Pages

Selasa, 17 Desember 2013

PENSI LANGKITANG


Oleh : R. Yulia

Dimuat di laman Agamkab.go.id
 
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan langkitang."
Kalimat itu seperti selendang tipis yang berkibar-kibar dalam ingatan Adib, bergaung di sepanjang ceruk pendengaran, menghamparkan selapis demi selapis kenangan, hingga kian sesak dada pemuda itu oleh air mata. Sesungguhnya, bukankah diharamkan air mata atas anak bujang? Tapi apa daya Adib yang tak kuasa menghalau sebulir yang lepas dari sudut retinanya, meski ujung baju cekatan mengisatnya. Itu air mata yang pertama lolos dari cengkeram keteguhan hati.
Pandangan Adib yang berselaput kesedihan itu menghujam ke permukaan danau yang berkilau keperakan pada riak-riak tipisnya. Dari jangkau penglihatannya Adib mengamati ikan-ikan yang hilir-mudik berenang, mengayuh harapan. Ikan-ikan itu -entahlah apa mereka masih keturunan Bujang Sembilan yang terkena kutukan karena fitnah atas sepasang kekasih – berenang dalam kelompok-kelompok besar. Mereka membagi peruntungan. Duhai, kepada siapakah harus kubagi peruntunganku kelak? Adib mengeluh tertahan. Sungguh kedukaan ini tak tertanggungkan sementara hidupnya harus terus berjalan.
"Adib, jangan berkubang duka terlampau lama. Tanak sudah luka, tak perlu diratap berkepanjangan. Lanjutkan hidupmu. Sekolah yang baru sudah menunggu. Raih cita-cita yang kau genggam, maka semua senyum dan restu akan tercurah untukmu." Itu yang dikatakan Mak Etek dua hari yang lalu ketika mendapati Adib melamun di ambang pintu.
"Sekolah, Mak Etek?"
"Ya. Mak Etek sudah mendaftarkanmu."
"Tapi tanah kubur masih basah. Amak dan Rindu ...."
"Mereka sudah bahagia di sana, Adib. Jangan menunggu tanah kubur kering. Terlampau lama kau meninggalkan sekolah maka akan semakin jauh kau dari harapan Amakmu. Kau anak bujang, harus bisa jadi kebanggaan. Kalaupun tak merantau, bangunlah kampung hingga tersiar ke penjuru jauh." Mak Etek menepuk pundaknya sebelum berlalu.
Adib memungut sebutir kerikil dan melemparkannya sekuat tenaga ke tengah danau. Air memercik berpendar. Ia anak bujang yang malang. Sejak dari tubuh sepanjang galah layang-layang, tak sekalipun ia mendapati sosok di sampingnya yang dapat dipanggil ayah. Ayahnya hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat di negeri seberang. Dan kini, saat hatinya tengah hangat oleh sentuhan bunga asmara, Amak dan Rindu berpulang karena longsor yang menerjang perbukitan.
Masih berkerak di ingatannya bagaimana wujud Amak dan Rindu yang berpelukan ditemukan tim SAR terkubur reruntuhan bebatuan besar, lumpur dan pepohonan. Bagaimana ia meraung berkepanjangan dan mencoba menerjang orang-orang kekar yang menggotong tubuh dua sosok pengisi hari-harinya. Amak yang penyabar dan Rindu yang ributnya seperti genderang perang, gaduh namun menyemangati. Bagaimana ia terduduk lemas di lumpur pekat, ketika tungkai kakinya tak lagi mampu menopang tubuh karena tersedot kesedihan.
Air mata Adib memang berhenti kemudian. Saat kedua jenazah itu disalatkan dan dikebumikan, ia hanya terdiam. Menatap seolah-olah, meski tak secuil gambaranpun ia cerna. Adib seperti sepotong kayu yang dihanyutkan gelombang, seperti hantu yang gagap kesiangan.

Selasa, 03 Desember 2013

SENYUM IBU


Dimuat Majalah Gadis no.29, edisi 1-10 november 2013

Oleh: R. Yulia

PELANGI
“Arin ingin membahagiakan Ibu.” Bocah perempuan sepuluh tahun itu berkata dengan sungguh-sungguh. Ia mendongak dengan sepasang mata berbinar cerah yang tertuju pada perempuan paruh baya berwajah ayu yang memangkunya.
“Terima kasih, Sayang. Kau cantik seperti bidadari yang meniti pelangi.” Perempuan itu menggamit dagunya dengan penuh kasih sayang.
“Benarkah, Bu? Berarti ada banyak bidadari di pelangi itu?” Bocah perempuan itu menunjuk pelangi yang menggantung samar di langit. Surya yang baru muncul dari balik awan menyilaukannya. Hujan telah lama berlalu, menggiring awan kelabu.
“Ya.”
“Berarti para bidadari itu tidak sekolah?”
“Tidak. Sama denganmu, kan?”
“Tapi aku tak sekolah karena menjaga Ibu yang sakit. Sementara bidadari itu tak sekolah karena hanya ingin bermain-main di pelangi. Bukankah itu tidak baik?” Perempuan itu tertawa perlahan. Suaranya merdu menggema. Ia menjentik ujung hidung putrinya.
“Kau pintar sekali.”
“Iya, dong. Anak Ibu..” Tawa keduanya berderai.