gambar diunduh dari forum.kompas.com
R. Yulia
dimuat pada laman agamkab.go.id
Sepasang pengantin -
kekasih berwajah rembulan dan surya - berjalan lambat saling
bergandengan di hamparan karpet merah yang membentang menyelimuti
rumput, dengan tepi-tepi yang dijejali rangkaian bunga putih-merah,
berkotak-kotak senyum dan berliter-liter doa. Di atas kepala
pengantin, nun... langit memberi restu dengan mentari yang sumringah,
awan bergaun putih dan bentangan lazuardi tanpa batas.
Aku menatap lurus ke
wajah hangat yang tengah tersenyum di depanku. Sementara senyumku
meringkuk di dasar hati. Kuamati keseluruhan wajahnya. Menarik.
Sepasang mata seteduh telaga yang dinaungi alis berkarakter, hidung
mancung dan bibir yang sempurna mewakilkan kehangatan pribadinya.
"Kamu
harus menikah, Rahma. Usiamu tak muda lagi. Dua bulan ke depan tiga
puluh tahun. Akan semakin sulit untukmu menemukan jodoh yang sesuai
dengan keinginan. Pria sebayamu tentu lebih memilih gadis-gadis
belia. Sementara yang lebih tua, tentu sudah menikah. Tempat yang
bisa dipilih hanya menjadi istri kedua atau simpanan saja. Masya
Allah, jangan sampai itu terjadi padamu, Rahma."
Kata-kata
ibu mengiang, mengingatkan senantiasa. Seperti alarm yang
memekik-mekik di jam tertentu.
Menikah. Kata itu
seperti hantu yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Lebih khusus
lagi, saat bertemu dengan para lelaki yang berada di sekitarku dan
yang berusaha memikat serta mengikatku.
Ada alasan mengambang
yang tak dapat kujabarkan dengan kata-kata ketika satu kata itu
-menikah- disodorkan orang-orang dekat, bahkan detak jantungku.
Sebenarnya, aku bukan
tipe perempuan yang menolak atau anti pernikahan. Juga bukan
perempuan yang sangat menggebu-gebu ingin menikah hanya karena telah
melewati batas usia yang telah ditentukan umum dan budaya, sehingga
ketika seorang lelaki mulai mendekat (baru mulai) sudah langsung
ditangkap, hap! Wah, kukira patok-mematok usia perempuan untuk
menikah itu menjadi semacam guyonan paling garing di abad ini.
Aku hanya masih enggan,
itu saja. Bahkan, tak terbersit sedikitpun keinginan untuk menikah,
meski ada lelaki yang mendekati, dengan kriteria yang nyaris
menggenapi seluruh kriteriaku.
"Jangan
terlampau pilih-pilih tebu, Rahma. Nanti yang kau dapatkan malah
benalu."
"Rahma..."
Sapa atas namaku yang dilantunkan dengan lembut itu, menguapkan imaji
yang tak berkesudahan, juga kata-kata ibu yang mengiang. Semburat
malu karena ketahuan bertahan lama memaku khayal di wajahnya,
membuatku berpaling ke nasi goreng seafood
yang hampir dingin. Kuaduk-aduk isi piring dengan sendok dan garpu
yang bergerak kacau.
"Kamu melamun
begitu lama, Rahma. Apakah pertanyaanku begitu sukar untuk dijawab?"
Gerakan sendok dan garpu terhenti sesaat di udara. Aku menghela
nafas, menggeleng, lalu kembali mengaduk-aduk. Kali ini diiringi
suapan tak bersemangat, sesendok demi sesendok, seperti tarian
pengiring kematian. Ah ya, memikirkan pertanyaan lelaki itu seperti
mendengarkan sumbang koak-koak gagak di atas kepala.
"Tidak..,"
sahutku dengan suara tertelan, sesaat setelah menyesap avocado
juice yang
terlampau berlemak.
Denting
sendok beradu garpu di depanku mencuri perhatian. Apakah ia tengah
gugup? Atau kesal?
"Rahma..."
Aku menghentikan
seluruh gerakan tangan dan mengunyah makanan, menatapnya sekilas lalu
membuang pandang, menunggu kalimatnya berlanjut kemudian.
"Kamu harus
memberiku jawaban. Apapun itu. Menolak atau menerima. Aku tak mungkin
menunggu terlampau lama untuk sesuatu yang masih abu-abu."
Kata-kata itu, meski diucapkan perlahan dan lambat, tetap memberikan
tekanan lebih. Aku tersudut di bawah tatapannya yang menguliti.
"Arya....,"
kalimatku menggantung gugup. "Aku pikir....aku pikir.."
"Jawab saja, ya
atau tidak." Arya mengejar. "Atau masih perlu tambahan
waktu lagi?" Sebuah sindiran yang sangat mengena.
"Arya," kali
ini suaraku terdengar lebih mantap.
"Ya?"
"Aku akan
membicarakan hal ini dengan Ibu," putusku akhirnya. Sepasang
mata di depanku menyipit, desah nafasnya terdengar kemudian.
Setelah pertemuan itu,
selepas senja yang tak indah dan wajah yang tak bergairah, juga
senyum tawar dan anggukan seadanya yang melepasku keluar dari pintu
mobilnya, aku tak pernah lagi menemukannya, Si Pria Sempurna. Di
pelataran parkir kantor pada pukul lima sore maupun di teras rumahku
pada jam tujuh malam. Bahkan tak ada panggilan masuk atas namanya di
layar ponselku. Tidurku pun tak lagi menghadirkan senyumnya dalam
bunga pulas. Ia raib, lenyap dari seluruh sudut yang dapat kuingat.
Tak
hanya ibu yang bertanya tentang hilangnya si pria sempurna itu.
Kakak, adik, tetangga, bahkan sepasang kelinci pemberiannya pun
memancarkan sinar keingintahuan di matanya. Dimana,
kenapa, berapa lama, uh..
Aku?
Kehilangankah? Entahlah. Mungkin ada sedikit rasa yang aneh, ketika
tahu-tahu saja ia mencabut bayangan dan jejak keberadaannya dari sisi
hidupku. Tapi kesibukanku di kantor dan urusan menyelesaikan tesis
master di perkuliahan, terlampau banyak menelan waktu. Bahkan aku
lupa untuk mengunyah, menikmati setiap hal yang kulakoni.
Lalu di suatu pagi yang
mendung dengan rinai tipis rapat, sebuah teriakan melengking meloncat
dari kamar ibu. Aku tergopoh-gopoh menghampiri, bersama kakak, adik,
tetangga bahkan sepasang kelinci. Ibu terkulai di sisi tempat tidur
dengan wajah seputih kapas dan tangan bergetar tiada henti. Gaduh,
panik, raungan, isak-tangis, teriakan silih berganti memarau,
berlarian kesana-kemari, begitupula sepasang kelinci. Ponsel
berdering bergantian, sementara pintu kamar bersabar dikuak dengan
renggutan kasar.
Tak lama, raungan
sirine menerobos tanpa salam. Tiga petugas medis berbaju putih
bergegas memasuki kamar dengan membawa brankar. Mereka keluar tak
lama kemudian, membawa ibu menuju ambulans. Aku, kakak dan adik duduk
di sisi ibu dengan isak dan sedu.
"Menikahlah,
Rahma. Selagi Ibu masih hidup, agar dapat menyaksikannya. Pasti kau
akan cantik sekali dalam balutan baju pengantin. Ibu tak sabar
melihatnya."
Perlahan
suara ibu mengendap-endap merasuki ruang pendengaran. Aku terjaga.
Kantuk yang sempat menyergap, menguap seperti embun dijilat mentari.
Suara ibu terus berdengung seperti sekawanan lebah, sementara
pemiliknya berbaring di ranjang dengan mata mengatup dan beraneka
selang di beberapa bagian tubuhnya.
Aku menatap tubuh tak
berdaya itu dengan pikiran mengembara, berbalik ke masa-masa indah
dalam pangku dan dekapannya. Aku masih bisa merasakan kehangatannya.
Ibu yang baik, penyayang dan tegar. Ibu yang selalu menyembunyikan
sisa air matanya di lipatan kerah kebaya.
"Mengapa
Ibu menangis?" tanyaku suatu ketika, memergoki ibu terburu
menyusut airmata. Ibu melebarkan senyum, membelai rambutku.
"Tidak. Ibu
tidak menangis," bantah Ibu.
Aku menggeleng tak
percaya. Sembab, sudut mata yang berair dan kemerahan, ah bagaimana
mungkin menyangkal itu bukan jejak sebuah tangis?
"Ibu bohong.
Ibu menangis." Aku bersikeras. Ibu mencoba tersenyum, meski
terasa hambar.
"Kenapa Ibu
menangis? Ibu sedih? Ada yang jahat pada Ibu?" tanyaku
beruntun.
"Menangis tak
hanya berarti kesedihan, Rahma. Dalam bahagia kita juga bisa
menangis. Sudah, tidurlah. Hari sudah malam." Aku
manggut-manggut, berhenti bertanya karena ibu tak menginginkannya.
Lalu
soal tangis itu mengemuka lagi dalam perbincangan antara aku dan ibu,
ketika membahas keenggananku untuk menerima lamaran Arya.
"Kamu
menolaknya, Rahma?"
"Tidak, Bu.
Rahma hanya belum memberikan jawaban." Ibu mendesah.
"Rahma, kamu
membuang kesempatan untuk bahagia. Menikah itu ibadah dan akan
membuatmu bahagia."
"Banyak juga
yang menikah namun tak bahagia, Bu," bantahku halus.
"Itu karena
mereka tak menghayati dan memahami makna pernikahan. Menikah itu
menjadikan dua manusia yang berbeda sifat dan latar belakangnya untuk
menyatu dalam kehidupan. Tentu tak mudah. Tapi disanalah dituntut
kesabaran dan pengertian kita, agar bisa saling memahami dan berjalan
di arah yang sama. Proses seperti itu membutuhkan banyak energi dan
meminta keikhlasan penuh, namun sekaligus akan membuat kita bahagia,
Rahma. Memberi kuncinya."
"Memberi dan
menerima, Bu," tukasku cepat.
"Tidak."
Suara Ibu terdengar sangat tegas, tandas. "Saat memberi jangan
pikirkan apa yang akan kau terima. Memberilah dengan sepenuh hati,
karena kelak kamu akan menerima lebih banyak, Nak."
"Banyak yang
menangis dalam menjalani perkawinannya, Bu."
"Tangis dan
tawa itu tak terpisahkan, Rahma. Bahkan bila kamu tak menikah
sekalipun. Air mata akan memberimu kejernihan dalam memandang
kehidupan, sehingga dapat melepas tawa kemudian."
Aku
sangat menyayangi ibu. Sungguh. Sehingga kalimat terakhir itu tak
kusanggah lagi, sekalipun ingin. Bagaimana mungkin ibu bisa berkata
demikian, padahal aku menyaksikan tangisnya lebih sering terbuang
ketimbang tawa? Seingatku, ibu bahkan tak pernah tergelak semasa ayah
masih hidup. Ibu hanya tersenyum, senyum yang hambar menurutku.
Lalu,
ayah meninggal dan ibu kembali menangis diam-diam di bingkai jendela,
di bawah remang rembulan. Ibu tertawa tiga tahun kemudian,
sungguh-sungguh tertawa, ketika anak-anaknya telah menyelesaikan
pendidikan dengan baik dan mendapatkan pekerjaan yang sangat baik.
Ibu tergelak enam tahun setelahnya, ketika cucu pertamanya (anak
kakakku) lahir. Ibu menjelma menjadi bidadari berparas memesona,
kendati kerut menjejak di sana-sini.
Aku
mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menyusuri nama di daftar kontak,
terus dan terus hingga berhenti di satu nama. Aku mengejanya
perlahan, mencoba menemukan bayang wajahnya yang samar dan memejamkan
mata sesaat, mencari getar hangat yang kubutuhkan. Nihil.
Kutatap
wajah ibu yang pucat di atas ranjang rumah sakit. "Kamu
harus menikah, Rahma. Ibu kritis sekarang. Bukankah Ibu sangat ingin
kamu menikah? Tidakkah kamu juga ingin membahagiakan Ibu?" Kali
ini suara Kak Ayu yang memukul-mukul ruang dalam telingaku. Kalimat
yang baru diucapkan lima belas menit yang lalu itu, membuatku panik.
Panik karena ibu tak kunjung siuman. Panik karena dokter mengatakan,
hanya menunggu keajaiban. Panik karena aku mungkin harus menikah di
depan ibu yang koma.
Kudekati
ibu, kubelai rambutnya dengan sepenuh cinta, berharap ibu terjaga dan
membuka mata. Kutelusuri seluruh wajahnya dengan ujung jari. Yang
terjadi, mungkin memang harus yang diinginkan ibu. Apalah arti ya
dari mulutku kelak dibanding segala yang telah ibu berikan untukku?
Aku yakin, harap ibu pasti beriring doa untuk kebahagiaanku.
Air mataku mulai
menggenang, menitik tak lama kemudian dan tak henti mengalir di saat
aku menekan tombol panggil, melekatkan ponsel ke telinga dan
menunggu. Air mata melaju seperti bola salju. Tak terbendung.
Meski berulang tak ada
jawaban, aku terus menunggu, menekan ulang tombol panggil, menunggu
dan menekan tombol lagi. Air mata mengalir tiada henti. Terus dan
terus hingga menguyupi selaput retina, menghalangi arah pandang. Aku
abai akan satu hal, Ibu. Air bergulir satu-persatu dari matanya,
melintasi pipi, ke leher dan berlari menuju tengkuk. Berakhir di
sana, sesap dalam serat kerah kebaya. Ibu menangis tanpa suara. Ibu
menangis di perhelatan sepasang pengantin, di negeri awan kelabu.
Sepasang pengantin berwajah mendung dan kuyu, berjalan gegas di bawah
siraman hujan. Langit bergetar, menari lunglai bersama gemuruh dan
badai.
"Hallo, Rahma..."
Suara bariton yang tak asing, menyusup merangkaki liang telinga,
memerdekakan asa.
Menarik
BalasHapushttps://g.co/kgs/Lj7KAZ