Pages

Minggu, 13 Oktober 2013

KAMAR SEBELAH


Dimuat Hr. Mimbar Umum, 12 Oktober 2013
Oleh: R. Yulia
Malam seperti tulang-tulang yang menua dengan cepat. Menyisakan suara-suara aneh seperti berkeretak. Juga decap mulut-mulut tak terlihat yang tengah sibuk mengunyah. Melumat cahaya bulan dan menyimpannya di balik rerimbunan awan hitam yang murung. Pekat, tak lebih tak kurang. Senyap, lembab. Bahkan jangkrik pun lupa mengerik
Aku merapikan kembali tirai jendela yang barusan kusibak. Senyap dan gelap, tak punya daya tarik untuk menahanku termangu di kusen dan mengintip keluar lebih lama. Aku menggeser posisi sedikit ke kiri dan kembali berbaring, miring.
Pandanganku jatuh. Lantai keramik di tengah malam begini, di tengah embusan pendingin ruangan selama nyaris enam jam, tentulah sangat dingin. Aku dapat merasakannya, meski berada di atas ranjang. Kemungkinan itu dengan segera menepikan keinginan untuk beringsut. Kutarik kembali selimut hingga menutup ke pangkal leher.
Tak lama, suara langkah yang diseret bergegas mendekati kamar. Aku buru-buru mengatupkan mata dan memiringkan tubuh ke kanan, membelakangi pintu yang sebentar lagi akan terkuak.
Pintu dibuka perlahan. Aku menunggu. Pintu ditutup dan langkah-langkah berat mendekat ke ranjang. Lalu, seseorang yang membaringkan tubuh beratnya di sampingku membuat ranjang bergoyang sesaat.
"Kau sudah tidur?" Hening. Aku enggan menjawab dan memilih tetap berpura-pura. Namun, aku dapat merasakan tatapannya yang tertuju lurus ke wajahku.
"Baiklah, aku juga akan tidur. Selamat malam."
Ranjang kembali bergoyang seirama tubuh di sampingku yang menggeser posisi baringnya Aku membuka mata. Ia memunggungiku.
Aku menatap punggung telanjang itu. Punggung liat yang mengilap oleh keringat yang tak lagi berbulir-bulir seperti dua jam sebelumnya. Kukira, keringat yang lekat dan merembes perlahan ke seprai itu, juga bukan keringat yang kulihat dua jam yang lalu. Kali ini hanya keringat tipis, yang barangkali didapatnya dari kamar sebelah.
Aku mengeluh perlahan, menyembunyikannya dalam-dalam ke bantal.
Ia hanya setengah jam bersamaku, namun menghabiskan waktu empat kali lebih lama di kamar sebelah. Aku menggigit bibir dengan kuat; berharap rasa sakit yang mencekik hati dan menjalar hingga ke paru-paru, yang membuat nafasku tersumbat dan punggung tanganku berkeringat, lenyap!
Aku memejamkan mata dan menyurukkan kepala semakin dalam ke bantal. Kusisakan sedikit celah untuk hidungku. Aku masih ingin bernapas, tak ingin mati. Setidaknya untuk saat ini.
Dua jam lalu, ia di kamar ini. Di ranjang yang sekarang ia tiduri. Bersamaku. Kami berhadapan dan saling memandang. Aku tersenyum. Dia juga. Ia menyentuh ujung rambutku. Aku menghitung dalam derap nafas yang memburu. Kupandang ia dengan berpundi-pundi rasa.
"Hari ini kita tak punya lebih banyak waktu ketimbang kemarin." Suara itu seperti dentang lonceng yang menggema dari jarak sedepa. Memekakkan telinga.
"Aku tahu.."
"Lantas, mengapa menghabiskan waktu hanya untuk saling berpandang?"
Diam. Aku tak hendak menjawab. Demikian pula ia. Kukira lelaki itu mengerti apa yang kuinginkan, ternyata tak. Ia melakukan apa yang memang selalu ia lakukan. Semua berlangsung seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Tak ada yang berbeda. Termasuk perasaanku, sebelum dan sesudahnya, yang dingin mengeras seperti daging hamburger malang, yang kuabaikan cukup lama di lemari pembeku.
Kami bercinta tanpa salam. Hanya selayang ciuman yang singgah di wajah dan lelaki yang tergesa menjemput sudah. Dia, selalu tergesa, dibuntuti jarum jam yang berdetak-detak gelisah dan kehilangan gairah. Dan semua selesai. Seperti biasa, dalam beberapa kerjapan mata dan geledar jantung sesaat. Setelahnya, ia pergi dengan ayun langkah berlomba menuju kamar sebelah. Aku, sendiri mendekap geletar.
Semua berjalan berulang di malam-malam berikut, hingga tubuhku gagu. Tak lagi bisa membedakan antara kewajiban dan kenikmatan. Sama. Semua sama, tak lebih tak kurang. Seperti menyesap secangkir kopi instan.
Lalu, sesuatu terjadi di Jum'at pagi yang mendung. Ketika secangkir teh panas yang barusan kuseduh, kuletakkan perlahan di atas tatakan. Sendok stainless yang mengilap turut kusertakan. Kupandang dengan cermat. Sebutir gula yang tertinggal di bibir cangkir, kujumput cepat. Secepat sebuah teriakan singgah ke liang pendengaranku.
"Tiddaaaakkkk!!" Parau. Suara itu seperti raungan gagak hitam yang pernah kulihat suatu ketika. Entah dimana.
Aku menoleh. Asalnya dari balik pintu kamar yang berada pada satu tarikan garis lurus dari tempatku berpijak. Hatiku berdegup, menunggu. Gelisah, seperti katak yang melompat-lompat.
Tak hendak salah menduga, kubuka jendela lebar-lebar. Udara pagi yang lembab, menjilat wajahku. Semilir angin menghela tarian di helai-helai rambutku. Semua hal biasa, termasuk matahari yang masih terperangkap di belahan bumi lain. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Entah, apakah di perasaanku, di rumah ini atau di pekarangan.
Sepi ini tak biasa. Tak ada pagi yang selengang ini.
Bukan, ini juga bukan tentang awan nimbus yang hadir mengusung gerimis. Teriakan tadi, mengapa terhenti? Aku tertegun. Suara itu; suaranya. Tatapanku lurus menghujam pintu kamar yang masih terkatup. Seseorang di dalam sana, tadi meraung parau. Aku tercekat. Pikiranku tersesat. Perempuan itu ....
Perempuan itu mati. Aku mendesis resah.
Ya, perempuan di kamar sebelah mati. Ia pergi bersama waktu yang mengantar akad. Sudah masanya. Ia pergi dengan tangisan tak terputus dari seorang lelaki. Lelakiku.
Aku ikut terseret dalam pusaran kesedihan yang memerah airmata. Aku menangis, meski tak merasa memiliki tautan bahkan getaran saat ia ada. Ia tak menginginkanku sejak awal. Dan sebaliknya, aku tak terlampau berharap dan berusaha untuk diterima. Aku menangis, dengan pikiran mengabut. Entah, entah untuk apa.
Tujuh malam aku memeluknya, lelaki yang bersimbah airmata. Ia menangis di dadaku, membanjiri bajuku dan ranjang dengan penyesalan. Tujuh malam aku mendengarkan kisahnya, tentang perempuan di kamar sebelah; yang rahimnya menjadi tempat bergelung sepanjang musim pembentukan. Yang darahnya telah menumbuhkan daging dan menghidupkan seluruh indera. Yang mengantarkannya menjadi lelaki pengisi ranjangku. Tujuh malam aku berdendang lirih, merajut penghiburan, demi agar lelaki itu tertidur tanpa mimpi. Karena mimpi hanya akan membuat airmatanya menitik dari celah pejaman.
Selepas tujuh malam, waktu mengalir lebih bernyawa. Hidup. Aku merasa terlahir bersamanya. Kami menghabiskan berjam-jam yang kami miliki. Di ranjang, sofa, mobil dan kamar sebelah. Tawaku merekah senantiasa, seperti dipladenia di beranda.
Namun, semua hanya bertahan setahun. Kamar sebelah kembali berpenghuni. Seorang bayi lelaki mungil yang beberapa masa sebelumnya menghuni rahimku. Bayi yang tak pernah lelah menangis dan menjerit. Ia pengisi kamar sebelah yang sangat dimanja, lebih dari penghuni sebelumnya. Kamar itu berwarna, penuh dengan mainan beragam bentuk dan ukuran. Kamar itu mengembalikan kesunyian yang dulu pernah memasungku.
Lelakiku kembali sibuk. Ia menghabiskan waktu di kamar sebelah, berkali-kali lipat lamanya. Ia tak mengijinkanku untuk sekedar mengganti popok, terlebih bercanda lama dengannya. Tugasku hanya berkaitan dengan satu hal yang tak bisa ia berikan, ASI.
Begitulah, kami hanya bertemu saat bayi lelaki itu menyusu. Ia duduk di hadapanku dengan wajah sumringah, bercahaya. Matanya dipenuhi pantulan kristal indah. Aku menatapnya, tapi ia tidak. Pantulan kristal itu bertaut dengan binar yang nyaris serupa di sosok mungil yang tengah berada di pangkuanku. Aku, menepi dalam gamang.
Waktu bergulir, dengan jutaan cerita yang hanya memuat aku sebagai peran pendamping. Dua lelaki di rumah ini, mereka bertumbuh bersama meski dengan kematangan usia yang berbeda. Mereka berdua tertawa dan berbicara sepanjang waktu yang tersisa. Mereka bahkan tak sempat melihat sulur-sulur putih yang mulai bersilang-tumbuh dengan rambut hitamku, juga keriput halus di sudut mata. Mereka bicara, aku mendengar. Kata-kataku hanyalah pengulangan jawaban, hari ke hari. Kalimatku kehilangan pikat dan intonasi. Aku, menahun bertahan dan memilikinya nyaris utuh hanya selama lima belas menit. Tak lebih, tak kurang.
Seorang perempuan, ah ya...seorang perempuan. Ia hadir. Dan aku harus berterima kasih untuk keberadaan perempuan itu. Tak begitu cantik, tak begitu ramah, juga tak terlalu pintar. Tapi ia merenggut lelaki muda yang dua puluh lima tahun lalu menyusu padaku. Ia mengosongkan kamar sebelah. Mengembalikan milikku; lelaki yang telah membingkai wajahnya dengan janggut putih keperakan.
Tak lama. Semua hanya bertahan semusim. Sepertinya nasibku adalah nasib yang tak paham, tak mengenal kehendak tuan.
Kamar sebelah, kembali berpenghuni. Perempuan. Ya, seorang perempuan. Lebih muda sedikit dariku, lebih montok, lebih wangi dan lebih lama menahan suamiku di kamar sebelah.
Ya..ya, ini memang menjengkelkan. Meski perempuan itu, hadir atas restuku. Restu yang keluar dari bibir dengan setengah putus asa.
"Menikahlah.." Kalimat itu meluncur dengan kepahitan setara empedu. Kuteguk kembali dengan mata terpejam.
Ia menatapku, terkesima.
"Kau yakin, Sayang?"
Aku mengangguk. Apalagi?
"Bawalah ia ke rumah ini."
Sepasang mata di depanku mencelat, bibirnya menganga.
"Kau yakin, Sayang?"
Aku mengangguk. Hatiku remuk dalam genggamannya yang hangat. Kubiarkan ia mendekapku, membelai rambutku dan mengusap perlahan punggungku. Mungkin hanya seperti ini saja lagi yang sanggup kami lakukan. Berdekapan. Aku sudah terlalu uzur untuk melakukan ritual penyatuan raga. Tapi ia tidak.
Pagi ini aku bangun lebih pagi. Setelah mandi, kusisir rambutku lamat-lamat seraya memerhatikan detil wajah yang terpantul dalam cermin. Aku tersenyum, menarik beberapa garis halus dari tepi-tepi bibir. Sepertinya, tak baik untukku berlama-lama di depan cermin.
Kuseduh teh di dalam poci dan menuangkan beberapa sendok gula ke dalamnya. Kuletakkan poci di nampan, berikut tiga cangkir porselen putih. Aku menoleh ke pintu kamar yang berada satu garis lurus dengan tempatku berpijak. Kudengar suara-suara lirih dari baliknya. Aku mengembuskan nafas dan memutuskan untuk duduk, menunggu.
"Aku ingin pindah ke kamar belakang." kataku sembari menyesap teh.
Dua pasang mata di depanku membundar. Aku mengangguk.
"Ya, pindahlah ke kamar depan. Aku bosan di sana." Aku menujukan kalimat itu pada sosok dalam jangkauan pandang. Perempuan itu.
"Tapi.."
"Tak apa. Aku hanya butuh kamar yang tak terlampau luas." Selaku cepat, sebelum lelaki di depanku menyelesaikan kalimatnya. Ah, ia telah melenyapkan cambang dan kumisnya. Aku berlalu setelah menyelesaikan tegukan akhir, tak memberi ruang untuk pertanyaan tambahan.
*****

Malam seperti gemericik air di selokan depan, menenangkan. Aku tengadah di sisi jendela, merasakan semilir angin yang menyusup ke pori-pori. Dingin, tapi membuatku nyaman. Bulan ranum, membulat sempurna. Ah.., mengapa tak terpikir sedari dulu? Batinku menggerutu.
"Tutuplah jendela itu, Sayang. Sudah larut. Angin malam tak baik untukmu." Seseorang dari balik punggungku menutup tirai. Lalu ia menuntunku ke ranjang. Kami berjalan dengan lambat, menikmati setiap langkah gemetar yang terayun.
Kami tiba di ranjang, berbaring bersisian dengan tangan saling menggenggam.
"Hari ini kita memiliki lebih banyak waktu dari kemarin."
Aku menoleh.
"Kenapa?"
Ia menoleh, tak lama kemudian mengubah posisi baringnya menjadi miring. Menghadapku.
"Entahlah. Ranjang ini selalu membuatku ingin berlama-lama."
Aku menyimpan senyum.
"Ranjang ini membangkitkan kerinduan." Tatapannya melayang jauh. Jauh sekali.
Lelaki di sampingku, melepaskan jemarinya dari genggaman. Ia menatapku lama, sebelum mendekat dan berkata," Hari ini waktu kita tak terbatas pada pudarnya bulan atau terbitnya matahari, Sayang." Aku terkekeh dalam hati seraya memejamkan mata. Mata lelakiku juga terpejam. Matilah hari, mantraku mengapung di udara, seiring mendinginnya udara tiba-tiba. Dingin. Semua dingin. Membekukan remah-remah bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar