foto oleh Syecfich S
R. Yulia
Aku ingin menangis hari ini. Seperti yang pernah kulakukan kemarin,
kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan beratus hari yang telah
menjauh. Membiarkan mata, pipi dan tangan penuh dengan linangan air
mata. Bukan hanya kesedihan yang memancing kilauan bening itu
mengalir, namun juga keharuan, kebahagiaan. Menangis, meluapkan beban
yang mengimpit hati, melapangkan kesempitan dan membuatku dapat
merapikan ulang kata-kata yang akan terlontar kemudian. Begitulah,
semestinya.
Namun kali ini berbeda. Kesedihan itu sudah sedemikian mengental,
merongrong hati, mencubit kemarahan dan mendesak-desak di lorong
retina. Air mata laksana bah yang tak sabar meronta. Tapi tak ada
linangan, kilau berkaca-kaca, konon pula buliran bening yang disusul
derai seumpama hujan. Tak ada.
Aku masih menatap jauh, melampaui jendela yang terbentang lebar,
menyajikan langit senja yang memerah jingga. Langit yang kusuka.
Tiap-tiap senja, aku berdiri di depan jendela, menanti langit
memerah dan surya merambat turun ke garis cakrawala. Aku menatapnya
lekat dan menyimpan rekam jejaknya dalam ingatan. Lalu di Rabu pagi
yang senantiasa cerah, aku akan menuangkan ingatan itu dalam lembaran
kertas gambar. Mewarnainya hingga gradasi merah jingganya benar-benar
mengilap dan tak berbatas. Senyumku seketika merekah manakala
menatapnya kemudian. Aku memindahkan senja dan itu membuatku bahagia.
Selalu ada senja yang menggayuti mataku. Selalu ada senja di hari
Rabu.
"Gambarmu bagus, Rathy." Seseorang melontarkan pujian dari
samping mejaku. Meja yang berantakan dengan crayon dan spidol
beraneka-warna. Aku tahu siapa pemilik suara itu.
"Terima kasih, Bu." Aku mengucapkannya dengan hormat,
meski tak mengangkat wajah dan tatapanku yang terlekat di kertas
gambar. Sementara jemariku erat menggenggam crayon yang menari-nari.
Sosok itu bertahan beberapa saat sebelum berlalu ke meja lainnya.
Aku menyukainya, senja, melebihi rasa suka terhadap es krim vanila.
Namun tak seperti es krim vanila yang tak gampang kudapatkan, senja
selalu menghampiri tanpa aku harus bersusah-payah mencari dan
memimpikannya. Aku juga tak perlu mengeluarkan air mata untuk
menikmatinya. Tak seperti es krim vanila. Ibu kerap melarangku
membelinya. Entah kenapa. Tak ada alasan yang terlontar, karena ibu
hanya menjawab pintaku dengan gelengan.
Aku mengerti ibu tak memiliki sisa uang yang banyak setiap harinya.
Ibu hanya meninggalkan beberapa recehan di dompetnya sesaat setelah
senja berlalu. Itu adalah sisa dari belanja harian yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Kami hanya bertiga. Aku, ibu dan ayah.
Makan kami juga tak terlalu banyak. Namun, harga kebutuhan pokok yang
senantiasa membubung tak mampu dikejar oleh penghasilan ayah sebagai
kuli panggul dan ibu yang berjualan makanan ringan di depan
sekolahku.
Aku kerap mencuri dengar dari balik pintu kamar, keluh-kesah ibu dan
ayah. Terkadang kudapati air mata mengalir di pipi ibu. Tanpa isak.
Bahkan air mata juga melinangi mata ayah, meski ia menahannya
sedemikian rupa agar tak mencelat keluar.
Aku hanya sekali merasakan nikmatnya es krim vanila. Setelah itu,
aku hanya dapat menjilati kenikmatannya dalam kelepak mimpi. Beberapa
kali meminta dan tak diberi, aku menyerah. Melenyapkan bayangannya
bahkan dalam teguk liurku ketika menatap anak-anak tetangga menjilati
sisa es krim di punggung tangan mereka. Hanya air mataku yang menitik
jatuh, seperti saat ibu membentakku tempo hari di depan penjual es
krim.
Lalu perlahan aku melupakannya. Minatku beralih pada senja, yang
lebih memikat.
Aku ingin menangis kali ini. Pada sudut remang di depan jendela,
menikmati senja. Namun sulit sekali. Besok, Rabu, dan kupastikan
takkan ada senja yang berpindah. Buku gambarku habis. Tak ada tempat
untuk senjaku yang kesekian kali. Meminta ibu untuk membelikannya?
Ah, hatiku gentar dan kecut seketika membayangkan reaksinya kelak.
Ibu pasti murka, seperti kala kujawab pertanyaannya kemarin malam
tentang cita-cita.
"Aku ingin menjadi pelukis, Bu." Jawaban itu pasti
kulontarkan dengan wajah sumringah, penuh semangat dan harapan.
Namun, semua antusias itu luruh perlahan saat mendapati wajah geram
ibu di hadapanku.
"Kau..." Ia kehilangan kata-kata. Kalimatnya tak selesai,
menggantung di udara.
Tanpa memandang, ibu mondar-mandir di hadapanku dengan langkah
berdentam-dentam. Perempuan itu sepertinya tengah berusaha mengais
kata-kata. Kata-kata yang lebih lunak dari yang dipikirkan dan juga
yang lebih mudah kucerna. Itu menurut pikiranku. Terbaca dari
wajahnya yang muram, bibirnya yang mengatup dan dahinya yang
mengerut. Lalu ia menghampiri dan setengah membungkuk, mendekatkan
wajahnya ke wajahku. Wajah yang serius, dengan tatapan setajam
belati, menikam tepat di manik mata. Aku bergidik, menunduk.
"Kau tahu, Nak? Kita ini orang miskin. Papa. Jelata. Jadi,
bercita-citalah menjadi orang kaya. Karena untuk itulah kami
menyekolahkanmu. Bukan untuk menjadi pelukis yang bermenung sepanjang
hari selama berbulan-bulan, menunggu seseorang datang membeli
lukisannya. Pilihlah cita-cita yang masuk akal, seperti pengusaha,
pejabat, dokter, insinyur atau paling sedikit pegawai." Kalimat
itu diucapkan dengan penuh tekanan dan perasaan. Sangat tajam,
melukai selubung halus hatiku yang menyimpan rekam senja dan harapan.
Aku kuyu.
Sebenarnya, bisa saja aku membantah kalimat ibu. Tapi tak sampai
hati rasanya kala melihatnya begitu bersungguh-sungguh. Bukankah aku
berhutang kehidupan padanya?
Rabu pagi, aku termangu di ambang pintu. Menimbang-nimbang ragu.
"Cepatlah sarapan. Nanti kau terlambat ke sekolah kalau
mematung berlama-lama seperti itu," tegur Ibu yang memergokiku.
Aku melangkah perlahan, mendekatinya.
"Ibu, boleh aku meminta sedikit uang? Buku gambarku habis. Hari
ini ada pelajaran menggambar di sekolah." Ibu yang tengah
menyendok nasi, menghentikan gerakannya. Aku menunduk, meskipun ia
tak menoleh sedikitpun.
"Mengapa kau selalu menghabiskan buku gambarmu lebih awal
ketimbang teman-temanmu yang lain?" keluhnya setelah diam
sesaat, sembari melanjutkan kegiatannya semula. Aku menelan ludah
dengan susah-payah.
"Kau menggambar melebihi apa yang diminta gurumu, bukan?"
Aku mengangguk.
"Kau boleh membelinya kalau bisa berjanji."
"Janji apa, Bu?"
"Berjanjilah untuk memakainya hanya di saat jam pelajaran
menggambar. Tak lebih. Karena Ibu tak bisa membelikan sebanyak yang
kau inginkan. Kita butuh makanan, bukannya buku gambar." Aku
menggigit bibir. Pilihan, meskipun tak dapat dipilih, harus
dijatuhkan.
"Kau mau berjanji?" Aku mengangguk, perlahan. Menindih
hasrat. Pedih.
Sayangnya, janji itu tak terpatri dalam kotak ingatanku. Ia hanya
singgah sesaat di pagi itu, lalu menguap seketika saat lembaran buku
gambar kubuka dan jemariku yang menggenggam pensil bergerak lincah di
atasnya. Lembar demi lembar kosong mulai terisi dan satu demi satu
senja berpindah. Diiringi decak kagum teman sekolah dan ibu guru,
beberapa pasang mata yang terpana, buku gambar lahap melumat senja.
Habis. Tak sepetak ruang putih pun tersisa.
"Kamu benar-benar berbakat, Rathy. Senja-senja yang berbeda,
namun penuh pesona." Aku diam, tak hendak menyanggah, konon pula
berbangga. Ah, bahkan Bu Guru pun tak memahami betapa semua senja
yang kulukis adalah sama. Senja yang buta dan kesepian.
Perempuan di samping mejaku membungkuk, mendekatkan bibirnya ke
telingaku. "Buatlah gambar yang paling bagus di buku baru. Rabu
depan Ibu akan mengenalkanmu dengan seorang pelukis sungguhan. Kamu
akan mendapatkan banyak ilmu baru darinya." Aku tertegun.
Seorang pelukis? Ah, bermimpikah aku?
Aku mendongak, menatap Bu Guru tepat di manik matanya, menelusuri
kebenaran. Perempuan itu mengangguk. Hatiku bersorak, tubuhku
melayang. Namun sebuah kesadaran menjerembabkanku pada sebuah
kenyataan. Aku tak punya buku gambar. Tatapku lekat menghunjam
lembaran buku gambar di depanku. Bagaimana ini? Darimana kudapatkan
buku gambar baru untuk hari Rabu?
Lalu semua terjadi begitu saja. Aku mencuri. Tak ada jalan yang
terbuka untukku demi mendapatkan uang untuk membeli buku gambar,
kecuali selembar uang lima ribuan yang tergeletak di atas bantal, di
kamar ibu. Aku bukannya tak berperang bimbang saat memutuskan
pilihan. Namun pilihan, meskipun tak dapat dipilih, tetap harus
dijatuhkan.
Murka ibu pecah, buncah, menggelegak, berkobar-kobar;
membumi-hanguskan kelembutannya. Semua melalapku saat kepanikannya
menemukanku bersama buku gambar baru. Memberangus kata maaf yang
ingin kulontarkan. Aku menggigil dalam diam, diantara seligit makian.
Buku gambar dalam pelukan, gemetar tertular ketakutan.
Lalu tiba-tiba, semua terjadi demikian cepat. Dalam sekejap, buku
gambar di dekapanku telah berpindah ke tangan ibu. Aku tak
menyerahkannya, karena ibu pun tak meminta. Ia merampasnya. Ya, ibu
merenggut paksa buku itu dan mengacung-acungkannya di depan wajahku.
Ia mengucapkan kalimat-kalimat yang sarat rona ketakpantasan.
Kemarahannya semakin meluap melihat aku hanya diam menunduk dan
selanjutnya...kreeess...kreesss.. Tangannya geram menyobek, menepikan
iba. Buku gambar itu robek beberapa bagian dan terbang lunglai dari
genggaman ibu yang mengendur. Aku terperangah, tak mampu
berkata-kata. Hanya memandangi sobekan kertas gambar yang bertebar di
dekat kakiku dengan hati tersayat.
Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Aku menghukum diri.
Kupikir, ibu melampiaskan kemarahannya pada buku gambar semata karena
tak ingin menyakiti tubuhku. Tapi ibu melakukan hal yang lebih kejam,
ia melukai senjaku.
Aku mengunci diri berjam-jam lamanya, melalukan jam makan. Aku terus
di kamar, berdiri di depan jendela. Menatap langit, menikmati senja,
menunggu air mata.
Senja berlalu, enggan menunggu, enggan merayu. Aku meratapi
kepergiannya sebagai hukuman. Yah, hukuman karena telah mencuri uang
ibu. Hukuman yang memenjarakan senja untuk waktu yang lama. Takkan
ada titah bagi pensil dan jemari.
Di dapur, perempuan yang tak lagi muda, duduk tertunduk menekuri
lantai. Matanya acap alpa mengerjap. Ia membiarkan kepedihan
melingkupi penglihatan. Bulir-bulir bening menggenangi lantai. Ia tak
ingin menangis. Namun, asap yang meliuk gemulai dari kertas yang
terbakar di dekatnya, membuat tangisnya terkail tanpa henti.
Kertas-kertas itu adalah senja-senja, yang dibingkai oleh
jemari-jemari mungil milik anaknya. Ia tergugu. Airmata itu memang
miliknya, takdirnya. Namun bukan milik gadis kecil yang mengurung
diri. Pun senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar