Pages

Kamis, 10 Oktober 2013

SEBUAH KEPUTUSAN



Dimuat Mj.Sekar, 21 September 2011


"Apa-apaan ini?!”
BRAAAK!!
Setumpuk kertas berhamburan di atas meja kerjaku. Aku yang tengah asyik mengecek status facebook, seketika melompat dari kursi. Astaga! Cepat kudekap dada untuk menentramkan jantung yang sontak ber-rock n roll. Hardikan berikut hujan lembaran kertas yang tiba-tiba juga turut menyetrum seluruh tubuhku. Aku menatap sosok di depanku. Ya ampuuun, dia lagi! Satu yang tak kuharapkan pagi ini..
“Kamu itu tamat kuliah nggak sih, Vi?!” Hardikan kedua menamparku. Aku menunduk dalam.
“Mikir itu yang ilmiah dong. Jangan pasaran!”
“Dengar! Aku nggak mau tahu! Yang penting, revisi proposal ini secepatnya. Kutunggu sore nanti di mejaku!!” Suara yang menggelegar penuh kemarahan itu telah mencampakkan seluruh keberanianku untuk berkata-kata.
Kukumpulkan berkas yang berserakan di meja dan lantai dekat kakiku. Proposal yang telah kukerjakan dengan sepenuh hati, telah penuh dengan coretan spidol merah di sana-sini dan beberapa baris tulisan cakar ayam di bagian penutupnya.
“Salah lagi ya?” Aku mendongak. Mbak Dewi, sekretaris direktur.
“Iya, harus diulang. Padahal untuk sore nanti,” keluhku.
“Mungkin kurang detil, Vi. Bos lagi kesal. Nggak ada yang lolos dari dampratannya.” Mbak Dewi setengah berbisik.
“Ya sudah, kerjakan cepat. Aku ke dalam dulu. Ntar kena lagi,” pamit Mbak Dewi sambil bergegas pergi. Aku manggut-manggut. Tidak bisa tidak, aku harus secepatnya mengoreksi proposal yang sudah tak karuan ini. Segera kututup facebook dan membuka file dokumen. Kupejamkan mata sesaat dan menarik nafas panjang. Hmmm, sekarang mulai konsentrasi! Konsentrasi…konsentrasi…konsentrasi…
Tak sia-sia, sore itu dalam meeting yang dijadwalkan, proposalku tak lagi mengundang cercaan. Meskipun, tak juga ada pujian. Terlalu, rutukku dalam hati. Si burung hantu itu benar-benar makhluk berhati dingin. Padahal, tampangnya lumayan juga. Hanya saja, gurat kesombongan terlanjur dalam terpahat di sana. Nyaris tak pernah aku melihat ekspresinya mencair. Apalagi tersenyum. Jauuuh!
Aku berdiri di depan pintu berkaca gelap. Ada ragu yang menyergap. Kupandangi amplop coklat besar yang ada di tanganku. Enggan sebenarnya melangkah masuk, meneruskan niat di hati. Tapi…Aku menelan ludah membayangkan reaksinya saat menyerahkan amplop itu ke hadapannya.
“Apa maksudnya ini?!” tanyanya garang sambil menunjuk kertas yang dikeluarkannya dari dalam amplop. Dan itu membuatku sedikit gentar.
“Saya ingin mengundurkan diri, Pak..” sahutku lirih.
“Kenapa?”
“Karena saya ingin mencoba pengalaman yang lain, yang mungkin lebih sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, Pak.” Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Ia benar-benar seperti burung hantu. Dengan sepasang mata yang membesar, bersinar galak. Wajah tegang. Wadduuh! Tiba-tiba terlintas keinginan di benakku untuk menarik kedua pipinya agar lebih mengendur. Pasti tampangnya akan lebih manis.
“Berarti selama ini kamu merasa tak cocok dengan bidang pekerjaan ini?” Meski diucapkan dengan nada yang lebih lunak, entah kenapa aku tetap merasa ada kesinisan. Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk berkata sejujurnya.
“Awalnya, saya merasa cocok dengan pekerjaan ini. Tapi lama-kelamaan saya merasa situasi kerja di sini membuat saya tak nyaman. Dan akhirnya itu mempengaruhi perasaan saya…” akuku terus-terang. Lelaki di depanku diam sejurus. Aku meraba-raba pikirannya. Marahkah dia?
Namun, tanggapannya kemudian membuatku takjub dan terpana. Nafasku juga sesak karenanya. DIA TERSENYUM!! Ya ampuun, dia TERSENYUM!! Astaga! Kukerjapkan kedua mata untuk memastikan itu bukan mimpi. Tapi demikianlah adanya. Dia memang tersenyum. Aiih! Manis sekaliii..Tiba-tiba, aku merasakan adanya aliran hangat di jalan darahku. Aku merasa bangga. Karena itu senyum pertama yang diperlihatkannya selama setahun aku bekerja di sini! Ya Tuhaan!
“Hei!! Ngapain senyum-senyum di depan pintu saya?!” Hardikan itu begitu lantang, nyaris membuatku terjengkang. Segala khayalanku buyar bersama angin. Fian sudah berdiri dengan tatapannya yang seakan ingin menelan diriku bulat-bulat. Adduuh! Kutepuk ringan dahiku. Ternyata, semua hanya angan-anganku belaka. Sudah berapa lama aku melamun di sini?
“Ya sudah, minggir! Saya mau lewat nih..,” sergahnya. Cepat-cepat aku menepi.
“Dasar, burung hantu..,” gumamku begitu ia mengayun langkah. Tiba-tiba lelaki itu berhenti. Adduuh, apa ia mendengarkan kata-kataku barusan?! Mulutku reflek berkomat-kamit, merapal doa agar ia tak marah padaku. Ia tak berpaling sama sekali. Sebentar saja. Setelah itu ia kembali berjalan dan meninggalkanku. Aku mengelus-elus dada. Ampuun, hampir saja. Kutatap kembali amplop di tangan. Ya sudahlah, nanti saja. Mungkin memang belum waktunya.
“Kenapa mau pindah, Vi?”
Jemariku mengetuk-ngetuk meja, mencoba memikir ulang, kenapa aku ingin pindah kerja.
“Karena Fian?” Kutatap Mbak Dewi yang penasaran. Karena Fian? Benarkah hanya karena dia aku ingin pindah? Kuhela nafas panjang.
“Sejujurnya aku tak tahu alasan apa yang paling kuat mendorongku untuk keluar, Mbak. Cuma, aku udah merasa nggak nyaman aja. Keseluruhan mungkin. Suasana kerja, sikap Pak Fian dan beberapa hal kecil lainnya…”
“Tapi itu kan biasa, Vi. Hampir di seluruh tempat kerja kita akan mendapati suasana yang lebih kurang sama. Kalau aku boleh saran, rasanya sayang kamu keluar. Apalagi kabarnya proyek yang baru itu, kamu yang akan handle. Itu kan sebuah peluang yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Coba di tempat lain, kamu akan mulai lagi dari bawah kan? Masalah Fian, anggap angin lalu aja. Kecuali…” Mbak Dewi menggantung kalimatnya dengan mimik penuh arti.
Dahiku berkernyit.
“Kecuali apa?” kejarku.
“Yaa.., kecuali kamu suka sama dia.” Aku bagai tersengat mendengar kata-kata yang diluncurkan dalam balutan senyum itu.
“Ya ampuun, Mbak. Suka? Aduh, berfikir pun nggak pernah Mbak..” tukasku secepatnya. Tidak..tidak, aku tak mungkin menyukai orang segalak itu. Meskipun dia pintar, lumayan ganteng, berbadan keren..
“Tuh kan..” Aku tergeragap. Astaga, jangan sampai aku suka sama makhluk yang tak pernah tersenyum itu!
“Mbak Dewi!” seruku sedikit gusar. Perempuan berkacamata di depanku menyimpan tawanya seketika.
“Sorry…” Aku manyun.
Jam istirahat kantor. Aku masih bingung ingin makan dimana. Bosan juga makan di kantin, dengan menu yang itu ke itu saja.
Sambil terus berfikir, langkahku juga tak henti terayun. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan. Aku tinggal punya waktu empat puluh lima menit. Jadi, harus cepat! Tanganku melambai pada sebuah taksi yang melintas. Kosong. Kebetulan. Meskipun belum berhenti sempurna, aku cepat membuka pintu dan masuk ke dalam taksi.
“Pak, ke jalan Sungai Deli. Cepat ya?” Pintaku disambut anggukan supir taksi.
Aku tiba di rumah makan favorit itu tepat pada waktu yang kuharapkan. Masih tersisa setengah jam lebih untuk makan dan kembali lagi ke kantor. Tapi sepertinya harapanku tidak akan terwujud. Tubuhku seketika melunglai manakala mendapati kerumunan orang yang mengantri di depan rumah makan. Yah…, apes! Bahkan aroma soto pun tak lagi mampu kubaui karena bercampur dengan parfum berbagai merek yang saling menyengat dari tubuh-tubuh yang berkerumun itu. Sambil menelan ludah, aku berbalik ke tepi jalan menunggu taksi.
“Hei! Vi!!” Aku terdiam. Mencoba menyimak lebih baik lagi.
“Vi!!” Itu namaku. Dan suara itu….. Cepat aku berbalik. Fian?! Seperti tak percaya mendapati atasanku di sini. Di depan rumah makan sederhana. Kukucek mataku dan mengerjap berkali-kali. Tapi yang kulihat di depanku tetap tak berubah. Fian. Dan satu hal lagi.., DIA TERSENYUM! Astaga! Mimpikah aku? Dia tersenyum?!
Aku menatapnya takut-takut. Ragu untuk membalas senyumnya. Toh kupaksakan juga untuk tersenyum. Meski yakin, pasti tak semanis biasanya.
“Mau makan?” tanyanya begitu jarak kami semakin mendekat. Aku mengangguk.
“Iya, Pak.”
“Kenapa tak jadi?”
“Antrinya panjang, Pak.” Aha, dia senyum lagi!!
“Mau makan di tempat lain? Biar kuantar. Jadi pulangnya bisa sama ke kantor.” Aku menggigit bibir dengan rasa tak percaya. Tanpa sepengetahuan Fian, kucubit punggung tangan, untuk memastikan apakah ini mimpi atau bukan. Sakiiit. Jadi bukan mimpi.
“Mau?” Pertanyaan itu menungguku.. Dan aku tak punya pilihan lain selain mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju sedan merah yang terparkir beberapa meter dari rumah makan.
Aku masih seperti bermimpi. Berjalan di sampingnya, memasuki rumah makan pilihannya, makan di bawah pandangannya dan kembali ke kantor bersamanya. Waaahh!! Para pegawai kantor menyaksikanku keluar dari mobil Fian. Lalu…psst..psst..pst.., gosip pun menyebar dengan cepat. Aku sudah menduganya.
“Vi! Dipanggil Bos!!” Mbak Dewi melambai-lambai di pintu ruangannya. Aku mengangguk. Kusempatkan merapikan bedak di kaca kecil yang terselip di dompet. Aih, kenapa jadi centil? Menyadari itu, cepat kututup dompet dan melangkah bergegas ke ruangan Si Burung Hantu.
“Duduklah.” Perintahnya begitu aku masuk ke ruangan besar yang dihuninya sendirian.
“Proposalmu kemarin bagus. Aku yakin, kamu memang mampu membuat hal-hal bagus. Iya kan?” Aku menatapnya dengan takjub. Dia memujiku?! Astaga, tersenyum dan memuji?
“Sekarang, aku mau minta kamu mengerjakan satu hal lagi. Boleh?” Aku mengangguk.
“Aku ingin kamu mengerjakan proposal anggarannya juga.” Proposal anggaran? Ah, bukan sesuatu yang sulit.
“Baik, Pak. Akan saya kerjakan secepatnya. Itemnya seperti biasa kan?”
“Ya, seperti biasa. Mmm, mungkin ada beberapa tambahan. Nanti akan saya berikan bersama disposisinya.”
“Baik, Pak.” Ia kembali tersenyum. Royal sekali senyumnya hari ini, decakku dalam hati.
“Dengan catatan, buat dua versi.” Dahiku berkerut seketika. Aku menatap lelaki di depanku dengan penuh tanya. Dua versi?
Ia tersenyum. Tapi sekarang aku tak bisa menikmatinya dengan sempurna. Karena pernyataan dua versi itu lebih menyita perhatianku.
“Maksudnya dua versi?” aku mengejar jawaban.
“Satu versi ideal untuk proposal dan satu lagi versi riil untuk kantor.” Aku terperangah.
“Vi, masa kamu nggak tahu sih? Kita kan nggak bisa ngasih proposal dengan anggaran riil ke mereka. Ada banyak pos yang harus kita cukupi kebutuhannya. Dan itu tak mungkin bisa dimasukkan sekaligus dalam setiap proposal anggaran. Jadi harus…..”
“Mark up, gitu?” potongku cepat.
“Kalau kamu nggak mau, saya akan berikan pekerjaan pada yang lain,” ujarnya dingin. Ah, dia mengancam?
“Silahkan, Pak. Saya tidak tertarik. Maaf..” Cepat aku berdiri dan menatapnya sejurus. Lelaki ini ternyata sangat menyedihkan! Pantas dia tak bisa tersenyum. Bukankah senyum adalah simbol ketulusan? Dan ia tak memilikinya sama sekali. Musnah sudah seluruh kesan manisku untuk hari ini. Hari yang memberikan banyak kejutan. Dan juga banyak senyuman. Sesuatu melintas cepat di kepalaku. Amplop besar coklat! Senyumku pun mengembang. Manis, seperti biasanya…..


*****




































Tidak ada komentar:

Posting Komentar