Pages

Sabtu, 14 April 2012

PEREMPUAN BERKEBAYA BUNGA



Oleh; R.Yulia

Dimuat Hr. Padang Ekspress, 30 Juli 2011

Perempuan berkebaya bunga itu duduk merenung di tepi jendela dapur. Jendela yang tak lagi jelas rupa warnanya. Berselimut debu hitam dan daki lemak masakan. Tangan kanannya menggenggam spatula, yang sesekali mencecah isi belanga. Membentuk pusaran tanpa riak, meski sarat dengan liuk aroma yang menggugah selera.
Perempuan berkebaya bunga, wajahnya muram bersaput jelaga. Sepasang matanya menjangkau ranah tak teraba, dingin dan hampa. Ingatannya terbang melayang-layang, entah kemana. Gulai patin dalam belanga, menggelegak risau didayung spatula. Spatula melenggang dalam irama tarian hula-hula.
Langit semburat jingga. Belum benderang benar. Sayup-sayup kokok ayam riuh-rendah bersahutan. Mak Sani, perempuan berkebaya bunga itu, bangkit dari duduk. Langkahnya terhenti di depan dipan. Diguncangnya tubuh dara belia, yang meringkuk di balik selimut usang penuh tambalan. Derit dipan mengusik telinga. Lebih tajam ketimbang lengking anjing hutan.
“Ayu, bangunlah.”
Tak perlu berlama-lama. Dua kali ucapan yang sama telah membuat tubuhnya menggeliat. Gadis muda itu telah terbiasa dengan guncangan di waktu yang sama, oleh tangan yang sama. Juga suara dengan kalimat yang tak pernah berubah. Ia bergegas menyeret langkah ke kamar mandi, dengan kantuk yang masih enggan pergi. Guyuran air merambatkan kesegaran ke sekujur raga. Melucuti perca mimpi di bilik-bilik ingatan. Mimpi yang tak dimengerti. Mimpi yang mendengungkan tembang sumbang. Entah apa maksudnya. Ia hanya melihat dua warna di sana. Merah dan hitam. Di mimpinya. Mimpi yang ganjil.
Ayu bukan baru sekali bermimpi. Mimpinya tertebar di setiap lembaran malam. Berwarna-warni bak pelangi. Penuh dendang, penuh tarian. Seperti rentak zapin yang disaksikannya di istana Sultan Deli. Dulu..Tapi mimpi malam tadi adalah seganjil-ganjilnya mimpi. Gadis itu terlalu hijau untuk mengerti.
Mak Sani mengganti isi belanga. Tungku masih membara. Percik-percik api menjentik di sekitar belanga. Asap tipis membubung melalui jendela. Menguap di atas kali dan aromanya mati seketika. Bersaing dengan bebauan busuk dan menyengat. Detak-detak detik di dinding membuat perempuan itu tergesa. Sebentar lagi para pelanggan tiba. Menu harus disegerakan. Kalau tidak, rezeki paginya akan melayang. Dan Ayu harus berjalan kaki ke sekolah, karena tak ada uang untuk ongkos angkutan. Tidak..tidak! Mak Sani tak mau membuat susah anak itu. Sudahlah. Bukankah hidup yang diberikannya sudah terlalu menyakitkan?
Ayu tak pernah punya mainan, konon pula perhiasan. Ayu tak pernah punya uang jajan, apalagi gaun kembang, seperti yang dipakai anak juragan Hasan ketika membeli nasi kemarin siang. Tak ada apa-apa. Ayu bahkan tak punya bayangan ayah dalam hidupnya. Sekeping pun.
Mak Sani masih di tepi jendela, berkebaya bunga, dengan spatula yang berputar-putar dalam belanga. Bukan gulai patin lagi isinya. Bersalin dengan gulai ayam yang kurang montok dagingnya. Karena hanya itu yang terjangkau dengan modal hariannya. Ayu berkelebat dari sisi kanan. Mak Sani menatapnya dengan iba. Lihatlah, bahkan pinggul anak itu pun sama keringnya dengan ayam dalam belanga. Airmata berkecipak dalam hatinya, menyekat nafas di tenggorokan.
“Mak, Ayu ke kedai dulu. Kata Bunda Ani, hari ini Ayu harus datang lebih pagi.” Mak Sani mengangguk. Sudah tiga hari ini Ayu membantu Bunda Ani, tetangganya yang membuka kedai kopi. Tak sampai satu harian. Karena Ayu harus bersekolah siang nanti. Gajinya juga tak seberapa. Tapi cukuplah, untuk menambal kebutuhan mereka berdua.
“Hati-hati ya, Nak?” Ayu mengangguk. Selepas salam, tubuhnya melesat ringan dalam langkah panjang-panjang. Mak Sani mendesah, kembali mendayung spatula. Spatula besi meliuk-liuk gelisah, tersandung buih-buih santan yang memecah.
Mak Sani membuang pandang. Jauh melampaui kali, yang mengalir tersendat di bawah jendela. Limbah yang bertimbun telah membuntukan alur alir air. Namun bukan itu yang menjadi tumpu perhatian. Ia teringat ketukan di pintu, tiga hari yang lalu. Ketukan berima satu dua satu dua. Dan saat pintu terbentang, seseorang dengan tinggi menjulang, tegak di depannya. Otot lengannya berbongkah-bongkah dalam balutan tato yang mengukir hingga pergelangan. Bidang dadanya menggunung tebal dibalik kaos yang terlihat begitu sesak dan kekecilan. Seumur-umur, baru kali ini Mak Sani menemui sosok yang membuat degup jantungnya berdebur kencang. Ketakutan. Ternyata raksasa itu ada, pikirnya. Perangai kasar menyambutnya dengan sebuah undangan. Bukan…bukan! Tepatnya sebuah ancaman.
“Besok pertemuan di balai warga. Datang dan jangan lagi banyak sanggahan! Terima saja apa yang ditawarkan. Mengerti?!” Senggakan itu semakin menurunkan semangatnya. Terbawa hingga ke pertemuan warga, yang bergemuruh dalam puluhan tanya berkabut amarah.
Seperti dirinya, para warga enggan pindah dari tempat dimana seluruh harapan telah tertanam berpuluh tahun. Berbuah, meski ada yang tak manis. Asam. Bahkan hambar. Namun, rumah-rumah yang memadat di sepanjang bantaran kali, adalah warisan leluhur yang menjadi tempat bernaung. Dari hujan, panas dan.dingin Terkecuali banjir dan cibiran! Bagaimana mungkin mereka bisa pindah dengan ganti rugi yang hanya cukup untuk membeli sebidang tanah makam?
Mak Sani mengeluh suatu kali. Mengapa ayah dan ibunya hanya mewariskan tanah bermasalah ini? Tanah yang tak jelas asal-usulnya. Mengapa mereka tak pindah ke tempat yang lebih nyaman dan lapang? Atau, kenapa mereka tak ikut serta Makcik Rehan yang pindah ke perkebunan? Toh tanya itu hanya bermuara pada desahan saja. Mengingat ia pun tak kuasa melapangkan nasib lebih dari yang ia terima.
Sepanjang pertemuan, Mak Sani tetap diam. Hanya telinga yang ia buka lebar-lebar. Setidaknya ia ingin tahu, seperti apa nasib rumah kecilnya kelak? Tetap saja, pertemuan hanya membuahkan lebih banyak tanda tanya. Juga letupan kata-kata yang berbalas dalih tanpa koma. Membuang waktu, perempuan itu perlahan menggerutu.
Mak Sani membenahi kebayanya. Kebaya bermotif bunga yang telah luntur warnanya. Tergerus sabun murahan dan air keruh yang membawa serta jutaan partikel lumpur di dalamnya. Mengendap hingga semua bunga kehilangan serinya. Padahal, Mak Sani paling suka membeli baju motif bunga. Kata orang, itu akan memberikan energi positif bagi si pemakai. Toh, bunga yang memudar dengan cepat turut serta mengamputasi semangatnya. Ia ingin menyerah saja, kalau tak ingat Ayu, bunga sesungguhnya. Bunga yang tumbuh di rahimnya dan mekar saat fajar mengakhiri geliat pekikannya, suatu hari di sebuah kamar sempit milik bidan desa. Fetus itu telah rupawan kini.
Mak Sani kembali mendayung spatula. Disendoknya kuah gulai seujung jari dan mencecapnya dengan sepenuh hati. Ia menggeleng perlahan. Belum sempurna, bisiknya. Spatulanya kembali mendayung, mengitari belanga. Awas meliuk di setiap tonjolan daging tipis dan tulang. Tergores sedikit saja, takkan ada yang berhasrat menyantapnya.
Mak Sani membuang ludah ke kali hitam di bawah jendela. Tiba-tiba saja lidahnya merasai pahit yang sangat. Serentetan serapah menyambutnya, menggurat-gurat saluran telinga. Ia melepaskan dayung spatula dan menjenguk ke bawah. Seorang lelaki tua berkulit legam, bertopi pandan dengan pengait di tangan –teracung padanya-, menyalakkan murka.
“Mak! Lihat dulu sebelum meludah. Penghuni kali bukan hanya sampah!!” Mata lelaki itu seperti kelereng berpendar bara, yang akan mencelat dari bingkai keriputnya. Mak Sani menciut. Ya..ya, penghuni kali memang bukan hanya sampah dan tinja. Juga manusia. Ia alpa sungguh.
“Maaf…,” pinta Mak Sani dengan sesal menggunung. Lelaki itu hanya mendengus kesal dan berlalu. Emosinya sedikit menyurut dengan kata maaf perempuan itu. Begitu mujarab mengikis pekat liur yang tadi menciprati wajahnya.
Pagi belum terang benar. Mentari masih mengintip samar-samar. Mak Sani kembali sibuk dengan belanga dan spatula. Keringatnya mengucur deras. Melekatkan kebaya bunga pada kulit layu tubuhnya. Sesekali ia menyandar di bingkai jendela. Samar-samar telinganya menangkap suara ketukan. Tapi ia tak hirau. Perempuan itu masih mengingat ketukan kali kedua di pintu, kemarin malam . Ketukan menderas, bertalu-talu menampar gendang telinga. Sepasang kakinya saling berlomba mencapai pintu. Membukanya dengan segenggam rasa ingin tahu, siapa yang begitu bernafsu ingin merobohkan pintu? Si raksasa bertato itu lagikah? Tapi…, tak ada siapa-siapa. Bahkan dengus angin pun tak tercium semilirnya. Mak Sani menjejak jalan beraspal di depan rumah. Tak ada juga sesiapapun di sana. Konon pula bayangannya. Senyap dan dingin membuatnya menggigil. Juga mencatat tanda tanya besar. Siapa yang mengetuk barusan?
Ketukan kembali terdengar. Mak Sani terkesiap. Ketukan itu muncul ketika pintu terkatup dan langkahnya berputar. Seseorang tengah bermain-main. Namun Mak Sani tak perlu berfikir lama. Apalagi membuka pintu. Karena selembar kertas yang dilipat sekenanya, menjulur dari bawah pintu. Menyisakan derap langkah yang berlari, menjauh. Sedikit ragu, perempuan itu menjumput kertas dengan tangannya yang kurus. Tak ada kata pembuka, terlebih salam. Juga tak ada pengirim, berikut tujuan. Sebuah kertas kosong dengan dua kata yang ditulis besar-besar. PERGI ATAU… Mak Sani tersenyum linglung. Surat rahasia. Ah, setua ini aku, mengapa masih ada yang mengajak main teka-teki? Dan kertas itu remuk dalam genggaman perempuan yang hari ini mengenakan kebaya bunga.
Dan sekarang, ia kembali mendapat ketukan? Sebenar-benarnya ia bukan kembang yang layak mendapatkan banyak ketukan di pintu rumahnya. Anak gadisnya juga masih sangat belia. Tak mungkin sudah ada yang tertarik untuk menjemputnya ke pelaminan. Tak mungkin. Dadanya saja masih rata. Dengan pinggul kering dan wajah tirus. Ah, tidak..tidak. Hanya ketukan yang salah, simpulnya meredakan detak jantung yang semakin cepat. Kian cepat dan berkali lipat cepatnya, berkejaran dengan dayung spatula yang mengacau gulai dalam salsa. Perempuan berkebaya bunga, menulikan telinga dari ketukan beruntun yang membabi-buta. Beberapa suara riuh-rendah tak juga mengusiknya. Ia masih larut dalam dayung spatulanya.
Ayu menyeduh kopi. Asap yang mengepul, pecah dalam putaran sendok di tangannya. Butiran gula yang mengendap di dasar gelas, terurai dan larut dalam beberapa putaran lambat. Ayu tersenyum samar. Ia senang mendapat pekerjaan. Meski hanya sebagai pelayan. Karena itu artinya ia akan mendapatkan uang. Meskipun sekadarnya, tapi cukuplah untuk mewujudkan impiannya. Ia akan menyisihkan uang itu, bersama ongkos angkutan yang diberikan ibunya. Sudah seminggu ini ia berjalan kaki ke sekolah. Tak apa. Panas mentari takkan membunuhnya. Karena impian tentang kebaya bunga untuk ibunya, telah menyuntikkan eritropoetin ke dalam tubuhnya. Ia akan membelikan kebaya dengan motif bunga-bunga yang merekah indah. Senyumnya semakin mengembang seiring laju khayalan. Hingga cipratan kopi panas yang mencelat dari pusaran dalam gelas, mengail pekikannya. Ayu mengusap tangannya yang memerah. Sesekali meniup-niup, mencoba mengurangi perih yang menyusup ke pori-pori. Senyumnya hilang. Matanya mengerjap-ngerjap riak yang ingin tumpah.
Perempuan berkebaya bunga, masih bergumul dalam lamunan. Spatulanya melambat kehilangan daya. Buih santan menggelegak silih berganti. Timbul tenggelam. Asap mengepul kian tebal. Menari bergumpal-gumpal. Ketukan di pintu telah mereda. Pemiliknya berpencar ke beberapa arah. Menyangka tak seorang pun menghuni rumah. Namun reriuhan makin bergemuruh. Sekumpulan pekik ikut menyelingi. Juga tangis dan lengking ketakutan. Bara menyala di rumah sebelah. Langit tak lagi jingga. Juga kehilangan birunya. Yang ada hanya merah. Merah yang meliuk-liuk liar, melesat dalam desingan sesekali.
Dari dapur di sisi kali, asap melenggang keluar belanga. Menyapa sekumpulan asap lain yang bertandang lewat jendela dan liang ventilasi. Mereka saling memagut dan bercumbu dalam tarian liar. Asap mendekap seluruh sudut dan liang. Santan menggelegak dengan binal. Gelembungnya pecah, memuntahkan bulir-bulir kecil yang menggelinjang kepanasan. Mak Sani merasakan nafasnya sesak tiba-tiba. Asap memerangkapnya dalam batuk berkepanjangan. Namun, ia tak kuasa melawan cekikan yang kian erat. Di leher, hidung dan seluruh jalur lintas nafasnya. Mak Sani tergagap. Rerupa asap semakin mengepungnya. Spatulanya mengibas-ngibas lemah. Tak lama. Ia mencampakkannya dengan iring jerit kecil. Mak Sani tak mampu menggenggam spatula lebih lama. Besi itu semakin membara. Jaringan kulit tangannya melepuh, merah saga. Seiring suhu ruangan yang semakin menggila.
Perempuan itu mencoba melangkah. Tapi bola-bola besi menggantungi pergelangannya. Berat. Sesungguh-sungguhnya berat. Ia tetap memaksa. Ayu.., Ayu…Seperti desau angin, bisiknya tercekat. Laring dan pita suaranya kaku. Hidungnya membaui tajam daging terbakar. Ia menatap api tungku yang melahap belanga. Ah, daging ayamku, isaknya pilu. Ayu..Ayu…gumam itu berkumandang di kalbu.
Ayu berlari dengan langkah panjang dan gemetar. Menyibak kerumunan orang yang menyesaki bantaran kali. Ia tak melihat asap. Tak melihat api. Yang dilihatnya hanya perempuan berkebaya bunga yang menari dalam gelisah. Di pelupuk matanya yang sarat riak dan rinai.

2 komentar:

  1. Cerita yang menarik ini mengingatkan saya ketika masih SMP. Sering sewa buku novel karya pengarang2 tempo dulu. Ada Marah Rusli, Sutan Takdir Ali Syahbana, dll.

    Tipikal kisah rakyat kecil ya jeng.

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. Eh lupa mengundang : jangan lupa ikut kontes saya di Blogcamp ya jeng
    Salam

    BalasHapus