Pages

Selasa, 17 Desember 2013

PENSI LANGKITANG


Oleh : R. Yulia

Dimuat di laman Agamkab.go.id
 
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan langkitang."
Kalimat itu seperti selendang tipis yang berkibar-kibar dalam ingatan Adib, bergaung di sepanjang ceruk pendengaran, menghamparkan selapis demi selapis kenangan, hingga kian sesak dada pemuda itu oleh air mata. Sesungguhnya, bukankah diharamkan air mata atas anak bujang? Tapi apa daya Adib yang tak kuasa menghalau sebulir yang lepas dari sudut retinanya, meski ujung baju cekatan mengisatnya. Itu air mata yang pertama lolos dari cengkeram keteguhan hati.
Pandangan Adib yang berselaput kesedihan itu menghujam ke permukaan danau yang berkilau keperakan pada riak-riak tipisnya. Dari jangkau penglihatannya Adib mengamati ikan-ikan yang hilir-mudik berenang, mengayuh harapan. Ikan-ikan itu -entahlah apa mereka masih keturunan Bujang Sembilan yang terkena kutukan karena fitnah atas sepasang kekasih – berenang dalam kelompok-kelompok besar. Mereka membagi peruntungan. Duhai, kepada siapakah harus kubagi peruntunganku kelak? Adib mengeluh tertahan. Sungguh kedukaan ini tak tertanggungkan sementara hidupnya harus terus berjalan.
"Adib, jangan berkubang duka terlampau lama. Tanak sudah luka, tak perlu diratap berkepanjangan. Lanjutkan hidupmu. Sekolah yang baru sudah menunggu. Raih cita-cita yang kau genggam, maka semua senyum dan restu akan tercurah untukmu." Itu yang dikatakan Mak Etek dua hari yang lalu ketika mendapati Adib melamun di ambang pintu.
"Sekolah, Mak Etek?"
"Ya. Mak Etek sudah mendaftarkanmu."
"Tapi tanah kubur masih basah. Amak dan Rindu ...."
"Mereka sudah bahagia di sana, Adib. Jangan menunggu tanah kubur kering. Terlampau lama kau meninggalkan sekolah maka akan semakin jauh kau dari harapan Amakmu. Kau anak bujang, harus bisa jadi kebanggaan. Kalaupun tak merantau, bangunlah kampung hingga tersiar ke penjuru jauh." Mak Etek menepuk pundaknya sebelum berlalu.
Adib memungut sebutir kerikil dan melemparkannya sekuat tenaga ke tengah danau. Air memercik berpendar. Ia anak bujang yang malang. Sejak dari tubuh sepanjang galah layang-layang, tak sekalipun ia mendapati sosok di sampingnya yang dapat dipanggil ayah. Ayahnya hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat di negeri seberang. Dan kini, saat hatinya tengah hangat oleh sentuhan bunga asmara, Amak dan Rindu berpulang karena longsor yang menerjang perbukitan.
Masih berkerak di ingatannya bagaimana wujud Amak dan Rindu yang berpelukan ditemukan tim SAR terkubur reruntuhan bebatuan besar, lumpur dan pepohonan. Bagaimana ia meraung berkepanjangan dan mencoba menerjang orang-orang kekar yang menggotong tubuh dua sosok pengisi hari-harinya. Amak yang penyabar dan Rindu yang ributnya seperti genderang perang, gaduh namun menyemangati. Bagaimana ia terduduk lemas di lumpur pekat, ketika tungkai kakinya tak lagi mampu menopang tubuh karena tersedot kesedihan.
Air mata Adib memang berhenti kemudian. Saat kedua jenazah itu disalatkan dan dikebumikan, ia hanya terdiam. Menatap seolah-olah, meski tak secuil gambaranpun ia cerna. Adib seperti sepotong kayu yang dihanyutkan gelombang, seperti hantu yang gagap kesiangan.

Lalu raung Adib memecah hati kembali, ketika jasad Nuri ditemukan keesokan pagi. Terkubur dalam di bawah reruntuhan rumah tetangga. Nyeri hatinya semakin menganga, tangisnya merintih ke dalam kalbu. Amak, Nuri, Rindu, ah apakah lagi yang dipunyainya kini?
"Tenang dan sabarkan hatimu, Adib. Ini cobaan. Kita senasib, tak punya siapa-siapa lagi." Mak Etek, satu-satunya kerabat dekat yang tersisa, menepuk pundaknya dengan lembut. Ingin benar rasanya Adib melabuhkan kepala dan tubuhnya ke dada perempuan bertubuh subur itu. Tapi bagaimana mungkin? Ia anak bujang kini dan Mak Etek bukan Amak yang seluruh tubuhnya adalah dermaga pelipur lara.
*****
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan langkitang."
Adib meraih dua plastik kecil berisi langkitang juga pensi, yang sejak tadi tergeletak di dekatnya. Ditatapnya plastik berisi hewan-hewan mungil yang telah berselimut bumbu itu dengan pandangan mengabut.
"Langkitang dan pensi ini makanan penuh upaya, Uda. Maka akulah pensi dan kau langkitangnya." Suara yang melantunkan kalimat itu, pun derai tawa yang mengikuti sesudahnya adalah kenang-kenangan yang gurih rasanya. Suara Nuri. Tentu saja dengan sekelebat bayang gadis muda berlesung pipi yang tengah memegang dua plastik berisi pensi dan langkitang.
"Siapa yang bilang begitu?"
"Bundaku."
"Oh ya? Bagaimana bisa?"
"Hakikat kehidupan itu adalah mencapai nikmat dengan upaya. Untuk mencicipi langkitang juga pensi, bukankah kita juga berupaya? Tak pandai ataupun malas, maka takkan pernah merasa nikmatnya." Adib tertawa.
"Itu betul, Uda."
"Nuri, kamu itu terlampau muda untuk mengikuti kata-kata orang tua yang terlampau tinggi itu. Langkitang dan pensi itu makanan biasa saja. Semua orang bisa menikmatinya."
"Tak pandai membuka, akan remuk kulitnya. Bercampur daging pensi, apakah lagi yang hendak dirasa? Kalaupun ada, serpih cangkang pensi tak ada lezatnya sama sekali."
Adib tertawa meremehkan. Perempuan kadang-kadang suka mempertajam cerita yang tak berguna. Ternyata Nuri yang masih sangat hijau pun tak ada bedanya.
"Cobalah pikirkan pelan-pelan, Uda. Aku bersungguh-sungguh. Lagipula, memakan pensi itu seperti mencecap kebahagiaan sedikit demi sedikit. Coba kalau yang dimakan cuma sebuah, apa nikmatnya? Tapi kalau makannya terlampau banyak pun lidah akan mati rasa. Itu artinya, timbunlah kebahagiaan sekadarnya saja. Kalau kebahagiaan terlampau sempurna, maka habislah hakikat kemanusiaan kita."
Adib semakin keras tertawa, meski begitu kalimat itu dimamahnya kemudian pada malam di mana ia terbaring sendiri. Mau tak mau ia bersepakat juga.
"Uda tak yakin?"
"Itu masih kata Bundamu, kan?"
"Ya."
"Ah..ah.., sudahlah, Nuri. Bundamu terlampau berlebihan. Coba kalau memang demikian, bagaimana pula dengan langkitang?"
"Sama juga, Uda. Kalau orang yang tak mau berusaha, pasti ia takkan mau mencicipi langkitang karena dianggap makanan kurang kerjaan. Harus diisap perlahan dan sabar."
Adib menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, bingung harus menanggapi. Sesungguhnya Adib hanyalah anak bujang yang masih ingin bersenang-senang. Ia masih muda untuk membicarakan hal-hal berat seperti itu.
"Dengar, Nuri," Adib mengambil satu plastik berisi langkitang di tangan Nuri dan sedikit merunduk menatap gadis belia itu tepat di manik matanya."Kita ini masih muda untuk membicarakan hal-hal berat seperti itu. Jadi, mari kita bicarakan saja pe-er Kimiamu yang belum selesai itu, atau tentang tanding futsal besok malam yang akan kuhadapi, atau bisa juga tentang akan ke mana kita di hari Minggu besok?"
Gadis yang rikuh dalam jangkau pandang pemuda itu tertunduk malu. Tangannya yang tadi menggantung, perlahan turun ke samping tubuh. Pelan-pelan ia memalingkan wajah.
"Aku ingin bermain di sini saja hari Minggu besok, Uda."
"Di tepi Maninjau inikah kita terus-menerus menghabiskan waktu, Nuri?"
"Kau bisa membawa Rindu, Uda. Kita bermain apa saja. Kita bicara apa saja."
"Ah!" Adib menendang kerikil di ujung sepatunya. Ia kesal karena gadis yang mampu mengacaukan aliran darahnya dan mendatangkan badai di hatinya kala berdekatan, hanyalah gadis sederhana yang hobi berpetuah. Nuri nyaris menyamai Amak untuk hal satu ini.
Tapi Adib tak sempat berpikir untuk mencari pengganti Nuri, karena saat ia merenungkan kata-kata gadis itu di kepekatan malam yang aneh -tak ada bintang, tak ada bulan bahkan pula suara binatang, hanya kebenaran yang ditemukan. Adib menyeringai dan mendenguskan napas, kesal karena ia harus mengakui kalau Nuri sepenuhnya benar.
Semakin malam menua, semakin menjadi-jadi kesenyapan mengepung dusun kecil itu. Bahkan angin pun enggan berembus. Adib mengeluh, seandainya saja tadi ia ikut Amak dan Rindu menginap di rumah Mak Adang yang tengah mempersiapkan pacah alek besok malam, tentu pikirannya tak harus melantur ke mana-mana begini. Tentu ia akan sibuk bersama para bujang lain, bukan hanya sibuk bercakap namun juga menggoda beberapa gadis muda yang tengah membantu memasak rendang. Mana tahu pula ada Rindu yang tersesat di sana.
Lalu gemuruh yang berlipat-lipat kalinya dari gaduh yang biasa terdengar saat mendung datang, membuatnya tersentak. Duduknya mengejang oleh firasat buruk. Bulu kuduknya meremang seketika. Entah oleh dan untuk apa.
Gemuruh itu nun di mana, namun hati Adib diruyak gelisah.
Ia keluar dari rumah ketika sayup-sayup teriakan bersahut-sahutan merasuki gendang pendengarannya. Di luar orang-orang berteriak dan berlarian. Gemuruh tak juga berjeda.
"Ada apa, Uni?" Adib menahan seorang perempuan yang tergopoh-gopoh di dekatnya.
""Longsor, Adib. Bukit longsor." Setelah mengabarkannya, perempuan itu menjauh mengikuti langkah-langkah serupa puluhan orang di depannya.
Adib tersengat, ia mencelat di luar kesadaran. Lalu beberapa saat kemudian langkahnya telah terayun cepat di tengah langkah lain yang menghilir.
*****
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan langkitang."
Adib menggigit cangkang pensi yang dijimpitnya. Ia meletakkan lekuk cangkang tepat di baris geliginya.Terdengar bunyi berkeretak sesaat sebelum ia mengeluarkan sejumput daging putih lembut dari dalam cangkang dan menikmatinya lamat-lamat di dalam mulut.
Adib melakukannya satu demi satu sambil menyesap kenangan. Hingga keping-keping cangkang yang bertabur di sekelilingnya tak lagi menyisakan apa-apa. Ia menatap jauh ke tengah danau dan memejamkan matanya dengan perih.
"Uda, hari sudah senja. Sebaiknya aku pulang saja, ya?"
"Cepat betul?"
"Uda, orang-orang sudah banyak yang melirik kita dengan curiga. Aku mulai tak nyaman." Gadis itu melirik beberapa orang yang lalu-lalang dan tak melepas pandang.
"Kenapa sih, kau melulu memikirkan orang lain, Nuri? Mereka pasti mengerti. Toh, kita masih muda. Bukankah kita hanya mengobrol? Tak ada celanya."
"Justru karena itu, Uda. Aku tak ingin bercela dan bernasib sama dengan Siti Rasani. Begitupun Uda, tentu tak ingin menjadi Giran."
"Ah, kau, Nuri. Mana mungkin kita bernasib sama dengan mereka? Tak ada kawah untuk diselami, bahkan danau pun telah menghampar di depan mata. Takkan mungkin kutukan berulang di masa berbeda."
"Tak kawah, tak gunung, tak danau, Uda. Tapi kita bisa digiring orang kampung sekarang juga."
"Tapi kita tak melakukan apa-apa, Nuri."
"Siti Rasani dan Giran juga tidak. Tapi orang kampung peduli apa? Berdua-dua di tepi danau dalam remang surya begini, bisa menyebabkan kita terkena fitnah, Uda." Gadis itu berkeras.
"Ah, kau. Baiklah, kuantarkan kau pulang. Ayo.." Adib mengulurkan tangannya, namun Nuri menampik halus dengan gelengan. Adib mengedikkan bahu dan berjalan selangkah di depan dengan hati menggerutu. Hari gini, masih ada gadis seperti Nuri? Benar-benar gila, decak Adib dalam hati.
Adib menjangkau kantung plastik langkitangnya dan memperhatikan langkitang yang berdesak-desakan di antara bumbu berwarna jingga muda. Oh, Amak, apakah yang harus anak bujangmu lakukan? Sekolah tinggal beberapa waktu lagi. Setelah itu, apa? Haruskah ia merantau ke negeri asing? Kemudian pulang, menjemput apa? Kenangan?
Arrghhh!!
Adib mencengkeram kantung langkitangnya dengan sekuat tenaga, mengalirkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendera kepalanya. Ia bahkan gagap dengan masa depannya. Sungguh, keterlaluan.
Adib melemparkan langkitangnya ke tengah danau. Ia juga membuang ingatan tentang seraut wajah gadis berjilbab dengan sepasang mata kelincinya yang menggoda. Tapi ia tak membuang wajah Amak dan Rindu. Ia tak bisa mencerabut akar-akar ingatan tentang keduanya. Takkan pernah bisa.
*****
"Apa yang akan kau lakukan dengan ijazahmu kelak, Adib?"
Pertanyaan itu mengusik lamunan Adib yang sorot matanya terarah ke televisi yang menayangkan berita politik dan segala tetek bengek tak penting namun katanya penting itu.
"Belum tahu, Mak Etek." sahut Adib sekenanya.
Dari balik punggungnya yang mencangkung, Adib dapat menangkap hela napas perempuan setengah baya itu. Adib tahu Mak Eteknya sangat prihatin dengan kemalangan dan kesebatangkaraannya. Tapi anak bujang bukanlah anak perawan, yang dapat berkubang duka berlama-lama, menunggu pinangan dan menjadi orang rumah.
"Kapan kau akan menerima ijazah?"
"Minggu depan, Mak Etek."
"Baiklah. Kalau kau belum punya rencana, bagaimana kalau membantu Mak Etek saja?"
Adib meletakkan remote televisi di meja dan memutar tubuhnya menghadap perempuan yang tengah meracik bumbu di tengah ruangan.
"Apa yang bisa aku bantu, Mak Etek?"
"Besok kau akan tahu." Adib menatap lurus ke wajah Mak Eteknya. Tak tersirat rahasia apa-apa di sana. Tapi Adib tahu, mungkin saja pekerjaan itu bukan hal yang disukainya seperti futsal.
Demikianlah esoknya, ketika pagi-pagi benar Mak Etek telah membangunkannya. Hanya sekejap setelah lantun azan dan kokok ayam jantan berkumandang. Adib yang belum terbiasa, mengerjap-ngerjapkan mata dengan susah-payah. Kantuk lekat di mata, enggan enyah. Ia terbiasa menunda bangun hingga surya mengerling jenaka lewat jendela. Habis kamus Amak membangunkannya
"Ayo, Dib. Nanti kita kesiangan."
"Ke mana, Mak Etek?"
"Ke danau."
Seketika sepasang mata Adib terbelalak. Kantuk terdepak tanpa ampun.
"Sepagi ini, Mak Etek? Buat apa?"
"Kau akan ikut dengan Uda Basri." Adib bangkit dengan segera. Bukan karena gembira, melainkan keterkejutan alang-kepalang.
"Mencari pensi, Mak Etek?" Suaranya meninggi tanpa kehendak hati. Perempuan berwajah lelah di depannya mengangguk.
Adib kembali terduduk di tepi pembaringan. Ia menunduk. Hatinya enggan takluk pada kemauan Mak Etek, tapi bagaimana mungkin ia menolak? Sungguh mustahil ia hanya menghabiskan waktu seharian di rumah, luntang-lantung tak punya arah atau mengunyah kenangan bersama pensi dan langkitang di tepi danau.
"Ini bukan untuk seterusnya, Dib. Hanya untuk mengisi waktumu agar lebih bermanfaat, menambah pengalaman dan bisa jadi akan membuka jalan yang lebih baik ke masa depan. Bukankah kau enggan merantau?"
Tunduk Adib kian dalam, menyembunyikan risau. Jadilah anak bujang yang bertuah. Sepatah amanat Amak berkelebat di kepala Adib. Wajah Rindu, wajah Nuri. Gelak Rindu, sepatah kalimat Nuri. Semua hinggap silih berganti.
"Cepatlah. Tak banyak waktu lagi. Uda Basri pasti sudah menunggumu di tepi jalan." Mak Etek mengibaskan tangannya dan meninggalkan kamar.
Adib beranjak cepat. Bagaimanapun hanya Mak Etek yang dipunyainya kini. Hanya Mak Etek yang peduli dan mungkin pula menyayangi. Bagaimana mungkin ia membantah? Tergesa Adib mencuci muka dan mengganti baju.
"Kau sudah salat, Dib?" Langkah Adib tertahan di mulut pintu.
"Belum, Mak Etek."
"Salatlah dulu. Itu akan membuka pintu rezekimu."Adib patuh tanpa menjawab.
Adib melakukan segalanya dengan terburu-buru. Pun ketika berjalan meninggalkan kamar, pun ketika menyenggol pintu dan sederet pun lainnya yang memekikkan bunyi 'PRAANGG' dan berdebum.
Adib tercekat, pias.
Di lantai terserak beling, dua lembar foto dan patahan pigura kayu yang mencuatkan paku-paku kecil. Di selembar foto itu ada senyumnya, Amak dan Rindu. Di selembar lain yang lebih kecil ada senyum Nuri.
"Adib?" Mak Etek muncul di ambang pintu."Kenapa? Astaga..?! Ya sudahlah, biar Mak Etek yang membersihkan. Kamu cepat saja susul Uda Basri."
Adib tak menyahut. Kepalanya berdenyut. Ada apa ini? Semata tersenggolkah atau firasat buruk?
"Adib."
"Iya, Mak Etek. Aku akan berangkat. Maaf telah merepotkan."
"Kau ini," Mak Etek menepuk lembut pundaknya. Adib bergegas pergi.
*****
Adib duduk di tepi danau dengan kedua tangan memeluk kakinya yang menekuk. Dagunya menancap di puncak lutut. Sepasang matanya mengabut.
Pagi tadi adalah pagi pertama yang menyiksanya. Bagaimana tidak, bila ia harus mengikuti Uda Basri merendam diri hingga ke batang leher di dinginnya air danau yang menusuk dan pagi yang masih berselimut kabut? Air danau yang sebenar-benar dingin itu beberapa kali membuatnya mundur ke tepi. Nyaris menyerah kalau saja Uda Basri tak menyemangati. Meski akhirnya ia benar-benar tak tahan lagi.
"Kau belum terbiasa, Adib. Menepilah dan ganti bajumu. Besok saja lagi kau ulangi." Uda Basri menghalaunya sambil tertawa tanpa suara.
Adib ke tepian dengan bibir biru menggeletar, wajah memucat laksana kapas dan gigi yang terus bergemeletuk. Cepat ia meloloskan pakaian yang lekat basah dari tubuhnya dan mengganti dengan pakaian kering. Ia melakukannya dengan sangat cepat.
"Tak mudah mencari pensi, kan? Konon pula langkitang. Tapi ya dari sinilah hidup bisa berjalan. Kau bebas memilih, Adib," Uda Basri menepuk pundaknya beberapa kali, memberi semangat. Ah, sudah berapa tepukan yang ia terima sedari pagi?
Adib menatap lurus ke pulau kecil di tengah danau. Lalu ke langit, ke keramba, ke perahu wisata, ke pondok-pondok sate, rumah panggung liar dan sepanjang punggung Bukit Barisan yang mengilap diterpa surya. Mengapa masih juga ia merasa gamang, padahal di sekitarnya setiap orang berjuang demi hidup dan cita-cita masa depan? Mengapa masih juga ia merasa sendirian?
Tiba-tiba ingatannya tertuju pada bingkai foto yang terhempas pagi tadi. Oh ya, bukankah ia harus mencari penggantinya? Kedua foto itu adalah penyemangatnya, jadi manalah mungkin menyelipkan mereka di bawah tumpukan baju atau di dalam laci yang berdebu. Tapi untuk meminta uang membeli bingkai foto pada Mak Etek, mana mungkin ia bernyali. Kebutuhan pokoknya telah terpenuhi saja itu sudah membuatnya merasa berhutang separuh dunia. Bagaimana pula harus menambahi lagi dengan biaya pembeli bingkai?
Ah, sungguh anak bujang yang tak berguna!
Adib bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi tepian. Disepaknya beberapa butir kerikil, kulit pensi dan langkitang. Ia terus berjalan sambil memuntahkan gerutu. Namun, langkahnya terhenti kemudian oleh sebab yang melintas tiba-tiba di kepala. Tak lama ia berlari kecil surut ke arah semula. Adib berjongkok di dekat sebatang pohon -tempatnya biasa menjahit kenangan, dan mengutip beberapa cangkang pensi dan langkitang. Senyumnya mengembang, sepasang matanya berbinar. Ia bangkit dan mencari-cari sesuatu. Tangannya cepat meraih kantung plastik yang tergeletak di tanah. Diraupnya cangkang pensi, juga langkitang dan memasukkannya dalam kantung plastik. Ia terus begitu hingga kantung plastik itu penuh. Begitupula hati dan kepalanya.
"Apa yang kau buat, Adib? Indah sekali?" Adib tersentak, kaget. Belum sempurna ia menguasai diri, Mak Etek telah bersimpuh di depannya.
"Kau sendiri yang membuatnya?" Perempuan itu bertanya dengan nada tak percaya. Disentuhnya perlahan cangkang-cangkang pensi dan langkitang yang bersusun indah membentuk pigura. Adib menunduk malu, seperti tertangkap basah melakukan hal tak berguna.
"Kau berbakat betul untuk urusan ketrampilan seperti ini, Adib. Benar kata Amakmu."
"Ini hanya untuk menggantikan bingkai yang rusak, Mak Etek," sahut Adib jengah. Mak Etek tersenyum.
"Lakukanlah. Akan kita lihat apa yang akan datang sesudahnya." Lagi-lagi sebuah tepukan ringan hinggap di bahu Adib. Ia tertegun sesaat.
Senyum-senyum manis itu telah mengisi dinding kamar lagi dan Adib bebas memandanginya sebelum dan sesudah tidur, sebelum dan sesudah bermimpi, sebelum dan sesudah pergi, serta sebelum dan sesudah apapun yang dilakukannya di luar kamar. Senyum-senyum berbingkai pensi, langkitang, batu-batu kecil milik Maninjau.
Namun tak hanya itu, pensi dan langkitang bahkan menghadirkan Nuri saban malam. Ya, Adib merasakan gadis itu duduk di tepi jendela, mendampinginya menatap bintang, rembulan, bayang-bayang dedaunan dan kilau riak danau di kejauhan. Nuri senantiasa tersenyum dan Adib menyimpan senyum itu ke dalam ingatan, menanamnya bersama senyum Nuri yang sebelumnya.
"Aku suka bingkai pensi dan langkitang, Uda." Adib menoleh. Ia masih melihat Nuri tersenyum. Garis bibirnya mengatup manis sempurna. Tak ada jejak bahwa ia barusan berkata-kata. Tapi Adib mendengarnya dengan jelas.
Itu bukan kejadian pertama.
Suara itu bertandang saban malam, sepanjang ia duduk bersama Nuri, menikmati pekatnya gelap dan desau kesiur angin. Adib merasa itu sebuah permintaan. Lantas ia bertekad untuk melakukannya, esok, esoknya lagi, esoknya esok dan sampai kapanpun Nuri menghendaki.
Satu pigura yang rampung, menjadi perpanjangan waktu yang dinikmati Adib bersama Nuri. Ia tidur dikawal senyuman. Begitu seterusnya, hingga Adib tak ingin berhenti. Adib meraup cangkang semakin banyak. Tak terlihat cangkang-cangkang bertebar lagi sepanjang tepian danau, kecuali cangkang yang tatal.
"Wah, ini bagus. Ini juga bagus. Adib, Arin beli satu, ya?"
"Uda, Aura juga. Yang ini, ini dan ini."
"Banyak amat? Memang foto siapa saja yang mau kau pajang, Aura?"
"Ah, Uni, banyaklah."
Cangkang pensi dan langkitang tak lagi menghuni kantung plastik kecil, melainkan berdesak-desakan di dalam goni, menyandar di sepanjang dinding rumah Mak Etek. Pigura kehendak Nuri tak sempat bertumpuk tinggi, karena para pembeli silih berganti.
Pesanan mulai tak terampuni, mengalir dari segala penjuru, hingga Adib kewalahan. Ia ingin berhenti tapi takut tak melihat senyum Nuri lagi. Jika sudah begitu, bagaimana mungkin ia bisa lelap dengan mimpi indah? Seorang bocah tanggung membantunya kini; mencari cangkang pensi dan langkitang, membersihkan dan menjemur, serta beberapa bantuan kecil lainnya. Mak Etek juga ikut membantu di sela-sela pekerjaan utamanya. Toh desainnya tetap di tangan Adib karena tak seorangpun yang berdaya untuk urusan satu itu.
Lalu suatu ketika, seorang teman yang selama ini banyak membantu urusan distribusi datang dengan tawaran berbeda. Ia membawa sebatang kayu bulat yang diletakkan di tengah beranda.
"Adib, kurasa kayu pulai ini bisa juga kau buat cenderamata yang menarik. Kamu kan kreatif. Soal bahan, aku bisa urus persediaannya."
Alis Adib bertaut. Usaha kerajinannya sudah berkembang pesat kini. Tak salah memang kalau ia melirik bahan lain. Tapi bagaimana dengan Nuri?
"Ayolah, Dib. Pensi dan langkitang tak dihentikan, kayu pulai juga dijalankan."
Tak butuh waktu lama bagi kawan lama untuk meyakinkan Adib, karena esoknya pemuda itu mengirimkan sms kesediaannya. Kemarin malam ia berbincang dengan Nuri, pada jendela yang sama dan rembulan, kemilau riak danau serta desau angin yang melenakan. Rencana-rencana baru berhamburan keluar dari bibirnya. Terus dan terus, hingga kokok ayam di kejauhan membuka fajar. Nuri di sampingnya tersenyum. Terus begitu hingga kepala Adib terkulai di kusen jendela dan sepasang matanya enggan membuka. Lantas dengkur halusnya mengantar mimpi-mimpi baru. Nuri menatapnya dengan sepasang mata berkaca-kaca. Senyumnya mengembang samar, tawar. Nuri terus menatap pemuda di depannya, hingga hangat surya melumat bayangannya yang menerawang. Tipis meliuk, lesap bersama kabut.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar