Pages

Selasa, 01 Oktober 2013

BENDA CANTIK DI ETALASE TOKO



dimuat Mj Bobo, 07 April 2011


Es krim vanilla! Airin menatap anak-anak yang mengerumuni tukang es krim dengan penuh minat. Di siang yang terik seperti ini, es krim adalah salah satu minuman yang paling diinginkannya. Apalagi es krim vanilla. Wuih, membayangkan rasanya saja sudah sangat menyiksa. Airin mengayunkan kakinya menuju tukang es krim. Namun, dua langkah lagi mencapai tujuan, Airin menghentikan langkahnya dengan setengah terpaksa. Tidak…tidak, ia tak boleh membelanjakan uang jajannya. Bukankah ia telah berjanji untuk tak jajan selama seminggu? Dan ini sudah memasuki hari kelima. Berarti tinggal dua hari lagi. Kalau ia membeli es krim hari ini, berarti uangnya takkan cukup di hari ke tujuh nanti. Berfikir begitu, Airin memutar langkahnya. Menjauh dari tukang es krim dan melanjutkan perjalanan, pulang ke rumah.
Airin tiba di rumah dengan peluh membanjiri dahi, leher dan baju seragamnya. Jarak antara rumah dan sekolah memang lumayan jauh. Tapi itu tak menyurutkan semangat Airin. Bayangan akan sesuatu yang dilihatnya di etalase toko beberapa hari lalu, membuat keletihannya tak terasa.
“Airin, habis ngapain? Kok mandi keringat begitu?” Mama menegurnya saat berpapasan di ruang tamu. Airin tersenyum. Wajahnya memerah karena terpaan sinar matahari.
“Lari-lari kecil tadi, Ma,” kilah Airin sambil buru-buru masuk kamar. Takut Mama bertanya macam-macam lagi. Mama geleng-geleng kepala.
“Cepat ganti bajunya, Airin. Basah semua tuh,” kata Mama sebelum Airin menutup pintu.
“Iya, Ma,” seru Airin sambil menarik nafas lega. Ia segera mengganti pakaian dan membaringkan tubuh di ranjang. Kedua kakinya diangkat tinggi dan menyandar ke dinding di samping ranjang. Duh, nyaman sekali rasanya.
Hari keenam. Airin tersenyum kecil. Besok adalah puncak dari perjuangannya. Uang yang terkumpul selama tujuh hari akan ditukarnya dengan benda yang diinginkannya. Benda cantik di etalase toko.

“Airin, kok kamu senyum-senyum terus dari tadi?” Airin berpaling. Indira, teman sebangkunya, menatap Airin dengan heran.
“Ada deeehhh…,” sahut Airin penuh rahasia. Indira manyun.
“Huh, ya sudah. Tuh, dengarkan. Ada pengumuman dari ketua kelas,” kata Indira seraya menunjuk ke depan kelas.
“Teman-teman, tolong perhatiannya sebentar, ya? Tadi ibu kepala sekolah memberitahukan kalau Bu Farida, wali kelas kita, mengalami kecelakaan. Dan sekarang, Bu Farida tengah dirawat di rumah sakit. Jadi, kita semua diminta mengumpulkan uang seiklasnya untuk membantu meringankan biaya rumah sakit Bu Farida. Setuju, kan?”
“Setujuuuuu!!” Seluruh kelas serentak menyahut, kecuali Airin. Ia gelisah memikirkan uangnya yang akan berkurang. Duh, kenapa sih Bu Farida harus mengalami kecelakaan? Padahal ini sudah hari keenam.
Airin sibuk dengan fikirannya sendiri sehingga tak menyadari kehadiran Tria di depan mejanya. Indira menyikutnya.
“Rin, nyumbang tuh.” Airin tergagap. Ia merogoh sakunya. Lama dipandanginya uang sepuluh ribu yang tergenggam di tangan.
“Cepat dong, Rin,” desak Tria yang tak sabaran. Akhirnya hati Airin yang memutuskan. Ia memasukkan uang sepuluh ribu itu dan tak mengambil kembaliannya dari dalam kantung plastik yang dipegang Tria.
“Makasih, ya?” kata Tria sebelum berpindah ke teman lain. Bu Farida bukan sekedar wali kelas bagi Airin dan teman-teman. Bu Farida adalah guru yang baik, penyabar dan penuh perhatian. Saat ada di antara mereka yang sakit, Bu Farida selalu datang menjenguk. Bu Farida juga membawakan buah-buahan, kue dan sebagainya. Jadi, saat Bu Farida sakit, Airin dan teman-temannya tergerak untuk menyumbangkan seluruh uang jajan mereka demi kesembuhan Bu Farida.
Hari ke tujuh. Sepulang sekolah, Airin sengaja singgah ke pertokoan dekat rumah. Ia berhenti di depan etalase. Tatapannya tertuju lurus ke sebuah tas tangan mungil berwarna biru, warna kesukaan mama. Ia melirik label harga yang tergantung di talinya, lalu mengeluh perlahan. Uangnya tak cukup. Kurang sepuluh ribu lagi. Padahal ia sudah menyisihkan uang jajannya yang lima ribu rupiah selama beberapa hari, termasuk uang ojek. Seandainya saja Bu Farida tak sakit, pikirnya dengan sedikit sesal.
“Airin…” Seseorang menepuk lembut bahunya. Airin tersentak, kaget. Mama.
“Lagi ngapain di sini? Kok tak langsung pulang?” tanya Mama lagi. Airin menarik nafas panjang dan menatap tas tangan itu sekali lagi. Mama mengikuti arah pandangan Airin.
“Kenapa dengan tas itu Airin?” tanya Mama tak mengerti.
“Tas itu cantik sekali ya, Ma?” Mama mengangguk.
“Memang. Tapi itu kan tas wanita dewasa. Bukan untuk anak seusiamu..”
“Bukan untuk Airin, Ma. Airin ingin membelikannya untuk Mama. Bukankah hari ini Mama berulang tahun?” Mama terperangah. Astaga, ia tak menyangka sama sekali kalau Airin sampai berfikir sejauh itu. Menghadiahkan sebuah tas? Darimana uangnya?
“Mama suka warna biru, kan?” Mama mengangguk. “Makanya Airin ingin menghadiahkannya untuk Mama. Tapi uang Airin tak cukup. Padahal Airin sudah berhemat selama seminggu ini. Tak jajan dan tak naik ojek saat pulang sekolah. Seharusnya cukup, kalau saja kemarin Bu Farida tak sakit dan tak harus menyumbang.” Mama tersenyum lebar.
“Airin, nggak boleh berfikiran seperti itu. Menyumbang untuk meringankan penderitaan orang lain itu sangat baik dan berpahala lho. Mama terharu dengan niatmu. Begini saja, Mama akan menambah uang Airin. Anggap saja itu uang ekstra dari Mama. Jadi, Airin tetap bisa menghadiahkan tas itu, kan?” kata Mama dengan bijak. Mama tak ingin mengecewakan Airin yang tulus ingin memberikan tas itu sebagai hadiah ulang tahun. Sepasang mata Airin berbinar seketika.
“Benar, Ma?” Mama mengangguk. Airin segera menghambur masuk ke toko begitu Mama mengangsurkan selembar uang sepuluh ribuan. Sesaat kemudian ia keluar dengan menenteng tas biru yang cantik dan menyerahkannya pada mama.
“Selamat ulang tahun, Ma.” Mama memeluk putri kesayangannya dengan penuh haru dan bangga. Terbayang kembali di matanya bagaimana Airin pulang sekolah dalam keadaan lapar dan berpeluh-peluh selama seminggu ini. Pantas saja Airin seragam Airin selalu kuyup oleh peluh. Pantas saja Airin makan lahap lebih dari biasanya.
“Terima kasih, Sayang…” bisik Mama di telinga Airin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar