Cerpen berjudul KRISIS ini dimuat Tabloid Nova tanggal 22 Maret 1998. Memang ditulis saat krisis moneter. Tak ada filenya karena ditulis saat di kantor, pakai disket jadul. Hanya bukti terbit ini saja yang masih tersimpan.
Kamis, 26 September 2013
PINK
Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Gadis, 19 September 2011
“Hallo, Pink.”
Seseorang memanggilku begitu. Renyah. Dengan senyum sumringah.
Bagaimana bisa aku menolaknya? Lalu seulas senyum yang sama, merekah
di bibirku. Namun. buru-buru aku menarik kembali sudut bibir. Dari
ekor mata, aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh. Kenapa begitu sulit untuk menolak senyumnya? Kenapa pesonanya
begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku, melainkan seluruh penghuni
sekolah. Dia memang istimewa, akuku dalam hati. Tapi aku membencinya!
Aku tak ingin tersenyum untuknya. Lantas gimana caranya agar kedua
sudut bibir ini gak tertarik keluar? Uh, sepertinya aku harus
menanyakan tipsnya ke Mbah Google.
“Wah..wah.., kayaknya ada yang klepek-klepek nih?” Kalimat
menggoda itu mengulik telinga. Memaksaku memutar tubuh dan mencari
tahu siapa pemiliknya. Jihan. Aku mencibir.
“Nggak segitunya, ah..’” bantahku seketika.
“Yuhuuu… , masa sih? Lihat, wajahmu memerah tuh!” Jihan bersiul
panjang. Refleks kuraba permukaan wajah. Sedikit rasa panas menjalar
di sana. Jihan terbahak.
“Udahlah. Akui aja. Nggak ada yang ngelarang kok. Lagian, masa
perang dingin melulu. Damai dong.., damaiiiiii.” Jihan masih terus
meledekku.
“Sok tahu!” Aku mengibaskan tangan dan berlalu dengan angkuh.
Damai? Dengan Ray? Oh, mustahil..!! Aku menarik nafas lega. Jihan tak
mengikuti.
Namun sayangnya, lepas dari Jihan tak berarti aku lepas dari masalah.
Karena di depanku telah berdiri tegak seorang cowok. Tepatnya,
makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini. God,
tolong berikan aku arah yang lain… Aku celingak-celinguk. Nihil.
Hanya tersisa dua pilihan, meneruskan langkah hingga ke hadapannya
atau berbalik kembali ke kelas. Setelah berfikir sejenak, aku menarik
nafas panjang. Baiklah, aku akan menghadapinya.
PUTRI REMBULAN DAN PANGERAN MALAM
Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Story, 25 Januari 2010
. Malam mulai turun menggandeng bulan dan jutaan bintang. Menghiasi
hamparan langit yang pekat. Sepekat hati Chiva yang sarat keluh.
Ini hari ke sepuluh. Divo belum juga datang. Tiga hari lagi tanggal
14. Mungkinkah Divo lupa akan janjinya? Chiva menarik nafas panjang,
mencoba melepaskan beban berat di dadanya.
“Aku harus pergi…” bisik Divo pagi itu, di taman lingkar rumah
sakit. Chiva dapat merasakan getaran suara Divo, karena wajah pemuda
itu begitu dekat di telinganya. “Pergi? Pergi kemana?” tanya
Chiva mencoba wajar. Meskipun entah kenapa hatinya gelisah. “Pulang
maksudnya?”
Divo menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tertunduk. Meskipun saat
ini mudah untuknya berbohong, tapi Divo tak tega untuk melakukannya.
“Mmm, ya…pulang. Tapi aku juga tak bisa datang menjengukmu
beberapa hari ke depan.” jawabnya berat. Chiva tersenyum.
“Kenapa? Kamu ujian? Banyak tugas ya?” Divo terdiam. Ditatapnya
wajah Chiva yang begitu tulus. Dan itu membuat hatinya menjerit. Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia
mengangguk. Tapi Chiva tak melihatnya.
GURUKU TAMPAN SEKALI
Oleh : R. Yulia
Dimuat Mj Kreatif, 23 Juni 2011
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas. Sudah lonceng. Tak seorang
pun berada di luar kelas lagi. Duh, semoga Pak Rahim belum masuk ke
kelas, harapku. Dan, hup. Aku tiba di ambang pintu kelas, disambut
tawa riuh seluruh teman. Ada apa? Aku kebingungan. Olala, ternyata
teman-teman mengira aku adalah Pak Rahim. Cihuii, Pak Rahim belum
masuk. Aku bergegas menuju bangku. Kelas gaduh kembali.
“Pak Rahim nggak masuk, ya?” tanyaku pada Karen, teman
sebangkuku. Cewek berhidung bangir berkacamata itu menggeleng.
“Kabarnya sih, Pak Rahim pindah.” Aku
melotot. Pindah? Ya ampuun, beliau kan guru favoritku.
“Pindah kemana?” Karen angkat bahu.
“Tapi sudah ada penggantinya.”
“Oh ya?” Karen tak sempat menjawab. Kelas
mendadak sepi. Seorang perempuan berjas biru memasuki kelas dengan
langkah berwibawa. Bu Dian, sang kepala sekolah. Aku mengubah posisi
duduk menjadi lebih tertib. Bu Dian terkenal galak. Tak seorang siswa
pun ingin bermasalah dengan beliau. Termasuk, aku.
Tak lama, menyusul masuk seorang lelaki muda
yang……ooow ya ampuunn. Aku terpana melihat lelaki yang memasuki
kelas dengan senyum menawan itu. Gila, tampan sekali, decak hatiku.
“Mungkin ini pengganti Pak Rahim,” bisik Karen. Pandanganku tak
teralihkan sedikitpun. Duh, lelaki itu mirip sekali dengan bintang
idolaku.
Di depan kelas, Bu Dian memberi penjelasan
singkat tentang lelaki itu. Benar, lelaki tampan itu adalah guru
Bahasa Indonesia yang menggantikan Pak Rahim. Aku kegirangan.
Asyiiikk, pasti menyenangkan diajar oleh guru setampan itu.
SEUNTAI MAAF DI MATAMU
Oleh: R.Yulia
Dimuat Mj. Story, 25 Oktober 2009
“Viaaa! Cepetan gih! Udah mo berangkat nih!!” Teriakan Mama
membahana dari luar kamarku.
“Iya..iya…Ma. Bentar!!” Aku balas berteriak. Waah, sudah
seperti di hutan aja nih. Ala Tarzan. Untung nggak pake auwoo-an
segala.
Cepat kurapikan isi koper, setelah sebelumnya memeriksa kembali
apakah ada barang-barangku yang ketinggalan. Mudik…mudik…Ya,
saat ini kami sekeluarga memang tengah bersiap-siap untuk mudik.
Tradisi tahunan yang tak pernah
terlewatkan. Selalu disambut dengan antusias. Pertemuan kembali
dengan seluruh sanak saudara, oma, opa, tante, om, sepupu dan
lain-lain. Menikmati kue-kue dan makanan lebaran khas kampung
halaman. Mengantongi ‘THR’ dari saudara-saudara yang lebih tua.
Ha..ha.., biarpun sudah gede dan duduk di bangku SMU, tapi yang
namanya THR tetap jadi incaranku di hari Lebaran.
“Viaa!!” Teriakan Mama kembali bergema.
Bergegas kututup koper dan menarik pegangannya. Lalu melangkah keluar
kamar,setelah sebelumnya sempat melirik sejenak ke cermin. Sekadar
memastikan penampilanku secara keseluruhan. Perfect,
decakku sedikit narsis.
“Iya, Ma. Nggak sabaran amat sih?” gerutuku begitu tiba di
teras. Semua sudah lengkap di sana. Mama, Papa dan Uni Vira.
“Ya iyalah. Pengen ketinggalan pesawat?”
sahut Mama dengan tajam. Aku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk
kepala yang nggak gatal.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku lebih banyak diam. Bahkan
juga sampai di pesawat. Setiap pulang kampung, ada perasaan lain yang
membawaku kembali ke masa lalu. Tepatnya, masa kecilku. Dan perasaan
itu selalu berulang.
Ini bukan sekedar kenangan masa kecil yang berwarna-warni dengan
teman-teman sebaya. Melainkan juga tentang ‘seseorang’ yang
memiliki catatan hutang di benak dan hatiku. Aku mengeluh dalam hati.
Kenapa ya, aku nggak juga bisa melupakannya? Padahal, itu kan hanya
masa lalu. Dan terjadi saat aku masih anak-anak lagi. Toh, hati dan
fikiranku tetap nggak mau melepaskannya hanya sebagai sebuah ‘catatan
kecil’.
“Heii, kok diam aja, Via? Kesambet? Udah mau mendarat nih kita..”
Uni Vira yang duduk di sebelahku, menepuk pahaku lumayan keras.
“Aww, sakit loh, Uni!’ pekikku tertahan. Lamunanku buyar.
“Rasain. Abis, sepanjang perjalanan kok bengong aja bawaannya.
Tumben, betah diem.” Aku tertawa mendengar ‘pujian’ itu.
“Ya kan masih puasa...” kilahku.
“Halah, gayamu! Biasanya, makin kosong tuh perut makin cerewetlah
bibirmu itu adikku...,” Uni Vira mencubit pelan pipiku. Aku
meringis sambil mengusap-usap bekas cubitannya. Nggak sakit sih. Cuma
reflek aja.
Akhirnya, tiba juga di kota kelahiran. Hmm, udara panas kota Padang
langsung menyambut kami begitu keluar dari pesawat.
“Ma.., ntar malam cari durian ya? Adduh, udah ngidam lama nih ama
durian. Hmm..., yummy..” kataku sambil mempermainkan lidah bagai
orang yang tengah menikmati makanan lezat. Mama kontan melotot.
“Huss! Masih jam segini udah ngebayangin makanan.” Hardik Mama
pura-pura marah. Aku terkekeh, berbarengan dengan Uni Vira.
CERMIN
Oleh : R.Yulia
Dimuat tb. Gaul, 2005
Chintya
menatap cermin di depannya dengan puas. Akhirnya ia temukan juga
posisi yang bagus untuk meletakkan cermin antik itu. Tepat di depan
meja belajarnya. Dengan begitu, setiap jenuh dengan tumpukan pe er,
ia dapat rileks dan memandangi wajahnya di cermin. Atau bisa juga
sambil mengkhayalkan wajah kiyut Al, sang bintang di sekolahnya.
Sebenarnya, cermin yang dibeli Chintya bukanlah barang
mahal. Belinya juga bukan di toko mebel yang elit. Melainkan di pasar
loak. Pertamanya sih iseng pengen jalan sorangan ke pasar loak. Ia
penasaran dengan kata-kata Juli.
“Kamu boleh saja nggak respek ngedenger pasar loak.
Tapi kalo kamu semua mau nyempetin diri ke sana dan ngeliat dengan
mata kepala sendiri, pasti deh pada terbelalak. Karena yang ada di
sana bukan hanya barang rombengan. Banyak lho barang bagus dan antik.
Harganya juga murah banget. Daripada beli ratusan ribu di toko barang
antik. Emang sih, kamu mesti punya waktu banyak untuk ngubek-ngubek
dan nyeleksi barangnya. Karena banyak juga yang butut.” Itu celoteh
Juli kemarin siang di sekolahan.
Tentu saja celoteh itu bukan tanpa sebab. Chintya
tertarik dengan jam tangan mungil milik Juli yang terlihat lain dari
biasanya. Jam tangan itu tidak baru tapi unik sekali. Dengan alasan
tersebutlah ia mengayun langkah ke pasar loak. Dan setelah hampir dua
jam berkutat di sana, Chintya menemukan tambatan hatinya. Apalagi
kalau bukan cermin yang kini ada di hadapannya.
Cermin itu berdiameter 15 centimeter. Dengan bingkai
bulat dari perak yang sepanjang permukaannya berbungkal-bungkal
seperti ombak lautan. Cermin itu juga memiliki landasan di bawahnya.
Sebuah hiasan perahu dari kayu cendana. Penuh dengan ukiran. Ah,
pokoknya bener-bener nggak nyesel deh, meski untuk itu ia harus
merelakan seluruh tubuhnya berselimut debu. Selesai mengagumi cermin,
Chintya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang
lusuh. IA merasakan kesegaran yang berbeda setelah bersalin pakaian.
Chintya membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Pandangnya
terlayang ke cermin di dinding. Senyumnya mengembang dan terus begitu
hingga angannya mengawan dan membawa kelopak matanya terpejam.
Chintya terlelap dengan rasa puas.
AKHIR SEBUAH PERJALANAN
Oleh : R.Yulia
Dimuat Mj Jelita Jakarta, 17-23 Juli 2006
“Dina! Apa kabar?” Teriakan histeris itu justru mengagetkan aku,
yang sebenarnya ingin mengagetkan perempuan muda cantik di hadapanku
ini. Aku tersenyum sambil mendekap dada.
“Aku keduluan nih..,” gerutuku kesal. Perempuan cantik itu
tersenyum hangat.
“Dari dulu kan?”
“Iya. Aku selalu kalah cepat denganmu dalam hal apa pun,”
keluhku.
“Ah, jangan sentimentil begitu. Masuklah.
Silahkan duduk. Santai aja. Sebentar ya?” Ia meraih airphone.
“Sus, tolong bawakan dua minuman ke
ruangan saya ya? Nggak ada pasien kan? Bagus. Terima kasih ya?”
“Nggak usah repot, Siska. Aku cuma sekedar kangen-kangenan aja
kok.” kataku jengah.
“Dinaaa.., kamu tuh kege-eran deh. Sebenarnya,
yang haus itu aku. Jadi kamu dateng atau nggak, aku pasti minta
dibawakan minuman.” kilahnya. Aku tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong, mimpi apa nih yang menuntunmu
ke klinikku? Soalnya udah tahun kan? Sejak kamu menikah, kita nggak
pernah ketemu lagi. Habis, kamu juga jauh kali sih merantaunya. Nah,
sekarang ceritain dong semua pengalaman merantaumu.” Rentetan
kalimat yang tak terputus dari bibir Siska memperlebar senyumku. Dia
tak berubah. Masih cerewet.
“Biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Namanya juga ikut suami.
Paling-paling aku hanya menjalani semua rutinitas seorang ibu rumah
tangga.”
“Oh ya? Anakmu sudah berapa?”
“Satu. Sudah lima tahunan.”
“Wah, pasti cantik dan pinter seperti kamu ya? Kok nggak diajak?”
Siska begitu antusias menanyaiku. Aku menunda jawaban ketika seorang
perawat mengetuk pintu dan memasuki ruangan.
“Tadinya sih mau diajak. Tapi udah keduluan sama neneknya. Mau
diajak jalan ke rumah adik bungsuku, Hera.” jawabku begitu perawat
itu meninggalkan ruangan.
“Ooh. Sudah sekolah belum dia?”
SENYUM UNTUK ELEN
Oleh : R. Yulia
Dimuat mj LISA Jakarta, 4-11-2002
Selangkah lagi sebelum
memasuki areal parkir kantornya, Elen melirik arloji di pergelangan.
Pukul sembilan lewat tujuh menit. Hh, ini sudah untuk yang ketiga
kalinya dalam seminggu ini, batinnya. Dikibaskannya tangan untuk
mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap di hati.
“Terlambat lagi ?”
Perempuan cantik tiga puluhan, berambut ikal sebahu, sosok pertama
yang berpapasan dengannya, menyambut dengan sapaan yang sama dengan
kemarin dan kemarinnya lagi. Yosi, si pencatat absensi.
“Sorry..”
Hanya kata itu yang terlontar dari bibirnya. Yosi menatap Elen
sejurus. “No reason?”
Elen menghela nafas berat. “Untuk apa? Toh aku sudah salah,”
akunya pendek dan bergegas menuju ruangannya. Namun, belum jauh ia
melangkah, Yosi kembali memanggil. Elen menggerakkan dagunya sebagai
isyarat bertanya.
“Jangan
lupa, rapat proyeksi setengah jam lagi!” seru gadis itu
mengingatkan. Elen mengangguk dan secepatnya masuk ke ruangan. Ia
harus segera menyiapkan progress
report untuk rapat. Kalau tidak,
Yudhis pasti akan mengomelinya di hadapan koordinator lain.
“Oke,
saya sudah mendengar progress report
kalian. Lumayan. Meskipun saya masih kecewa dengan hasil tersebut.
Kalian terlalu santai! Seharusnya, untuk bulan ini kita dapat
melampaui target dan meng-handle
lebih dari empat case.
Dengar, saya sangat menghargai kalau kalian dapat lebih serius dan
mencurahkan perhatian sepenuhnya pada misi kita. Jadi bukan hanya
asal memenuhi target!” Elen menatap white
board yang dicoret-coret Yudhis
dengan jemu. Pria gentle
yang sedang berceramah panjang lebar itu kadang-kadang membuatnya
bosan ke kantor. Ia terlalu ambisius dan budak kerja. Dan lebih
parahnya, ia menginginkan seluruh staf di kantor ini berlaku seperti
dirinya. Puhh!
“Elen!
Apa proyeksi kamu untuk bulan depan? Sesuai program, kamu penuh
dengan pembuatan newsletter, release
dan campaign.
Tapi saya ingin yang lain. Ada ide?” Elen tergagap. Ia merasa saat
itu seluruh tatapan diarahkan kepadanya. Ya, ada dua belas pasang
mata. Ditambah dengan hunjaman tajam milik Yudhis. Elen mencoba
menatap Yudhis sesaat. Tapi otaknya terasa buntu.
“Sorry, aku…”
“Saya
bukan ingin permintaan maaf. Coba fikirkan ide lain. Elen, kamu
memegang posisi kunci untuk kesuksesan lembaga kita. Ingat, untuk
ukuran Indonesia, lembaga kita merupakan salah satu LSM yang
diperhitungkan donor. Kita punya komitmen dan prestasi. Saya nggak
mau kamu mengabaikannya. Itu adalah peluang. Credit
point yang kita miliki adalah jalan
untuk meraih berbagai prestasi lain. Dan ingat, untuk semua itu
kalian tidak pernah kerja dengan percuma kan? Nah Elen, teruskan..”
Elen menyembunyikan cibirannya. Kadang ia merasa, Yudhis bukanlah
seorang aktivis sejati. Ia hanya menjadikan seluruh aksinya sebagai
batu loncatan untuk meraih prestasi dan posisi yang prestisius.
Sangat pamrih dan bukan untuk rakyat semata!
TANTI MENCARI PENCURI
Dimuat Mj. Bobo, 29 Juli 2010
Oleh; R.Yulia
Tanti mengaduk-aduk isi tasnya dengan kesal. Ia kehilangan pensil
Barbie yang baru kemarin dibeli. Itu sangat menyebalkan. Terlebih
dalam satu minggu ini ia telah kehilangan banyak barang. Mulai dari
penghapus, peraut, pena, gantungan kunci dan pin. Menyebalkan!
Padahal kesemuanya adalah benda kesayangan Tanti. Ia memilihnya
dengan sangat cermat di toko. Dan semua benda itu hilang hanya dalam
waktu dua hari setelah dibeli!
Tanti tak juga menemukan barang-barangnya. Padahal, ia telah
menggeledah lemari dan laci meja belajarnya. Huh, ini tak bisa
dibiarkan berlama-lama. Ia harus mencari tahu siapa yang telah
mencuri barang-barangnya. Kalau tidak, maka akan lebih banyak lagi
barang yang hilang. Tapi bagaimana caranya? Tanti berfikir keras.
Sesaat kemudian wajahnya menjadi cerah. Senyumnya merekah. Akhirnya
ia menemukan caranya! Ia akan mengintip gerak-gerik pencuri itu.
Tanti yakin, pencurinya adalah salah seorang dari teman sekolahnya.
Dan ia akan memulai aksi pengintipan itu esok hari, saat jam
istirahat. Karena biasanya di jam itulah Tanti meninggalkan tasnya.
Esok harinya, saat jam istirahat tiba, Tanti cepat-cepat pergi
meninggalkan kelas. Ia memutar ke belakang kelas. Ia mengambil bangku
taman, menggesernya ke dinding dan naik ke atasnya. Kini ia dapat
mengawasi seluruh isi kelas dari jendela yang terbuka. Tanti
berhati-hati sekali agar tak sampai terlihat teman-temannya yang
keluar masuk kelas. Ia menunggu dengan sabar. Namun, sampai bel masuk
berdentang, Tanti tak melihat seorangpun temannya yang mendekati
mejanya. Apalagi membuka tasnya. Ah..Tanti mendesah kecewa.
Senin, 23 September 2013
PR MATEMATIKA JU
Oleh : R. Yulia
Dimuat laman agamkab.go.id, 13 September 2013
Dimuat laman agamkab.go.id, 13 September 2013
Hujan turun, mengetuk-ngetuk. Di atap seng, jendela, pintu dan
kaki-kaki dinding luar. Orang-orang di lantai atas sibuk beradu
celoteh, acap berteriak meningkah deru hujan. Beberapa menit sekali
langkah-langkah berat berdentam-dentam kesana-kemari, membuat lantai
kayu tua berderak-derak di atas kepala Ju. Gaduh. Berisik sekali. Tak
tahukah mereka kalau aku nyaris sulit bernapas terbelit sepuluh soal
Matematika, bahkan sebelum hujan tiba? Ju menggerutu dalam hati.
Matematika, entah kenapa, selalu hadir membonceng gerombolan
penyakit dadakan yang membuat putaran otak Ju bekerja semakin
melambat. Sesak napas, sakit kepala, sakit mata, sakit perut,
mengantuk hingga sesak buang air. Dan itu membuatnya frustasi. Belum
lagi orang-orang yang berisik di lantai bawah dan atas. Tak ada yang
menghiraukan kesulitannya.
"Kamu harus rajin belajar, Ju. Biar pinter, jadi
orang besar kayak bapak-bapak pejabat di tipi itu. Jangan males
kayak Bapak dan Emak dulu.
Akibatnya gini nih, Bapakmu
cuma bisa kepake jadi
kuli bangunan. Sementara Emak, cuma jadi tukang cuci. Nggak ada
hebatnya." Emak tak pernah bosan mengulang-ulang kalimat itu
pada Ju, setiap kali ia mengeluhkan sulitnya Matematika. Seperti hari
ini.
"Tapi Mak, jadi orang pinter
itu capek," tukas Ju.
"Belajaaaar melulu, kayak Sholeh. Nggak pernah main keluar."
"Lha, kalau mau berhasil ya
harus capek. Belajar. Kelak kalau sudah besar baru akan menerima
hasilnya. Jadi orang hebat, kaya, punya mobil dan rumah bagus. Memang
Ju nggak pengen?"
Emak masih terus menyemangati. Ju menunduk. Punya mobil, rumah bagus,
siapa juga yang nggak mau. Tapi belajar, Matematika pula?
"Ju, kamu harus sabar. Emak memang nggak bisa membantu
mengerjakan pe-ermu. Emak nggak ngerti. Jadi, apa salahnya kamu
berteman dengan Sholeh dan minta diajarin sama dia cara
mengerjakannya," bujuk Emak. Tunduk Ju semakin dalam.
Ju belum beranjak dari tempatnya.
Ia duduk mencangkung sambil memelototi deretan soal yang tak satupun
berhasil dikerjakannya. Ke rumah Sholeh? Ah, tidak. Ju enggan
mendatangi rumah teman sekelasnya itu, meskipun letaknya tak begitu
jauh dari rumah Ju. Gengsi, ketahuan bodohnya.
Seingat Ju, ia masih bergumul dengan angka-angka, ketika segala
sesuatu, sekitar dan berisik yang begitu nyata, lenyap termakan
hening. Hening sekali. Diketahui kemudian kalau ia tertidur tatkala
serangkaian gambar tak berurutan melintas lambat di depan matanya,
seperti gerbong kereta mainan yang kerap dilihatnya di pasar malam.
Mata Ju mengerjap-ngerjap dalam pejaman, mencoba melihat lebih jelas
gambar-gambar di tiap gerbong mimpinya.
Jumat, 20 September 2013
Selasa, 17 September 2013
HITAM
Aku mencintaimu dalam satu tarikan nafas
yang tersengal mengikuti lafaz
akhirku di nadi yang sobek oleh amarah
jantung yang memar hitam merekah
tak lagi ingat, meskipun samar
binatang apa yang kau kirimkan penuh cakar
memelukku dalam teguk penghabisan
mual
terpental!!
dan aku sekarat sempurna di belatimu ..
dan aku berkarat sempurna di hatimu ..
Jumat, 13 September 2013
VICKY-NISASI?
Vicky Prasetyo. Nama ini belakangan menguasai jagad pemberitaan dan obrolan di dunia maya. Saat menjenguk video wawancaranya di you tube, saya sempat tergelak sesaat. Begitupula kala menyimak beberapa komentar di jejaring sosial. Tapi kemudian saya berpikir, kenapa harus mentertawakan 'kepedean plus kedunguan' Vicky? Sungguhkah saya sudah lebih baik dari dia? Atau, tidakkah saya juga sempat terperangkap pada kalimat-kalimat yang salah dan tak pada tempatnya di waktu-waktu ke belakang?
Mungkin saja saya pernah terperangkap dalam kalimat-kalimat 'tinggi' seperti yang diucapkan Vicky, pada suatu masa, dimana kesadaran sedang tercerabut atau pikiran tengah kalut. Itulah bedanya dengan Vicky yang melakukannya sebagai hal yang biasa dalam komunikasinya dan percaya diri benar meski di bawah sorotan kamera.
Semua orang berkomentar, semua orang merasa lebih pintar. Vicky pun menjadi selebritis dadakan.
Lantas, apakah dengan membicarakannya tanpa henti seperti sekarang ini, kita tak sedang mempopulerkan bahasa 'ngawur kelas tinggi' milik Vicky? Kita membuat kalimat Vicky menjadi semakin memasyarakat, membumi, hingga ke kalangan tidak berpendidikan yang hanya menelan saja kalimat yang didengarnya. Mereka kira itu benar, keren dan wah. Maka terjadilah vicky-nisasi. Semua berkomunikasi ala Vicky. Dari mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga, tukang beca, pengangguran/preman, bisa jadi orang gila juga.
Akan ke sanakah tujuan dari semua obrolan mengejek seorang Vicky ini? Dan si playboy cap sabun batangan itu pun akan tertawa bangga dan menepuk dada, juga merasa bahwa ia tak salah sama sekali dalam penempatan kalimat (pfuh, jadi ingat pidatonya yang berapi-api itu).
Atas kesadaran itulah saya mengurungkan niat untuk membuat atau mengomentari status tentang Vicky. Tulisan ini hanya sekadar mengingatkan, stop injeksi vicky-nisasi! Biarkan saja dia berbahasa seperti itu. Cerna saja sebisanya, sebagaimana kita berhadapan dengan profesor, tukang beca maupun orang berlainan suku/bangsa. Vicku berhak merasa benar untuk apa yang dicerna isi kepalanya sebagai kebenaran. Semoga saja Vicky tak berniat membuat cerpen seperti itu, yang celakanya diloloskan oleh redaktur yang terkantuk-kantuk dan bosan melihat tumpukan naskah di emailnya.. :(
KUE SALJU
Oleh : R. Yulia
"Mak," lelaki itu mendekapnya, disambut Rubiah dengan erat. Lagi-lagi air mengalir dari sudut matanya. Tubuhnya berguncang. Lelaki itu mengelus punggungnya dengan sayang. "Kami pulang, Mak." Rubiah mengangguk. Hidungnya dipenuhi ingus, air matanya membasuh paras, kalimatnya tersumbat di pangkal tenggorokan.
Dimuat Padang Ekspres, 8 September 2013
Rubiah -perempuan dengan tahi lalat besar di pangkal hidungnya-
menyusut air yang menggenang di sudut matanya dengan ujung selendang.
Senyumnya mengembang. Mereka pulang.
Entahlah, pulang yang mana
pun dari keluarga kecil di hadapannya senantiasa membuncahkan
perasaan aneh. Sejumput ngilu, segumpal bahagia dan setitik air mata.
Selalu begitu. Pulang ke rumahnya, pun ke rumah mereka.
Seorang lelaki tiga puluhan yang
didampingi perempuan sebaya berjilbab menghampirinya. Di belakang
keduanya menguntit sepasang bocah yang asyik mempertengkarkan hal tak
penting.
Lelaki itu, ah betapa gagahnya dia.
Seperti memandang lelaki serupa di dimensi masa puluhan tahun ke
belakang. Lelaki yang menaburkan begitu banyak benih bahagia dalam
hidupnya.
"Mak," lelaki itu mendekapnya, disambut Rubiah dengan erat. Lagi-lagi air mengalir dari sudut matanya. Tubuhnya berguncang. Lelaki itu mengelus punggungnya dengan sayang. "Kami pulang, Mak." Rubiah mengangguk. Hidungnya dipenuhi ingus, air matanya membasuh paras, kalimatnya tersumbat di pangkal tenggorokan.
Sabtu, 07 September 2013
DUA HARI
Padang Ekspres, 10022013
“Jangan
pernah
percaya
dengan
lelaki,
Yu.
Mereka
semua
pendusta!”
Kalimat
itu
seperti
alarm, yang pada waktu-waktu tertentu menguing-nguing di telingaku.
Dibisikkan
selama bertahun-tahun, seperti senandung nina bobok.
Yang
jelas,
semua
dimulai
sejak usiaku masih
sangat
belia.
Aku
tak
dapat
mengingat.
Yang
kutahu,
kalimat
itu
dibisikkan
lewat
kehangatan
udara
yang
bergelombang.
Juga
desir
harum
daun
mint.
Dan
aku
terperangkap
dalam
hangat
dan
keharumannya.
Aku
tak
pernah
sepenuhnya bisa
mencerna
kata-kata
itu.
Bisikan
yang
merangkaki
saluran
pendengaranku
rasanya
hanya
bertumpuk
begitu
saja
di
liang
telinga.
Terpuruk.
Aku
masih
terlalu
hijau
untuk
memahami
maknanya.
Mungkin
suatu
hari
nanti.
“Yu,
kelak
saat
kau
remaja,
ingatlah
selalu
pesanku,
ya?
Jangan
percaya
dengan
para
lelaki.
Mereka
hanya
akan
memberikanmu
beban
janji.”
AKSARA DI KAKI BUKIT
Oleh ; R. Yulia
Haluan, 02062012
Tatapan Ayin terlempar jauh melampaui jendela yang membingkai
kepalanya. Jauh menyeberangi pekarangan rumah yang berpagar bambu
sekenanya, tanah berlumut yang basah, kerikil tanpa sudut yang
berserakan dan kayu-kayu tua keropos yang mengalasi undakan menurun
ke jalan setapak. Merambati semak perdu dan pohon-pohon jati, nun
hingga mendaki perbukitan yang menjulang samar, berselimut kabut
tipis yang berarak dalam kelompok kecil, seperti anak-anak ayam yang
tak ingin kehilangan induknya. Ayin menatap semuanya dengan setengah
putus asa.
JODOH
Tribun Jabar, 10062012
"Berdirilah."
"Untuk apa?"
"Aku tak memintamu untuk bertanya. Berdirilah." Pintanya
memaksa. Dia, perempuan berwajah rembulan. Bulat, sebulat-bulatnya
Meski enggan, aku menurut. Beranjak dari sofa lembut yang sejak tadi
kubelai-belai.
"Berputar." Aku mendelik.
"Berputar." Kuputar tubuhku dengan malas-malasan.
MENUNGGU OMBAK
Padang Ekspres, 07022011
Andini membuka mata dengan berat. Perih yang menggigit dari lebam
di lingkaran mata, menginginkan pejaman yang menentramkan.
Susah-payah ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan semburat
matahari yang menerobos dari kisi-kisi jendela. Hanya sedikit cahaya.
Selebihnya gulita.
Andini mencoba bangkit. Melawan rasa sakit. Kalau saja ada yang
menanyakan kepadanya, dimana sakit itu terasa, niscaya takkan pernah
ada jawaban. Bagi Andini, diam adalah harga yang harus dibayarnya
untuk kehidupan. Ia sudah terlanjur membiasakan diri untuk selalu
begitu. Diam. Meskipun setiap inci tubuhnya mampu menyuarakan ratusan
kisah yang akan menghamburkan seluruh persediaan airmata di dunia,
toh ia tetap diam. Tak ada yang mampu mengubahnya. Seorang pun tidak!
SUARA-SUARA DALAM KEPALA
Jurnal Medan, 141011
Aku mabuk! Benakku dipenuhi jejalan bohlam ribuan
watt. Aneh. Mataku entah sawan atau tidak, malah sibuk
mengerjap-ngerjap, mengintai dalam gelap. Awan hitam erat merangkul
langit, menutup celah tempat dimana rembulan selalu menyelinap untuk
membagi cahayanya yang menjemukan.
Aku bahkan tak mampu meraba, pada sisi mana air
menjilati tiang penyangga jermal saat ini. Biasanya, saat-saat pasang
naik, air yang berayun liar, cepat menenggelamkan kakiku yang
berjuntai. Dan sesekali deburan ombak memercikkan beberapa buliran
asinnya ke wajah dan dadaku yang telanjang. Tapi tidak malam ini!
Semua begitu ganjil. Terkecuali bayangan yang kini bermain di pelupuk
mata.
LONCENG
Padang Ekspres, 30102011
Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan besi persegi yang tergantung
di teras rumah kosong itu. Hanya sebuah lempengan kusam dengan
bulatan di tengah, tempat bergantungnya sebuah pasak besi sepanjang
30 sentimeter. Sekujur tubuhnya dipenuhi lubang pori-pori yang lahir
dari ketukan pasak besi yang berulang-ulang selama bertahun-tahun.
Ya, besi itu hanya sebuah lonceng tua, yang dulunya digunakan sebagai
penanda bermula dan berakhirnya pelajaran di sekolah dasar yang
berada tepat di sebelah rumah kosong itu. Baru sebulan belakangan
lonceng itu tergantung di sana. Fungsi awalnya sudah digantikan oleh
bel yang lebih modern, yang meraung-raung memekakkan telinga setiap
jamnya. Raungan itu sangat efektif memaksa anak-anak memasuki kelas
masing-masing. Sehingga tak ada lagi yang memperpanjang waktu
istirahat di kantin ataupun bergerombol di bawah pohon mangga yang
rimbun di belakang sekolah.
Lonceng besi itu kini hanyalah sebuah benda tak bernyawa dan tak
berharga. Tak ada yang merasa kehilangan ataupun merindukan
kehadirannya. Tak ada yang menanyakan kabarnya. Bahkan tak seorang
pun yang berminat mengadopsinya Tak ada. Lonceng besi tua itu hanya
bergantung diam di sana, di tiang penyangga beranda yang dipenuhi
sarang laba-laba, menekuri perjalanan hidupnya sepanjang tahun-tahun
ke belakang.
Langganan:
Postingan (Atom)