dimuat Mj Bobo, 21 Februari 2013
"Pinjam pensilnya, dong."
Alina yang hendak menutup kotak pensilnya seketika menoleh ke
samping kanan, asal suara barusan. Diwa tengah menatapnya dengan
mimik memelas, dari kursinya yang berseberangan dengan tempat duduk
Alina. Alina menghela nafas.
"Pensil ini maksudmu?" tanya Alina sembari mengacungkan
pensil berhias boneka kelinci mungil di tangannya. Diwa mengangguk.
"Untuk apa?" Alina merendahkan suara, kuatir Bu Indah yang
tengah sibuk memeriksa hasil latihan di mejanya, mendengar.
"Untuk menggambar. Pensilku ketinggalan di rumah." Diwa
ikut-ikutan berbisik.
"Kenapa ditinggal terus, sih?" sungut Alina kurang senang.
Diwa selalu meminjam barang-barangnya, juga milik teman-teman lain.
Nyaris setiap hari. Alasannya, ketinggalan. Aneh, sudah jelas mau ke
sekolah pagi-pagi sekali, kenapa tak mempersiapkan alat-alat
kelengkapan belajar sejak malam? Lebih parahnya lagi, barang yang
dipinjam itu selalu lupa dikembalikan kalau tak diminta oleh
pemiliknya. Dan jika sudah begitu, barang itu takkan pernah terlihat
lagi selamanya. Alasan Diwa hanya dua, tertinggal dan hilang.
"Alina, sekali ini saja, deh. Besok nggak akan lupa lagi."
Alina cemberut. Ia mengalihkan pandangannya pada pensil yang ada
dalam genggaman. Itu pensil baru yang dibelikan ayahnya ketika
bertugas keluar kota beberapa hari lalu. Dia belum pernah
menggunakannya. Rencananya, hari ini Alina akan memakainya untuk
pelajaran menggambar. Kata ayah, pensil tersebut sangat halus dan
cocok untuk menggambar.
Alina membuka kotak pensil dan mengeluarkan pensil lamanya. Ia
mengangsurkan benda itu pada Diwa. Tapi Diwa menggeleng.
"Aku pakai yang itu saja, deh. Pensil yang ini jelek untuk
menggambar. Terlalu tebal." Tepis Diwa seraya menunjuk pensil
yang ada di genggaman Alina.
Alina melotot. Apa? Diwa ingin pinjam yang baru? Kok minjam pakai
milih sih? Gerutu Alina dalam hati. Ini keanehan Diwa yang kedua. Ia
selalu memilih barang-barang bagus milik temannya untuk dipinjam.
Sudah tentu dua kebiasaan anehnya itu membuat dongkol seisi kelas.
"Nggak, ah. Yang ini mau aku pakai. Mau tidak?" Alina
bertahan. Kali ini ia takkan menyerah pada kemauan Diwa.
"Begitu, ya? Ya sudah, aku nggak jadi meminjam. Kamu bukan
teman yang baik ternyata.." ujar Diwa sambil membuang muka
dengan kesal. Alina menarik nafas panjang. Ini dia saat yang paling
menentukan. Biasanya hatinya akan lumer dengan aksi Diwa yang seperti
itu. Sudah tentu, siapa pula yang ingin dijuluki sebagai teman yang
jahat?
"Bertahan, Alina. Bertahan..." bisik Jihan, teman
semejanya. Alina menoleh dan tersenyum tipis. Ia mengangguk dan
kembali melanjutkan gambarnya yang tertunda.
Satu menit, dua menit, hingga lima menit berlalu Alina belum
mendengar suara rengekan Diwa. Alina melirik. Ups, ternyata Diwa
tengah merayu Arinda yang duduk di belakang kursinya, untuk
meminjamkan penggaris bergambar Barbie. Alina menyimpan senyumnya
tatkala melihat Arinda menggeleng tegas.
Gagal meminjam barang Alina dan Arinda, Diwa masih berusaha
melakukannya terhadap teman-teman lain. Namun jawaban yang
diterimanya, semua sama. Mereka menggeleng atau menawarkan barang
lain yang tak diinginkannya.
Diwa menggaruk-garuk kepalanya. Ada apa dengan teman-temannya hari
ini, ya? Mengapa tak ada seorangpun yang berbaik hati meluluskan
keinginannya? Diwa menyimpan rasa penasarannya dan merogoh tas. Ia
mengambil kotak pensil dan mengeluarkan alat-alat tulis miliknya
sendiri.
Alina, Jihan, Arinda dan beberapa teman yang tadi dirayu Diwa,
menyimpan senyum dan tawa mereka dalam hati. Berhasil, sorak mereka.
Keesokan harinya, Diwa mencoba mengulangi lagi kelakuannya. Ia
meminjam penghapus Dira, peraut Cecil dan lain-lainnya. Toh, semua
sama seperti kemarin. Tak ada teman yang mau meminjamkan barangnya
pada Diwa. Tak ada pilihan, Diwa kembali menggunakan alat-alat
miliknya. Sebenarnya, setiap hari ia selalu membawa semua
perlengkapan sekolahnya. Namun, barang-barang miliknya tak sebagus
milik teman-temannya. Padahal ia sangat menginginkannya.
Saat jam istirahat, Alina dan teman-temannya berkumpul di halaman
belakang sekolah, membahas kejadian dua hari ini. Wajah mereka
terlihat ceria. Beberapa saat lalu mereka bersorak dan melakukan
tepuk angin di udara.
"Akhirnya rencana kita berhasil ya, Alina? Si tukang pinjam itu
pasti takkan pernah meminjam lagi," kata Jihan. Alina
mengangguk.
"Ya, semoga saja Diwa segera menyadari kesalahannya."
Sahut Alina.
"Iya. Diwa itu nyebelin, sih. Meminjam sih boleh, kalau memang
diperlukan. Tapi sesudah selesai, harusnya dikembalikan," imbuh
Arinda.
"Lalu sekarang bagaimana, Alina? Kita lanjutkan sampai empat
hari seperti yang disepakati?" Alina mengangguk.
"Iya. Setelah itu, kita akan lihat reaksinya dan siapkan
kadonya," sahut Alina sembari mengedipkan mata. Teman-temannya
mengangguk sambil tertawa.
Diwa merasakan ada sesuatu di empat hari belakangan ini, yang
membuat teman sekelasnya kompak tak meminjamkan barang-barang mereka
padanya. Apakah mereka marah padanya karena sering tak mengembalikan
barang yang dipinjam? Selain tak meminjamkan barang, mereka juga
terlihat tak begitu peduli padanya. Dan ini membuat Diwa sedih. Ia
merasa dikucilkan.
Pagi ini, kelas terlihat lengang. Tumben, batin Diwa. Biasanya jam
segini teman-temannya sudah pada ngumpul di kelas, menunggu bel masuk
berbunyi. Diwa langsung menuju mejanya. Ia memasukkan tasnya ke dalam
laci. Tapi tunggu dulu, kenapa tasnya sulit masuk? Hanya setengahnya
saja yang masuk ke dalam laci. Diwa mendorong-dorong tasnya. Tapi
tetap saja sulit. Dengan kesal Diwa menarik tas dan merogoh laci
dengan tangannya. Hmm, ternyata ada sebuah benda yang mengganjal di
ujung laci. Diwa merenggutnya. Begitu benda itu terbawa keluar laci,
Diwa kontan terkesima. Sepasang matanya membesar, sementara mulutnya
ternganga. Sebuah kotak berbalut kertas kado cantik berada di
tangannya. Diwa mengamati permukaan kotak. Ia menemukan sebuah
tulisan di sana. Untuk Diwa. Hah, untuknya?! Si pengirim hanya
memberi identitas, Dari Teman-temanmu.
Dengan rasa penasaran yang sangat besar, Diwa mulai membuka
bungkusan kado. Begitu kotak terbuka, wajah Diwa berubah. Matanya
berbinar indah, senyumnya merekah dan wajahnya manis sekali.
Bagaimana tidak, di dalam kotak terdapat beraneka alat-alat tulis
yang sangat cantik. Pensil, penggaris, peraut, penghapus dan
sebagainya. Semuanya memiliki gambar, bentuk dan warna yang indah.
Pastinya itu adalah barang-barang mahal yang tak mungkin bisa
dibelikan ayah dan ibunya, karena mereka bukanlah orang berada. Tapi,
siapa yang memberikan semua ini? Diwa celingukan. Tak seorang pun
temannya ada di dalam kelas.
"Selamat pagiii, Diwaaa?!!" Sebuah koor seruan menyeruak
kesunyian. Diwa tersentak. Tak berapa lama, teman-temannya
berhamburan memasuki kelas. Mereka mengerubungi Diwa yang
kebingungan.
"Kaliankah yang memberikan semua ini?" Tanya Diwa dengan
suara gemetar, menahan haru. Bukankah mereka yang barang-barangnya
selalu ia pinjam tanpa dikembalikan?"Mengapa kalian
melakukannya? Bukankah selama ini aku selalu jahat sama kalian?"
Alina tersenyum. Diraihnya telapak tangan Diwa dan menepuknya
perlahan.
"Diwa, kamu itu teman kami. Kami mengerti mungkin sikapmu
selama ini hanya karena kamu tak bisa memiliki barang-barang bagus
seperti yang kami miliki. Makanya kami memberikan ini untukmu. Lain
kali, kalau memang ingin meminjam barang kami, boleh saja. Tapi tidak
boleh memaksa dan harus mengembalikannya lagi kalau sudah selesai.
Bukankah begitu lebih manis?" Diwa tertunduk. Airmatanya
berlinang. Ia menyesali kesalahannya.
"Maafkan aku, Teman-teman." Sahutnya dengan suara parau.
"Kami sudah memaafkanmu. Jangan cemas, kita tetap berteman
kok." Arinda merengkuh bahu Diwa.
"Sudah, jangan menangis. Dapat kado, kok malah menangis. Jelek,
tahu?" Ledek Jihan yang disambut koor tawa seisi kelas. Termasuk
senyum malu-malu Diwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar