Pages

Minggu, 13 Juni 2010

KESAKSIAN




Cerpen R.Yulia
dimuat Harian Global Medan, 27 Mei 2010

Pagi menyeruak, memanggul cahaya di punggungnya. Tajam dan membakar. Menggerogoti kegelapan yang coba mengais-ngais di sela dedaunan, rimbun belukar bahkan di bawah onggokan sampah yang menggunung, sisa malam. Tapi cahaya menyilaukan itu adalah surga dari seluruh denyut kehidupan. Yang membuat manusia, tumbuhan dan satwa merubung dengan seluruh nafsu. Tak hirau, bahkan meski ruap alkohol deras menerjang indera dari mulut-mulut botol yang berserakan. Sisa pesta para pencinta malam. Juga masih ditambah basinya muntah yang menutupi jejak kemasan kondom di sepanjang gang gelap, yang bermuara pada jalan utama kota.
Tak terkecuali seorang perempuan tua, yang beringsut perlahan dari tidur setengah pulasnya, di pojok dalam sebuah gerobak dorong. Ia membuka mata, mengerjap dan mulai berpaling ke seluruh penjuru mata angin. Menjejak keluar, mencari-cari.
“Manis…Manis…” Ia mengimbau dalam bingung dan cemas. Terpeta jelas di gurat-gurat kulit wajahnya yang menggelambir.
“Manis…Manis…,” panggilnya sekali lagi. Kali ini ia bangkit dengan sedikit gemetar. Efek nyata dari usia senja dan lapar.
Perempuan itu mendesah, gelisah. Sepasang matanya menunggu mendekatnya seseorang. Seseorang yang lamban dan melayang-layang. Tak sabaran ia menyongsong.
“Kau nampak si Manis?” tanyanya memburu. Lelaki setengah mabuk yang berjalan sempoyongan dan terlihat begitu sukar untuk menyelaraskan kedua kakinya itu, menyipitkan mata. Mulutnya ternganga. Aroma arak merebak tajam. Sepertinya ia terusik dengan kehadiran perempuan tua di depannya. Bukan bidadari yang menari-nari di lapis ari khayalnya barusan.
“Hei, Opung! Minggir!!” bentaknya tak senang. Matanya yang memerah seperti ikan kakap yang dieskan melampaui hari, menegang dalam pelototan yang dipaksakan.
“Jawab dulu, kau lihat si Manis tak?” Perempuan tua itu masih berkeras. Bengal.
“Phuaahh, minggir!!” Lelaki itu mulai tak sabaran. Ia mendorong perempuan tua di depannya hingga mundur beberapa langkah dan akhirnya terjengkang. Mencium genang selokan.
“Kurang ajar kau!” serunya serak sambil mengacungkan tangan. Geram. Wajahnya bersimbah air bau dan hitam. Lelaki mabuk terseok-seok pergi. Tanpa jawaban. Tak hirau sama sekali. Samar-samar, cegukannya masih terdengar. Perempuan tua itu meraba pinggulnya yang terasa nyeri. Bibirnya masih menyisakan umpatan, kata-kata berlumur tinja. Salah satu ilmu yang ia pelajari untuk bertahan di jalanan. Sendirian.
Setelah kehabisan kata, perempuan itu bangkit. Menyeka wajahnya dengan ujung baju dan melangkah perlahan menuju gerobak dorong, yang menyandar di bawah pohon belimbing tua. Diraihnya pegangan kayu salah satu sisi dan mulai mendorong ke arah mulut gang. Sesekali berhenti, mengatur nafasnya yang terengah.
Matahari mulai merambat naik. Opung telah memarkir gerobaknya di bawah pohon mahoni, satu-satunya yang masih tersisa di ruas jalan besar itu. Ia membuka penutup depan gerobak, menyangganya dengan dua bilah kayu pipih, lalu merapikan dagangannya. Sebenarnya, dagangan Opung tak terlalu banyak. Hanya rokok, minuman kemasan gelas dan beberapa makanan ringan murahan. Juga beberapa eksemplar buku teka-teki silang. Setelah selesai, ia tak langsung masuk ke gerobak seperti biasa. Ia meneruskan pencariannya. Menelisik setiap sudut, kolong, pohon hingga gorong-gorong. Langkahnya perlahan menjauhi gerobak.
Ahmadi mematung di depan cermin. Tatapannya kosong, menyeberangi gang-gang kecil dalam fikirannya, yang memantul begitu kasat mata. Ia menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang terbalut seragam yang masih kelihatan baru dan kaku. Seragam Satpol PP. Kemarin petang seragam itu disetrikanya. Lihatlah, garis licin tajam yang menghiasi tepi lengan bajunya bahkan dapat menyayat lalat yang singgah di sana. Tapi itu semua tak membuat Ahmadi berseri. Tidak selama sebulan terakhir. Ini sangat jauh di luar kelaziman berbusananya yang tak pernah lepas dari jins dan kaos oblong. Bahkan terkadang kedua jenis pakaian itu masih menyisakan jejak ikal perasan seusai dicuci. Tapi ia nyaman mengenakannya. Tidak dengan pakaian yang dikenakannya kini.
Ahmadi amnesia. Berulang-ulang ia coba mengenali bayangannya. Tapi yang didapat hanya seorang asing dengan wajah bak pinang dibelah dua dengan dirinya. Persis, tapi bukan dia. Mestinya itu memang bukan dirinya.
Sebenarnya semua berawal dari Mak Zakiah, ibu Ahmadi. Berulang-ulang ia menyuarakan kegelisahannya atas masa depan Ahmadi yang hanya seorang tukang ojek. Padahal, susah payah ia berjuang selama lima tahun mengumpulkan uang untuk membiayai kuliah anak tunggalnya itu. Menawarkan jasa mencuci baju, dari pintu ke pintu. Bersaing dengan kecanggihan mesin cuci keluaran terkini. Juga jasa laundry yang dianggap sebagai binatu berkelas. Peluhnya yang berbaur bersama berember-ember busa dan daki, sebenarnya hanya berbalas imbalan tak seberapa. Namun semangat untuk menjadikan anaknya sarjana, telah menjadikan nilai beberapa lembar uang yang diterimanya melambung. Melecut semangatnya untuk terus bertahan. Sehingga terlalu miris rasanya kalau kesarjanaan Ahmadi dan pengorbanannya bertahun-tahun itu hanya bermuara pada jok motor yang diduduki Ahmadi sepanjang hari. Ia tak rela.
Maka hari-hari kemudian, ia membujuk Ahmadi untuk ikut tes penerimaan pegawai honor di Satpol Pamong Praja. Mulanya, Ahmadi enggan. Membayangkan tugas-tugasnya kelak sebagai petugas Satpol PP dan berhadapan dengan caci-maki masyarakat. Tapi Mak Zakiah terus menerornya, pagi, siang dan malam. Menumpatkan saluran telinga dan mengisi ruang ingatannya dengan beragam kalimat yang intinya ‘itu ke itu’ juga. Ahmadi luluh. Menyerah. Serupa besi yang meleleh seusai dipanggang tanpa jeda.
Dan beginilah akhirnya. Setelah dinyatakan lulus, ia mulai berseragam dan punya jam kerja. Ia tak gugup. Tak bangga. Tak gembira. Biasa saja. Cenderung sedikit pikun.
Siang, di bak terbuka sebuah truk yang disesaki para lelaki berseragam Satpol PP, Ahmadi terselip. Terkepung dari beberapa sisi. Punggungnya merapat di dinding bak yang berguncang-guncang. Tak hanya mengguncang tubuhnya, juga fikirannya. Hatinya. Terus begitu hingga truk berhenti dan tubuh-tubuh yang tadi menghimpitnya ke sisi dinding berloncatan keluar, menghambur di sepanjang sisi jalan. Ahmadi enggan beranjak. Ia mematung dengan mata memicing dan bibir rekat mengatup. Lelaki itu mencoba menekan perasaannya. Lalu melangkah dalam hitungan yang diperlambat.
Tadinya suasana hanya sekedar riuh rendah suara-suara. Nada berganti-ganti, rendah-tinggi, timpal-menimpali. Sahut-menyahuti. Tak berkesudahan. Lantas, sejam berikutnya berubah semakin gaduh. Diikuti dengan umpatan, teriakan dan bentakan segala rupa. Ahmadi bingung, terpana. Tak tahu harus berdiri dimana. Tak paham dengan siatuasi yang paling membingungkan. Para pedagang beradu tarik dagangan dengan petugas. Lalu cercaan yang menceracau tanpa koma. Petugas yang memasang wajah dingin. Gerobak-gerobak yang ditarik. Dan beberapa orang menggenggam batu. Ahmadi seperti menonton televisi. Terkesima.
Lalu seorang perempuan tua yang beradu kata dengan salah seorang temannya di sisi berbeda, menarik langkahnya. Ia tiba tepat ketika temannya memalingkan wajah.
“Ah, kau. Urus dulu ini. Aku akan membantu di sana,” sambutnya dengan telunjuk mengacung pada arah darimana langkah Ahmadi berawal. Ahmadi mengangguk. Diamatinya perempuan tua yang membesarkan bola mata dengan paksa itu. Kerut-kerut di sekeliling matanya menegang.
“Kau lagi! Akan kalian apakan daganganku? Aku sudah berjualan di sini sejak ayahmu belum lahir!! Sebelum trotoar ini dibangun. Tak pernah ada yang mengusir. Sekarang, kalian bahkan bukan sekedar ingin mengusir tapi membawa gerobak tua ini?! Ayoo!!” Meski tua dan bertubuh rapuh, tapi Ahmadi harus mengakui, perempuan yang berkacak pinggang di depannya, sungguh bernyali. Takkah ia menyadari, sekali dorong saja tubuhnya telah terpelanting?
Melihat lelaki di depannya terdiam, perempuan itu semakin memperpanjang serapahnya. Entah berapa belas kali ia mengatai Ahmadi ‘tak tahu diri’. Ahmadi diam. Tiba-tiba instingnya membisikkan sesuatu. Dan itu menggerakkan tangannya meraih pegangan gerobak. Ahmadi mendorong gerobak tergesa-gesa. Meninggalkan Opung yang terpana dan begitu sadar berteriak-teriak mengejar dagangannya. Tapi ia bingung saat menyadari sesuatu yang ganjil. Ahmadi tak membawa gerobaknya ke kerumunan orang yang masih berbalas teriak di sisi truk. Ia berlari menuju gang, tempat dimana Opung menghabiskan malam dalam lelap yang kerap terusik tawa-tawa sumbang. Ragu perempuan itu membuntuti.
Ahmadi terus mendorong. Jauh hingga telinganya tak lagi dapat mendengar suara-suara yang menyakitkan. Ia berhenti pada jarak yang dianggap cukup aman. Saat berbalik, tatapannya membentur sepasang mata. Pemiliknya tak lagi bersuara. Tak lagi galak. Hanya menatap. Lantas, sesuatu melintas, keluar dari dalam gerobak.. Melompati kaki Ahmadi dan terus berlari, kembali ke jalan utama. Ahmadi tak terlalu perduli. Namun, perempuan di depannya memekik-mekik dengan telunjuk menuding ke hewan kecil berekor panjang itu.
“Manis…Manis!!” Ahmadi mengerutkan dahi. Ia tak merasa memiliki kaitan, pun kewajiban, untuk menjawab pekik dan tuding itu. Sebenarnya ia hanya ingin melenggang pergi. Sayangnya, sebuah cekalan di lengan menghentikan keinginannya.
“Manis..Manis!!” Perempuan tua di depannya kembali memekik-mekik. Menuding dan mengguncang-guncang lengannya. Tatapannya sarat permohonan. Ahmadi tak punya pilihan. Ia berlari kecil, mengejar binatang yang berlari lincah di sepanjang gang. Tak mudah. Sebenarnya, bukankah tak pernah ada yang menjadi teramat mudah selain menjauhi kebenaran?
Ahmadi mengeluh, kucing itu melesat begitu cepat. Menikung di mulut gang dan berbaur kembali di tengah keributan. Ahmadi memutuskan, ia harus mendapatkan kucing itu dengan segera. Sebelum beberapa teman menangkap bayangannya dan membuat laporan yang akan menempatkannya sebagai orang yang tepat untuk dipecat. Wajah ibunya membayang lekat.
Ahmadi tersenyum samar. Kucing itu terjebak di tembok tebal berlumut. Ekornya menegang. Sepasang matanya awas dan nyalang. Sementara sekujur tubuhnya dibekap bulu-bulu yang meremang. Ia tak bisa kemana-mana. Instingnya membaui bahaya. Ahmadi mendekat perlahan-lahan. Menurutnya, kucing itu tak punya pilihan. Tak punya pilihan..
Ahmadi mengendap-endap. Mengatur langkah. Lalu dengan satu terkaman laksana macan, ia menyergap kucing itu. Hap! Sesuatu yang lembut menyentuh kulit lengan, dada dan wajahnya. Ingatannya melambung pada masa lampau. Suatu masa dimana ia sering menghabiskan waktu, bergumul dengan si Belang, kucingnya yang mati tertabrak ambulans. Kerinduan akan masa itu membuat pelukannya mengetat. Dan itu memberikan rasa nyaman. Nyaman sekali. Hingga suara-suara yang bergemuruh di sekitarnya tak lagi menyita perhatian. Mendadak ia tuli dan buta.
Kesadaran sekejap menjemputnya. Tatkala rasa sakit yang sangat membentur kepalanya. Ia tak tahu itu apa. Benturan itu datang berkali-kali. Bertubi-tubi. Hingga nyeri tak lagi menjadi catatan penting. Lenguh dan rintihnya hanya dalam empat hitungan jari. Setelahnya tak ada. Tak ada. Kucing kecil dalam dekapannya meringkuk dalam-dalam. Sesekali tubuhnya tersentak-sentak. Seiring suara-suara yang sahut-menyahut dalam teriak. Dari bawah ketiak Ahmadi, ia menyaksikan belasan kaki yang berdiri mengitari. Sesekali kaki-kaki itu terangkat dan mendarat di tubuh tak berdaya. Dari bawah ketiak Ahmadi, ia juga melihat perempuan tua di mulut gang berdiri mematung. Wajahnya pias. Kerutnya berlipat-lipat. Dan di bawah ketiak Ahmadi, bulu kakinya telah basah memerah. Memerah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar