Pages

Sabtu, 14 April 2012

PETRUS


Oleh; R.Yulia


Dimuat Hr. Global, Mei 2011

Lorong-lorong panjang. Peluh yang mengucur bak air pancuran. Langkah-langkah yang saling beradu cepat. Debur jantung. Detak detik yang memekakkan telinga. Dan..., DHUAAR!! Letusan.
Letusan…letusan itu! Sepasang mata Ayin yang sejak tadi bergerak liar dalam katupannya, sontak membelalak. Degup jantungnya menggedor keras rongga dada, berontak tak sabaran seakan ingin mencelat dari tempatnya. Membebaskan diri dari cengkraman ketakutan yang panjang, yang mencekiknya lewat jari-jari berkuku tajam tak terlihat. Ayin mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mengatur nafasnya yang tersengal. Dalam keremangan, Ayin menangkap keganjilan itu. Mimpi-mimpi yang menggerus ketakwarasan. Ya, ia mulai merasa sedikit tak waras sejak seminggu belakangan. Tepatnya sejak ibu berhasil membujuknya untuk tidur terpisah di kamar depan.
Ayin memang sudah waktunya untuk berkamar sendiri. Umurnya sembilan tahun. Tak mungkin lagi bersempit-sempit seranjang dengan ibu dan dua orang adik perempuannya. Ranjang besi tua di kamar ibu berderit menyayat nyaris sepanjang malam saat mereka tiduri berempat. Itulah sebabnya, kamar depan yang semula dikontrakkan, kini disulap menjadi kamar Ayin. Tapi kamar itu tetap suram seperti tampilan biasanya. Tak ada cat merah muda, poster Hello Kitty, lampu tidur bercahaya kemilau maupun tirai plastik bermotif boneka dengan warna ceria seperti yang dilihatnya di majalah-majalah interior bekas. Hanya sebuah ruang berdinding papan tua dengan cat kuning pudar bersemu kecoklatan, yang di beberapa bagiannya ditempeli koran bekas dan kertas kado usang (sebuah upaya menutup beberapa celah papan yang telah keropos dimakan rayap). Juga tak ada ranjang putri seperti yang dilihatnya sekilas dalam ilustrasi dongeng di majalah anak-anak milik Tia, teman sebangkunya. Hanya sebuah dipan kayu yang bahkan tak sempat diserut ketam (sehingga Ayin harus berhati-hati agar kulitnya tak terselusup serabut-serabut kayu yang mengancam), kasur busa tipis dan sebuah bantal kapuk yang begitu lunglai. Turut melengkapi, sebuah lemari triplek usang dan meja jati tua warisan kakek yang dipenuhi beberapa keluarga kepinding.
Ayin tak keberatan tidur sendirian. Bahkan dengan lampu yang dipadamkan sekalipun (ibu selalu melakukannya untuk menghemat pemakaian listrik). Ayin juga selalu berhasil menahan keinginannya untuk buang air kecil di tengah malam, sehingga tak perlu merisaukan kisah-kisah hantu malam yang bersembunyi di lorong gelap sebagaimana kerap ditiupkan adik-adiknya. Semua tak masalah, termasuk lengkingan anjing menjelang pukul tiga dinihari yang rutin menyela lelapnya. Hanya satu hal, ia benci mimpi itu! Mimpi yang selalu sama. Yang berakhir dengan sengal nafasnya, peluh yang membanjir dan suara letusan. Letusan itu bahkan terdengar begitu nyata. Lalu disusul dengan sebuah rintihan …tidak…tidak! Itu bukan rintihan. Tepatnya erangan. Seperti erangan parau dan dengking babi-babi di dalam karung yang tengah dihantam pemukul, yang didengarnya saban pagi dari arah rumah sebelah. Hanya saja, ini jauh lebih parau. Itu bukan suara babi!
Toh, Ayin bungkam. Ia memilih untuk tak menceritakannya pada ibu. Sudahlah, bukankah itu hanya mimpi yang terjadi di perbatasan waktu? Tak ada manfaat yang didapatkannya dengan merisaukan hal itu, kecuali kecemasan ibu. Lagipula, ia tak ingin menambah ruwet fikiran perempuan itu. Cukuplah ibu direpotkan dengan urusan mencari nafkah saja. Meributkan mimpi hanya membuat pertambahan kerut di dahi ibu.
Menawarkan ketakutannya, malam ini Ayin memutuskan untuk tidur bersama ibu dan kedua adiknya. Besok-besok, kalau ia sudah melupakan mimpi itu, barulah ia akan tidur sendiri lagi. Jadi, malam ini -jauh sebelum ibu dan kedua adiknya masuk kamar- Ayin duluan mengambil posisi di ranjang besi. Ia mendengar langkah gaduh kedua adiknya. Beberapa menit kemudian …..
“Bu..Bu…, ada kakak di kamar kita.” Ayin merapatkan matanya dan memaksa bulu-bulu di kelopaknya untuk tak bergetar sedikitpun.
Seseorang menyentuh bahunya dan mulai mengguncang perlahan.
“Tak perlu berpura-pura. Ibu tahu kamu belum tidur. Sana ke kamarmu. Kasihan adik-adik, kesempitan..”
Kalimat itu diucapkan dengan sangat bersungguh-sungguh. Dan efeknya cukup ampuh. Ayin tak tega bertahan lebih lama dalam kepura-puraan. Ia beringsut sambil menggaruk-garuk kepangan rambutnya yang masai. Ibu menatapnya dengan senyum samar dan gelengan kepala.
Ayin masuk ke kamarnya dan duduk dengan gundah di tepi ranjang. Kantuk yang mulai hinggap, seperti bius yang mengikat dan membekukan seluruh sendi geraknya. Ayin terus menguap dan menitikkan air mata. Ia masih berusaha melawan. Sampai akhirnya tak mampu lagi bertahan dan rebah dengan nyaman.
Mimpi itu datang lagi! Lorong-lorong panjang. Peluh yang mengucur. Tangan-tangan berkuku panjang, hitam dan bersiap mencekik. Langkah-langkah yang saling beradu cepat. Debur jantung. Detik-detik yang memekakkan telinga. Dan..., DHUAAR!! Letusan.
Ayin terjaga dalam gagap. Tidurnya kali ini sungguh menyiksa. Tak lelap dan tersentak-sentak. Ia berjuang berkali-kali untuk sadar sebelum mimpi itu menghampiri. Sayangnya, terlambat. Mimpi itu seperti gurita yang menyekapnya dengan puluhan tentakel dan menyumpal seluruh liang yang memungkinkan datangnya pertolongan. Susah payah ia berjuang untuk terjaga dari timbunan sesak yang mematikan.
Ayin tercenung. Mencoba memastikan dengan ingatannya yang majal. Sungguhkah letusan itu hanya di mimpinya? Lantas, kenapa sekarang ia merasa semuanya begitu nyata? Termasuk langkah-langkah samar di balik dinding kamar?
Ayin berjingkat menuju jendela. Tidak..tidak…, ia takkan membuka jendela. Bagaimana kalau sesuatu yang menyeramkan telah menantinya di balik jendela? Ah, Ayin ingat. Ada celah kecil di salah satu papan dinding yang keropos termakan rayap. Cahaya bulan samar menerobos dari celah itu, sehingga tak sulit bagi Ayin untuk menemukannya. Ia menempelkan sebelah mata pada celah dan mencoba melihat, siapa pemilik langkah di luar sana?
Tak satu bayangan pun yang didapatkannya di jalanan aspal depan rumah, kecuali pohon-pohon rindang dan lampu jalan yang meredup. Lantas, ketika Ayin bermufakat menarik pandangannya, salak anjing di depan rumah mengusik. Disusul desisan panjang seseorang. Ayin buru-buru mengintip. Dua orang lelaki berhadapan dalam diam. Di antara kaki keduanya, tergolek sesuatu. Entah apa. Menggembung seperti karung sampah sarat muatan yang kerap dilemparkan ibunya ke parit besar belakang rumah. Keduanya tak bicara sama sekali. Sementara anjing yang tadi sempat mengaing, kini membisu dan menyembunyikan bayangannya di balik perdu. Ayin terus mengamati dengan nafas memburu. Degup jantungnya bertalu-talu. Lalu dari arah pertigaan, seorang lainnya hadir dengan sepeda motor yang didorong kaki. Kedua lelaki sebelumnya menyongsong cepat dan duduk berhimpitan di belakang sang pengendara. Ngguuuungg…, motor berderum dan melejit cepat. Meninggalkan karung yang teronggok diam. Setelah itu, hanya sepi yang melejit-lejit diterpa dingin pagi.
Dari jendela kamarnya, Ayin melayangkan pandangan sekilas ke seberang jalan. Lagi-lagi kerumunan orang. Seperti yang kemarin memenuhi jembatan parbus*) di belakang rumahnya. Atau kemarinnya lagi, di pertigaan jalan. Dan kalau tak salah, kemarinnya juga lagi. Di trotoar depan kedai tuak Pak Anggiat. Entah melihat apa. Ayin menggumam tak jelas.
Sejam lalu hanya dua orang perempuan parobaya yang ada di sana. Membungkuk dan membuka isi karung sampah yang dinihari tadi ditinggalkan dua lelaki asing. Ayin mengedikkan bahu tak perduli. Tak berminat untuk tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi dan apa isi dari kantung sampah itu. Ia mematut dirinya dan bergegas meraih tas sekolah. Hari mulai terang. Kalau tak buru-buru, ia bisa terlambat ke sekolah. Ia bahkan tak menoleh sedikitpun saat kedua perempuan itu menjerit histeris. Dan beberapa saat kemudian, orang-orang dari berbagai penjuru berdatangan, berkerumun dan berbisik-bisik. Ayin melewati mereka dengan telinga setengah berjaga.
“Ada mayat.” Seseorang berbisik di tengah kerumunan.
“Lagi?”
“Ya.”
“Bertattoo?”
“Ya. Ular Naga merah. Sepertinya kawanan Simpang Barat. Kelompok Empat”
“Bagaimana kau tahu?”
“Lihat cincinnya.”
“Berarti sama dengan yang kemarin ditemukan di parbus?”
“Ya..”
“Hmm…, syukurlah. Biar aman Simpang Barat.”
“Ssstt!! Hati-hati bicara. Mana tahu ada kawanannya di antara kita.”
“Sebentar lagi mereka akan habis. Satu-persatu dibantai petrus*).”
“Ah, kau! Berisik. Dinding punya mata dan telinga.”
“Tak ada dinding di sini.”
“Dasar tolol!”
Bisik-bisik lain timpa-menimpa. Mendengung-dengung, menyakiti telinga. Lalu beberapa saat kemudian hening, seiring kerumunan yang pecah oleh raungan sirine ambulans.
Pagi ini, Ayin bangun dan duduk di tepi ranjang dengan senyum sumringah. Wajahnya cerah. Hatinya tak lagi gundah. Dengan penuh keyakinan ia menatap seuntai kalung yang tersampir di samping bantalnya. Kalung itu menebarkan aroma cendana yang semerbak ke seantero kamar, terhitung sembilan jam dari sekarang. Tapi, bukan itu yang penting. Aroma cendana telah mengusir mimpi buruknya. Persis seperti yang dikatakan Dini, teman sekelasnya yang menjual kalung itu pada Ayin seharga seribu lima ratus rupiah. Itu bukan uang yang sedikit. Tapi bagi Ayin, itu juga tak terlalu mahal bila disandingkan dengan tidur malam yang lelap, tanpa mimpi dan sesak nafas!
*****
“Nah, sekarang buka matamu, Sayang..”
Gadis kecil itu membuka matanya yang sejak tadi terpejam. Ia menatap sekeliling ruangan itu dengan senyum merekah dan wajah memerah bahagia.
“Jadi ini kamarku sekarang, Bunda?’ Perempuan di samping gadis kecil itu mengangguk.
“Wah, cantik sekali..” Sekali lagi pandangannya menyapu seantero kamar. Dinding bercat merah muda, poster Barbie, ranjang putih berkelambu ala putri dalam dongeng, boneka, tirai plastik yang cantik dan lampu tidur bulan sabit yang kemilau. Hatinya bersorak, mensyukuri ayahnya yang pindah tugas ke kota ini.
“Terima kasih, Bunda,” ucapnya sambil melompat riang ke atas ranjang. Ayin, menatap gadis kecil itu dengan bahagia. Hatinya juga mensyukuri kepindahan suaminya ke kota ini, tepatnya ke rumah tempat seluruh kenangan masa kecilnya terukir dalam. Senyumnya menyimpul sejenak. Malam nanti, gadis kecilnya pasti akan tidur dengan nyenyak dan bermimpi indah. Tentunya, tanpa peluh, sengal nafas dan letusan.
Gadis kecil di ranjang putih, tertidur dalam hitungan detik samar-samar. Mimpinya begitu indah. Pejaman matanya begitu sempurna. Juga dengkur halusnya. Tak ada yang membuatnya terusik, tersentak atau terjaga. Tidak satu dua nyamuk yang nekad menerobos aroma anti nyamuk yang masih menyengat. Tidak juga langkah-langkah berat sepatu lars, kegaduhan cela dan umpat, pekikan perempuan dan tangis menyayat, yang menyurukkan malam pada kubangan-kubangan pekat. Gadis kecil itu hanya membuka matanya sesaat, ketika sebuah letusan menyalak ringan dan erangan parau meruak singkat. Hatinya berdesir. Suara itu begitu dekat dan nyata. Namun, matanya yang masih digayuti kantuk kembali terpejam saat mengingat pesan bundanya, “Tidurlah yang lelap. Jangan hiraukan apapun, termasuk salak anjing, dengking dan erangan babi-babi yang melepas ajal.”
Di kamar sebelah, Ayin berbaring dalam kubangan merah yang mengucur pekat dari dadanya yang memanas. Terpana menatap wajah pias di depannya. Wajah yang pagi tadi masih menyisakan senyum untuknya. Letusan…Letusan itu. Ayin mendekap dadanya dengan susah payah, mencoba meredakan sengal nafasnya yang menggila. Dan, ia berhasil!

Catatan:
*) parbus : parit busuk/parit yang dipenuhi sampah
*) petrus : penembak misterius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar