Pages

Rabu, 27 November 2013

AIR MATA SENJA


 foto oleh Syecfich S

R. Yulia

Aku ingin menangis hari ini. Seperti yang pernah kulakukan kemarin, kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan beratus hari yang telah menjauh. Membiarkan mata, pipi dan tangan penuh dengan linangan air mata. Bukan hanya kesedihan yang memancing kilauan bening itu mengalir, namun juga keharuan, kebahagiaan. Menangis, meluapkan beban yang mengimpit hati, melapangkan kesempitan dan membuatku dapat merapikan ulang kata-kata yang akan terlontar kemudian. Begitulah, semestinya.
Namun kali ini berbeda. Kesedihan itu sudah sedemikian mengental, merongrong hati, mencubit kemarahan dan mendesak-desak di lorong retina. Air mata laksana bah yang tak sabar meronta. Tapi tak ada linangan, kilau berkaca-kaca, konon pula buliran bening yang disusul derai seumpama hujan. Tak ada.
Aku masih menatap jauh, melampaui jendela yang terbentang lebar, menyajikan langit senja yang memerah jingga. Langit yang kusuka.
Tiap-tiap senja, aku berdiri di depan jendela, menanti langit memerah dan surya merambat turun ke garis cakrawala. Aku menatapnya lekat dan menyimpan rekam jejaknya dalam ingatan. Lalu di Rabu pagi yang senantiasa cerah, aku akan menuangkan ingatan itu dalam lembaran kertas gambar. Mewarnainya hingga gradasi merah jingganya benar-benar mengilap dan tak berbatas. Senyumku seketika merekah manakala menatapnya kemudian. Aku memindahkan senja dan itu membuatku bahagia.
Selalu ada senja yang menggayuti mataku. Selalu ada senja di hari Rabu.

AIR MATA


gambar diunduh dari forum.kompas.com

R. Yulia
dimuat pada laman agamkab.go.id 

Sepasang pengantin - kekasih berwajah rembulan dan surya - berjalan lambat saling bergandengan di hamparan karpet merah yang membentang menyelimuti rumput, dengan tepi-tepi yang dijejali rangkaian bunga putih-merah, berkotak-kotak senyum dan berliter-liter doa. Di atas kepala pengantin, nun... langit memberi restu dengan mentari yang sumringah, awan bergaun putih dan bentangan lazuardi tanpa batas.
Aku menatap lurus ke wajah hangat yang tengah tersenyum di depanku. Sementara senyumku meringkuk di dasar hati. Kuamati keseluruhan wajahnya. Menarik. Sepasang mata seteduh telaga yang dinaungi alis berkarakter, hidung mancung dan bibir yang sempurna mewakilkan kehangatan pribadinya.
"Kamu harus menikah, Rahma. Usiamu tak muda lagi. Dua bulan ke depan tiga puluh tahun. Akan semakin sulit untukmu menemukan jodoh yang sesuai dengan keinginan. Pria sebayamu tentu lebih memilih gadis-gadis belia. Sementara yang lebih tua, tentu sudah menikah. Tempat yang bisa dipilih hanya menjadi istri kedua atau simpanan saja. Masya Allah, jangan sampai itu terjadi padamu, Rahma."
Kata-kata ibu mengiang, mengingatkan senantiasa. Seperti alarm yang memekik-mekik di jam tertentu.
Menikah. Kata itu seperti hantu yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Lebih khusus lagi, saat bertemu dengan para lelaki yang berada di sekitarku dan yang berusaha memikat serta mengikatku.

Kamis, 21 November 2013

BANGAU, BANGAU


foto oleh E.Andantino

Aku suka foto seperti ini. Kuminta dari seorang teman. Menatapnya seperti mengalirkan kesejukan yang kubutuhkan. Foto yang pas sebenarnya untuk disandingkan dengan puisi. Sayangnya, saat ini kepalaku terlampau penuh dengan kata-kata yang tak berguna. Jadi, puisinya menyusul sajalah..;) Aku namakan saja foto ini; BAYANG SERIBU BANGAU (meskipun bangaunya tak sampai seribu ;). Kulengkapi juga dengan salah satu buku koleksiku; SERIBU BURUNG BANGAU miliknya Kawabata. Mungkin lain kali bisa juga kusandingkan dengan seribu bangau kertas, agar segala harapan menjadi kenyataan..hehe..

Rabu, 20 November 2013

POHON, KAU




Kau belajar dari pohon-pohon
Pohon-pohon belajar dari langit
yang melahirkan hujan
Langit belajar dari udara
dari angin
dari surya
dari rembulan
dari bintang
dari puisi-puisi yang memplagiasi kebiruan
Lalu langit belajar dari tanah
basah
lekat dan gundah
Tanah belajar dari air
muntahan hujan yang mengalir
merembes
menetes
Air belajar dari batu
bergeming, beku
luluh
setelah itu?
Aku;
belajar dari mu

Selasa, 12 November 2013

KITA ADALAH KITA KEMUDIAN




R. Yulia

Kita adalah percakapan sepasang asing
yang melompat-lompat pada bibir jurang dan tebing
kata-kata meletus menyerupai balon
di tangan balita yang kemudian merengek kehilangan
lalu pada suatu waktu percakapan kita menggigil oleh sebab angin yang tak sepaham
hujan yang turun tanpa kabar dan badai yang pernah kau cemaskan
runtuh sudah kata jadi abu, abu berloncatan seperti mata pisau, menikam
mengubur gaduh, berkeriapan
kita kemudian menjelma menjadi demam dan salesma yang mengigau sendirian

KUIJINKAN

 
R. Yulia

Kuijinkan kau bersuara; lantang dan perkasa, menggema hingga ke bilik-bilik tanpa nama
kamar-kamar yang beku dan angkuh, dinding-dinding yang tak sesungguhnya jemu, ladang-ladang
tanpa empu, ilalang patah tepi, sungai sengkarut, awan kelabu muda dan apapun yang tegak memandang
lalu katakan; "Sesungguhnya aku , buih-buih sarapan pagi tadi, yang kau muntahkan di kelok 42."



PESAN, HUJAN



R. Yulia

Hujan mengantarkan sebaris pesan berselimut kuyup
Pintuku enggan terbuka
seribu ketukan hanya mengalir sia-sia
"Pergilah!" suaraku tertelan gemuruh
jemarimu yang mengelupas gaduh

KUBERI KAU NAMA



R. Yulia

Kuberi kau nama, agar dalam keramaian ku bisa menyapa
Tentu, seseorang dan lainnya bisa saja memiliki nama yang serupa
Tapi namamu adalah nama yang satu-satunya beriring dengan napasku
Kupayungi dengan harapan yang membesar waktu ke waktu
Maka saat kupanggil namamu, aku yakin takkan pernah keliru
Karena yang menyerumu bukan hanya suaraku
Tapi hati yang senantiasa didera rindu