Pages

Jumat, 12 Maret 2010

JEJAK



Udara yang sama, lokasi yang sama. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun suasananya sudah jauh berbeda. Aku menyimpan senyum sambil mendesah. Berapa lama sudah aku tak menginjakkan kaki di sini, kota tempatku lahir dan besar, kota tempat sejuta kenangan dari belasan juta yang kupunya. Sembilan, sepuluh atau bahkan sebelas tahun rasanya. Waktu yang cukup lama. Aku memanggil taksi bandara. Dan dalam hitungan menit aku sudah meluncur menghadang siang yang nyalang di kota Medan.Ampuuun, panas kota ini benar-benar tak berubah. Bertahun-tahun terakhir tinggal di kota dingin membuatku sedikit kerepotan mengatasi kegerahan ini. Meskipun taksi dilengkapi AC. Tak berpengaruh sama sekali. Belum lagi rentetan klakson yang riuh-rendah bersahutan di perempatan traffic light. Seluruh kendaraan tak sabaran untuk saling mendahului, takut tertambat lampu merah lagi. Supir taksi yang kutumpangi mengumpat kasar saat sebuah motor menyalip tiba-tiba. Aku tersenyum simpul. Ini Medan, Bung!
Setengah jam kemudian, taksi berhenti di depan sebuah rumah mungil bercat hijau, yang halaman luasnya dipenuhi dengan sejumlah pohon dan tetumbuhan. Aku turun dan menatap sejurus dalam diam. Taksi melaju meninggalkanku begitu ongkosnya telah kuserahkan. Assalamualaikum..” Aku mengetuk pintu rumah.
Suara langkah mendekat membuat jantungku berdegup lebih kencang. Pintu terkuak. Namun wajah yang muncul bukan yang ku harapkan. Padahal, nafas sudah begitu sesak rasanya ingin melampiaskan rindu yang sudah kapalan. Anak perempuan delapan tahunan menyambutku dengan pandangan bertanya, meskipun ia hanya diam tanpa sapa. Aku tersenyum, meski tak pasti ia siapa.
Nenek ada?” tanyaku. Wajahnya berubah kebingungan.
Nenek siapa, Bu?” Ganti aku yang bingung. Kuperhatikan sekeliling dengan seksama. Apa aku salah masuk rumah orang? Tapi rasanya tidak. Meskipun cat rumah dan bentuknya cukup banyak berbeda, tapi aku yakin ini masih rumah yang dulu. Tempatku bermain, tumbuh dan berkembang menjalani waktu. Tidak! Ini sudah benar.
Nenek Nani.” Jawabku akhirnya. Si anak terdiam. Tak lama ia berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak lantang.
Maaaakkkkkk! Maaaakk! Ada orang!” Aku menunggu dalam kecemasan dan tanda tanya besar yang bercabang-cabang.
Tiba-tiba perasaan cemas dan tak enak menyergap fikiran. Jangan-jangan…., ah tapi tak mungkin! Aku mencoba menghalau berbagai kemungkinan negatif. Tak lama berselang, seorang perempuan muncul. Tubuhnya yang gemuk membuat langkahnya bagai terengah menyongsongku. Tapi yang paling penting, siapa dia? Aku tak mengenalnya.
“Cari
siapa?” tanyanya dengan nada kurang bersahabat. Kupaksakan diri untuk tersenyum. Padahal biasanya aku paling anti diperlakukan seperti itu.
Saya mencari ibu saya, Kak. Nek Nani yang tinggal di sini.” Dahinya berkerut.
Nek Nani? Kapan tinggal di sininya?” Aku terperangah.
Wah, ya dari sejak saya belum lahir, Mbak. Soalnya Ibu Nani itu ibu saya dan saya tinggal di sini selama bertahun-tahun, sebelum menikah dan akhirnya pindah.” Aku mencoba menjelaskan. Wah, kalau benar seperti itu kenapa sampai tak tahu kalau ibu kamu sudah tak tinggal di sini lagi? Memangnya tidak pernah menghubungi?” Aku terperanjat mendengar kata-katanya. Tak kuperdulikan pertanyaan terakhirnya yang diucapkan dengan nada sinis. Aku sudah terbiasa selama beberapa tahun terakhir ini, dicemooh karena dianggap melupakan keluarga.
“Oh, jadi sudah tidak disini lagi, Kak? Berarti rumah ini sudah dijual?” kejarku penasaran.
“Ya.”
Jawabnya singkat sembari menguliti seluruh tubuhku dengan tatapannya.
Berikutnya aku tak mendapatkan keterangan apapun mengenai keberadaan ibuku. Aku merutuki diri. Mencari ke rumah kerabat adalah pilihan yang kuambil. Sesekali di perjalanan, kusesali waktu dan langkah yang telah menghalangiku bertemu dengan ibu. Kusesali karena kini semua tlah menjadi abu. Kusesali karena selama ini aku menganggapnya hanya sebagai pengorbanan kecil atas nama cinta. Cinta yang terkoyak helai per helainya dalam setiap helaan nafas yang kupunya. Yang membuatku melupakan cinta lain yang begiku kuat mengakar.
Aku memang tak punya nyali! Untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai tradisi. Tradisi yang salah kaprah, tentang seorang perempuan menikah yang menjadi milik mutlak suaminya dan harus mengesampingkan ‘keluargaasalnya.
Senja turun, melampirkan semburat jingga di kanvas langit. Lampu jalanan beradu cantik dengan kemilau lampu hias di bangunan-bangunan menjulang. Aku sudah menyinggahi tiga rumah kerabat dekat. Tetap tak ada jejak yang ku dapat. Dimana ibuku? Apakah Tuhan telah menutup segala arahku kepadanya?Apakah ini balasan atas sebuah pembiaran yang kulakukan selama bertahun-tahun?
Aku berhenti di depan mesjid Raya. Kulirik arloji di pergelangan. Hampir Magrib. Kuputuskan untuk beristirahat sejenak di mesjid megah yang berdekatan dengan Istana Maimoon itu, sembari menunaikan sholat Magrib. Sudah dua waktu sholat kulewati sepanjang hari ini.
Aku ingat, mesjid ini adalah mesjid favorit ibuku. Padahal letaknya jauh dari rumah. Tapi minimal sebulan sekali ia minta diantarkan untuk sholat di sini. Terlebih kalau masuk bulan Ramadhan. Lima belas hari penuh ia bolak-balik menunaikan tarawih di mesjid kebanggaan masyarakat Medan ini. Alasannya sederhana, namun mengena; “Plaza megah selalu menggerakkan langkah kita untuk mengunjunginya, kenapa mesjid megah tidak? Padahal, plaza itu kan isinya banyak menjauhkan kita dari Sang Pencipta. Yang artinya menjauhkan rezeki juga. Sedangkan mesjid, selain mendekatkan kita ke Sang Khalik, juga membukakan seluruh pintu rezeki yang ada.” Itulah ibuku. Dan akulah yang selalu bertugas menemaninya. Sejak kelas dua SD hingga tamat SMA. Karena kedua abangku sibuk dengan urusannya masing-masing dan menganggap ibuku kurang kerjaan sholat jauh-jauh padahal banyak mesjid yang dekat. Lalu, seusai sholat, biasanya kami naik becak mesin menuju jalan Pagaruyung dan makan di sana. Ibu dengan menu tetapnya, nasi goreng seafood!
Mengenang semua itu membuat airmataku bergulir tanpa terasa. Ibu, maafkan anakmu Aku menyeret langkah dengan gontai. Mencari penginapan tempatku bermalam hari ini, besok atau sampai beberapa hari ke depan. Pokoknya sampai ku dapat jejak keberadaan ibu!
Ini hari kedua. Dan semua masih gelap. Aku meraba tanpa arah. Mencari-cari penuh ketidakpastian. Senja ini, kembali kusandarkan kegelisahanku di mesjid Raya. Menunggu Magrib sambil mengurai kembali rajutan masa lalu, serta segala yang pernah tertulis di tiap sudut kota ini. Kusadari kini, hatiku kosong. Benakku kacau. Dan langkahku gamang. Aku sedikit terhuyung di pintu keluar. Cepat kubersandar ke pilar. Baru ingat, tadi siang lupa makan. Hanya setangkup roti bakar yang mengganjal perut. Dan itu jelas tak cukup untuk pengidap maag akut sepertiku. Jadi, beginilah. Perut melilit diperas-peras, mata berpendar-pendar dan kepala bagai penuh beban. Aku duduk sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Setidaknya agar aku sanggup melangkah ke tempat makan, yang bergerombol di sekeliling mesjid. Tiba-tiba sesosok tubuh menjulang di depanku. Semula aku tak perduli. Mungkin hanya orang yang lalu-lalang. Tapi karena ia tak kunjung berlalu, aku menengadah. Tepat saat ia membungkuk untuk mengenali wajahku. Dan aku terkesiap. Darahku bagai henti mengalir. Kukucek sepasang mataku untuk mengusir halusinasi. Lalu mengerjap-ngerjap tak begitu yakin. Tapi…, tidak! Ini sungguhan! Dan aku menyadarinya ketika ia menyebut namaku dan secepat kilat merengkuhku dalam pelukan ringkihnya. Masyaallah! Dia Ibuku!! Dia Ibuku!! Aku tergugu. Penuh isak di dada tipisnya. Aku tak sanggup berkata. Begitu pula dia, perempuan yang terindah dalam hidupku. Kini semua terselesaikan dalam tangis. Tak ada kata. Sama sekali tak ada!

Harian Global Medan, Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar