng seafood!
Mengenang semua itu membuat airmataku bergulir tanpa terasa. Ibu, maafkan anakmu Aku menyeret langkah dengan gontai. Mencari penginapan tempatku bermalam hari ini, besok atau sampai beberapa hari ke depan. Pokoknya sampai ku dapat jejak keberadaan ibu!
Ini hari kedua. Dan semua masih gelap. Aku meraba tanpa arah. Mencari-cari penuh ketidakpastian. Senja ini, kembali kusandarkan kegelisahanku di mesjid Raya. Menunggu Magrib sambil mengurai kembali rajutan masa lalu, serta segala yang pernah tertulis di tiap sudut kota ini. Kusadari kini, hatiku kosong. Benakku kacau. Dan langkahku gamang. Aku sedikit terhuyung di pintu keluar. Cepat kubersandar ke pilar. Baru ingat, tadi siang lupa makan. Hanya setangkup roti bakar yang mengganjal perut. Dan itu jelas tak cukup untuk pengidap maag akut sepertiku. Jadi, beginilah. Perut melilit diperas-peras, mata berpendar-pendar dan kepala bagai penuh beban. Aku duduk sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Setidaknya agar aku sanggup melangkah ke tempat makan, yang bergerombol di sekeliling mesjid. Tiba-tiba sesosok tubuh menjulang di depanku. Semula aku tak perduli. Mungkin hanya orang yang lalu-lalang. Tapi karena ia tak kunjung berlalu, aku menengadah. Tepat saat ia membungkuk untuk mengenali wajahku. Dan aku terkesiap. Darahku bagai henti mengalir. Kukucek sepasang mataku untuk mengusir halusinasi. Lalu mengerjap-ngerjap tak begitu yakin. Tapi…, tidak! Ini sungguhan! Dan aku menyadarinya ketika ia menyebut namaku dan secepat kilat merengkuhku dalam pelukan ringkihnya. Masyaallah! Dia Ibuku!! Dia Ibuku!! Aku tergugu. Penuh isak di dada tipisnya. Aku tak sanggup berkata. Begitu pula dia, perempuan yang terindah dalam hidupku. Kini semua terselesaikan dalam tangis. Tak ada kata. Sama sekali tak ada!

Harian Global Medan, Mei 2009

HIDUP INI INDAH



Hidup ini indah!
Itu benar. Ungkapan itu bukan hanya sekedar ungkapan. Hidup ini memang indah. Indah bukan hanya dilambangkan pada berapa sukacita dan tumpukan materi yang kita dapatkan. Tapi indah saat kita mampu memahami makna yang mengiringi setiap peristiwa yang kita alami, suka maupun duka. Sakit ataupun sehat.
Itu tak mudah!
Benar sekali. Karena bagaimana bisa kita mengatakan hidup ini indah ketika perut terasa lapar, ketika sakit menggerogoti iman atau bencana menghempas silih berganti. Bagaimana mungkin dapat kita katakan hidup ini indah pada para tuna wisma yang memenuhi emperan toko di larut malam? Atau pada para korban gempa, kebakaran dan mereka yang tertindas oleh kekuasaan?
Itu juga benar.
Tapi pernah kita berfikir tentang apa yang masih kita miliki (meski secuil), dibanding dengan apa yang sama sekali tak dimiliki orang lain? Saat lapar, mungkin kita dapat lebih merasa 'beruntung' ketika dibandingkan dengan mereka yang nyaris sekarat oleh kelaparan tak berkesudahan. Kita masih memiliki harapan untuk esok yang lebih baik dan lebih mengenyangkan, ketimbang mereka yang telah sekarat dan kehilangan harapan.
Inti dari semuanya adalah bersyukur. Dengan mensyukuri hidup yang telah diberikan Sang Pencipta, segalanya akan terasa indah. Segalanya akan terasa lapang. Dan segalanya akan terasa menyenangkan, meskipun dalam kesempitan. Dengan selalu bersyukur, kita takkan pernah kehilangan harapan. Dengan selalu bersyukur, kita akan lebih ringan untuk saling berbagi. Dan itulah wujud dan makna dari hidup itu sendiri...

Salam,

Kosong



Senyap.., Hanya daun jagung melambai di kejauhan, memanggil untuk bertandang Pada ladang dimana rumput pun enggan berdiam Aku cuma senyum kusam yang melembut di belantara kesombongan Yang kau tebar di sepanjang cadas tak bertuan Hei! Benarkah kita tlah pernah saling telanjang? Atau balutan hatiku terlalu rapuh untuk mengundangmu sekadar berpagut Senyap.., Temaram tlah sejam lalu berganti rupa; hitam Bahkan cermin pun kehilangan wajah Lantas, akan kemana mataku tengadah?