dimuat Mj Bobo, 07 April 2011
Es krim vanilla! Airin menatap anak-anak yang mengerumuni tukang es
krim dengan penuh minat. Di siang yang terik seperti ini, es krim
adalah salah satu minuman yang paling diinginkannya. Apalagi es krim
vanilla. Wuih, membayangkan rasanya saja sudah sangat menyiksa. Airin
mengayunkan kakinya menuju tukang es krim. Namun, dua langkah lagi
mencapai tujuan, Airin menghentikan langkahnya dengan setengah
terpaksa. Tidak…tidak, ia tak boleh membelanjakan uang jajannya.
Bukankah ia telah berjanji untuk tak jajan selama seminggu? Dan ini
sudah memasuki hari kelima. Berarti tinggal dua hari lagi. Kalau ia
membeli es krim hari ini, berarti uangnya takkan cukup di hari ke
tujuh nanti. Berfikir begitu, Airin memutar langkahnya. Menjauh dari
tukang es krim dan melanjutkan perjalanan, pulang ke rumah.
Airin tiba di rumah dengan peluh membanjiri dahi,
leher dan baju seragamnya. Jarak antara rumah dan sekolah memang
lumayan jauh. Tapi itu tak menyurutkan semangat Airin. Bayangan akan
sesuatu yang dilihatnya di etalase toko beberapa hari lalu, membuat
keletihannya tak terasa.
“Airin, habis ngapain? Kok mandi keringat
begitu?” Mama menegurnya saat berpapasan di ruang tamu. Airin
tersenyum. Wajahnya memerah karena terpaan sinar matahari.
“Lari-lari kecil tadi, Ma,” kilah Airin sambil buru-buru masuk
kamar. Takut Mama bertanya macam-macam lagi. Mama geleng-geleng
kepala.
“Cepat ganti bajunya, Airin. Basah semua tuh,” kata Mama sebelum
Airin menutup pintu.
“Iya, Ma,” seru Airin sambil menarik nafas lega. Ia segera
mengganti pakaian dan membaringkan tubuh di ranjang. Kedua kakinya
diangkat tinggi dan menyandar ke dinding di samping ranjang. Duh,
nyaman sekali rasanya.
Hari keenam. Airin tersenyum kecil. Besok adalah puncak dari
perjuangannya. Uang yang terkumpul selama tujuh hari akan ditukarnya
dengan benda yang diinginkannya. Benda cantik di etalase toko.
“Airin, kok kamu senyum-senyum terus dari
tadi?” Airin berpaling. Indira, teman sebangkunya, menatap Airin
dengan heran.
“Ada deeehhh…,” sahut Airin penuh rahasia. Indira manyun.
“Huh, ya sudah. Tuh, dengarkan. Ada pengumuman dari ketua kelas,”
kata Indira seraya menunjuk ke depan kelas.
“Teman-teman, tolong perhatiannya sebentar, ya?
Tadi ibu kepala sekolah memberitahukan kalau Bu Farida, wali kelas
kita, mengalami kecelakaan. Dan sekarang, Bu Farida tengah dirawat di
rumah sakit. Jadi, kita semua diminta mengumpulkan uang seiklasnya
untuk membantu meringankan biaya rumah sakit Bu Farida. Setuju, kan?”
“Setujuuuuu!!” Seluruh kelas serentak menyahut, kecuali Airin.
Ia gelisah memikirkan uangnya yang akan berkurang. Duh, kenapa sih Bu
Farida harus mengalami kecelakaan? Padahal ini sudah hari keenam.
Airin sibuk dengan fikirannya sendiri sehingga tak menyadari
kehadiran Tria di depan mejanya. Indira menyikutnya.
“Rin, nyumbang tuh.” Airin tergagap. Ia merogoh sakunya. Lama
dipandanginya uang sepuluh ribu yang tergenggam di tangan.
“Cepat dong, Rin,” desak Tria yang tak sabaran. Akhirnya hati
Airin yang memutuskan. Ia memasukkan uang sepuluh ribu itu dan tak
mengambil kembaliannya dari dalam kantung plastik yang dipegang Tria.
“Makasih, ya?” kata Tria sebelum berpindah ke teman lain. Bu
Farida bukan sekedar wali kelas bagi Airin dan teman-teman. Bu Farida
adalah guru yang baik, penyabar dan penuh perhatian. Saat ada di
antara mereka yang sakit, Bu Farida selalu datang menjenguk. Bu
Farida juga membawakan buah-buahan, kue dan sebagainya. Jadi, saat Bu
Farida sakit, Airin dan teman-temannya tergerak untuk menyumbangkan
seluruh uang jajan mereka demi kesembuhan Bu Farida.
Hari ke tujuh. Sepulang sekolah, Airin sengaja
singgah ke pertokoan dekat rumah. Ia berhenti di depan etalase.
Tatapannya tertuju lurus ke sebuah tas tangan mungil berwarna biru,
warna kesukaan mama. Ia melirik label harga yang tergantung di
talinya, lalu mengeluh perlahan. Uangnya tak cukup. Kurang sepuluh
ribu lagi. Padahal ia sudah menyisihkan uang jajannya yang lima ribu
rupiah selama beberapa hari, termasuk uang ojek. Seandainya saja Bu
Farida tak sakit, pikirnya dengan sedikit sesal.
“Airin…” Seseorang menepuk lembut bahunya. Airin tersentak,
kaget. Mama.
“Lagi ngapain di sini? Kok tak langsung pulang?” tanya Mama
lagi. Airin menarik nafas panjang dan menatap tas tangan itu sekali
lagi. Mama mengikuti arah pandangan Airin.
“Kenapa dengan tas itu Airin?” tanya Mama tak mengerti.
“Tas itu cantik sekali ya, Ma?” Mama mengangguk.
“Memang. Tapi itu kan tas wanita dewasa. Bukan untuk anak
seusiamu..”
“Bukan untuk Airin, Ma. Airin ingin
membelikannya untuk Mama. Bukankah hari ini Mama berulang tahun?”
Mama terperangah. Astaga, ia tak menyangka sama sekali kalau Airin
sampai berfikir sejauh itu. Menghadiahkan sebuah tas? Darimana
uangnya?
“Mama suka warna biru, kan?” Mama mengangguk. “Makanya Airin
ingin menghadiahkannya untuk Mama. Tapi uang Airin tak cukup. Padahal
Airin sudah berhemat selama seminggu ini. Tak jajan dan tak naik ojek
saat pulang sekolah. Seharusnya cukup, kalau saja kemarin Bu Farida
tak sakit dan tak harus menyumbang.” Mama tersenyum lebar.
“Airin, nggak boleh berfikiran seperti itu.
Menyumbang untuk meringankan penderitaan orang lain itu sangat baik
dan berpahala lho.
Mama terharu dengan niatmu. Begini saja, Mama akan menambah uang
Airin. Anggap saja itu uang ekstra dari Mama. Jadi, Airin tetap bisa
menghadiahkan tas itu, kan?” kata Mama dengan bijak. Mama tak ingin
mengecewakan Airin yang tulus ingin memberikan tas itu sebagai hadiah
ulang tahun. Sepasang mata Airin berbinar seketika.
“Benar, Ma?” Mama mengangguk. Airin segera menghambur masuk ke
toko begitu Mama mengangsurkan selembar uang sepuluh ribuan. Sesaat
kemudian ia keluar dengan menenteng tas biru yang cantik dan
menyerahkannya pada mama.
“Selamat ulang tahun, Ma.” Mama memeluk putri
kesayangannya dengan penuh haru dan bangga. Terbayang kembali di
matanya bagaimana Airin pulang sekolah dalam keadaan lapar dan
berpeluh-peluh selama seminggu ini. Pantas saja Airin seragam Airin
selalu kuyup oleh peluh. Pantas saja Airin makan lahap lebih dari
biasanya.
“Terima kasih, Sayang…” bisik Mama di
telinga Airin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar