Pages

Selasa, 03 Desember 2013

SENYUM IBU


Dimuat Majalah Gadis no.29, edisi 1-10 november 2013

Oleh: R. Yulia

PELANGI
“Arin ingin membahagiakan Ibu.” Bocah perempuan sepuluh tahun itu berkata dengan sungguh-sungguh. Ia mendongak dengan sepasang mata berbinar cerah yang tertuju pada perempuan paruh baya berwajah ayu yang memangkunya.
“Terima kasih, Sayang. Kau cantik seperti bidadari yang meniti pelangi.” Perempuan itu menggamit dagunya dengan penuh kasih sayang.
“Benarkah, Bu? Berarti ada banyak bidadari di pelangi itu?” Bocah perempuan itu menunjuk pelangi yang menggantung samar di langit. Surya yang baru muncul dari balik awan menyilaukannya. Hujan telah lama berlalu, menggiring awan kelabu.
“Ya.”
“Berarti para bidadari itu tidak sekolah?”
“Tidak. Sama denganmu, kan?”
“Tapi aku tak sekolah karena menjaga Ibu yang sakit. Sementara bidadari itu tak sekolah karena hanya ingin bermain-main di pelangi. Bukankah itu tidak baik?” Perempuan itu tertawa perlahan. Suaranya merdu menggema. Ia menjentik ujung hidung putrinya.
“Kau pintar sekali.”
“Iya, dong. Anak Ibu..” Tawa keduanya berderai.


KABUT
“Arin tak ingin Ibu bekerja seberat ini, sampai larut malam baru pulang dan berangkat lagi pagi-pagi benar. Ibu akan lebih sering sakit.” Protes itu menghambur keluar dari bibir tipis Arin, gadis belia empat belas tahun, yang membukakan pintu untuk seorang perempuan paruh baya yang keayuan wajahnya masih membayang kental di balik kerut-merut samar. Wajah yang letih, dengan sepasang mata berkabut dan senyum yang pedih.
“Tidak, Sayang. Jangan berkata begitu. Ibu harus berjuang demi mewujudkan cita-citamu.” tukas perempuan itu sembari memasuki rumah. Arin membuntuti. Mereka bersimpang arah di ruang tengah. Gadis bermata kejora itu membelok ke kanan dan menghilang segera di balik dinding. Sementara ibunya meneruskan langkah menuju ruang tamu. Arin muncul kembali dengan segelas teh manis panas pada nampan yang dipegang. Sambil berjalan, sepasang matanya melirik jam dinding. Pukul sebelas lebih lima menit. Ia mengeluh perlahan.
“Bagaimana dagangan Ibu hari ini?” Ia meletakkan nampan di meja, di samping kursi jati tua yang diduduki ibunya.
“Lumayan, Arin. Ada banyak pembeli menjelang sore.”
“Berarti sepi sepanjang siang?” Perempuan itu mengangguk.
“Ini salah Ayah!” ketus nada suara gadis itu. Garang. Ia memalingkan wajahnya ke dinding yang kosong tanpa hiasan. Menelan air mata yang nyaris menggenang.
“Jangan berkata begitu. Ini takdir, Arin.”
“Tidak, Bu. Ini memang salah Ayah. Kenapa Ayah harus meninggalkan Ibu demi perempuan lain dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki? Seorang Ayah?” Arin nyaris berteriak, namun perlahan menurunkan volume suaranya di penghujung kalimat saat menatap sepasang mata yang letih di depannya.
“Arin! Berhenti menjelekkan ayahmu. Bagaimanapun, ia tetaplah seorang ayah yang harus kau hormati.” Perempuan itu memotong kalimat anak gadisnya dengan tegas. Tidak, ia takkan membiarkan anaknya tumbuh menjadi anak yang kurang ajar. Anak yang tak memiliki rasa hormat terhadap orang tua.
“Tapi...”
“Yang terjadi adalah kami tak lagi sepaham. Yang kau sebut sebagai perempuan lain itu kini menjadi ibu kedua untukmu, tempatmu kelak bernaung saat Ibu tak ada.”
“Tidak! Ibu akan selalu ada untukku. Jangan berkata begitu, Bu.”
“Ibu seperti halnya semua makhluk di bumi ini, Arin. Takkan abadi.”
“Tidak! Bagiku Ibu abadi. Karena Ibu ada di sini..” Gadis berkulit kuning langsat itu menunjuk dadanya. Ibunya menghela napas berat. Tapi ia tak mendebat lagi. Ia cukup mengerti, dalam usianya yang masih muda dan pergolakan hati yang menggelora, putrinya itu takkan menerima sanggahan atas pendapatnya dengan mudah. Terlebih ia menjadi saksi atas apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Arin terlampau kenyang melahap kesepian, keletihan dan kesedihan ibunya. Arin tahu betapa perempuan yang sangat menyayanginya itu sangat terpukul dengan kepergian lelaki yang selama ini menjadi sandaran dan tempat bernaung. Lelaki yang saat Arin kecil, selalu menyunggingkan senyum begitu ia menyeru ,”Ayah!” Tubuh kecil Arin kerap berada dalam gendongannya, dilambung-lambungkan ke udara. Jika sudah begitu, Arin akan sukacita membentangkan tangannya laksana burung. Arin bahagia. Ibu juga tertawa. Ah, betapa perih hati Arin saat mengingat tawa ibunya yang telah lama hilang.
“Ibu,” Sebuah sentuhan di punggung tangannya membuyarkan lamunan perempuan itu. Ia mengangkat wajah dan menatap sepasang mata indah di depannya. Mata Arin yang berkaca-kaca. “Pulanglah lebih cepat esok hari. Arin tak ingin Ibu pulang selarut ini lagi. Arin ingin bersama Ibu lebih lama. Selama-lamanya.” Mata itu memohon dengan sangat. Sungguh sebuah pinta yang tak tertolak.

MATAHARI
“Arin!”
Gadis remaja bertubuh semampai itu menghentikan langkahnya dan reflek memutar tubuh ke pemilik suara di belakangnya. Senyumnya mengembang samar. Ia kembali melanjutkan ayunan kaki pada tujuan semula, tak mengindahkan sosok di belakangnya yang berlari ngos-ngosan mengejarnya. Cowok itu telah menjajari langkahnya.
“Arin, tunggu dulu.”
“Ada apa, Azka?” tanya Arin tak acuh, tak melirik, apalagi menghentikan ayunan kaki.
“Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Kamu mau, kan?” Suara itu begitu mengharap.
“Entahlah. Aku tanya ibuku dulu, ya?” Azka yang masih kerepotan mengimbangi langkah Arin yang tergesa, terbahak seketika. Gadis itu sontak menghentikan langkah, menatap tak senang pada cowok berambut ikal yang masih enggan menghentikan tawanya.
“Apanya yang lucu?!” sergahnya.
Hellooo, Arin.” Cowok itu melambaikan tangannya di depan wajah Arin dengan lagak menggoda. “Kamu itu sudah besar, Arin. Masa iya hanya untuk memutuskan kamu akan naik panggung atau tidak harus dengan persetujuan ibu, sih? Anak mami banget.” Azka sibuk nyerocos dengan sisa tawa di bibirnya, namun terhenti seketika kala menyadari tatapan setajam belati yang dipancarkan gadis di hadapannya.
“Maaf.., maaf, Arin. Aku salah bicara, ya?” Ia menyadari ada yang salah.
“Kau tak punya ibu, Azka?” tanya gadis itu sedingin salju.
“Tentulah aku punya.” Cepat Azka menjawab.
“Apakah kau mengabaikannya karena merasa telah cukup besar untuk mengambil keputusan? Takkah kau ingin membahagiakan ibumu? Ibu yang telah mempertaruhkan nyawanya untukmu?!” Cowok itu tergagap. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Ia terdiam, mematung di tempatnya. Terus begitu, hingga bayangan Arin lenyap dari pandangan. Angin yang mempermainkan ujung rambutnya membuat ia paham satu hal, gadis itu bukan gadis biasa.
Esok dan esoknya lagi adalah hari yang melelahkan untuk Arin. Lelah memacu langkah ketika cowok yang kemarin lagi-lagi menyeru namanya. Lelah menjawab tidak dan lelah mendengar bujukan dengan kalimat yang itu ke itu juga.
“Arin, ayolah. Ini demi sekolah kita. Cuma kamu satu-satunya jagoan baca puisi di sekolah.”
“Aku minta maaf, Azka. Tapi ibuku tak mengijinkanku ke luar malam-malam begitu.”
“Aku yang akan menjemput dan mengantarmu.”
“Itu lebih tak mungkin lagi.”
“Kenapa?”
“Karena aku tak ingin ibu berpikiran buruk tentangku yang bersama denganmu.”
“Arin, please. Apa yang harus kulakukan agar ibumu dapat memberikan ijinnya?”
“Tak ada.” Arin menyahut cepat dan ringan sambil mengibaskan tangan, tak ingin berbicara lagi. Ia meninggalkan Azka yang hanya mampu mengembuskan napas berat. Sungguh, bukan hal yang mudah menundukkan hati gadis itu.
Ini hari yang melelahkan. Arin baru saja pulang dari mengajar les matematika untuk beberapa orang anak sekolah dasar. Ia ingin tiba di rumahnya sebelum matahari jatuh dan langit menjadi lebih hitam. Namun, beberapa meter sebelum mencapai pintu, langkahnya terhenti. Dua orang yang tengah bercakap-cakap di teras membuatnya menghela napas panjang.
“Nah, itu dia orangnya. Arin, kemarilah. Ini ada Nak Azka.”
Arin menatap Azka yang duduk di samping ibunya sambil mengeluh dalam hati. Untuk apa cowok keras kepala itu datang ke rumahnya? Untuk merayu Ibu?
Arin meneruskan langkahnya dengan hati tak menentu. Ia mencoba menyusun kalimat yang akan dikatakannya, namun semua berantakan. Senyum Ibu. Ya, semua karena senyum Ibu. Arin paham apa arti senyum itu.
Azka yang duduk dengan air muka penuh kemenangan itu menunggu langkah Arin yang kian mendekat. Ia melihat matahari di belakang kepala gadis itu. Matahari senja yang kemilau, langit merah yang indah. Semua keindahan itu membalut tubuh Arin ketika ia tersenyum. Meski tak tertuju untuknya, namun senyum Arin adalah senyum matahari, yang akan membangunkannya pada pagi-pagi mendatang.


HUJAN
“Azka itu anak yang baik. Jangan perlakukan dia dengan kurang baik.”
“Ibu..”
“Jangan pernah menjadikan ayahmu sebagai alasan untuk memusuhi laki-laki, Arin. Usiamu masih sangat muda. Bergaullah dengan luas. Timba dan seraplah pengetahuan dari sekitar tanpa membeda-bedakan. Kau tak mungkin membatasi pergaulan hanya dengan perempuan saja. Ilmu datang dari segala penjuru, Anakku. Dari lelaki, dari perempuan.”
“Ibu..”
“Lagipula, ayahmu tak sepenuhnya salah. Kami bersimpang jalan dan itu biasa, Sayang. Dunia ini begitu indah. Masa remaja tak mungkin terulang, jadi jangan sia-siakan karena pemahaman yang salah.”
“Ibu..”
“Kalau kau memang menyayangi dan ingin membahagiakan Ibu, lakukanlah apa yang Ibu katakan. Ibu tak ingin kau menyesali waktu yang berlalu, Arin.” Suara perempuan itu semakin parau, tersekap airmata. Ia menarik syal coklat yang membelit lehernya. Dingin terlampau tajam menusuk. Sungguhpun di balik syal itu kerah baju hangatnya telah demikian tebal membekap, tetap saja darahnya terasa setengah membeku.
Hujan di luar turun tanpa henti, semakin deras dari waktu ke waktu. Langit seperti pintu yang mengalirkan laut dan sungai. Badai menggila, mengacaukan irama daun dan ranting-ranting. Gadis remaja itu mendekat, memeluk ibunya dan mengalirkan kehangatan yang ia punya. Ia merasakan degup jantung ibunya yang tak biasa. Ia menunduk, melihat lebih dalam pada sepasang mata yang berkubang hujan. Arin mengeratkan pelukannya.
Ini hari ke tujuh. Ibu tak juga sembuh. Tubuhnya panas tinggi, giginya kerap gemeretak menahan dingin, sepasang matanya berat menahan kantuk dan sesekali igauan menyentak malam. Arin menatap wajah ibunya. Wajah yang kuyu, pias dan tak bercahaya.
“Ibu..” panggil Arin lirih. Benaknya dipenuhi ketakutan. Ia melupakan pe-er, melupakan sekolah. Ia hanya ingin di samping Ibu.
“Arin. Hubungi Ayah.” Wajah Arin mengeras seketika.
“Tidak, Bu.”
“Arin, besok ulang tahun Ibu.”
“Iya, Arin ingat, Bu. Arin akan belikan hadiah istimewa untuk Ibu.” Arin mengulas senyum, membelai rambut ibunya dengan sepenuh sayang.
“Tak usah dibeli. Hubungi Ayah. Anggap saja itu hadiah untuk Ibu.” Perempuan itu berkata tersendat-sendat, diselingi batuk beruntun.
“Ibu..”
“Lakukanlah, Arin.” Tegas nada suara itu, tak ingin dilawan.
Arin mengangguk, tak kuasa membantah, karena yang diinginkannya Ibu bahagia. Dan Arin melihat sekerlip cahaya memancar di sepasang mata lelahnya. Arin mengerti kini, cinta Ibu adalah cinta yang sejati. Untuknya, untuk Ayah.

POHON-POHON
Arin merapatkan sweater-nya. Tak ada hujan, tak ada angin. Tapi udara begitu dingin dirasakannya. Arin menunduk, tatapannya mencoba menembus gundukan tanah bertabur bunga di hadapannya, menjangkau sosok diam di bawah sana. Sosok dingin yang pasti membutuhkan pelukannya.
“Arin, ayo kita pulang.” Sebuah tangan merengkuh bahunya seiring kalimat yang terlontar lembut meski tegas, merapatkan kepalanya pada dada bidang yang kehangatan dan aromanya terasa asing. Arin tak kuasa menolak. Ia begitu lemah kini.
Pulanglah, Arin. Gadis itu mendengar ibunya berkata. Sebatang pohon yang kau butuhkan telah tersedia. Berlindunglah di sana dan buat hatimu menghangat seperti saat ia menggenggam tanganmu dulu. Ingatlah masa-masa bersama, lupakan saat-saat terluka dan kehilangan.
Sepasang mata Arin berkaca-kaca. Ia tahu, ia harus membuat Ibu bahagia.
“Arin, menangislah. Biar Ibu yang menghapus airmatamu.” Suara yang sebenar-benar lembut menimpali, menggenggam jemarinya yang dingin. Ibu.., Arin mengeja dalam hati. Ibu kedua.
Gadis belia itu membiarkan dua orang di sisinya memapah langkahnya yang limbung. Ia mendengar suara ibunya yang semakin pelan dan jauh, hingga akhirnya hilang ditelan kesiur angin. Di depannya menjulang sesosok tubuh yang wajahnya begitu hangat mengilap diterpa surya yang bersinar lembut. Arin takkan lupa, cowok itu yang duduk di samping Ibu, senja beberapa waktu sebelumnya. Arin mendesah. Senyum Ibu membayang di wajah pemuda itu.
“Itu temanmu, Arin?”
“Azka,” Arin menjawab pertanyaan ayahnya lirih, nyaris tak terdengar..
“Dari tadi ia di sana. Sepertinya memang menunggumu. Apakah kau ingin berbicara dengannya sebentar?” Lama Arin diam, sebelum mengangguk pelan.
“Baiklah. Kami tunggu di sini.”
Arin berjalan lambat. Pandangannya terhalang air mata. Namun ia dapat melihat Azka yang berjalan mendekat. Ia bahkan melihat bayangan ibunya di belakang cowok itu. Tersenyum. Arin merasakan kerinduannya menyesak. Air matanya seperti air bah yang mengalir tanpa henti.
“Arin,” panggil Azka dengan suara tercekat. Gadis di depannya terlihat begitu lemah, tak berdaya. Sebuah kesadaran yang hinggap seketika, membuat Azka menghambur cepat meraih tubuh Arin yang limbung.
Arin tersenyum. Ia melihat ibunya lari mendekat dan memeluknya. Membelai rambutnya dan tersenyum damai. Arin.., senyumlah, Nak. Jangan menangis lagi, Sayang.
“Ariinn!!”
Suara-suara di sekitarnya mengambang. Arin tak mengindahkan. Hanya suara Ibu. Hanya senyum Ibu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar