Oleh : R. Yulia
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan
langkitang."
Kalimat itu seperti selendang tipis yang berkibar-kibar dalam
ingatan Adib, bergaung di sepanjang ceruk pendengaran, menghamparkan
selapis demi selapis kenangan, hingga kian sesak dada pemuda itu oleh
air mata. Sesungguhnya, bukankah diharamkan air mata atas anak
bujang? Tapi apa daya Adib yang tak kuasa menghalau sebulir yang
lepas dari sudut retinanya, meski ujung baju cekatan mengisatnya. Itu
air mata yang pertama lolos dari cengkeram keteguhan hati.
Pandangan Adib yang berselaput kesedihan itu menghujam ke permukaan
danau yang berkilau keperakan pada riak-riak tipisnya. Dari jangkau
penglihatannya Adib mengamati ikan-ikan yang hilir-mudik berenang,
mengayuh harapan. Ikan-ikan itu -entahlah apa mereka masih keturunan
Bujang Sembilan yang terkena kutukan karena fitnah atas sepasang
kekasih – berenang dalam kelompok-kelompok besar. Mereka membagi
peruntungan. Duhai, kepada siapakah harus kubagi peruntunganku kelak?
Adib mengeluh tertahan. Sungguh kedukaan ini tak tertanggungkan
sementara hidupnya harus terus berjalan.
"Adib, jangan berkubang duka terlampau lama. Tanak sudah luka,
tak perlu diratap berkepanjangan. Lanjutkan hidupmu. Sekolah yang
baru sudah menunggu. Raih cita-cita yang kau genggam, maka semua
senyum dan restu akan tercurah untukmu." Itu yang dikatakan Mak
Etek dua hari yang lalu ketika mendapati Adib melamun di ambang
pintu.
"Sekolah, Mak Etek?"
"Ya. Mak Etek sudah mendaftarkanmu."
"Tapi tanah kubur masih basah. Amak dan Rindu ...."
"Mereka sudah bahagia di sana, Adib. Jangan menunggu tanah
kubur kering. Terlampau lama kau meninggalkan sekolah maka akan
semakin jauh kau dari harapan Amakmu. Kau anak bujang, harus bisa
jadi kebanggaan. Kalaupun tak merantau, bangunlah kampung hingga
tersiar ke penjuru jauh." Mak Etek menepuk pundaknya sebelum
berlalu.
Adib memungut sebutir kerikil dan melemparkannya sekuat tenaga ke
tengah danau. Air memercik berpendar. Ia anak bujang yang malang.
Sejak dari tubuh sepanjang galah layang-layang, tak sekalipun ia
mendapati sosok di sampingnya yang dapat dipanggil ayah. Ayahnya
hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat di negeri seberang. Dan kini,
saat hatinya tengah hangat oleh sentuhan bunga asmara, Amak dan Rindu
berpulang karena longsor yang menerjang perbukitan.
Masih berkerak di ingatannya bagaimana wujud Amak dan Rindu yang
berpelukan ditemukan tim SAR terkubur reruntuhan bebatuan besar,
lumpur dan pepohonan. Bagaimana ia meraung berkepanjangan dan mencoba
menerjang orang-orang kekar yang menggotong tubuh dua sosok pengisi
hari-harinya. Amak yang penyabar dan Rindu yang ributnya seperti
genderang perang, gaduh namun menyemangati. Bagaimana ia terduduk
lemas di lumpur pekat, ketika tungkai kakinya tak lagi mampu menopang
tubuh karena tersedot kesedihan.
Air mata Adib memang berhenti kemudian. Saat kedua jenazah itu
disalatkan dan dikebumikan, ia hanya terdiam. Menatap seolah-olah,
meski tak secuil gambaranpun ia cerna. Adib seperti sepotong kayu
yang dihanyutkan gelombang, seperti hantu yang gagap kesiangan.