Pages

Rabu, 08 Januari 2014

YANG DATANG BERSAMA HUJAN



Oleh: R. Yulia

Dimuat Hr. Padang Ekspres, 15 Desember 2013

Perempuan itu muncul bersamaan dengan memudarnya matahari pada suatu pagi yang mendung di bulan Desember. Gerimis jatuh tak lama kemudian, seperti tetes embun yang tiba-tiba meraksasa lalu berubah menjadi hujan deras. Hujan yang teramat deras di pagi hari, hujan yang membunuh. Itu kusadari berwaktu-waktu sesudahnya.
Perempuan paruh baya berwajah teduh itu muncul seperti benda yang diminta oleh tongkat ajaib. Kau pasti tahu maksudku. Ya, dia datang begitu tiba-tiba. Bahkan aku tak tahu, ia berjalan dari timur, barat atau utara. Aku lupa tanggalnya, meski ingat itu tak terlalu jauh meninggalkan tanggal muda. Aku baru saja menerima sejumlah uang di dalam amplop dari tangan suamiku.
Perempuan itu berjalan terseok-seok, seperti kelelahan menanggung sekarung beban yang dipanggul di bahu kanannya -kadang ia memindahkannya ke bahu kiri, namun tak meletakkannya sama sekali.
Ia tiba di depan pintu pagar dan mematung seperti hantu, menatapku. Aku yang sibuk menyiapkan keperluan suami yang akan berangkat bekerja dan anak yang akan pergi sekolah, tak begitu memedulikannya.
Aku mendekati perempuan itu sesaat setelah suami dan anakku berangkat meninggalkan rumah, tersenyum ragu dan melirik sekilas pada karung di bahunya. Ia belum meletakkannya sama sekali.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah.
"Apa yang ingin kau ceritakan padaku?" ia balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku. Keningku mengerut, tak paham sama sekali.
"Aku?" Telunjukku terarah ke dada, tak begitu yakin. Ia mengangguk.
"Ya. Ceritakan kesedihanmu." Aku menatapnya setengah melongo. Kesedihan? Apa yang dimaksudkannya?
"Aku bahagia dan tak memiliki sedikitpun rasa sedih. Hidupku sempurna, dengan suami yang baik dan seorang putri yang pintar dan lucu." kataku akhirnya. Perempuan itu tersenyum. Ia memindahkan karungnya ke bahu kanan.
"Kau yakin?" Aku mengangguk.
"Baiklah, meskipun saat ini kupikir saat yang tepat untukmu membagi kesedihan, mungkin tidak menurutmu. Permisi," ujarnya sambil mengangguk sedikit, berbalik dan mengayun langkah menjauh. Aku tertegun menatap punggungnya yang ditunggangi karung.
"Tunggu dulu," cegahku cepat-cepat sebelum langkahnya semakin jauh meninggalkan halaman rumah. Aku menghadangnya. "Ibu akan ke mana?"
"Aku akan mencari kesedihan yang lain sebelum kantung ini menjadi terlampau berat untuk kupikul." Kerut di dahiku semakin dalam dan berlipat-lipat.
"Ibu mengumpulkan kesedihan orang-orang?" Ia mengangguk.

"Semua orang?" Ia menggeleng.
"Hanya dari perempuan saja."
"Perempuan? Kenapa?"
"Karena hanya perempuan yang banyak menanggung kesedihan. Mereka menyimpannya dalam-dalam pada sebuah lubang yang tak terlihat di bawah kulit, mereka mengunyahnya diam-diam meski sulit untuk menelan dan mengubur tinja kesedihan pada pusara yang dibangun di bawah pikiran. Perempuan terbiasa menelan air mata hingga mereka kekenyangan." Aku melongo.
"Aku akan datang kepadamu, suatu saat nanti."
Perempuan itu pergi bersama gerimis yang tercerabut dan mengembalikan matahari perlahan-lahan pada ketinggian yang menghangatkan. Perempuan itu lenyap bahkan sebelum mencapai tikungan. Aku menepuk kepala dengan keras. Ini pasti mimpi!
Aku melupakan perempuan itu dalam sekejap mata.
Hujan di bulan Desember seperti tangis yang tak berkesudahan. Sambung-menyambung, kait-mengait. Hanya menyisakan beberapa menit untuk jeda gerimis, lalu pecah kembali diusung gelegar halilintar yang jumawa.
Setengah frustasi aku melempar pandangan lewat jendela setelah melirik jam dinding berbandul kecil sekilas. Pukul sebelas lebih lima menit. Aduh, bagaimana ini? Aku harus ke sekolah menjemput Sandra, ke mini market di tikungan Padangbaru membeli saus tiram dan ke Pasar Mudiak untuk membeli ikan tenggiri kesukaan suamiku. Ketiganya tak dapat kubatalkan. Saus tiram harus dibeli karena aku telah menumis bumbu ayam sebelum teringat tak ada lagi sisa saus itu di lemari gantung. Ikan tenggiri juga harus dibeli karena suamiku tak suka ayam, seperti halnya Sandra dan aku. Menjemput Sandra? Oh, itu hal yang lebih tak mungkin kutinggalkan. Suamiku tak bisa menjemput karena letak kantornya yang jauh dari sekolah Sandra. Tapi hujan begitu deras, mantel koyak dan payungku rusak. Ojek juga tak ada yang melintas. Taksi? Ohoho, kami tinggal di kota kecil yang dibentengi perbukitan dan dibingkai danau perawan, jadi taksi belumlah dibutuhkan oleh penghuninya.
Kuputuskan untuk menelepon suami. Terdengar nada tunggu. Cukup lama aku menanti, nada tunggu demi nada tunggu berakhir dengan bunyi tut tut tut.., sambungan putus. Aku berdecak, gelisah. Ke mana lelaki itu? Mengapa ia tak menjawab teleponku?
Ingat Sandra, kuputuskan untuk menerobos hujan. Aku seorang ibu, apalah artinya hujan dibanding anakku yang tengah cemas menunggu? Teman-temannya pasti telah dijemput ayah dan ibu masing-masing. Apakah ia menangis? Ah, semoga saja tidak. Mengenakan jaket parasut tebal dan topi, aku meninggalkan rumah setengah berlari sambil berharap ada ojek yang melintas. Sandra melekat erat di mata dan pikiranku.
Pelataran sekolah Sandra terlihat lengang. Genangan air setinggi mata kaki menyelimuti permukaan lantai. Tatapanku liar mencari-cari. Tak ada sosok gadis kecilku di sana. Aku terus berlari menuju kelasnya. Juga tak ada siapa-siapa. Kepanikan hinggap dan mematuk-matuk seperti burung pelatuk kesukaan Sandra. Aku bergegas menuju ruang guru. Hanya dua orang guru perempuan yang tersisa.
"Bu, saya mau menjemput Sandra tapi dia sudah tak ada di kelasnya. Apakah Ibu tahu di mana anak saya?" tanyaku dengan suara dan tubuh bergetar. Aku bahkan lupa mengucapkan salam. Keduanya menatapku dengan bingung, lalu menggeleng.
"Bukannya Sandra tadi sudah dijemput, Bu?" ujar salah seorang yang berambut pirang. Ah, bahkan gurupun mengecat rambut agar terlihat modis. Tak sadar kubelai rambutku dengan hati garing. Rambut yang bercabang dan kering, minus perawatan.
"Dijemput? Siapa? Ayahnya?"
"Bukan. Seorang perempuan." Aku seperti tersengat bisa.
"Seorang perempuan?" Guru berambut pirang itu mengangguk kuat-kuat.
"Ya, Tuhaaann. Sandraku!" pekikku dengan tubuh limbung.
Aku menelepon suami. Nada tunggu. Begitu terus saat kuulangi. Ke mana dia? Ah lelaki, mengapa mereka begitu cepat mengangkat telepon ketika masih berpacaran ketimbang sudah menikah? Tut...tut..tut.. Kumasukkan ponsel ke dalam tas dengan hati tak karuan dan pikiran bercabang. Di mana Sandra? Siapa perempuan yang menjemputnya? Apakah dia sudah di rumah?
Tak seorang pun berada di dalam rumah mungil beratap merah milik kami ketika aku tiba dan masuk dengan langkah melayang. Wajahku memucat seketika dengan tubuh mendingin dan darah membeku. Di mana Sandra?
"Ceritakanlah kesedihanmu," kalimat itu menyusupi telinga. Aku terperanjat dan reflek berlari ke beranda. Astaga, perempuan paruh baya itu! Ia berdiri di sana, di tengah bulir hujan yang berlomba-lomba menikam bumi.
Aku menatapnya sejurus, lekat ke sepasang mata yang berkabut. Aku menggeleng. Hanya satu gelengan dan perempuan itu lenyap bersama guntur yang menggelegar. Air mataku menitik perlahan, kuseka cepat-cepat.
Hariku begitu panjang dan tak berkesudahan seiring menghilangnya Sandra. Polisi, koran, radio, televisi dan selebaran menjadi media yang kuharapkan untuk menjangkau Sandra dan mengembalikannya ke pelukanku, dada yang sesak oleh luka. Dada yang kebanjiran air mata.
"Kau seorang ibu yang tak bertanggung jawab! Bagaimana mungkin kau bisa terlambat menjemput Sandra hanya karena hujan? Keterlaluan!! "
"Maafkan aku."
"Maaf? Kau kira bisa membeli maafku dengan uang berapa? Lima ratus rupiah pun tak sanggup kau hasilkan. Kau ........."
Seandainya saja telingaku bukan buatan Tuhan, tentu tak kuperkenankan ratusan kalimat merah yang keluar dari bibir sinis lelaki itu merangsak masuk. Bukan hanya sekarang, bahkan sejak tirai bulan madu belum disibakkan.
"Kau perempuan yang tak menghangatkan." Desis tajam itu masih mengapung di benakku. Air mataku menggenang sungkan, enggan menitik keluar.
Hujan yang tumpah-ruah sepanjang Desember serta hari-hari yang berlari dalam diam dan kegelisahan adalah penantian tak berujung yang terus kujalani, tanpa Sandra. Tak seorang pun menemukannya. Di mana Sandra?
Pikiranku yang carut-marut oleh tanda tanya keberadaan Sandra dilindas oleh keinginan suamiku untuk memiliki seorang anak lagi. Sayangnya, usaha siang malam yang dilecutnya sekuat tenaga hanya membuahkan murka di suatu senja, selepas lima langkah yang terayun dari ambang pintu klinik seorang dokter kandungan terkemuka di kota Bukittinggi. Ia tak percaya dengan dokter kandungan di kota kami yang dianggapnya tak cukup pengalaman dan wawasan. Diagnosanya selalu salah, mungkin saat kuliah dulu ipk-nya tak mencapai 3, vonis suamiku ketika mendapatkan Sandra, bayi yang dalam hasil USG dinyatakan laki-laki. Aku diam, seperti biasa. Setuju atau tidak setuju.
"Ini gila. Kau bahkan bukan hanya tak bisa melahirkan seorang anak laki-laki, bahkan anak perempuan juga. Ada apa dengan rahimmu? Ada apa dengan keperempuananmu? Kau benar-benar tak berharga!" Serapah yang keluar dari bibirnya adalah tikaman yang paling mematikan atas harga diriku.
Sampah kata-kata itu terus mengalir sepanjang perjalanan. Terus menyekap dan membekapku melebihi mabuk yang acap menyerang ketika melintasi kelok 44. Aku mual cukup lama dan sempat berpikir untuk membuka pintu lalu terjun melayang ke danau Maninjau yang membentangkan tangan.
Kulirik tajam lelaki yang masih mengoceh di sebelahku. Lelaki yang telah menciptakan dinding tebal untukku menjenguk dunia luar. Kupikir aku akan menangis sebentar lagi. Ternyata, tidak. Aku hanya merasakan ngilu sesaat. Kami tiba di rumah mungil beratap merah dengan dia yang masih terus menggerutu dan aku yang gagu.
"Dengar, Tantya!" Ia menghentikan langkahku di tengah ruangan. "Mungkin semuanya akan berakhir kalau kau benar-benar tak bisa memiliki anak lagi." Aku mengangguk dan meneruskan langkah menuju kamar. Hujan mulai mengetuk atap rumah.
"Masihkah kau ingin menceritakan kesedihanmu, Tantya?" Sebuah suara menerobos masuk ke kamarku di antara gemuruh hujan yang bertepuk tangan di atap, daun-daun dan kaca jendela. Aku berlari meninggalkan lelaki yang baru mengempaskan tubuhnya di ranjang, yang aromanya terasa semakin asing menyentuh cuping hidung.
Perempuan paruh baya itu muncul di beranda rumahku seperti dulu, diantar hujan yang membalut tubuh dan karungnya. Aku menerobos manik matanya yang berkabut dan menyelam jauh ke dalam hatinya.
"Di mana Sandra?" tanya itu terlompat segera dari mulutku.
"Ia bersamaku." Seraut wajah mungil dengan sepasang mata coklat berkilau muncul dari balik punggungnya. Aku terkesima. Itu Sandra. Itu mataku.
Aku bersimpuh dan merentangkan tangan, menunggu. Tapi gadis kecil itu tak berlari menjemput pelukanku.
"Sandra, kemari, Sayang. Ibu merindukanmu.." Air mataku berdesak-desakan memenuhi pelupuk, lalu tumpah seketika tatkala melihat gelengannya.
"Kenapa? Kenapa ia tak mau bersamaku?" tanyaku setengah putus asa.
Perempuan itu tersenyum. Sandra juga tersenyum. Perempuan itu menurunkan karungnya dan meletakkannya ke lantai beranda, tepat di depanku. Angin kencang yang bertiup sembarangan kemudian melenyapkan semuanya. Perempuan itu, Sandra, juga hujan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar