Pages

Kamis, 23 Januari 2014

SAHARA



Apa yang ditakutkan dari kematian?
Karena sesungguhnya ia janji yang tak pernah ingkar
Apa yang dicemaskan dari kesepian?
Karena sesungguhnya ia hanya tamu yang singgah sebentar
Apa yang dinantikan dari kesabaran?
Karena sesungguhnya ia tepian yang rentan terbakar

DONGENG MUSIM



Usai sudah musim kedua,
purnama lupa masa
laut lepas, badai samar-samar
di pantai tersisa memar
istana pasir hilang rupa
landai, ceruk menganga
kepiting-kepiting menyusur liang
mutiara terdampar, hilang cangkang
nyiur melambai, langit biru membentang
segala-gala hanya tentang apa
Apa yang luput apa yang sangkut
apa yang surut apa yang sengkarut
menyimpan apa di lelaku sapa
merunduk bagi apa? Untuk apa?
Hujan mungkin akan tiba, mengirim dingin, menghujam gigil
hujan mungkin akan tiba dengan air bah dan pasukan pengail
lalu longsor menimbun sepotong jalan yang terbelah
kemudian apa?
Musim kering datang dengan kereta berkuda
yang berpasang-pasang kakinya memintal debu jadi selimut,
jadi kelambu, memalsukan kabut
tanah rekah, petani resah
kipas-kipas di tangan, di plafon, di dinding, semesta lelah
Lalu kenapa?
Bukankah ini tak yang pertama?
Kemudian apa?
Takkan apa-apa; takkan pernah
Ini bukan kisah sedih, hanya dongeng semata;
Tidurlah!

Rabu, 08 Januari 2014

YANG DATANG BERSAMA HUJAN



Oleh: R. Yulia

Dimuat Hr. Padang Ekspres, 15 Desember 2013

Perempuan itu muncul bersamaan dengan memudarnya matahari pada suatu pagi yang mendung di bulan Desember. Gerimis jatuh tak lama kemudian, seperti tetes embun yang tiba-tiba meraksasa lalu berubah menjadi hujan deras. Hujan yang teramat deras di pagi hari, hujan yang membunuh. Itu kusadari berwaktu-waktu sesudahnya.
Perempuan paruh baya berwajah teduh itu muncul seperti benda yang diminta oleh tongkat ajaib. Kau pasti tahu maksudku. Ya, dia datang begitu tiba-tiba. Bahkan aku tak tahu, ia berjalan dari timur, barat atau utara. Aku lupa tanggalnya, meski ingat itu tak terlalu jauh meninggalkan tanggal muda. Aku baru saja menerima sejumlah uang di dalam amplop dari tangan suamiku.
Perempuan itu berjalan terseok-seok, seperti kelelahan menanggung sekarung beban yang dipanggul di bahu kanannya -kadang ia memindahkannya ke bahu kiri, namun tak meletakkannya sama sekali.
Ia tiba di depan pintu pagar dan mematung seperti hantu, menatapku. Aku yang sibuk menyiapkan keperluan suami yang akan berangkat bekerja dan anak yang akan pergi sekolah, tak begitu memedulikannya.
Aku mendekati perempuan itu sesaat setelah suami dan anakku berangkat meninggalkan rumah, tersenyum ragu dan melirik sekilas pada karung di bahunya. Ia belum meletakkannya sama sekali.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah.
"Apa yang ingin kau ceritakan padaku?" ia balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku. Keningku mengerut, tak paham sama sekali.
"Aku?" Telunjukku terarah ke dada, tak begitu yakin. Ia mengangguk.
"Ya. Ceritakan kesedihanmu." Aku menatapnya setengah melongo. Kesedihan? Apa yang dimaksudkannya?
"Aku bahagia dan tak memiliki sedikitpun rasa sedih. Hidupku sempurna, dengan suami yang baik dan seorang putri yang pintar dan lucu." kataku akhirnya. Perempuan itu tersenyum. Ia memindahkan karungnya ke bahu kanan.
"Kau yakin?" Aku mengangguk.
"Baiklah, meskipun saat ini kupikir saat yang tepat untukmu membagi kesedihan, mungkin tidak menurutmu. Permisi," ujarnya sambil mengangguk sedikit, berbalik dan mengayun langkah menjauh. Aku tertegun menatap punggungnya yang ditunggangi karung.
"Tunggu dulu," cegahku cepat-cepat sebelum langkahnya semakin jauh meninggalkan halaman rumah. Aku menghadangnya. "Ibu akan ke mana?"
"Aku akan mencari kesedihan yang lain sebelum kantung ini menjadi terlampau berat untuk kupikul." Kerut di dahiku semakin dalam dan berlipat-lipat.
"Ibu mengumpulkan kesedihan orang-orang?" Ia mengangguk.


HUJAN


Hari ini hujan tak lagi berwajah sama
seperti kemarin
kemarin dari kemarin
dan kemarin-kemarin
di tangannya tergenggam salju dari negeri jauh
salju abadi yang direkatkan perlahan-lahan pada tapal dan dinding berduri
Hari ini hujan masih berkubang di tempat yang sama
namun urung tersentuh
karena jemari bekunya mengurung puisi
hujan masih kuyup di tempatku berdiri
hujan makin kuyup di tempatku
hujan berkali kuyup
hujan masih
hujan