Oleh: R. Yulia
PELANGI
“Arin ingin membahagiakan Ibu.” Bocah perempuan sepuluh tahun
itu berkata dengan sungguh-sungguh. Ia mendongak dengan sepasang mata
berbinar cerah yang tertuju pada perempuan paruh baya berwajah ayu
yang memangkunya.
“Terima kasih, Sayang. Kau cantik seperti bidadari yang meniti
pelangi.” Perempuan itu menggamit dagunya dengan penuh kasih
sayang.
“Benarkah, Bu? Berarti ada banyak bidadari di pelangi itu?”
Bocah perempuan itu menunjuk pelangi yang menggantung samar di
langit. Surya yang baru muncul dari balik awan menyilaukannya. Hujan
telah lama berlalu, menggiring awan kelabu.
“Ya.”
“Berarti para bidadari itu tidak sekolah?”
“Tidak. Sama denganmu, kan?”
“Tapi aku tak sekolah karena menjaga Ibu yang sakit. Sementara
bidadari itu tak sekolah karena hanya ingin bermain-main di pelangi.
Bukankah itu tidak baik?” Perempuan itu tertawa perlahan. Suaranya
merdu menggema. Ia menjentik ujung hidung putrinya.
“Kau pintar sekali.”
“Iya, dong. Anak Ibu..” Tawa keduanya berderai.
KABUT
“Arin tak ingin Ibu bekerja seberat ini, sampai larut malam baru
pulang dan berangkat lagi pagi-pagi benar. Ibu akan lebih sering
sakit.” Protes itu menghambur keluar dari bibir tipis Arin, gadis
belia empat belas tahun, yang membukakan pintu untuk seorang
perempuan paruh baya yang keayuan wajahnya masih membayang kental di
balik kerut-merut samar. Wajah yang letih, dengan sepasang mata
berkabut dan senyum yang pedih.
“Tidak, Sayang. Jangan berkata begitu. Ibu harus berjuang demi
mewujudkan cita-citamu.” tukas perempuan itu sembari memasuki
rumah. Arin membuntuti. Mereka bersimpang arah di ruang tengah. Gadis
bermata kejora itu membelok ke kanan dan menghilang segera di balik
dinding. Sementara ibunya meneruskan langkah menuju ruang tamu. Arin
muncul kembali dengan segelas teh manis panas pada nampan yang
dipegang. Sambil berjalan, sepasang matanya melirik jam dinding.
Pukul sebelas lebih lima menit. Ia mengeluh perlahan.
“Bagaimana dagangan Ibu hari ini?” Ia meletakkan nampan di meja,
di samping kursi jati tua yang diduduki ibunya.
“Lumayan, Arin. Ada banyak pembeli menjelang sore.”
“Berarti sepi sepanjang siang?” Perempuan itu mengangguk.
“Ini salah Ayah!” ketus nada suara gadis itu. Garang. Ia
memalingkan wajahnya ke dinding yang kosong tanpa hiasan. Menelan air
mata yang nyaris menggenang.
“Jangan berkata begitu. Ini takdir, Arin.”
“Tidak, Bu. Ini memang salah Ayah. Kenapa Ayah harus meninggalkan
Ibu demi perempuan lain dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai
seorang lelaki? Seorang Ayah?” Arin nyaris berteriak, namun
perlahan menurunkan volume suaranya di penghujung kalimat saat
menatap sepasang mata yang letih di depannya.
“Arin! Berhenti menjelekkan ayahmu. Bagaimanapun, ia tetaplah
seorang ayah yang harus kau hormati.” Perempuan itu memotong
kalimat anak gadisnya dengan tegas. Tidak, ia takkan membiarkan
anaknya tumbuh menjadi anak yang kurang ajar. Anak yang tak memiliki
rasa hormat terhadap orang tua.
“Tapi...”
“Yang terjadi adalah kami tak lagi sepaham. Yang kau sebut sebagai
perempuan lain itu kini menjadi ibu kedua untukmu, tempatmu kelak
bernaung saat Ibu tak ada.”
“Tidak! Ibu akan selalu ada untukku. Jangan berkata begitu, Bu.”
“Ibu seperti halnya semua makhluk di bumi ini, Arin. Takkan
abadi.”
“Tidak! Bagiku Ibu abadi. Karena Ibu ada di sini..” Gadis
berkulit kuning langsat itu menunjuk dadanya. Ibunya menghela napas
berat. Tapi ia tak mendebat lagi. Ia cukup mengerti, dalam usianya
yang masih muda dan pergolakan hati yang menggelora, putrinya itu
takkan menerima sanggahan atas pendapatnya dengan mudah. Terlebih ia
menjadi saksi atas apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Arin terlampau kenyang melahap kesepian, keletihan dan kesedihan
ibunya. Arin tahu betapa perempuan yang sangat menyayanginya itu
sangat terpukul dengan kepergian lelaki yang selama ini menjadi
sandaran dan tempat bernaung. Lelaki yang saat Arin kecil, selalu
menyunggingkan senyum begitu ia menyeru ,”Ayah!” Tubuh kecil Arin
kerap berada dalam gendongannya, dilambung-lambungkan ke udara. Jika
sudah begitu, Arin akan sukacita membentangkan tangannya laksana
burung. Arin bahagia. Ibu juga tertawa. Ah, betapa perih hati Arin
saat mengingat tawa ibunya yang telah lama hilang.
“Ibu,” Sebuah sentuhan di punggung tangannya membuyarkan lamunan
perempuan itu. Ia mengangkat wajah dan menatap sepasang mata indah di
depannya. Mata Arin yang berkaca-kaca. “Pulanglah lebih cepat esok
hari. Arin tak ingin Ibu pulang selarut ini lagi. Arin ingin bersama
Ibu lebih lama. Selama-lamanya.” Mata itu memohon dengan sangat.
Sungguh sebuah pinta yang tak tertolak.
MATAHARI
“Arin!”
Gadis remaja bertubuh semampai itu menghentikan langkahnya dan
reflek memutar tubuh ke pemilik suara di belakangnya. Senyumnya
mengembang samar. Ia kembali melanjutkan ayunan kaki pada tujuan
semula, tak mengindahkan sosok di belakangnya yang berlari
ngos-ngosan mengejarnya. Cowok itu telah menjajari langkahnya.
“Arin, tunggu dulu.”
“Ada apa, Azka?” tanya Arin tak acuh, tak melirik, apalagi
menghentikan ayunan kaki.
“Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Kamu mau, kan?” Suara itu
begitu mengharap.
“Entahlah. Aku tanya ibuku dulu, ya?” Azka yang masih kerepotan
mengimbangi langkah Arin yang tergesa, terbahak seketika. Gadis itu
sontak menghentikan langkah, menatap tak senang pada cowok berambut
ikal yang masih enggan menghentikan tawanya.
“Apanya yang lucu?!” sergahnya.
“Hellooo, Arin.” Cowok itu melambaikan tangannya di depan
wajah Arin dengan lagak menggoda. “Kamu itu sudah besar, Arin. Masa
iya hanya untuk memutuskan kamu akan naik panggung atau tidak harus
dengan persetujuan ibu, sih? Anak mami banget.” Azka sibuk
nyerocos dengan sisa tawa di bibirnya, namun terhenti seketika kala
menyadari tatapan setajam belati yang dipancarkan gadis di
hadapannya.
“Maaf.., maaf, Arin. Aku salah bicara, ya?” Ia menyadari ada
yang salah.
“Kau tak punya ibu, Azka?” tanya gadis itu sedingin salju.
“Tentulah aku punya.” Cepat Azka menjawab.
“Apakah kau mengabaikannya karena merasa telah cukup besar untuk
mengambil keputusan? Takkah kau ingin membahagiakan ibumu? Ibu yang
telah mempertaruhkan nyawanya untukmu?!” Cowok itu tergagap.
Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Ia terdiam, mematung di
tempatnya. Terus begitu, hingga bayangan Arin lenyap dari pandangan.
Angin yang mempermainkan ujung rambutnya membuat ia paham satu hal,
gadis itu bukan gadis biasa.
Esok dan esoknya lagi adalah hari yang melelahkan untuk Arin. Lelah
memacu langkah ketika cowok yang kemarin lagi-lagi menyeru namanya.
Lelah menjawab tidak dan lelah mendengar bujukan dengan kalimat yang
itu ke itu juga.
“Arin, ayolah. Ini demi sekolah kita. Cuma kamu satu-satunya
jagoan baca puisi di sekolah.”
“Aku minta maaf, Azka. Tapi ibuku tak mengijinkanku ke luar
malam-malam begitu.”
“Aku yang akan menjemput dan mengantarmu.”
“Itu lebih tak mungkin lagi.”
“Kenapa?”
“Karena aku tak ingin ibu berpikiran buruk tentangku yang bersama
denganmu.”
“Arin, please. Apa yang
harus kulakukan agar ibumu dapat memberikan ijinnya?”
“Tak ada.” Arin menyahut cepat dan ringan sambil mengibaskan
tangan, tak ingin berbicara lagi. Ia meninggalkan Azka yang hanya
mampu mengembuskan napas berat. Sungguh, bukan hal yang mudah
menundukkan hati gadis itu.
Ini hari yang melelahkan. Arin baru saja pulang dari mengajar les
matematika untuk beberapa orang anak sekolah dasar. Ia ingin tiba di
rumahnya sebelum matahari jatuh dan langit menjadi lebih hitam.
Namun, beberapa meter sebelum mencapai pintu, langkahnya terhenti.
Dua orang yang tengah bercakap-cakap di teras membuatnya menghela
napas panjang.
“Nah, itu dia orangnya. Arin, kemarilah. Ini ada Nak Azka.”
Arin menatap Azka yang duduk di samping ibunya sambil mengeluh dalam
hati. Untuk apa cowok keras kepala itu datang ke rumahnya? Untuk
merayu Ibu?
Arin meneruskan langkahnya dengan hati tak menentu. Ia mencoba
menyusun kalimat yang akan dikatakannya, namun semua berantakan.
Senyum Ibu. Ya, semua karena senyum Ibu. Arin paham apa arti senyum
itu.
Azka yang duduk dengan air muka penuh kemenangan itu menunggu
langkah Arin yang kian mendekat. Ia melihat matahari di belakang
kepala gadis itu. Matahari senja yang kemilau, langit merah yang
indah. Semua keindahan itu membalut tubuh Arin ketika ia tersenyum.
Meski tak tertuju untuknya, namun senyum Arin adalah senyum matahari,
yang akan membangunkannya pada pagi-pagi mendatang.
HUJAN
“Azka itu anak yang baik. Jangan perlakukan dia dengan kurang
baik.”
“Ibu..”
“Jangan pernah menjadikan ayahmu sebagai alasan untuk memusuhi
laki-laki, Arin. Usiamu masih sangat muda. Bergaullah dengan luas.
Timba dan seraplah pengetahuan dari sekitar tanpa membeda-bedakan.
Kau tak mungkin membatasi pergaulan hanya dengan perempuan saja. Ilmu
datang dari segala penjuru, Anakku. Dari lelaki, dari perempuan.”
“Ibu..”
“Lagipula, ayahmu tak sepenuhnya salah. Kami bersimpang jalan dan
itu biasa, Sayang. Dunia ini begitu indah. Masa remaja tak mungkin
terulang, jadi jangan sia-siakan karena pemahaman yang salah.”
“Ibu..”
“Kalau kau memang menyayangi dan ingin membahagiakan Ibu,
lakukanlah apa yang Ibu katakan. Ibu tak ingin kau menyesali waktu
yang berlalu, Arin.” Suara perempuan itu semakin parau, tersekap
airmata. Ia menarik syal coklat yang membelit lehernya. Dingin
terlampau tajam menusuk. Sungguhpun di balik syal itu kerah baju
hangatnya telah demikian tebal membekap, tetap saja darahnya terasa
setengah membeku.
Hujan di luar turun tanpa henti, semakin deras dari waktu ke waktu.
Langit seperti pintu yang mengalirkan laut dan sungai. Badai
menggila, mengacaukan irama daun dan ranting-ranting. Gadis remaja
itu mendekat, memeluk ibunya dan mengalirkan kehangatan yang ia
punya. Ia merasakan degup jantung ibunya yang tak biasa. Ia menunduk,
melihat lebih dalam pada sepasang mata yang berkubang hujan. Arin
mengeratkan pelukannya.
Ini hari ke tujuh. Ibu tak juga sembuh. Tubuhnya panas tinggi,
giginya kerap gemeretak menahan dingin, sepasang matanya berat
menahan kantuk dan sesekali igauan menyentak malam. Arin menatap
wajah ibunya. Wajah yang kuyu, pias dan tak bercahaya.
“Ibu..” panggil Arin lirih. Benaknya dipenuhi ketakutan. Ia
melupakan pe-er, melupakan sekolah. Ia hanya ingin di samping Ibu.
“Arin. Hubungi Ayah.” Wajah Arin mengeras seketika.
“Tidak, Bu.”
“Arin, besok ulang tahun Ibu.”
“Iya, Arin ingat, Bu. Arin akan belikan hadiah istimewa untuk
Ibu.” Arin mengulas senyum, membelai rambut ibunya dengan sepenuh
sayang.
“Tak usah dibeli. Hubungi Ayah. Anggap saja itu hadiah untuk Ibu.”
Perempuan itu berkata tersendat-sendat, diselingi batuk beruntun.
“Ibu..”
“Lakukanlah, Arin.” Tegas nada suara itu, tak ingin dilawan.
Arin mengangguk, tak kuasa membantah, karena yang diinginkannya Ibu
bahagia. Dan Arin melihat sekerlip cahaya memancar di sepasang mata
lelahnya. Arin mengerti kini, cinta Ibu adalah cinta yang sejati.
Untuknya, untuk Ayah.
POHON-POHON
Arin merapatkan sweater-nya.
Tak ada hujan, tak ada angin. Tapi udara begitu dingin dirasakannya.
Arin menunduk, tatapannya mencoba menembus gundukan tanah bertabur
bunga di hadapannya, menjangkau sosok diam di bawah sana. Sosok
dingin yang pasti membutuhkan pelukannya.
“Arin, ayo kita pulang.” Sebuah tangan merengkuh bahunya seiring
kalimat yang terlontar lembut meski tegas, merapatkan kepalanya pada
dada bidang yang kehangatan dan aromanya terasa asing. Arin tak kuasa
menolak. Ia begitu lemah kini.
Pulanglah, Arin. Gadis
itu mendengar ibunya berkata. Sebatang pohon yang kau
butuhkan telah tersedia. Berlindunglah di sana dan buat hatimu
menghangat seperti saat ia menggenggam tanganmu dulu. Ingatlah
masa-masa bersama, lupakan saat-saat terluka dan kehilangan.
Sepasang mata Arin
berkaca-kaca. Ia tahu, ia harus membuat Ibu bahagia.
“Arin, menangislah. Biar Ibu yang
menghapus airmatamu.” Suara yang sebenar-benar lembut menimpali,
menggenggam jemarinya yang dingin. Ibu..,
Arin mengeja dalam hati. Ibu kedua.
Gadis belia itu membiarkan dua
orang di sisinya memapah langkahnya yang limbung. Ia mendengar suara
ibunya yang semakin pelan dan jauh, hingga akhirnya hilang ditelan
kesiur angin. Di depannya menjulang sesosok tubuh yang wajahnya
begitu hangat mengilap diterpa surya yang bersinar lembut. Arin
takkan lupa, cowok itu yang duduk di samping Ibu, senja beberapa
waktu sebelumnya. Arin mendesah. Senyum Ibu membayang di wajah pemuda
itu.
“Itu temanmu, Arin?”
“Azka,” Arin menjawab pertanyaan ayahnya lirih, nyaris tak
terdengar..
“Dari tadi ia di sana. Sepertinya memang menunggumu. Apakah kau
ingin berbicara dengannya sebentar?” Lama Arin diam, sebelum
mengangguk pelan.
“Baiklah. Kami tunggu di sini.”
Arin berjalan lambat. Pandangannya terhalang air mata. Namun ia
dapat melihat Azka yang berjalan mendekat. Ia bahkan melihat bayangan
ibunya di belakang cowok itu. Tersenyum. Arin merasakan kerinduannya
menyesak. Air matanya seperti air bah yang mengalir tanpa henti.
“Arin,” panggil Azka dengan suara tercekat. Gadis di depannya
terlihat begitu lemah, tak berdaya. Sebuah kesadaran yang hinggap
seketika, membuat Azka menghambur cepat meraih tubuh Arin yang
limbung.
Arin tersenyum. Ia melihat ibunya
lari mendekat dan memeluknya. Membelai rambutnya dan tersenyum damai.
Arin.., senyumlah, Nak. Jangan menangis lagi, Sayang.
“Ariinn!!”
Suara-suara di sekitarnya mengambang. Arin tak mengindahkan. Hanya
suara Ibu. Hanya senyum Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar