Pages

Selasa, 01 Oktober 2013

PINJAM, DONG!


dimuat Mj Bobo, 21 Februari 2013


"Pinjam pensilnya, dong."
Alina yang hendak menutup kotak pensilnya seketika menoleh ke samping kanan, asal suara barusan. Diwa tengah menatapnya dengan mimik memelas, dari kursinya yang berseberangan dengan tempat duduk Alina. Alina menghela nafas.
"Pensil ini maksudmu?" tanya Alina sembari mengacungkan pensil berhias boneka kelinci mungil di tangannya. Diwa mengangguk.
"Untuk apa?" Alina merendahkan suara, kuatir Bu Indah yang tengah sibuk memeriksa hasil latihan di mejanya, mendengar.
"Untuk menggambar. Pensilku ketinggalan di rumah." Diwa ikut-ikutan berbisik.
"Kenapa ditinggal terus, sih?" sungut Alina kurang senang.
Diwa selalu meminjam barang-barangnya, juga milik teman-teman lain. Nyaris setiap hari. Alasannya, ketinggalan. Aneh, sudah jelas mau ke sekolah pagi-pagi sekali, kenapa tak mempersiapkan alat-alat kelengkapan belajar sejak malam? Lebih parahnya lagi, barang yang dipinjam itu selalu lupa dikembalikan kalau tak diminta oleh pemiliknya. Dan jika sudah begitu, barang itu takkan pernah terlihat lagi selamanya. Alasan Diwa hanya dua, tertinggal dan hilang.
"Alina, sekali ini saja, deh. Besok nggak akan lupa lagi."
Alina cemberut. Ia mengalihkan pandangannya pada pensil yang ada dalam genggaman. Itu pensil baru yang dibelikan ayahnya ketika bertugas keluar kota beberapa hari lalu. Dia belum pernah menggunakannya. Rencananya, hari ini Alina akan memakainya untuk pelajaran menggambar. Kata ayah, pensil tersebut sangat halus dan cocok untuk menggambar.

Alina membuka kotak pensil dan mengeluarkan pensil lamanya. Ia mengangsurkan benda itu pada Diwa. Tapi Diwa menggeleng.
"Aku pakai yang itu saja, deh. Pensil yang ini jelek untuk menggambar. Terlalu tebal." Tepis Diwa seraya menunjuk pensil yang ada di genggaman Alina.
Alina melotot. Apa? Diwa ingin pinjam yang baru? Kok minjam pakai milih sih? Gerutu Alina dalam hati. Ini keanehan Diwa yang kedua. Ia selalu memilih barang-barang bagus milik temannya untuk dipinjam. Sudah tentu dua kebiasaan anehnya itu membuat dongkol seisi kelas.
"Nggak, ah. Yang ini mau aku pakai. Mau tidak?" Alina bertahan. Kali ini ia takkan menyerah pada kemauan Diwa.
"Begitu, ya? Ya sudah, aku nggak jadi meminjam. Kamu bukan teman yang baik ternyata.." ujar Diwa sambil membuang muka dengan kesal. Alina menarik nafas panjang. Ini dia saat yang paling menentukan. Biasanya hatinya akan lumer dengan aksi Diwa yang seperti itu. Sudah tentu, siapa pula yang ingin dijuluki sebagai teman yang jahat?
"Bertahan, Alina. Bertahan..." bisik Jihan, teman semejanya. Alina menoleh dan tersenyum tipis. Ia mengangguk dan kembali melanjutkan gambarnya yang tertunda.
Satu menit, dua menit, hingga lima menit berlalu Alina belum mendengar suara rengekan Diwa. Alina melirik. Ups, ternyata Diwa tengah merayu Arinda yang duduk di belakang kursinya, untuk meminjamkan penggaris bergambar Barbie. Alina menyimpan senyumnya tatkala melihat Arinda menggeleng tegas.
Gagal meminjam barang Alina dan Arinda, Diwa masih berusaha melakukannya terhadap teman-teman lain. Namun jawaban yang diterimanya, semua sama. Mereka menggeleng atau menawarkan barang lain yang tak diinginkannya.
Diwa menggaruk-garuk kepalanya. Ada apa dengan teman-temannya hari ini, ya? Mengapa tak ada seorangpun yang berbaik hati meluluskan keinginannya? Diwa menyimpan rasa penasarannya dan merogoh tas. Ia mengambil kotak pensil dan mengeluarkan alat-alat tulis miliknya sendiri.
Alina, Jihan, Arinda dan beberapa teman yang tadi dirayu Diwa, menyimpan senyum dan tawa mereka dalam hati. Berhasil, sorak mereka.
Keesokan harinya, Diwa mencoba mengulangi lagi kelakuannya. Ia meminjam penghapus Dira, peraut Cecil dan lain-lainnya. Toh, semua sama seperti kemarin. Tak ada teman yang mau meminjamkan barangnya pada Diwa. Tak ada pilihan, Diwa kembali menggunakan alat-alat miliknya. Sebenarnya, setiap hari ia selalu membawa semua perlengkapan sekolahnya. Namun, barang-barang miliknya tak sebagus milik teman-temannya. Padahal ia sangat menginginkannya.
Saat jam istirahat, Alina dan teman-temannya berkumpul di halaman belakang sekolah, membahas kejadian dua hari ini. Wajah mereka terlihat ceria. Beberapa saat lalu mereka bersorak dan melakukan tepuk angin di udara.
"Akhirnya rencana kita berhasil ya, Alina? Si tukang pinjam itu pasti takkan pernah meminjam lagi," kata Jihan. Alina mengangguk.
"Ya, semoga saja Diwa segera menyadari kesalahannya." Sahut Alina.
"Iya. Diwa itu nyebelin, sih. Meminjam sih boleh, kalau memang diperlukan. Tapi sesudah selesai, harusnya dikembalikan," imbuh Arinda.
"Lalu sekarang bagaimana, Alina? Kita lanjutkan sampai empat hari seperti yang disepakati?" Alina mengangguk.
"Iya. Setelah itu, kita akan lihat reaksinya dan siapkan kadonya," sahut Alina sembari mengedipkan mata. Teman-temannya mengangguk sambil tertawa.
Diwa merasakan ada sesuatu di empat hari belakangan ini, yang membuat teman sekelasnya kompak tak meminjamkan barang-barang mereka padanya. Apakah mereka marah padanya karena sering tak mengembalikan barang yang dipinjam? Selain tak meminjamkan barang, mereka juga terlihat tak begitu peduli padanya. Dan ini membuat Diwa sedih. Ia merasa dikucilkan.
Pagi ini, kelas terlihat lengang. Tumben, batin Diwa. Biasanya jam segini teman-temannya sudah pada ngumpul di kelas, menunggu bel masuk berbunyi. Diwa langsung menuju mejanya. Ia memasukkan tasnya ke dalam laci. Tapi tunggu dulu, kenapa tasnya sulit masuk? Hanya setengahnya saja yang masuk ke dalam laci. Diwa mendorong-dorong tasnya. Tapi tetap saja sulit. Dengan kesal Diwa menarik tas dan merogoh laci dengan tangannya. Hmm, ternyata ada sebuah benda yang mengganjal di ujung laci. Diwa merenggutnya. Begitu benda itu terbawa keluar laci, Diwa kontan terkesima. Sepasang matanya membesar, sementara mulutnya ternganga. Sebuah kotak berbalut kertas kado cantik berada di tangannya. Diwa mengamati permukaan kotak. Ia menemukan sebuah tulisan di sana. Untuk Diwa. Hah, untuknya?! Si pengirim hanya memberi identitas, Dari Teman-temanmu.
Dengan rasa penasaran yang sangat besar, Diwa mulai membuka bungkusan kado. Begitu kotak terbuka, wajah Diwa berubah. Matanya berbinar indah, senyumnya merekah dan wajahnya manis sekali. Bagaimana tidak, di dalam kotak terdapat beraneka alat-alat tulis yang sangat cantik. Pensil, penggaris, peraut, penghapus dan sebagainya. Semuanya memiliki gambar, bentuk dan warna yang indah. Pastinya itu adalah barang-barang mahal yang tak mungkin bisa dibelikan ayah dan ibunya, karena mereka bukanlah orang berada. Tapi, siapa yang memberikan semua ini? Diwa celingukan. Tak seorang pun temannya ada di dalam kelas.
"Selamat pagiii, Diwaaa?!!" Sebuah koor seruan menyeruak kesunyian. Diwa tersentak. Tak berapa lama, teman-temannya berhamburan memasuki kelas. Mereka mengerubungi Diwa yang kebingungan.
"Kaliankah yang memberikan semua ini?" Tanya Diwa dengan suara gemetar, menahan haru. Bukankah mereka yang barang-barangnya selalu ia pinjam tanpa dikembalikan?"Mengapa kalian melakukannya? Bukankah selama ini aku selalu jahat sama kalian?"
Alina tersenyum. Diraihnya telapak tangan Diwa dan menepuknya perlahan.
"Diwa, kamu itu teman kami. Kami mengerti mungkin sikapmu selama ini hanya karena kamu tak bisa memiliki barang-barang bagus seperti yang kami miliki. Makanya kami memberikan ini untukmu. Lain kali, kalau memang ingin meminjam barang kami, boleh saja. Tapi tidak boleh memaksa dan harus mengembalikannya lagi kalau sudah selesai. Bukankah begitu lebih manis?" Diwa tertunduk. Airmatanya berlinang. Ia menyesali kesalahannya.
"Maafkan aku, Teman-teman." Sahutnya dengan suara parau.
"Kami sudah memaafkanmu. Jangan cemas, kita tetap berteman kok." Arinda merengkuh bahu Diwa.
"Sudah, jangan menangis. Dapat kado, kok malah menangis. Jelek, tahu?" Ledek Jihan yang disambut koor tawa seisi kelas. Termasuk senyum malu-malu Diwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar