Pages

Rabu, 27 November 2013

AIR MATA


gambar diunduh dari forum.kompas.com

R. Yulia
dimuat pada laman agamkab.go.id 

Sepasang pengantin - kekasih berwajah rembulan dan surya - berjalan lambat saling bergandengan di hamparan karpet merah yang membentang menyelimuti rumput, dengan tepi-tepi yang dijejali rangkaian bunga putih-merah, berkotak-kotak senyum dan berliter-liter doa. Di atas kepala pengantin, nun... langit memberi restu dengan mentari yang sumringah, awan bergaun putih dan bentangan lazuardi tanpa batas.
Aku menatap lurus ke wajah hangat yang tengah tersenyum di depanku. Sementara senyumku meringkuk di dasar hati. Kuamati keseluruhan wajahnya. Menarik. Sepasang mata seteduh telaga yang dinaungi alis berkarakter, hidung mancung dan bibir yang sempurna mewakilkan kehangatan pribadinya.
"Kamu harus menikah, Rahma. Usiamu tak muda lagi. Dua bulan ke depan tiga puluh tahun. Akan semakin sulit untukmu menemukan jodoh yang sesuai dengan keinginan. Pria sebayamu tentu lebih memilih gadis-gadis belia. Sementara yang lebih tua, tentu sudah menikah. Tempat yang bisa dipilih hanya menjadi istri kedua atau simpanan saja. Masya Allah, jangan sampai itu terjadi padamu, Rahma."
Kata-kata ibu mengiang, mengingatkan senantiasa. Seperti alarm yang memekik-mekik di jam tertentu.
Menikah. Kata itu seperti hantu yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Lebih khusus lagi, saat bertemu dengan para lelaki yang berada di sekitarku dan yang berusaha memikat serta mengikatku.
Ada alasan mengambang yang tak dapat kujabarkan dengan kata-kata ketika satu kata itu -menikah- disodorkan orang-orang dekat, bahkan detak jantungku.
Sebenarnya, aku bukan tipe perempuan yang menolak atau anti pernikahan. Juga bukan perempuan yang sangat menggebu-gebu ingin menikah hanya karena telah melewati batas usia yang telah ditentukan umum dan budaya, sehingga ketika seorang lelaki mulai mendekat (baru mulai) sudah langsung ditangkap, hap! Wah, kukira patok-mematok usia perempuan untuk menikah itu menjadi semacam guyonan paling garing di abad ini.
Aku hanya masih enggan, itu saja. Bahkan, tak terbersit sedikitpun keinginan untuk menikah, meski ada lelaki yang mendekati, dengan kriteria yang nyaris menggenapi seluruh kriteriaku.
"Jangan terlampau pilih-pilih tebu, Rahma. Nanti yang kau dapatkan malah benalu."
"Rahma..." Sapa atas namaku yang dilantunkan dengan lembut itu, menguapkan imaji yang tak berkesudahan, juga kata-kata ibu yang mengiang. Semburat malu karena ketahuan bertahan lama memaku khayal di wajahnya, membuatku berpaling ke nasi goreng seafood yang hampir dingin. Kuaduk-aduk isi piring dengan sendok dan garpu yang bergerak kacau.
"Kamu melamun begitu lama, Rahma. Apakah pertanyaanku begitu sukar untuk dijawab?" Gerakan sendok dan garpu terhenti sesaat di udara. Aku menghela nafas, menggeleng, lalu kembali mengaduk-aduk. Kali ini diiringi suapan tak bersemangat, sesendok demi sesendok, seperti tarian pengiring kematian. Ah ya, memikirkan pertanyaan lelaki itu seperti mendengarkan sumbang koak-koak gagak di atas kepala.
"Tidak..," sahutku dengan suara tertelan, sesaat setelah menyesap avocado juice yang terlampau berlemak.
Denting sendok beradu garpu di depanku mencuri perhatian. Apakah ia tengah gugup? Atau kesal?
"Rahma..."
Aku menghentikan seluruh gerakan tangan dan mengunyah makanan, menatapnya sekilas lalu membuang pandang, menunggu kalimatnya berlanjut kemudian.
"Kamu harus memberiku jawaban. Apapun itu. Menolak atau menerima. Aku tak mungkin menunggu terlampau lama untuk sesuatu yang masih abu-abu." Kata-kata itu, meski diucapkan perlahan dan lambat, tetap memberikan tekanan lebih. Aku tersudut di bawah tatapannya yang menguliti.
"Arya....," kalimatku menggantung gugup. "Aku pikir....aku pikir.."
"Jawab saja, ya atau tidak." Arya mengejar. "Atau masih perlu tambahan waktu lagi?" Sebuah sindiran yang sangat mengena.
"Arya," kali ini suaraku terdengar lebih mantap.
"Ya?"
"Aku akan membicarakan hal ini dengan Ibu," putusku akhirnya. Sepasang mata di depanku menyipit, desah nafasnya terdengar kemudian.
Setelah pertemuan itu, selepas senja yang tak indah dan wajah yang tak bergairah, juga senyum tawar dan anggukan seadanya yang melepasku keluar dari pintu mobilnya, aku tak pernah lagi menemukannya, Si Pria Sempurna. Di pelataran parkir kantor pada pukul lima sore maupun di teras rumahku pada jam tujuh malam. Bahkan tak ada panggilan masuk atas namanya di layar ponselku. Tidurku pun tak lagi menghadirkan senyumnya dalam bunga pulas. Ia raib, lenyap dari seluruh sudut yang dapat kuingat.
Tak hanya ibu yang bertanya tentang hilangnya si pria sempurna itu. Kakak, adik, tetangga, bahkan sepasang kelinci pemberiannya pun memancarkan sinar keingintahuan di matanya. Dimana, kenapa, berapa lama, uh..
Aku? Kehilangankah? Entahlah. Mungkin ada sedikit rasa yang aneh, ketika tahu-tahu saja ia mencabut bayangan dan jejak keberadaannya dari sisi hidupku. Tapi kesibukanku di kantor dan urusan menyelesaikan tesis master di perkuliahan, terlampau banyak menelan waktu. Bahkan aku lupa untuk mengunyah, menikmati setiap hal yang kulakoni.
Lalu di suatu pagi yang mendung dengan rinai tipis rapat, sebuah teriakan melengking meloncat dari kamar ibu. Aku tergopoh-gopoh menghampiri, bersama kakak, adik, tetangga bahkan sepasang kelinci. Ibu terkulai di sisi tempat tidur dengan wajah seputih kapas dan tangan bergetar tiada henti. Gaduh, panik, raungan, isak-tangis, teriakan silih berganti memarau, berlarian kesana-kemari, begitupula sepasang kelinci. Ponsel berdering bergantian, sementara pintu kamar bersabar dikuak dengan renggutan kasar.
Tak lama, raungan sirine menerobos tanpa salam. Tiga petugas medis berbaju putih bergegas memasuki kamar dengan membawa brankar. Mereka keluar tak lama kemudian, membawa ibu menuju ambulans. Aku, kakak dan adik duduk di sisi ibu dengan isak dan sedu.
"Menikahlah, Rahma. Selagi Ibu masih hidup, agar dapat menyaksikannya. Pasti kau akan cantik sekali dalam balutan baju pengantin. Ibu tak sabar melihatnya."
Perlahan suara ibu mengendap-endap merasuki ruang pendengaran. Aku terjaga. Kantuk yang sempat menyergap, menguap seperti embun dijilat mentari. Suara ibu terus berdengung seperti sekawanan lebah, sementara pemiliknya berbaring di ranjang dengan mata mengatup dan beraneka selang di beberapa bagian tubuhnya.
Aku menatap tubuh tak berdaya itu dengan pikiran mengembara, berbalik ke masa-masa indah dalam pangku dan dekapannya. Aku masih bisa merasakan kehangatannya. Ibu yang baik, penyayang dan tegar. Ibu yang selalu menyembunyikan sisa air matanya di lipatan kerah kebaya.
"Mengapa Ibu menangis?" tanyaku suatu ketika, memergoki ibu terburu menyusut airmata. Ibu melebarkan senyum, membelai rambutku.
"Tidak. Ibu tidak menangis," bantah Ibu.
Aku menggeleng tak percaya. Sembab, sudut mata yang berair dan kemerahan, ah bagaimana mungkin menyangkal itu bukan jejak sebuah tangis?
"Ibu bohong. Ibu menangis." Aku bersikeras. Ibu mencoba tersenyum, meski terasa hambar.
"Kenapa Ibu menangis? Ibu sedih? Ada yang jahat pada Ibu?" tanyaku beruntun.
"Menangis tak hanya berarti kesedihan, Rahma. Dalam bahagia kita juga bisa menangis. Sudah, tidurlah. Hari sudah malam." Aku manggut-manggut, berhenti bertanya karena ibu tak menginginkannya.
Lalu soal tangis itu mengemuka lagi dalam perbincangan antara aku dan ibu, ketika membahas keenggananku untuk menerima lamaran Arya.
"Kamu menolaknya, Rahma?"
"Tidak, Bu. Rahma hanya belum memberikan jawaban." Ibu mendesah.
"Rahma, kamu membuang kesempatan untuk bahagia. Menikah itu ibadah dan akan membuatmu bahagia."
"Banyak juga yang menikah namun tak bahagia, Bu," bantahku halus.
"Itu karena mereka tak menghayati dan memahami makna pernikahan. Menikah itu menjadikan dua manusia yang berbeda sifat dan latar belakangnya untuk menyatu dalam kehidupan. Tentu tak mudah. Tapi disanalah dituntut kesabaran dan pengertian kita, agar bisa saling memahami dan berjalan di arah yang sama. Proses seperti itu membutuhkan banyak energi dan meminta keikhlasan penuh, namun sekaligus akan membuat kita bahagia, Rahma. Memberi kuncinya."
"Memberi dan menerima, Bu," tukasku cepat.
"Tidak." Suara Ibu terdengar sangat tegas, tandas. "Saat memberi jangan pikirkan apa yang akan kau terima. Memberilah dengan sepenuh hati, karena kelak kamu akan menerima lebih banyak, Nak."
"Banyak yang menangis dalam menjalani perkawinannya, Bu."
"Tangis dan tawa itu tak terpisahkan, Rahma. Bahkan bila kamu tak menikah sekalipun. Air mata akan memberimu kejernihan dalam memandang kehidupan, sehingga dapat melepas tawa kemudian."
Aku sangat menyayangi ibu. Sungguh. Sehingga kalimat terakhir itu tak kusanggah lagi, sekalipun ingin. Bagaimana mungkin ibu bisa berkata demikian, padahal aku menyaksikan tangisnya lebih sering terbuang ketimbang tawa? Seingatku, ibu bahkan tak pernah tergelak semasa ayah masih hidup. Ibu hanya tersenyum, senyum yang hambar menurutku.
Lalu, ayah meninggal dan ibu kembali menangis diam-diam di bingkai jendela, di bawah remang rembulan. Ibu tertawa tiga tahun kemudian, sungguh-sungguh tertawa, ketika anak-anaknya telah menyelesaikan pendidikan dengan baik dan mendapatkan pekerjaan yang sangat baik. Ibu tergelak enam tahun setelahnya, ketika cucu pertamanya (anak kakakku) lahir. Ibu menjelma menjadi bidadari berparas memesona, kendati kerut menjejak di sana-sini.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas, menyusuri nama di daftar kontak, terus dan terus hingga berhenti di satu nama. Aku mengejanya perlahan, mencoba menemukan bayang wajahnya yang samar dan memejamkan mata sesaat, mencari getar hangat yang kubutuhkan. Nihil.
Kutatap wajah ibu yang pucat di atas ranjang rumah sakit. "Kamu harus menikah, Rahma. Ibu kritis sekarang. Bukankah Ibu sangat ingin kamu menikah? Tidakkah kamu juga ingin membahagiakan Ibu?" Kali ini suara Kak Ayu yang memukul-mukul ruang dalam telingaku. Kalimat yang baru diucapkan lima belas menit yang lalu itu, membuatku panik. Panik karena ibu tak kunjung siuman. Panik karena dokter mengatakan, hanya menunggu keajaiban. Panik karena aku mungkin harus menikah di depan ibu yang koma.
Kudekati ibu, kubelai rambutnya dengan sepenuh cinta, berharap ibu terjaga dan membuka mata. Kutelusuri seluruh wajahnya dengan ujung jari. Yang terjadi, mungkin memang harus yang diinginkan ibu. Apalah arti ya dari mulutku kelak dibanding segala yang telah ibu berikan untukku? Aku yakin, harap ibu pasti beriring doa untuk kebahagiaanku.
Air mataku mulai menggenang, menitik tak lama kemudian dan tak henti mengalir di saat aku menekan tombol panggil, melekatkan ponsel ke telinga dan menunggu. Air mata melaju seperti bola salju. Tak terbendung.
Meski berulang tak ada jawaban, aku terus menunggu, menekan ulang tombol panggil, menunggu dan menekan tombol lagi. Air mata mengalir tiada henti. Terus dan terus hingga menguyupi selaput retina, menghalangi arah pandang. Aku abai akan satu hal, Ibu. Air bergulir satu-persatu dari matanya, melintasi pipi, ke leher dan berlari menuju tengkuk. Berakhir di sana, sesap dalam serat kerah kebaya. Ibu menangis tanpa suara. Ibu menangis di perhelatan sepasang pengantin, di negeri awan kelabu. Sepasang pengantin berwajah mendung dan kuyu, berjalan gegas di bawah siraman hujan. Langit bergetar, menari lunglai bersama gemuruh dan badai.
"Hallo, Rahma..." Suara bariton yang tak asing, menyusup merangkaki liang telinga, memerdekakan asa.




1 komentar: