Pages

Rabu, 27 November 2013

AIR MATA SENJA


 foto oleh Syecfich S

R. Yulia

Aku ingin menangis hari ini. Seperti yang pernah kulakukan kemarin, kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan beratus hari yang telah menjauh. Membiarkan mata, pipi dan tangan penuh dengan linangan air mata. Bukan hanya kesedihan yang memancing kilauan bening itu mengalir, namun juga keharuan, kebahagiaan. Menangis, meluapkan beban yang mengimpit hati, melapangkan kesempitan dan membuatku dapat merapikan ulang kata-kata yang akan terlontar kemudian. Begitulah, semestinya.
Namun kali ini berbeda. Kesedihan itu sudah sedemikian mengental, merongrong hati, mencubit kemarahan dan mendesak-desak di lorong retina. Air mata laksana bah yang tak sabar meronta. Tapi tak ada linangan, kilau berkaca-kaca, konon pula buliran bening yang disusul derai seumpama hujan. Tak ada.
Aku masih menatap jauh, melampaui jendela yang terbentang lebar, menyajikan langit senja yang memerah jingga. Langit yang kusuka.
Tiap-tiap senja, aku berdiri di depan jendela, menanti langit memerah dan surya merambat turun ke garis cakrawala. Aku menatapnya lekat dan menyimpan rekam jejaknya dalam ingatan. Lalu di Rabu pagi yang senantiasa cerah, aku akan menuangkan ingatan itu dalam lembaran kertas gambar. Mewarnainya hingga gradasi merah jingganya benar-benar mengilap dan tak berbatas. Senyumku seketika merekah manakala menatapnya kemudian. Aku memindahkan senja dan itu membuatku bahagia.
Selalu ada senja yang menggayuti mataku. Selalu ada senja di hari Rabu.

"Gambarmu bagus, Rathy." Seseorang melontarkan pujian dari samping mejaku. Meja yang berantakan dengan crayon dan spidol beraneka-warna. Aku tahu siapa pemilik suara itu.
"Terima kasih, Bu." Aku mengucapkannya dengan hormat, meski tak mengangkat wajah dan tatapanku yang terlekat di kertas gambar. Sementara jemariku erat menggenggam crayon yang menari-nari. Sosok itu bertahan beberapa saat sebelum berlalu ke meja lainnya.
Aku menyukainya, senja, melebihi rasa suka terhadap es krim vanila. Namun tak seperti es krim vanila yang tak gampang kudapatkan, senja selalu menghampiri tanpa aku harus bersusah-payah mencari dan memimpikannya. Aku juga tak perlu mengeluarkan air mata untuk menikmatinya. Tak seperti es krim vanila. Ibu kerap melarangku membelinya. Entah kenapa. Tak ada alasan yang terlontar, karena ibu hanya menjawab pintaku dengan gelengan.
Aku mengerti ibu tak memiliki sisa uang yang banyak setiap harinya. Ibu hanya meninggalkan beberapa recehan di dompetnya sesaat setelah senja berlalu. Itu adalah sisa dari belanja harian yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kami hanya bertiga. Aku, ibu dan ayah. Makan kami juga tak terlalu banyak. Namun, harga kebutuhan pokok yang senantiasa membubung tak mampu dikejar oleh penghasilan ayah sebagai kuli panggul dan ibu yang berjualan makanan ringan di depan sekolahku.
Aku kerap mencuri dengar dari balik pintu kamar, keluh-kesah ibu dan ayah. Terkadang kudapati air mata mengalir di pipi ibu. Tanpa isak. Bahkan air mata juga melinangi mata ayah, meski ia menahannya sedemikian rupa agar tak mencelat keluar.
Aku hanya sekali merasakan nikmatnya es krim vanila. Setelah itu, aku hanya dapat menjilati kenikmatannya dalam kelepak mimpi. Beberapa kali meminta dan tak diberi, aku menyerah. Melenyapkan bayangannya bahkan dalam teguk liurku ketika menatap anak-anak tetangga menjilati sisa es krim di punggung tangan mereka. Hanya air mataku yang menitik jatuh, seperti saat ibu membentakku tempo hari di depan penjual es krim.
Lalu perlahan aku melupakannya. Minatku beralih pada senja, yang lebih memikat.
Aku ingin menangis kali ini. Pada sudut remang di depan jendela, menikmati senja. Namun sulit sekali. Besok, Rabu, dan kupastikan takkan ada senja yang berpindah. Buku gambarku habis. Tak ada tempat untuk senjaku yang kesekian kali. Meminta ibu untuk membelikannya? Ah, hatiku gentar dan kecut seketika membayangkan reaksinya kelak. Ibu pasti murka, seperti kala kujawab pertanyaannya kemarin malam tentang cita-cita.
"Aku ingin menjadi pelukis, Bu." Jawaban itu pasti kulontarkan dengan wajah sumringah, penuh semangat dan harapan. Namun, semua antusias itu luruh perlahan saat mendapati wajah geram ibu di hadapanku.
"Kau..." Ia kehilangan kata-kata. Kalimatnya tak selesai, menggantung di udara.
Tanpa memandang, ibu mondar-mandir di hadapanku dengan langkah berdentam-dentam. Perempuan itu sepertinya tengah berusaha mengais kata-kata. Kata-kata yang lebih lunak dari yang dipikirkan dan juga yang lebih mudah kucerna. Itu menurut pikiranku. Terbaca dari wajahnya yang muram, bibirnya yang mengatup dan dahinya yang mengerut. Lalu ia menghampiri dan setengah membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Wajah yang serius, dengan tatapan setajam belati, menikam tepat di manik mata. Aku bergidik, menunduk.
"Kau tahu, Nak? Kita ini orang miskin. Papa. Jelata. Jadi, bercita-citalah menjadi orang kaya. Karena untuk itulah kami menyekolahkanmu. Bukan untuk menjadi pelukis yang bermenung sepanjang hari selama berbulan-bulan, menunggu seseorang datang membeli lukisannya. Pilihlah cita-cita yang masuk akal, seperti pengusaha, pejabat, dokter, insinyur atau paling sedikit pegawai." Kalimat itu diucapkan dengan penuh tekanan dan perasaan. Sangat tajam, melukai selubung halus hatiku yang menyimpan rekam senja dan harapan. Aku kuyu.
Sebenarnya, bisa saja aku membantah kalimat ibu. Tapi tak sampai hati rasanya kala melihatnya begitu bersungguh-sungguh. Bukankah aku berhutang kehidupan padanya?
Rabu pagi, aku termangu di ambang pintu. Menimbang-nimbang ragu.
"Cepatlah sarapan. Nanti kau terlambat ke sekolah kalau mematung berlama-lama seperti itu," tegur Ibu yang memergokiku. Aku melangkah perlahan, mendekatinya.
"Ibu, boleh aku meminta sedikit uang? Buku gambarku habis. Hari ini ada pelajaran menggambar di sekolah." Ibu yang tengah menyendok nasi, menghentikan gerakannya. Aku menunduk, meskipun ia tak menoleh sedikitpun.
"Mengapa kau selalu menghabiskan buku gambarmu lebih awal ketimbang teman-temanmu yang lain?" keluhnya setelah diam sesaat, sembari melanjutkan kegiatannya semula. Aku menelan ludah dengan susah-payah.
"Kau menggambar melebihi apa yang diminta gurumu, bukan?" Aku mengangguk.
"Kau boleh membelinya kalau bisa berjanji."
"Janji apa, Bu?"
"Berjanjilah untuk memakainya hanya di saat jam pelajaran menggambar. Tak lebih. Karena Ibu tak bisa membelikan sebanyak yang kau inginkan. Kita butuh makanan, bukannya buku gambar." Aku menggigit bibir. Pilihan, meskipun tak dapat dipilih, harus dijatuhkan.
"Kau mau berjanji?" Aku mengangguk, perlahan. Menindih hasrat. Pedih.
Sayangnya, janji itu tak terpatri dalam kotak ingatanku. Ia hanya singgah sesaat di pagi itu, lalu menguap seketika saat lembaran buku gambar kubuka dan jemariku yang menggenggam pensil bergerak lincah di atasnya. Lembar demi lembar kosong mulai terisi dan satu demi satu senja berpindah. Diiringi decak kagum teman sekolah dan ibu guru, beberapa pasang mata yang terpana, buku gambar lahap melumat senja. Habis. Tak sepetak ruang putih pun tersisa.
"Kamu benar-benar berbakat, Rathy. Senja-senja yang berbeda, namun penuh pesona." Aku diam, tak hendak menyanggah, konon pula berbangga. Ah, bahkan Bu Guru pun tak memahami betapa semua senja yang kulukis adalah sama. Senja yang buta dan kesepian.
Perempuan di samping mejaku membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Buatlah gambar yang paling bagus di buku baru. Rabu depan Ibu akan mengenalkanmu dengan seorang pelukis sungguhan. Kamu akan mendapatkan banyak ilmu baru darinya." Aku tertegun. Seorang pelukis? Ah, bermimpikah aku?
Aku mendongak, menatap Bu Guru tepat di manik matanya, menelusuri kebenaran. Perempuan itu mengangguk. Hatiku bersorak, tubuhku melayang. Namun sebuah kesadaran menjerembabkanku pada sebuah kenyataan. Aku tak punya buku gambar. Tatapku lekat menghunjam lembaran buku gambar di depanku. Bagaimana ini? Darimana kudapatkan buku gambar baru untuk hari Rabu?
Lalu semua terjadi begitu saja. Aku mencuri. Tak ada jalan yang terbuka untukku demi mendapatkan uang untuk membeli buku gambar, kecuali selembar uang lima ribuan yang tergeletak di atas bantal, di kamar ibu. Aku bukannya tak berperang bimbang saat memutuskan pilihan. Namun pilihan, meskipun tak dapat dipilih, tetap harus dijatuhkan.
Murka ibu pecah, buncah, menggelegak, berkobar-kobar; membumi-hanguskan kelembutannya. Semua melalapku saat kepanikannya menemukanku bersama buku gambar baru. Memberangus kata maaf yang ingin kulontarkan. Aku menggigil dalam diam, diantara seligit makian. Buku gambar dalam pelukan, gemetar tertular ketakutan.
Lalu tiba-tiba, semua terjadi demikian cepat. Dalam sekejap, buku gambar di dekapanku telah berpindah ke tangan ibu. Aku tak menyerahkannya, karena ibu pun tak meminta. Ia merampasnya. Ya, ibu merenggut paksa buku itu dan mengacung-acungkannya di depan wajahku. Ia mengucapkan kalimat-kalimat yang sarat rona ketakpantasan.
Kemarahannya semakin meluap melihat aku hanya diam menunduk dan selanjutnya...kreeess...kreesss.. Tangannya geram menyobek, menepikan iba. Buku gambar itu robek beberapa bagian dan terbang lunglai dari genggaman ibu yang mengendur. Aku terperangah, tak mampu berkata-kata. Hanya memandangi sobekan kertas gambar yang bertebar di dekat kakiku dengan hati tersayat.
Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Aku menghukum diri. Kupikir, ibu melampiaskan kemarahannya pada buku gambar semata karena tak ingin menyakiti tubuhku. Tapi ibu melakukan hal yang lebih kejam, ia melukai senjaku.
Aku mengunci diri berjam-jam lamanya, melalukan jam makan. Aku terus di kamar, berdiri di depan jendela. Menatap langit, menikmati senja, menunggu air mata.
Senja berlalu, enggan menunggu, enggan merayu. Aku meratapi kepergiannya sebagai hukuman. Yah, hukuman karena telah mencuri uang ibu. Hukuman yang memenjarakan senja untuk waktu yang lama. Takkan ada titah bagi pensil dan jemari.
Di dapur, perempuan yang tak lagi muda, duduk tertunduk menekuri lantai. Matanya acap alpa mengerjap. Ia membiarkan kepedihan melingkupi penglihatan. Bulir-bulir bening menggenangi lantai. Ia tak ingin menangis. Namun, asap yang meliuk gemulai dari kertas yang terbakar di dekatnya, membuat tangisnya terkail tanpa henti. Kertas-kertas itu adalah senja-senja, yang dibingkai oleh jemari-jemari mungil milik anaknya. Ia tergugu. Airmata itu memang miliknya, takdirnya. Namun bukan milik gadis kecil yang mengurung diri. Pun senja.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar