Oleh: R. Yulia
Dimuat Hr. Padang Ekspres, 15 Desember 2013
Perempuan itu muncul bersamaan
dengan memudarnya matahari pada suatu pagi yang mendung di bulan
Desember. Gerimis jatuh tak lama kemudian, seperti tetes embun yang
tiba-tiba meraksasa lalu berubah menjadi hujan deras. Hujan yang
teramat deras di pagi hari, hujan yang membunuh. Itu kusadari
berwaktu-waktu sesudahnya.
Perempuan paruh baya berwajah
teduh itu muncul seperti benda yang diminta oleh tongkat ajaib. Kau
pasti tahu maksudku. Ya, dia datang begitu tiba-tiba. Bahkan aku tak
tahu, ia berjalan dari timur, barat atau utara. Aku lupa tanggalnya,
meski ingat itu tak terlalu jauh meninggalkan tanggal muda. Aku baru
saja menerima sejumlah uang di dalam amplop dari tangan suamiku.
Perempuan itu berjalan
terseok-seok, seperti kelelahan menanggung sekarung beban yang
dipanggul di bahu kanannya -kadang ia memindahkannya ke bahu kiri,
namun tak meletakkannya sama sekali.
Ia tiba di depan pintu pagar dan
mematung seperti hantu, menatapku. Aku yang sibuk menyiapkan
keperluan suami yang akan berangkat bekerja dan anak yang akan pergi
sekolah, tak begitu memedulikannya.
Aku mendekati perempuan itu
sesaat setelah suami dan anakku berangkat meninggalkan rumah,
tersenyum ragu dan melirik sekilas pada karung di bahunya. Ia belum
meletakkannya sama sekali.
"Ada yang bisa saya bantu?"
tanyaku ramah.
"Apa yang ingin kau
ceritakan padaku?" ia balik bertanya tanpa menjawab
pertanyaanku. Keningku mengerut, tak paham sama sekali.
"Aku?" Telunjukku
terarah ke dada, tak begitu yakin. Ia mengangguk.
"Ya. Ceritakan
kesedihanmu." Aku menatapnya setengah melongo. Kesedihan? Apa
yang dimaksudkannya?
"Aku bahagia dan tak
memiliki sedikitpun rasa sedih. Hidupku sempurna, dengan suami yang
baik dan seorang putri yang pintar dan lucu." kataku akhirnya.
Perempuan itu tersenyum. Ia memindahkan karungnya ke bahu kanan.
"Kau yakin?" Aku
mengangguk.
"Baiklah, meskipun saat ini
kupikir saat yang tepat untukmu membagi kesedihan, mungkin tidak
menurutmu. Permisi," ujarnya sambil mengangguk sedikit, berbalik
dan mengayun langkah menjauh. Aku tertegun menatap punggungnya yang
ditunggangi karung.
"Tunggu dulu," cegahku
cepat-cepat sebelum langkahnya semakin jauh meninggalkan halaman
rumah. Aku menghadangnya. "Ibu akan ke mana?"
"Aku akan mencari kesedihan
yang lain sebelum kantung ini menjadi terlampau berat untuk kupikul."
Kerut di dahiku semakin dalam dan berlipat-lipat.
"Ibu mengumpulkan kesedihan
orang-orang?" Ia mengangguk.
"Semua orang?" Ia
menggeleng.
"Hanya dari perempuan
saja."
"Perempuan? Kenapa?"
"Karena hanya perempuan
yang banyak menanggung kesedihan. Mereka menyimpannya dalam-dalam
pada sebuah lubang yang tak terlihat di bawah kulit, mereka
mengunyahnya diam-diam meski sulit untuk menelan dan mengubur tinja
kesedihan pada pusara yang dibangun di bawah pikiran. Perempuan
terbiasa menelan air mata hingga mereka kekenyangan." Aku
melongo.
"Aku akan datang kepadamu,
suatu saat nanti."
Perempuan itu pergi bersama
gerimis yang tercerabut dan mengembalikan matahari perlahan-lahan
pada ketinggian yang menghangatkan. Perempuan itu lenyap bahkan
sebelum mencapai tikungan. Aku menepuk kepala dengan keras. Ini pasti
mimpi!
Aku melupakan perempuan itu
dalam sekejap mata.
Hujan di bulan Desember seperti
tangis yang tak berkesudahan. Sambung-menyambung, kait-mengait. Hanya
menyisakan beberapa menit untuk jeda gerimis, lalu pecah kembali
diusung gelegar halilintar yang jumawa.
Setengah frustasi aku melempar
pandangan lewat jendela setelah melirik jam dinding berbandul kecil
sekilas. Pukul sebelas lebih lima menit. Aduh, bagaimana ini? Aku
harus ke sekolah menjemput Sandra, ke mini market di tikungan
Padangbaru membeli saus tiram dan ke Pasar Mudiak untuk membeli ikan
tenggiri kesukaan suamiku. Ketiganya tak dapat kubatalkan. Saus tiram
harus dibeli karena aku telah menumis bumbu ayam sebelum teringat tak
ada lagi sisa saus itu di lemari gantung. Ikan tenggiri juga harus
dibeli karena suamiku tak suka ayam, seperti halnya Sandra dan aku.
Menjemput Sandra? Oh, itu hal yang lebih tak mungkin kutinggalkan.
Suamiku tak bisa menjemput karena letak kantornya yang jauh dari
sekolah Sandra. Tapi hujan begitu deras, mantel koyak dan payungku
rusak. Ojek juga tak ada yang melintas. Taksi? Ohoho, kami tinggal di
kota kecil yang dibentengi perbukitan dan dibingkai danau perawan,
jadi taksi belumlah dibutuhkan oleh penghuninya.
Kuputuskan untuk menelepon
suami. Terdengar nada tunggu. Cukup lama aku menanti, nada tunggu
demi nada tunggu berakhir dengan bunyi tut tut tut.., sambungan
putus. Aku berdecak, gelisah. Ke mana lelaki itu? Mengapa ia tak
menjawab teleponku?
Ingat Sandra, kuputuskan untuk
menerobos hujan. Aku seorang ibu, apalah artinya hujan dibanding
anakku yang tengah cemas menunggu? Teman-temannya pasti telah
dijemput ayah dan ibu masing-masing. Apakah ia menangis? Ah, semoga
saja tidak. Mengenakan jaket parasut tebal dan topi, aku meninggalkan
rumah setengah berlari sambil berharap ada ojek yang melintas. Sandra
melekat erat di mata dan pikiranku.
Pelataran sekolah Sandra
terlihat lengang. Genangan air setinggi mata kaki menyelimuti
permukaan lantai. Tatapanku liar mencari-cari. Tak ada sosok gadis
kecilku di sana. Aku terus berlari menuju kelasnya. Juga tak ada
siapa-siapa. Kepanikan hinggap dan mematuk-matuk seperti burung
pelatuk kesukaan Sandra. Aku bergegas menuju ruang guru. Hanya dua
orang guru perempuan yang tersisa.
"Bu, saya mau menjemput
Sandra tapi dia sudah tak ada di kelasnya. Apakah Ibu tahu di mana
anak saya?" tanyaku dengan suara dan tubuh bergetar. Aku bahkan
lupa mengucapkan salam. Keduanya menatapku dengan bingung, lalu
menggeleng.
"Bukannya Sandra tadi sudah
dijemput, Bu?" ujar salah seorang yang berambut pirang. Ah,
bahkan gurupun mengecat rambut agar terlihat modis. Tak sadar kubelai
rambutku dengan hati garing. Rambut yang bercabang dan kering, minus
perawatan.
"Dijemput? Siapa? Ayahnya?"
"Bukan. Seorang perempuan."
Aku seperti tersengat bisa.
"Seorang perempuan?"
Guru berambut pirang itu mengangguk kuat-kuat.
"Ya, Tuhaaann. Sandraku!"
pekikku dengan tubuh limbung.
Aku menelepon suami. Nada
tunggu. Begitu terus saat kuulangi. Ke mana dia? Ah lelaki, mengapa
mereka begitu cepat mengangkat telepon ketika masih berpacaran
ketimbang sudah menikah? Tut...tut..tut.. Kumasukkan ponsel ke dalam
tas dengan hati tak karuan dan pikiran bercabang. Di mana Sandra?
Siapa perempuan yang menjemputnya? Apakah dia sudah di rumah?
Tak seorang pun berada di dalam
rumah mungil beratap merah milik kami ketika aku tiba dan masuk
dengan langkah melayang. Wajahku memucat seketika dengan tubuh
mendingin dan darah membeku. Di mana Sandra?
"Ceritakanlah kesedihanmu,"
kalimat itu menyusupi telinga. Aku terperanjat dan reflek berlari ke
beranda. Astaga, perempuan paruh baya itu! Ia berdiri di sana, di
tengah bulir hujan yang berlomba-lomba menikam bumi.
Aku menatapnya sejurus, lekat ke
sepasang mata yang berkabut. Aku menggeleng. Hanya satu gelengan dan
perempuan itu lenyap bersama guntur yang menggelegar. Air mataku
menitik perlahan, kuseka cepat-cepat.
Hariku begitu panjang dan tak
berkesudahan seiring menghilangnya Sandra. Polisi, koran, radio,
televisi dan selebaran menjadi media yang kuharapkan untuk menjangkau
Sandra dan mengembalikannya ke pelukanku, dada yang sesak oleh luka.
Dada yang kebanjiran air mata.
"Kau seorang ibu yang tak
bertanggung jawab! Bagaimana mungkin kau bisa terlambat menjemput
Sandra hanya karena hujan? Keterlaluan!! "
"Maafkan aku."
"Maaf? Kau kira bisa
membeli maafku dengan uang berapa? Lima ratus rupiah pun tak sanggup
kau hasilkan. Kau ........."
Seandainya saja telingaku bukan
buatan Tuhan, tentu tak kuperkenankan ratusan kalimat merah yang
keluar dari bibir sinis lelaki itu merangsak masuk. Bukan hanya
sekarang, bahkan sejak tirai bulan madu belum disibakkan.
"Kau perempuan yang tak
menghangatkan." Desis tajam itu masih mengapung di benakku. Air
mataku menggenang sungkan, enggan menitik keluar.
Hujan yang tumpah-ruah sepanjang
Desember serta hari-hari yang berlari dalam diam dan kegelisahan
adalah penantian tak berujung yang terus kujalani, tanpa Sandra. Tak
seorang pun menemukannya. Di mana Sandra?
Pikiranku yang carut-marut oleh
tanda tanya keberadaan Sandra dilindas oleh keinginan suamiku untuk
memiliki seorang anak lagi. Sayangnya, usaha siang malam yang
dilecutnya sekuat tenaga hanya membuahkan murka di suatu senja,
selepas lima langkah yang terayun dari ambang pintu klinik seorang
dokter kandungan terkemuka di kota Bukittinggi. Ia tak percaya dengan
dokter kandungan di kota kami yang dianggapnya tak cukup pengalaman
dan wawasan. Diagnosanya
selalu salah, mungkin saat kuliah dulu ipk-nya tak mencapai 3, vonis
suamiku ketika mendapatkan Sandra, bayi yang dalam hasil USG
dinyatakan laki-laki. Aku diam, seperti biasa. Setuju atau tidak
setuju.
"Ini gila. Kau bahkan bukan
hanya tak bisa melahirkan seorang anak laki-laki, bahkan anak
perempuan juga. Ada apa dengan rahimmu? Ada apa dengan
keperempuananmu? Kau benar-benar tak berharga!" Serapah yang
keluar dari bibirnya adalah tikaman yang paling mematikan atas harga
diriku.
Sampah kata-kata itu terus
mengalir sepanjang perjalanan. Terus menyekap dan membekapku melebihi
mabuk yang acap menyerang ketika melintasi kelok 44. Aku mual cukup
lama dan sempat berpikir untuk membuka pintu lalu terjun melayang ke
danau Maninjau yang membentangkan tangan.
Kulirik
tajam lelaki yang masih mengoceh di sebelahku. Lelaki yang telah
menciptakan dinding tebal untukku menjenguk dunia luar. Kupikir aku
akan menangis sebentar lagi. Ternyata, tidak. Aku hanya merasakan
ngilu sesaat. Kami
tiba di rumah mungil beratap merah dengan dia yang masih terus
menggerutu dan aku yang gagu.
"Dengar, Tantya!" Ia
menghentikan langkahku di tengah ruangan. "Mungkin semuanya akan
berakhir kalau kau benar-benar tak bisa memiliki anak lagi." Aku
mengangguk dan meneruskan langkah menuju kamar. Hujan mulai mengetuk
atap rumah.
"Masihkah kau ingin
menceritakan kesedihanmu, Tantya?" Sebuah suara menerobos masuk
ke kamarku di antara gemuruh hujan yang bertepuk tangan di atap,
daun-daun dan kaca jendela. Aku berlari meninggalkan lelaki yang baru
mengempaskan tubuhnya di ranjang, yang aromanya terasa semakin asing
menyentuh cuping hidung.
Perempuan paruh baya itu muncul
di beranda rumahku seperti dulu, diantar hujan yang membalut tubuh
dan karungnya. Aku menerobos manik matanya yang berkabut dan menyelam
jauh ke dalam hatinya.
"Di mana Sandra?"
tanya itu terlompat segera dari mulutku.
"Ia bersamaku." Seraut
wajah mungil dengan sepasang mata coklat berkilau muncul dari balik
punggungnya. Aku terkesima. Itu Sandra. Itu mataku.
Aku bersimpuh dan merentangkan
tangan, menunggu. Tapi gadis kecil itu tak berlari menjemput
pelukanku.
"Sandra, kemari, Sayang.
Ibu merindukanmu.." Air mataku berdesak-desakan memenuhi
pelupuk, lalu tumpah seketika tatkala melihat gelengannya.
"Kenapa? Kenapa ia tak mau
bersamaku?" tanyaku setengah putus asa.
Perempuan itu tersenyum. Sandra
juga tersenyum. Perempuan itu menurunkan karungnya dan meletakkannya
ke lantai beranda, tepat di depanku. Angin kencang yang bertiup
sembarangan kemudian melenyapkan semuanya. Perempuan itu, Sandra,
juga hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar