Pages

Sabtu, 07 April 2012

GOSIP


dimuat di hr. SINDO, 11 Juli 2010
Gosip itu laksana meteor. Kecepatan dan daya jelajahnya tak pernah bisa tertandingi. Juga tak dapat dikejar, apalagi dibungkam. Terornya bahkan menjelajah hingga ke sudut-sudut mimpi yang berkarat. Dan bila tak mampu menerimanya, kau akan tumbang ke ngarai terdalam. Sebuah liang telah membuka hatinya untuk melumat remah-remahmu. Tanpa sempat lagi mengirim sinyal bantuan. Apalagi mengucapkan sepatah wasiat. Dan riwayat terkubur di bawah rerumputan. Menyedihkan!

Itulah yang menerjangku. Gosip berkunjung dari berbagai penjuru. Tanpa salam. Memuntahkan mesiu dari beberapa dimensi. Menyempitkan ruang gerak. Bahkan untuk bernafas pun aku kesulitan. Nafasku perlahan-lahan terbelit oleh hunjam berita tanpa pola. Memilin urat nadi.
Aku ragu tentang catatan awal gosip mulai beredar. Entah sejak kepergianku menjadi TKW dua tahun lalu, atau sejak kepulanganku ke desa dua bulan lalu. Bahkan bisa jadi sejak terdamparnya aku ke hunian pengap, dingin dan asing ini, dua minggu yang lalu. Entahlah. Almanak saja pun aku sudah alpa, entah ada berapa angka yang tertera. Gosip telah membuatku amnesia!
Anehnya, gosip yang terus mendengung, berbisik-bisik dan menelisik lorong pendengaran, tak pernah membuatku sungguh-sungguh lupa tentang cerita yang mendamparkan aku di sini. Sebuah tempat asing, bersama orang-orang ‘asing’ dan menjadi warga yang diasingkan.
Dimulai dari lembar yang kubuka bersama Mas Danar, saat mendaftar sebagai TKW –pilihan yang katanya bagai ‘sengsara membawa nikmat’- di sebuah rumah besar bertembok tebal. Letaknya di ujung gang buntu yang sempit. Selain terkagum dengan anatomi rumah yang demikian sempurna, sempat terfikir olehku, sungguh aneh orang kaya satu ini. Membangun rumah indah, namun di lokasi yang tak sepadan. Menancapkan serpih di tatap kuyu para penghuni deretan gubuk yang bersemayam di sepanjang gang. Juga meletakkan seonggok kerikil tajam di tenggorokan, ketika para pemilik tubuh di setiap gubuk melahap nasi aking satu kepalan.
Proses pendaftaran berlangsung singkat. Aku juga tak perlu membubuhkan banyak tanda tangan. Kata mereka semua sudah diurus. Aku tinggal berangkat dan dalam tempo setara menetasnya telur ayam, aku telah bekerja di tempat majikan. Seorang lelaki tambun bermata sipit dengan kulit kuningnya yang memucat kemerahan.
Masih tergambar jelas saat turun dari tongkang. Terpa percik cahaya samar dari senter yang menerangi langkah, menebas kegelapan di sekujur tangkahan. Dan itu sedikit melelehkan ketakutan yang memelukku sepanjang perjalanan membelah Selat Malaka. Aku membaui semerbak udara luar negeri. Juga aroma ringgit yang membuntuti. Semanis anggur para penghuni surga. Meski kami harus mengendap-endap dalam gelap di rimbunan jalan setapak. Bukankah katanya, sengsara membawa nikmat?
Sayangnya, anggur para penghuni surga yang disuguhkan padaku bukan disajikan dengan cawan berlapis cahaya. Anggur itu hanya ampas busuk yang diendapkan pada belanga tua. Penuh belatung bahkan sedikit campuran racun sianida. Dan todongan senjata memaksaku untuk mencecapnya hari per hari. Musnah. Semua bayang yang pernah kugambar dalam mimpi di sepertiga malam, lenyap tanpa jejak. Menggerogoti perlahan sintal tubuh dan elok wajahku. Tuhan, bahkan cermin pun retak merekam wajahku!
Sengsaraku bahkan tak pernah memberi nikmat, selain kerja tanpa hitungan waktu. Pagi, siang, malam, kembali lagi ke pagi, siang, malam. Terus begitu hingga aku tak pernah lagi menyadari penuh, pernahkah mentari terbit dan tenggelam seperti di kampungku? Siksa merajam dalam bilangan tanpa akhir. Hanya meninggalkan lepuh di sana-sini. Birat di kanan-kiri. Juga timbunan serapah yang kutelan paksa. Ringgit? Satu detik pun tak pernah lekat dalam genggaman. Aku harus puas menatapnya dari sudut mata.
Tak cukup. Pertemuan dengan seorang kenalan suatu ketika, melahirkan badai dari tanah kelahiran. Wajah tirus dan tubuh kurus membuahkan tuduhan melekatnya penyakit terlarang di tubuhku. Gosip pun berhembus dalam pusaran penuh bara. Menerjang ikatan kekeluargaan. Memberaikan simpul kepercayaan. Telingaku memerah-padam ketika berita tentang TKW yang terinfeksi HIV membentang dalam headline ratusan media. Kabar yang kuterima lewat sepucuk surat singkat yang dilayangkan tetangga seminggu kemudian, benar-benar mengejutkan. Gosip telah membunuh ibu. Gosip telah menaikkan frekuensi detak jantungnya. Mencoba menyaingi lesatan gosip. Sayang, tubuh rentanya menyerah. Ibu…… Aku tergugu mengigaunya di senyap malam.
Tak cukup. Lelaki tambun, berkulit kuning, bermata sipit, menorehkan sobekan sejarah hitam yang tak lekang meski kubasuh berulang-ulang. Seperti tato, kisah itu lekat tertera. Ketika susah-payah tubuh keringku berontak dalam sergap gumpalan lemak puluhan kilo. Ketika bibirku coba menyingkirkan aliran liur yang menggelumur. Lalu peluh membanjiri perih dan dunia runtuh selapis demi selapis. Duhai..., menangislah demi ibumu.
“Aku mau pulang,” kataku di tepi senja.
“Kamu tak bisa pulang. Kontrak masih panjang,” dengus lelaki tambun yang berdiri pongah, berkacak pinggang. Ia melemparkan beberapa lembar pakaian. Mendarat lunglai di lantai tanpa sempat kutangkap.
“Bereskan itu sebelum nyonya pulang. Dan jangan lagi meminta macam-macam.”
“Tapi saya mau pulang!” Aku masih berkeras.
“Saya bilang tidak!” Lelaki itu tak kalah garang.
“Saya minta uang saya.” Aku masih keras kepala.
“Uang akan diberikan kalau kontrakmu berakhir. Sudah, sana!” Ia mengusirku seperti binatang menjijikkan.
Bulan sabit menggantungi langit. Aku menatapnya dengan perut mual, kepala berdenyut dan bibir perih. Barusan merabanya. Masih tersisa memar dan darah beku. Aku ingat kepalan itu. Juga pemiliknya. Meski tak yakin berapa kali ia mendaratkannya ke sekujur tubuh. Bahkan puluhan helai rambutku yang tercerabut paksa dari genggam kasar lelaki gila itu, masih berserakan di lantai yang kupijak. Gigiku bergemeretak. Mencoba menghitung-hitung keberanian. Juga menghitung-hitung ajal.
Lalu, sebuah ledakan maha dahsyat pecah di dadaku. Tubuhku meregang dan meradang. Sebuah keputusan telah kugenggam. Dan itu membuatku cepat mengemasi pakaian yang cuma tiga lembaran. Dalam gelap aku merayap. Mengendap-endap. Ketakutan dan hasrat untuk berontak tindih-menindih di kepala dan hati.
Tanganku telah mencapai pintu ketika sebuah tangan kasar lain membungkam mulutku. Sebelah lagi menyentakkan genggamanku di pegangan pintu. Tapi panik hanya sekejapan mata. Karena panas di dada telah mengalirkan api ke seluruh liang pori. Aku berontak. Bergumul dalam gelut tak seimbang. Belikat dan rusukku berderak-derak saat sepenuh tenaga mendorong tubuh tambun yang coba meringkus.
“Aaaarrrrggg!!!” Sebuah teriakan menyayat tiba-tiba memenuhi ruangan. Aku tertegun. Karena setelah itu tak ada lagi cengkeraman. Semua sontak lepas. Kecuali erangan berulang. Mataku mengerjap. Mencoba membaca dalam gulita. Tapi kesadaran cepat pulih. Aku tak punya waktu! Dan kakiku melangkah dalam jangkauan panjang-panjang. Menebas senyap dan kelam. Berlari dan terus berlari. Hingga rebah di jok belakang taksi yang sudi mengantarku ke KBRI.
Senyumku mengembang. Pulang ke tanah air. Menghirup kembali udara, air dan tanah yang sejak lahir kucumbui. Sangat menyenangkan. Seperti terbebaskan dari mimpi buruk.
Namun, gosip itu laksana api yang memiliki penciuman dan pendengaran setajam srigala. Bahkan lebih. Karena tak sampai seminggu di kampung, gosip menerjang bagai air bah. Setelah membubung setinggi tsunami. Tanpa suara. Tanpa aba-aba. Membakar rasa percaya.
“Usir penderita HIV itu dari kampung kita!”
“Ya. Jangan biarkan bangunan hasil uang haramnya berdiri di kampung ini!”
“Seret saja kalau dia tak mau. Dasar anak durhaka celaka!!”
“Kenapa dia masih bisa tersenyum bangga dengan penyakit dan kelakuan yang telah menyebabkan ibunya mati? Dasar anak tak tahu diri!!”
Telingaku mati rasa dengan seluruh sumpah serapah timpal-menimpal yang dialamatkan dengan semena-mena. Bahkan untuk memandangku saja mereka tabu. Bukan karena kehormatan tapi karena aku tak lebih dari segumpal kotoran! Lantas, bagaimana caranya seonggok kotoran bisa membersihkan diri? Selain pasrah ketika petugas kesehatan membawaku pergi dan menatap nanar pada rumah kecil yang kutinggalkan dalam rengkuh jilatan api yang berkobar. Hanya rekam kenangan yang tersisa.
Belum cukup. Setelah dinyatakan positif tak terinfeksi apapun kecuali temuan fakta robeknya selaput dara secara paksa, aku dititipkan di panti sosial. Dalihnya, untuk menambah ketrampilan. Sehingga aku bisa diikutkan dalam pemberangkatan TKW terlatih yang legal. Dan aku mereguk janji itu dengan lahap. Berharap impian jadi kenyataan.
Sayang, kehadiran beberapa petugas kepolisian dan imigrasi di bibir pagi, membuatku berulang menelan duri. Aku memang kembali ke luar negeri. Tepatnya dikembalikan, dengan status pesakitan!
“Kenapa di sini?” Seseorang menegurku.
Aku menekuri lantai. Ada wajahku membayang samar.
“Kasus apa?” tanya kedua mengalir.
Toh, aku lebih memilih mengamati ujung-ujung jari kaki yang menghitam. Juga tumit kasar dengan retak parit bercabang-cabang, kait-mengait. Tanpa akhir. Seperti itukah hidupku?
“Kau ingin bebas?” tanya ketiga menyentak. Membuat kepalaku perlahan bergerak. Menatapnya. Lelaki dengan birat memanjang di pipinya. Tak berseragam.
“Semua bisa diatur. Tak rumit.” Kupikir, dia paranormal. Mampu menjenguk keraguan yang bersembunyi di labirin otakku. “Tapi ada harganya. Tak gratis,” imbuhnya lagi.
“Tapi saya tak punya uang.”
“Wah, masa TKW tak punya uang?” Aku mengangguk.
“Keluargamu kan bisa membantu.”
“Saya tak punya keluarga.” Lelaki itu menggerutu, lalu berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku kembali menekuri lantai. Mencari wajahku di situ. Sulit. Karena jejak tapak sepatu telah mengaburkannya.
Mendekam di balik jeruji tanpa kabar sama sekali, tentu tak tak mudah untuk dijalani. Waktu-waktu yang berlalu, hanya berisi gambar-gambar usang dari masa lalu. Masa yang ingin kubalikkan lagi dan membelokkannya pada jalan yang tak bermuara di cerita ini. Sesekali, saat seorang demi seorang mengunjungi, helai per helai gosip ikut menghampiri. Berjejalan di hati.
Akhirnya gosip di luar membuat segalanya terang-benderang. Kematian bekas majikanku, lelaki tambun bermata sipit dengan kulit kuning pucat, adalah simpul yang menjeratku di tempat terasing ini. Tubuhnya yang tempo hari kudorong dengan liar, menancap pada besi yang mencuat di bahu sofa. Sungguh, sepenuh hati kusesali. Tapi, bukankah nyawa semut sekalipun ada harganya? Aku menghitung-hitung dalam hati. Mengalikan setiap kemungkinan. Menumpukan harap pada upaya petinggi hukum dan penguasa negeri.
Gosip menari semakin liar. Dalam kesendirian yang mencekam, aku dibuatnya kehilangan ruh dan kesadaran. Hingga Mas Danar datang. Ia menatapku dengan gelisah.
“Apa kabar, Mas?” Senyumnya terasa getir.
“Baik. Kamu?”
“Semoga sebaik yang terlihat.” Ia mengangguk dan menunduk dalam-dalam. Terdiam beberapa jenak.
“Kami gagal. Maafkan aku..” Darahku tersirap, mengering seketika. Terbata-bata aku mengeja nama Pemilik Kehidupan, saat tutur Mas Danar menyiratkan apa yang harus kuhadapi selewat tengah malam.
Pandanganku mengabur, seiring gerimis yang turun perlahan. Dari balik dingin jeruji, aku masih mendengar gosip bernyanyi dalam nada rendah tinggi. Nada yang takkan kudengar lagi selepas dinihari. Bukankah gosip dan nadi telah berjanji sehidup semati?

*Note;

Ini kujuluki cerpen ajaib. Kenapa? Karena di Sindo edisi 11 Juli yg kulihat dan bbrp teman2 lain lihat, cerpen ini tidak termuat. Bahkan halaman sastra tidak ada di tanggal itu. Tp lucunya, seorang teman malah mengabarkan cerpen ini dimuat (termasuk redaksi yg mengonfirmasi di pra dan pasca pemuatan)...Ajaib, kan? hehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar