Pages

Sabtu, 07 April 2012

MENUNGGU IBU


Oleh; R.Yulia

Dimuat di Harian Global, 080111


Mimpiku masih sesempurna dua jam yang lalu. Penuh dengan gradasi warna. Merah, putih, kuning, hijau, ungu, biru dan sebagainya. Namun, lambat-laun gradasi itu berbaur menjadi kesatuan warna yang menyilaukan, menyakitkan. Membuka paksa kelopak mata. Semakin lebar dan mendapati segalanya serba asing. Tak kukenali sama sekali. Dunia apa ini? Apakah aku terlahir kembali setelah perjalanan menyakitkan lima hari yang lalu? Perjalanan yang membawaku keluar dari kegelapan yang nyaman selama sembilan bulan, menuju ruang yang terang-benderang. Hingar-bingar. Lalu, setelah terbiasa dalam seratus dua puluh jam, mengapa dunia yang kuhadapi kini menjadi lebih dingin dan mencekam? Juga gulita?


Aku mencoba menyimak ulang, kereta apa yang kutumpangi malam tadi? Hingga kitaran rodanya pun tak berbekas dalam bilik ingatan. Begitu cepat jejaknya menguap. Tak setitikpun tertinggal untukku. Padahal segalanya masih melembab. Sangat. Aku membaui perdu. Wanginya begitu liar merasuk indera. Merusak sisa parfum ibu, yang kuhirup sesuai mandi. Sebutir embun menjentik ujung hidungku, lalu bergulir jatuh. Resap dalam serat lampin yang membungkus erat tubuhku. Sebegitu eratnya hingga sikuku pun sulit menekuk.

Konon pula jari-jemari. Hei, aku ingat! Apakah selaput-selaput tipis yang setengah mengelupas di jemari itu telah tanggal seluruhnya? Aku menantikannya. Aku ingin menunjukkan telapak halusku yang putih bak pualam pada ibu. Agar ia tak lagi menasbihkan diriku sebagai anak hitam pembawa sial! Benar kan, Ibu?

Angin menari dalam liukan yang rumit dan melelahkan. Menyelinap di sela dedaunan yang gemerisik. Seolah membisikkan sesuatu padaku. Sesuatu yang sangat penting, sehingga beberapa kali kudengar dahan-dahan ikut bergetar. Rrrrrr….rrrrr…, mereka bersekutu membangunkan kesadaranku. Tapi aku membencinya.

Karena beberapa daun yang melayang di sela keriang-keriut itu, salah satunya mendarat gemulai di wajahku.Tepat menutup hidung. Membuatku sulit untuk bernafas. Untunglah angin berbaik hati menggesernya setengah inci, mengenyahkan geragap nafasku yang nyaris terhenti. Ah, kenapa aku di sini? Mana ibu?

Beberapa waktu hanya ada hening. Hingga sesuatu membuat semua menjadi lebih sibuk. Daun, dahan, perdu juga angin. Aku terusik. Membuka kembali kelopak mata yang beberapa detik lalu telah mengatup.

Ada apa? Aku mencoba bertanya. Pada segerombolan makhluk kecil bersayap yang terbang melintas. Tapi mereka terbang terlampau cepat dan tak mendengar tanyaku, yang entah diterjemahkan seperti apa. Ah ibu, seharusnya aku diajarkan berbicara lebih dini. Agar leluasa menebar tanya. Tubuhku kebas dalam balutan lampin yang membebat. Kucoba menarik kaki dan menekuknya. Berulang-ulang aku berusaha. Sekapan di bagian kaki mulai melonggar. Aku tersenyum. Tapi daun masih berisik. Sangat berisik. Dan itu mengundang angin semilir merambati pori-pori lampinku. Dingin. Ibu, aku ingin pipis. Pahaku beradu gesek dalam gelisah.

Bertahan. Aku harus menunggu ibu..

Menit-menit berlalu. Gelap mulai samar. Pendar jingga perlahan membayang di langit. Lalu, sesuatu berjibaku di dalam perutku. Gerakannya mengeriputkan otot-otot lambung dan mengeringkan enzym-enzym pencernaan. Aku lapar. Lapar sekali. Bukankah sejak tadi aku tak membaui asi? Kemana ibu? Aku tak melihat perempuan cantik itu sejak tadi. Haruskah aku menangis lagi? Ah, tidak..tidak! Aku tak mau menangis.

Bukankah dua hari yang lalu ibu memukul pantatku saat aku menangis? Ibu juga menghunjamkan kuku-kuku cantiknya yang berkilau itu ke daging pahaku yang tipis. Sekarangpun masih kurasakan nyerinya. Dan kemarin, ibu membekap wajahku dengan bantal. Hingga dadaku sesak meregang. Sulit benar untuk menciduk dan melepas udara yang kubutuhkan. Sekelebatan aku melihat wajah Tuhan. Lalu menghilang, seiring bantal yang disingkirkan setelah didahului pekikan. Runtun setelahnya berhamburan umpat dan serapah. Sahut-menyahut. Memekakkan telinga. Membuatku memutuskan untuk menangis lagi. Semakin melengking-lengking saat benda-benda jatuh seperti genderang yang ditabuh sebelum perang. Dan bayi-bayi setan berduyun-duyun menyelusup ke tubuh-tubuh yang blingsatan ditinggalkan budi dan akal. Ah ibu, mereka memenuhi tubuhmu!

Sejujurnya, aku tak merasa pasti tentang kebencian ibu. Kurasa, ia tak bersungguh-sungguh tentang itu. Aku tahu, ia hanya membenci kulitku yang hitam. Ia tak bisa menerima kalau aku tak mewarisi putih kulitnya, melainkan kulit lelaki legam yang ingin dienyahkannya dari lembar masa-masa silam. Lelaki yang melemparnya ke jalanan begitu palu hakim memutuskan berakhirnya ikatan di antara mereka. Sungguh ibu, aku dapat memahaminya..

Lapar ini semakin menjadi-jadi. Perihnya begitu menyiksa. Aku ingin menangis. Bukankah ibu-ibu lain akan bergegas ketika anaknya menangis? Mereka lekas-lekas menghampiri, menyodorkan saluran asi dan membelai rambut-rambut tipis mereka dengan penuh kasih. Aku ingin ibu seperti itu. Tapi, bukankah ibu tak suka mendengarku menangis? Ah, hidup di luar tubuh ibu benar-benar membuatku frustasi. Semuanya harus diminta. Semuanya harus menunggu. Tak seperti saat di dalam gelembung rahim. Semua datang beruntun. Tanpa waktu. Nasi, roti, jamu, arak, durian dan nanas! Meski kerap menggelinjang oleh rasa panas dan kesakitan, toh aku tetap bertahan. Karena di dalam sana, semua begitu hangat dan menghidupkan.

Tak seperti sekarang. Dingin yang menggigit, angin yang hilir mudik, daun-daun yang berisik, sulur-sulur perdu yang menyulut gatal, embun yang memercik satu-satu dan serangga-serangga kecil yang hilir-mudik menyeberang di atas tubuhku. Semua membuatku mengeriput lebih dari sebelumnya. Semuanya terlampau lembab. Basah. Dan itu tak baik untukku. Ibu, cepatlah datang. Aku janji takkan menangis lagi. Takkan..

Perlahan dingin menyusut. Kabut menyingkir lambat-lambat. Pandanganku yang sedikit lamur menangkap secercah cahaya. Ada kehangatan di sana. Meski masih terlalu jauh untuk menjilati tubuhku yang mulai membeku. Dahaga yang terlalu mulai mencekikku. Aku mengeluh. Tenggorokanku kerontang dalam kemarau. Tak ada ibu di sini. Takkah ia kehilanganku?

Derum sepeda motor memekarkan kembali tunas-tunas harap di hatiku. Tadinya mereka telah menunduk dalam-dalam, layu. Suara-suara yang berlainan saling berdebat. Entah apa yang disengketakan. Mereka tak kunjung mendekat. Aku memutuskan untuk menangis. Toh, mereka bukan ibu. Aku membutuhkan mereka mengantarkanku bertemu ibu. Aku butuh ibu. Butuh ibu… Tapi tak ada yang mendengar tangisanku. Karena derum sepeda motor begitu cepat menjauh. Sebelum tangisku pecah dalam gagap.

Tak ada yang mendengar. Dan itu membuatku lelah. Dadaku sesak oleh air mata. Lalu, perlahan semua menghilang. Tangisku, bisik-bisik dedaunan, liuk sulur perdu, derak-derak dahan. Semua menghilang. Bahkan angin pun terdiam. Tapi aku masih mendengar. Dengung sekawanan lalat hijau yang berputar-putar mengitariku, membuat telingaku begitu penuh. Beberapa mendarat di lampin yang membalut tubuhku. Uh ibu, singkirkan mereka dariku!

Lalu derum kendaraan kembali terdengar. Beberapa orang saling berbicara dalam logat yang tak kupahami. Gaduh. Kasar, menyentak-nyentak. Seperti ibu. Meski sesekali ia lembut dan rapuh, tersedu-sedu. Dan demi Tuhan, aku menyukai saat-saat itu. Saat telapak tangannya halus membelai pipiku. Saat tatapannya mendayu dalam linang air mata, menyusuri jengkal demi jengkal tubuhku. Lalu tersenyum. Ya, aku pernah melihat senyumnya yang langka. Sekali.

Aku tak bisa menangkap sosok-sosok pemercik gaduh itu dengan jelas. Bahkan kelopak mataku hanya membuka setengah. Aku ingin menangis. Tapi tak ada yang keluar dari bibirku kecuali nafas satu-satu. Kegaduhan terhenti. Kemudian beberapa benda berdebuman di sekelilingku. Plastik-plastik kumuh sarat muatan, kotak-kotak lembab dengan muatan yang berceceran dan beberapa benda lain yang tak kukenali. Susul-menyusul. Timpa-menimpa. Sesuatu mencelat dari salah satu kotak. Terguling dan menyemprotkan cairan berbau ke tubuhku. Lampinku kuyup. Ibu, dingin sekali di sini. Bahkan hangat mentari pun tak mampu menjangkauku. Terlalu jauh. Sungguh-sungguh jauh… Dan beberapa benda lain masih berdebuman di sekitarku. Membentuk bukit kecil yang menaungiku dari pandangan.

"Kau mendengar sesuatu, Gus?"

"Nggak. Apaan?"

"Entahlah, aku tak yakin. Seperti suara tangis bayi yang parau. Tapi lirih sekali.."

"Bayi? Ah, kau.."

"Benar. Aku mendengarnya tadi."

"Tak ada bayi. Aku saja tak mendengar apa-apa, kecuali suara kentutmu. Mengigau saja kerjamu."

"Ya, sudahlah. Mungkin telingaku yang menyalah. Ayo…"Langkah-langkah menjauh. Berikut derum kendaraan. Aku mengejang. Tangisanku tak bersisa sedikitpun. Kucoba membebaskan diri dari lampin. Sekuat tenaga yang putus asa. Dan itu membuat pipis yang sejak tadi kutahan, mengalir sepuasnya. Lampin semakin kuyup. Bagian belakang tubuhku tergenang. Menerbitkan geletar tak berkesudahan. Ibu, takkah kau sadari aku mulai memutih?

Detik menjadi teramat panjang dan sunyi. Tiba-tiba saja ingatanku menjentik dari beberapa bagian yang hilang. Aku ingat sesuatu! Aku ingat, ibu memelukku sekian jam yang lalu. Membelai rambut dan pipiku. Menciumiku. Mendendangkan tembang merdu yang dengan segera menekukku dalam kantuk. Dan aku tak ingat apa-apa lagi hingga terbangun di tempat ini. Tidak..tidak.., masih ada satu ingatan lagi. Aku mendengar ibu sesenggukan saat meletakkan tubuhku. Ia membisikkan kalimat perpisahan dan ratusan permohonan maaf. Tapi aku tak ingat isi kalimatnya. Kucoba memaksa. Sia-sia. Tak ada lagi yang terekam. Tak ada. Dan kesadaran itu membuatku ketakutan. Tangisanku pecah dalam rintih yang rendah. Ibu..ibu.., aku ingin tidur dalam pelukanmu lagi

Terang. Semuanya begitu terang. Hingga semut yang berlintasan di tubuhku tak lagi dapat mengendap-endap, menyembunyikan butiran nasi atau manisan di punggung mereka. Menumpuknya di atas simpul lampin. Satu dua yang kesasar, melintasi wajah. Menggigit daging pipi. Tiba-tiba saja semua menjadi lebih hidup dan menggairahkan. Aku mengerjap-ngerjap lemah. Bibirku begitu kaku dan lekat. Bayang-bayang putih samar mengerubungiku dalam senyum. Tapi mereka begitu tipis laksana kabut. Mengapa mereka hanya tersenyum? Takkah mereka sadar betapa lapar dan hausnya aku? Apakah mereka menjemputku? Sudah waktunyakah aku kembali?

"Bang, sepertinya sudah cukup yang kita kumpulkan." Seseorang berkata-kata di dekatku.

"Coba lihat lagi. Mana tahu masih ada barang-barang yang bisa kita jual."

"Hanya beberapa plastik minuman, Bang. Tak ada lagi."

"Ya sudah, bawa itu. Ayo, kita setor dulu ke Bos Agung."

"Iya, Bang." Aku menjerit sekuat tenaga. Tapi tak ada suara. Tak sama sekali.

Tolong…, tolong lihat aku! Tolong…, tolong panggil ibu! Tolong…!! Ibu tak pernah mengajariku berdoa. Sebarispun. Tapi bukankah harapanku juga doa? Meskipun harapan itu kini tak menyisakan satupun ruang berpintu. Meskipun harapan itu akan terkubur seiring tubuhku yang mulai membiru, geletar bibirku yang terhenti dan sepasang mataku yang terjerat jaring-jaring kantuk.

"Bang, ada bayi! Ada bayi!" Teriakan itu masih dapat kutangkap. Walau rasanya begitu jauh. Jauh sekali.

"Bayi?!"

"Iya. Bayi….." Itu kalimat terakhir yang kudengar bersama langkah-langkah samar. Sebelum kantuk yang sangat menyumpal lubang telinga.

Ibu, kalau kau sempat, lihatlah senyumku. Juga kulit putihku..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar