foto oleh Syecfich S
R. Yulia
Aku ingin menangis hari ini. Seperti yang pernah kulakukan kemarin,
kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan beratus hari yang telah
menjauh. Membiarkan mata, pipi dan tangan penuh dengan linangan air
mata. Bukan hanya kesedihan yang memancing kilauan bening itu
mengalir, namun juga keharuan, kebahagiaan. Menangis, meluapkan beban
yang mengimpit hati, melapangkan kesempitan dan membuatku dapat
merapikan ulang kata-kata yang akan terlontar kemudian. Begitulah,
semestinya.
Namun kali ini berbeda. Kesedihan itu sudah sedemikian mengental,
merongrong hati, mencubit kemarahan dan mendesak-desak di lorong
retina. Air mata laksana bah yang tak sabar meronta. Tapi tak ada
linangan, kilau berkaca-kaca, konon pula buliran bening yang disusul
derai seumpama hujan. Tak ada.
Aku masih menatap jauh, melampaui jendela yang terbentang lebar,
menyajikan langit senja yang memerah jingga. Langit yang kusuka.
Tiap-tiap senja, aku berdiri di depan jendela, menanti langit
memerah dan surya merambat turun ke garis cakrawala. Aku menatapnya
lekat dan menyimpan rekam jejaknya dalam ingatan. Lalu di Rabu pagi
yang senantiasa cerah, aku akan menuangkan ingatan itu dalam lembaran
kertas gambar. Mewarnainya hingga gradasi merah jingganya benar-benar
mengilap dan tak berbatas. Senyumku seketika merekah manakala
menatapnya kemudian. Aku memindahkan senja dan itu membuatku bahagia.
Selalu ada senja yang menggayuti mataku. Selalu ada senja di hari
Rabu.