Pages

Sabtu, 14 April 2012

SESAL


Oleh; R.Yulia


Dimuat Hr.Singgalang, 03 Juli 2011

Perempuan tua bermata sayu, duduk termangu di tepi jendela. Kelopak matanya terlihat lelah menaungi pandangan jauh yang lamur, berselimut awan katarak. Entah berapa ribu menit yang telah dihabiskan perempuan tua itu di sana. Ia hanya beranjak saat seorang gadis tanggung berwajah selusuh kebayanya, menghampiri dengan sepiring makanan. Dua kali dalam sehari. Tidak. Bukan hanya itu. Ia juga beranjak lima kali dalam sehari. Selepas adzan berkumandang dari mesjid di tepi danau. Juga beberapa saat tak beraturan dan sangat berjarak, untuk panggilan ke kamar mandi. Sudah. Itu saja. Dan selanjutnya, ia menikmati waktu yang menebal dan menipis dari tepi jendela itu.

Perempuan tua itu duduk di sana –tepi jendela yang selalu basah dengan keringat dari lipatan siku dan air matanya- dan melihat semua hal yang sama, meski dengan ngiang kisah yang berbeda. Ia memang tak muda lagi. Keriput yang membalut seluruh permukaan tubuh, menjadi hal yang kerap disenyuminya. Ia ingat kata-kata yang dilontarkan seorang gadis kecil, puluhan tahun yang lalu;
“Ibu, lihat!” Ia menunjuk seorang perempuan tua yang melintas. Sang ibu mengerutkan dahi dengan bingung.
“Aku tak mau ibu mengeriput seperti nenek itu!” Perempuan muda itu tersenyum dan mengusap lembut kepala anaknya.
“Semuanya akan seperti itu kalau sudah tua.”
“Tapi aku tak mau!” Gadis kecil itu berkeras dengan pendiriannya. Dan sang ibu juga tak ingin berdebat. Untuk apa? Toh, gadis kecil itu kelak akan menerima kenyataan, ibunya akan tua dan dipenuhi keriput di sekujur tubuh.
Tak terasa airmata perempuan tua itu mengalir. Ia menyeka air matanya dengan ujung kebaya. Hatinya meraungkan tanya, bagaimana kabar gadis kecil itu kini? Tentunya ia telah dewasa dan cantik. Waktu berbilang puluhan tahun telah terentang dari kenangan dalam kepala hingga ke senja kali ini. Ia ingat, terakhir kali melihat gadis kecil itu ketika ia melambaikan tangan di atas kapal ke arahnya. Di sebelahnya tegak seorang lelaki dan seorang perempuan muda. Keduanya juga melambai padanya. Tapi ia tak hirau akan kedua orang itu. Yang diperhatikannya hanyalah gadis kecil berpita kuning, dengan rambut hitam sebahu yang masai dipermainkan angin. Ia terus melambai dengan wajah yang dipenuhi airmata. Terus begitu hingga kapal beringsut menjauhi dermaga dan gadis kecil itu berubah menjadi noktah. Lalu hilang bersama bayangan kapal. Hilang selamanya.
Berhari-hari, bulan bahkan puluhan tahun sesudahnya, ia tak pernah mendengar cerita tentang gadis itu. Konon pula mendengar suara atau menatap sosoknya. Gadis itu lenyap dari sisinya, meski tidak dari ingatan dan hati.
Tatapan perempuan tua itu beralih ke pohon jambu air yang mulai menua di halaman rumah. Sebuah ayunan sederhana dari kayu yang diikat temali ke salah satu dahan besar, masih berayun-ayun mengikuti semilir angin. Dulu, gadis kecil berpita kuning itu kerap menghabiskan waktu di sana. Berayun-ayun sendiri dengan pekik girangnya yang sesekali berkumandang. Seorang perempuan muda tegak di pintu memperhatikannya dengan selinap cemas.
Gadis kecil itu melambai.
“Ibbuuu..!!”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Namun degup jantungnya semakin menderu.
“Awas jatuh, Sayang. Pegang kedua talinya!” serunya tertahan.
Gadis kecil itu tertawa. Meskipun ia menurut dan memegang kedua tali di sisi kiri dan kanan, toh kakinya menjejak ayunan semakin kencang. Perempuan muda di bingkai pintu itu tak mampu membendung kecemasannya. Ia bergegas menghampiri si gadis kecil dan dengan sigap menahan laju ayunan tali.
“Ibuuu, kenapa ayunannya diberhentikan?” protes gadis kecil itu dengan wajah mendung.
“Ibu takut kamu terjatuh.”
“Bukankah aku sudah berpegangan, Bu?”
“Ya, memang. Tapi ayunanmu melaju terlampau kencang. Bisa-bisa tubuhmu akan terlempar jauh dengan tangan terbebat tali. Akan sakit rasanya kalau itu terjadi.”
“Ah, Ibu. Aku kan sudah besar. Tidak akan terjatuh. Percayalah.. Bukankah anak besar itu melakukan segalanya lebih baik ketimbang anak kecil?” Gadis kecil itu masih membantah. Hatinya tak senang.
“Baiklah. Kamu boleh berayun lagi tapi…., tidak sekencang tadi. Setuju?”
Gadis kecil itu diam sesaat. Berayun dengan kencang justru mengasyikkan. Rasanya seperti mengendarai angin.
“Baiklah, Bu. Aku akan berayun lambat-lambat..” ujar gadis kecil itu akhirnya. Namun sepasang matanya berkilau menyembunyikan ingkar.
Perempuan muda itu melepaskan pegangannya ke temali dan membiarkan gadis kecilnya berayun kembali. Lambat-lambat. Merasa tak ada yang perlu dicemaskan, perempuan muda itu beranjak pergi. Masih ada setumpuk pekerjaan yang menunggunya di rumah. Di ambang pintu ia masih berhenti beberapa jenak. Mengamati gadis kecilnya yang berayun tenang. Ia meneruskan langkah saat merasa segalanya aman-aman saja.
Namun, sebuah pekik menahan langkahnya di ubin dapur. Hati yang bergemuruh, membawa kakinya berbalik arah secepat kuda. Ia paham kemana harus menuju.
Seorang gadis kecil terisak memegang kaki. Darah segar mengaliri tungkainya. Wajah dan bajunya berlumur tanah. Perempuan muda itu tak bertanya apa-apa. Sigap ia membopong tubuh mungil itu ke dalam rumah. Membaringkannya di dipan, membersihkan luka dan sekujur tubuhnya, membubuhkan obat serta mendekapnya erat. Selarik tembang berkumandang lirih. Membuai.
Perempuan tua itu menarik nafas panjang, menyeka airmatanya dan tergugu sesaat. Bibirnya lirih menguntai pinta. Meskipun pinta itu berbuah di ujung masanya.
Senja semakin jatuh. Tapi kisah-kisah yang sama terus bergulir mengisi ruang ingatannya. Tak ingin berhenti. Seperti sebuah rekaman yang tak sumbang meski diputar berulang-ulang.
Perempuan tua itu hanyalah sebuah raga yang rapuh. Airmata yang tak pernah usai bergulir, turut membasahi hatinya. Menjejalkan ratusan penyesalan yang menyesaki dadanya. Ia ingin waktu dapat diputar ulang. Ia ingin menghapus sejarah yang menorehkan cerita tentang kepergian seorang gadis kecil puluhan tahun lalu. Tapi tak bisa. Cerita itu sudah terlanjur dipahat dalam-dalam. Tak setetes air pun yang dapat menggerusnya. Bahkan airmata!
“Apakah itu satu-satunya jalan, Hana?” Dua orang perempuan muda saling berhadapan. Yang satu berwajah iba, sementara lainnya berwajah memelas.
“Hanya itu jalannya. Bukankah Kakak menginginkan masa depan yang baik untuk Najwa? Bagaimana mungkin Kakak dapat memberikannya kalau usia Kakak hanya tinggal menghitung hari?Maaf, Kak. Tapi bukankah itu yang dokter katakan? Bukankah sudah tak ada harapan bagi kesembuhan Kakak?”
Hati perempuan muda berwajah memelas itu tersayat. Bagaimanapun kebenarannya, bukanlah sesuatu yang mudah untuk menerima vonis tentang usianya yang tinggal menghitung hari. Ia hanya memiliki Najwa. Setelah ia tak ada, haruskah Najwa mengarungi kerasnya hidup ini sebatang kara? Tidak! Ia tak mungkin sekejam itu!
“Najwa akan bahagia, Kak. Bukankah Hendra dan Dewi sangat sayang pada anak-anak? Terlebih mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Najwa pasti akan mendapatkan limpahan kasih sayang. Yakinlah, Kak..”
Setengah keyakinan dan hati yang menangis melahirkan anggukannya. Sebuah anggukan yang menempatkan Najwa kecil di kapal itu. Kapal yang dipandangnya hingga tak lagi berbayang.
Ajal adalah sebuah rahasia, yang seumur kehidupan akan tetap menjadi rahasia. Hanya Sang Pemilik Kehidupan yang mengetahuinya. Namun, sebuah tebak-tebakan ajal atas nama ilmu pengetahuan telah mencerabut sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Tebak-tebakan itu juga melahirkan penyesalan tak bertepi. Ia kehilangan Najwa. Tak ada jejak, tak ada kabar. Yang tertinggal hanya kenangan yang lekat pada setiap inci rumah dan pekarangannya.
“Nek, hampir Maghrib. Kita tutup jendelanya, ya?” Sebuah suara melantun dari belakang tubuhnya. Perempuan tua itu menyeka airmatanya yang terus mengalir. Entahlah, sejak tadi ia menyeka, terus saja buliran bening itu mengucuri pipi keriputnya.
“Nek..Nenek menangis lagi? Sudahlah Nek, jangan bersedih. Doakan saja yang terbaik untuk Najwa. Manatahu, besok-besok Allah menggerakkan langkahnya ke sini.” Habib, perempuan sepantaran Najwa yang sejak beberapa tahun terakhir menemaninya, merengkuh bahunya dengan kasih sayang.
“Ayo, Nek. Sudah adzan.” Perempuan itu mengangguk. Ia beringsut menjauh dari jendela, menuju kamar mandi. Najwa, bisiknya dalam hati.
Setelah berwudhu, hatinya terasa lebih ringan dan lapang. Senyumnya mengembang. Ia seperti mendengar sebuah suara menyeru, memanggilnya.
“Habib, buka pintu. Sepertinya ada tamu,” ujarnya dari balik pintu. Tapi Habib tak mendengar.
Suara itu kembali menerpa telinganya. Memanggilnya dengan lirih. Perempuan tua itu berdegup kencang. Mungkinkah itu Najwa, pikirnya dengan hati risau. Sepertinya Habib tak mendengar. Perempuan tua itu bergegas, mempercepat langkahnya. Namun, langkahnya yang risau tak sempat mencengkram ubin. Genangan air membuatnya meluncur bak di atas balok es. Tubuhnya melayang sesaat sebelum terjerembab. Gaduh sesaat, sebelum hening memeluk. Hening..., hening sekali…
Di luar, angin berhembus kencang. Ayunan kayu di dahan jambu, berayun-ayun liar. Gemerisik daun jambu yang saling beradu, menjatuhkan beberapa helai daun tua. Lunglai mereka menuju tanah. Lalu diam sesudahnya.

1 komentar: