Dimuat Mj.Sekar, 21 September 2011
"Apa-apaan ini?!”
BRAAAK!!
Setumpuk kertas
berhamburan di atas meja kerjaku. Aku yang tengah asyik mengecek
status facebook, seketika melompat dari kursi. Astaga! Cepat
kudekap dada untuk menentramkan jantung yang sontak ber-rock
n roll. Hardikan berikut hujan lembaran
kertas yang tiba-tiba juga turut menyetrum seluruh tubuhku. Aku
menatap sosok di depanku. Ya ampuuun, dia lagi! Satu yang tak
kuharapkan pagi ini..
“Kamu itu tamat
kuliah nggak sih, Vi?!” Hardikan kedua menamparku. Aku menunduk
dalam.
“Mikir itu yang
ilmiah dong. Jangan pasaran!”
“Dengar! Aku nggak
mau tahu! Yang penting, revisi proposal ini secepatnya. Kutunggu sore
nanti di mejaku!!” Suara yang menggelegar penuh kemarahan itu telah
mencampakkan seluruh keberanianku untuk berkata-kata.
Kukumpulkan berkas
yang berserakan di meja dan lantai dekat kakiku. Proposal yang telah
kukerjakan dengan sepenuh hati, telah penuh dengan coretan spidol
merah di sana-sini dan beberapa baris tulisan cakar ayam di bagian
penutupnya.
“Salah lagi ya?”
Aku mendongak. Mbak Dewi, sekretaris direktur.
“Iya, harus
diulang. Padahal untuk sore nanti,” keluhku.
“Mungkin kurang
detil, Vi. Bos lagi kesal. Nggak ada yang lolos dari dampratannya.”
Mbak Dewi setengah berbisik.
“Ya sudah,
kerjakan cepat. Aku ke dalam dulu. Ntar kena lagi,” pamit Mbak Dewi
sambil bergegas pergi. Aku manggut-manggut. Tidak bisa tidak, aku
harus secepatnya mengoreksi proposal yang sudah tak karuan ini.
Segera kututup facebook dan membuka file dokumen. Kupejamkan
mata sesaat dan menarik nafas panjang. Hmmm, sekarang mulai
konsentrasi! Konsentrasi…konsentrasi…konsentrasi…
Tak sia-sia, sore
itu dalam meeting yang dijadwalkan, proposalku tak lagi
mengundang cercaan. Meskipun, tak juga ada pujian. Terlalu,
rutukku dalam hati. Si burung hantu itu benar-benar makhluk berhati
dingin. Padahal, tampangnya lumayan juga. Hanya saja, gurat
kesombongan terlanjur dalam terpahat di sana. Nyaris tak pernah aku
melihat ekspresinya mencair. Apalagi tersenyum. Jauuuh!
Aku berdiri di depan
pintu berkaca gelap. Ada ragu yang menyergap. Kupandangi amplop
coklat besar yang ada di tanganku. Enggan sebenarnya melangkah masuk,
meneruskan niat di hati. Tapi…Aku menelan ludah membayangkan
reaksinya saat menyerahkan amplop itu ke hadapannya.
“Apa maksudnya
ini?!” tanyanya garang sambil menunjuk kertas yang dikeluarkannya
dari dalam amplop. Dan itu membuatku sedikit gentar.
“Saya ingin
mengundurkan diri, Pak..” sahutku lirih.
“Kenapa?”
“Karena saya ingin
mencoba pengalaman yang lain, yang mungkin lebih sesuai dengan latar
belakang pendidikan saya, Pak.” Kuberanikan diri untuk menatap
wajahnya. Ia benar-benar seperti burung hantu. Dengan sepasang mata
yang membesar, bersinar galak. Wajah tegang. Wadduuh! Tiba-tiba
terlintas keinginan di benakku untuk menarik kedua pipinya agar lebih
mengendur. Pasti tampangnya akan lebih manis.
“Berarti selama
ini kamu merasa tak cocok dengan bidang pekerjaan ini?” Meski
diucapkan dengan nada yang lebih lunak, entah kenapa aku tetap merasa
ada kesinisan. Aku berfikir sejenak sebelum memutuskan untuk berkata
sejujurnya.
“Awalnya, saya
merasa cocok dengan pekerjaan ini. Tapi lama-kelamaan saya merasa
situasi kerja di sini membuat saya tak nyaman. Dan akhirnya itu
mempengaruhi perasaan saya…” akuku terus-terang. Lelaki di
depanku diam sejurus. Aku meraba-raba pikirannya. Marahkah dia?
Namun, tanggapannya
kemudian membuatku takjub dan terpana. Nafasku juga sesak karenanya.
DIA TERSENYUM!! Ya ampuun, dia TERSENYUM!! Astaga! Kukerjapkan kedua
mata untuk memastikan itu bukan mimpi. Tapi demikianlah adanya. Dia
memang tersenyum. Aiih! Manis sekaliii..Tiba-tiba, aku merasakan
adanya aliran hangat di jalan darahku. Aku merasa bangga. Karena itu
senyum pertama yang diperlihatkannya selama setahun aku bekerja di
sini! Ya Tuhaan!
“Hei!! Ngapain
senyum-senyum di depan pintu saya?!” Hardikan itu begitu lantang,
nyaris membuatku terjengkang. Segala khayalanku buyar bersama angin.
Fian sudah berdiri dengan tatapannya yang seakan ingin menelan diriku
bulat-bulat. Adduuh! Kutepuk ringan dahiku. Ternyata, semua hanya
angan-anganku belaka. Sudah berapa lama aku melamun di sini?
“Ya sudah,
minggir! Saya mau lewat nih..,” sergahnya. Cepat-cepat aku menepi.
“Dasar, burung
hantu..,” gumamku begitu ia mengayun langkah. Tiba-tiba lelaki itu
berhenti. Adduuh, apa ia mendengarkan kata-kataku barusan?! Mulutku
reflek berkomat-kamit, merapal doa agar ia tak marah padaku. Ia tak
berpaling sama sekali. Sebentar saja. Setelah itu ia kembali berjalan
dan meninggalkanku. Aku mengelus-elus dada. Ampuun, hampir saja.
Kutatap kembali amplop di tangan. Ya sudahlah, nanti saja. Mungkin
memang belum waktunya.
“Kenapa mau
pindah, Vi?”
Jemariku
mengetuk-ngetuk meja, mencoba memikir ulang, kenapa aku ingin pindah
kerja.
“Karena Fian?”
Kutatap Mbak Dewi yang penasaran. Karena Fian? Benarkah hanya karena
dia aku ingin pindah? Kuhela nafas panjang.
“Sejujurnya aku
tak tahu alasan apa yang paling kuat mendorongku untuk keluar, Mbak.
Cuma, aku udah merasa nggak nyaman aja. Keseluruhan mungkin. Suasana
kerja, sikap Pak Fian dan beberapa hal kecil lainnya…”
“Tapi itu kan
biasa, Vi. Hampir di seluruh tempat kerja kita akan mendapati suasana
yang lebih kurang sama. Kalau aku boleh saran, rasanya sayang kamu
keluar. Apalagi kabarnya proyek yang baru itu, kamu yang akan handle.
Itu kan sebuah peluang yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Coba
di tempat lain, kamu akan mulai lagi dari bawah kan? Masalah Fian,
anggap angin lalu aja. Kecuali…” Mbak Dewi menggantung kalimatnya
dengan mimik penuh arti.
Dahiku berkernyit.
“Kecuali apa?”
kejarku.
“Yaa.., kecuali
kamu suka sama dia.” Aku bagai tersengat mendengar kata-kata yang
diluncurkan dalam balutan senyum itu.
“Ya ampuun, Mbak.
Suka? Aduh, berfikir pun nggak pernah Mbak..” tukasku secepatnya.
Tidak..tidak, aku tak mungkin menyukai orang segalak itu. Meskipun
dia pintar, lumayan ganteng, berbadan keren..
“Tuh kan..” Aku
tergeragap. Astaga, jangan sampai aku suka sama makhluk yang tak
pernah tersenyum itu!
“Mbak Dewi!”
seruku sedikit gusar. Perempuan berkacamata di depanku menyimpan
tawanya seketika.
“Sorry…” Aku
manyun.
Jam istirahat
kantor. Aku masih bingung ingin makan dimana. Bosan juga makan di
kantin, dengan menu yang itu ke itu saja.
Sambil terus
berfikir, langkahku juga tak henti terayun. Kulirik arloji yang
melingkar di pergelangan. Aku tinggal punya waktu empat puluh lima
menit. Jadi, harus cepat! Tanganku melambai pada sebuah taksi yang
melintas. Kosong. Kebetulan. Meskipun belum berhenti sempurna, aku
cepat membuka pintu dan masuk ke dalam taksi.
“Pak, ke jalan
Sungai Deli. Cepat ya?” Pintaku disambut anggukan supir taksi.
Aku tiba di rumah
makan favorit itu tepat pada waktu yang kuharapkan. Masih tersisa
setengah jam lebih untuk makan dan kembali lagi ke kantor. Tapi
sepertinya harapanku tidak akan terwujud. Tubuhku seketika melunglai
manakala mendapati kerumunan orang yang mengantri di depan rumah
makan. Yah…, apes! Bahkan aroma soto pun tak lagi mampu kubaui
karena bercampur dengan parfum berbagai merek yang saling menyengat
dari tubuh-tubuh yang berkerumun itu. Sambil menelan ludah, aku
berbalik ke tepi jalan menunggu taksi.
“Hei! Vi!!” Aku
terdiam. Mencoba menyimak lebih baik lagi.
“Vi!!” Itu
namaku. Dan suara itu….. Cepat aku berbalik. Fian?! Seperti tak
percaya mendapati atasanku di sini. Di depan rumah makan sederhana.
Kukucek mataku dan mengerjap berkali-kali. Tapi yang kulihat di
depanku tetap tak berubah. Fian. Dan satu hal lagi.., DIA TERSENYUM!
Astaga! Mimpikah aku? Dia tersenyum?!
Aku menatapnya
takut-takut. Ragu untuk membalas senyumnya. Toh kupaksakan juga untuk
tersenyum. Meski yakin, pasti tak semanis biasanya.
“Mau makan?”
tanyanya begitu jarak kami semakin mendekat. Aku mengangguk.
“Iya, Pak.”
“Kenapa tak jadi?”
“Antrinya panjang,
Pak.” Aha, dia senyum lagi!!
“Mau makan di
tempat lain? Biar kuantar. Jadi pulangnya bisa sama ke kantor.” Aku
menggigit bibir dengan rasa tak percaya. Tanpa sepengetahuan Fian,
kucubit punggung tangan, untuk memastikan apakah ini mimpi atau
bukan. Sakiiit. Jadi bukan mimpi.
“Mau?”
Pertanyaan itu menungguku.. Dan aku tak punya pilihan lain selain
mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju sedan merah yang terparkir
beberapa meter dari rumah makan.
Aku masih seperti
bermimpi. Berjalan di sampingnya, memasuki rumah makan pilihannya,
makan di bawah pandangannya dan kembali ke kantor bersamanya.
Waaahh!! Para pegawai kantor menyaksikanku keluar dari mobil Fian.
Lalu…psst..psst..pst.., gosip pun menyebar dengan cepat. Aku sudah
menduganya.
“Vi! Dipanggil
Bos!!” Mbak Dewi melambai-lambai di pintu ruangannya. Aku
mengangguk. Kusempatkan merapikan bedak di kaca kecil yang terselip
di dompet. Aih, kenapa jadi centil? Menyadari itu, cepat kututup
dompet dan melangkah bergegas ke ruangan Si Burung Hantu.
“Duduklah.”
Perintahnya begitu aku masuk ke ruangan besar yang dihuninya
sendirian.
“Proposalmu
kemarin bagus. Aku yakin, kamu memang mampu membuat hal-hal bagus.
Iya kan?” Aku menatapnya dengan takjub. Dia memujiku?! Astaga,
tersenyum dan memuji?
“Sekarang, aku mau
minta kamu mengerjakan satu hal lagi. Boleh?” Aku mengangguk.
“Aku ingin kamu
mengerjakan proposal anggarannya juga.” Proposal anggaran? Ah,
bukan sesuatu yang sulit.
“Baik, Pak. Akan
saya kerjakan secepatnya. Itemnya seperti biasa kan?”
“Ya, seperti
biasa. Mmm, mungkin ada beberapa tambahan. Nanti akan saya berikan
bersama disposisinya.”
“Baik, Pak.” Ia
kembali tersenyum. Royal sekali senyumnya hari ini, decakku dalam
hati.
“Dengan catatan,
buat dua versi.” Dahiku berkerut seketika. Aku menatap lelaki di
depanku dengan penuh tanya. Dua versi?
Ia tersenyum. Tapi
sekarang aku tak bisa menikmatinya dengan sempurna. Karena pernyataan
dua versi itu lebih menyita perhatianku.
“Maksudnya dua
versi?” aku mengejar jawaban.
“Satu versi ideal
untuk proposal dan satu lagi versi riil untuk kantor.” Aku
terperangah.
“Vi, masa kamu
nggak tahu sih? Kita kan nggak bisa ngasih proposal dengan anggaran
riil ke mereka. Ada banyak pos yang harus kita cukupi kebutuhannya.
Dan itu tak mungkin bisa dimasukkan sekaligus dalam setiap proposal
anggaran. Jadi harus…..”
“Mark up, gitu?”
potongku cepat.
“Kalau kamu nggak
mau, saya akan berikan pekerjaan pada yang lain,” ujarnya dingin.
Ah, dia mengancam?
“Silahkan, Pak.
Saya tidak tertarik. Maaf..” Cepat aku berdiri dan menatapnya
sejurus. Lelaki ini ternyata sangat menyedihkan! Pantas dia tak bisa
tersenyum. Bukankah senyum adalah simbol ketulusan? Dan ia tak
memilikinya sama sekali. Musnah sudah seluruh kesan manisku untuk
hari ini. Hari yang memberikan banyak kejutan. Dan juga banyak
senyuman. Sesuatu melintas cepat di kepalaku. Amplop besar coklat!
Senyumku pun mengembang. Manis, seperti biasanya…..
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar