Pages

Jumat, 12 Maret 2010

SEPULUH TAHUN


Sepuluh tahun. Aku mendesah seraya mengitari seluruh sisi tempat ini dengan pandangan mengabur. Ya, airmataku mulai menggenang. Namun, buru-buru kuseka sebelum membasahi pipi. Tidak, aku harus kuat. Tak boleh menangis lagi! Kuhembuskan nafas panjang dan menguatkan hati, sebelum akhirnya perlahan melangkah. Ini tempat terindah dan bersejarah untukku. Tepatnya sepuluh tahun lalu, sebelum Rangga pergi dan meninggalkanku.
Sesosok tubuh berdiri tak jauh di depanku. Ia menunggu hingga aku menghampirinya. Seorang lelaki tampan dengan postur menjulang dan senyum mengembang. Sayangnya, aku tak berminat untuk membalasnya. Hatiku diliputi bauran perasaan yang tak dapat kuterjemahkan. Dan ini cukup aneh. Mengingat rentang waktu yang tlah cukup lama berlalu, ternyata tetap saja tak mengubah perasaanku.
“Sudah?” Pertanyaan itu begitu lembut dilontarkan. Tanpa tekanan apapun. Aku mengangguk tanpa memandangnya. Terus berjalan melewatinya.
“Icha, tunggu!” serunya tertahan. Aku menghentikan langkah dan menunggu hingga ia tiba di dekatku. Ia berdiri tepat di depanku dengan mimik penuh kebingungan.
“Ada apa, Cha? Kenapa kamu diam aja? Hei, tunggu! Kamu menangis?” Ia mengangkat daguku dan memperhatikan dengan seksama. Aku mencoba tersenyum dan buru-buru menyeka air yang tersisa di sudut mata.
“Nggak, aku nggak apa-apa kok, Har. It's fine.” jawabku. Tapi bukan Harry namanya kalau mudah kukelabui.
“Ayolah Cha, jangan begitu. Katakan, ada apa? Atau setidaknya, kalau bukan sekarang, berjanjilah untuk mengatakannya kemudian. Bagaimana?” tawarnya dengan lembut. Kali ini aku tak dapat menahan laju airmata yang mengalir kian deras. Pertahananku runtuh. Aku terisak penuh kepedihan. Tanpa tahu pasti apa yang membuat perasaanku begitu galau. Mungkinkah setelah sekian lama, aku masih juga mencintainya?
Kami berdiam di sana beberapa saat lamanya tanpa sepatahpun kata-kata terucap.
“Ada apa, Cha? Kamu membuatku cemas. Kita pulang saja, ya?” ajaknya. Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Sekilas aku menoleh ke belakang dan menatap sekeliling. Selamat tinggal, bisik hatiku lirih.
Sampai di rumah, aku tak bisa berlama-lama dengan perasaan sentimentilku. Ada tumpukan pekerjaan rumah dan kegiatan lain yang harus kulakukan. Karena masa cutiku akan berakhir hari ini. Besok aku akan kembali sibuk dengan berbagai detil pekerjaan di kantor, yang bahkan untuk memikirkan ingin menu apa saat istirahat makan siang saja aku tak sempat. Begitu juga dengan Harry, suamiku. Kami akan kembali pada ritme harian, yang hanya akan memungkinkan kami berjumpa setelah jam delapan malam atau lebih. Jadi, hari ini adalah hari terakhirku untuk memanjakan suami dengan masakan buatanku dan menemaninya duduk menikmati pemandangan lautan pencakar langit dari beranda samping apartemen kami. Besok dan seterusnya semuanya akan kembali ditangani oleh Mbak Yan, pembantu harian kami.
“Cha, kamu sudah fresh untuk besok kan?” tanya Harry masih dengan tatapan khawatirnya.
“Yap. Aku nggak apa-apa kok, Har. Santai aja. Aku udah kembali siap tempur,” kataku sambil tersenyum lebar. Harry menatapku sejurus.
“Kenapa?” tanyaku salah tingkah.
“Kamu tidak ingin mengatakan apapun padaku tentang kejadian di tepi danau pagi tadi, Cha?” Aku terdiam. Masalah itu sepertinya masih mengganggu pikiran Harry. Aku berfikir sejenak.
“Tidak. Rasanya itu bukan sesuatu yang teramat penting untuk diceritakan, Har. Aku bahkan sudah tidak memikirkannya lagi. Sungguh..” Aku berusaha meyakinkannya. Lelaki di depanku menyipitkan matanya.
“Apa kamu yakin, Cha?” Aku mengangguk cepat.
“Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudahlah, kita ganti topik pembicaraan ya? Mau kubuatkan roti bakar dengan segelas jeruk hangat?” Harry masih meragukan kata-kata Icha. Tapi ia tak mau memaksa.
“Baiklah, Sayang. Terserah kamu saja. Tapi kalau ada sesuatu yang memberatkanmu, ceritakan ya? Aku akan menyisihkan waktu untukmu.” Icha mengangguk dengan senyum. Harry, bagaimana mungkin aku bisa menceritakan padamu, bahwa aku masih mencintai lelaki lain selain dirimu? Bahkan sejak awal perkenalan kita dulu?
“Hallo, cantik? Bagaimana cutinya? Menyenangkan nih?” Pertanyaan beruntun menyambutku begitu membuka pintu kantor. Keisha, rekan kerjaku. Aku tertawa lebar tanpa suara.
“Lumayan..” sahutku pendek sambil meneruskan langkah ke ruangan kerjaku.
“Icha, Sayaaaang? Gimana, udah siap menyongsong hari?” Sambutan lain menyusulku. Seorang lelaki berwajah genit dengan langkah melenggok mendekatiku. Ia merangkul lenganku dengan gemulai. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.
“Nggak berubah juga ya?” sahutku. Lelaki yang bergayut di lenganku tergelak mendengar komentar pendek yang kulontarkan.
“Demi kamu, Cha. Swear!” Aku manyun sambil mengibaskan tangannya seketika.
“Dasar gila..,” desisku menahan tawa.
Ah! Aku menatap ruanganku dengan sedikit mengeluh. Di sinilah aku kembali berada. Menghabiskan lebih dari tiga perempat hariku dengan tumpukan berkas dan memelototi komputer. Entahlah, baru tadi aku merasa begitu bersemangat. Namun begitu membuka pintu dan memasuki ruangan ini, semuanya kembali menguap dan aku seperti terlempar kembali dalam rutinitas yang menjemukan. Kucoba menghalaunya dan melangkah dengan tegap menghampiri kursi putarku yang empuk. Baiklah – aku mengangguk dengan mantap- sekarang saatnya! Kuraih selembar berkas dari tumpukan dan mulai membukanya. Sejenak aku telah melupakan rasa bosan tadi. Kembali tenggelam dalam beragam persoalan hukum yang menjadi bidang profesiku.
“Hallo, Icha. Aku ada hadiah bagus buatmu. Tradaaa!!” Seorang perempuan bertubuh mungil tiba-tiba muncul dari pintu ruanganku. Melangkah dengan cepat ke arahku sambil mengacungkan sebuah bingkisan berbakut kertas kado warna pink, yang tadi disembunyikannya di balik punggung. Dahiku seketika berkerut melihat bingkisan itu. Aku menunjuk ke dada.
“Untukku?” tanyaku ragu.
“Aha..” Perempuan mungil di depanku segera meletakkan bingkisan manis itu di meja kerjaku.
“Dari siapa?” tanyaku sambil mengamati bingkisan itu dengan penuh keheranan.
“Oh, don’t ask me, Baby.” Cepat perempuan muda itu menggelengkan kepalanya. “Mungkin dari seorang pengagum rahasia,” sahutnya sambil mengerling nakal. Aku mencibir.
“Saskia, kamu terlalu sentimentil ya?” Aku meraih bingkisan itu dan mulai mengamatinya. Tak ada nama dan alamat pengirim. Yang ada hanya namaku, tertera dalam tulisan sambung yang begitu indah. “Hey, aku bukan orang yang selalu ingin tahu lho. Jadi sebaiknya aku keluar aja ya?” Di ujung kalimatnya, Saskia telah ‘terbang’ keluar.
“Makasih, ya?” kataku setengah berteriak. Takut ia tak mendengar karena pintu keburu menutup.
Kini aku menyobek pembalut pink itu dengan tak sabaran. Aku tak ingin membuang waktu untuk menebak-nebak terlebih dahulu. Sebuah kotak pink mungil muncul di depanku. Dengan hati-hati aku membukanya. Dan aku tak siap untuk melihat isi kotak itu. Begitu tiba-tiba. Tanganku gemetar saat meraihnya keluar dari kotak. Sebuah kalung perak yang indah, berhiaskan tiga buah permata berbentuk bintang biru mungil yang kemilau. Aku benar-benar terpana. Bukan saja karena hadiah ini begitu indah, namun karena tak ada nama pengirimnya. Ah, tidak! Aku pasti tengah bermimpi. Kugenggam kalung itu dengan erat. Berharap saat kubuka genggaman, tak ada apa-apa lagi di telapak tanganku. Tapi sia-sia. Karena begitu kubuka, keindahannya kembali memukauku. Benarkah? Reflek aku menghambur keluar ruangan sambil tetap menggenggam kalung itu.
“Saskia...” sapaku setengah berbisik saat tiba di depan mejanya. Saskia memalingkan wajahnya dari komputer dan menatapku dengan heran.
“Ada apa? Kok seperti barusan melihat hantu aja?”
“Sas, siapa yang mengirimkan bingkisan itu?” tanyaku tak sabaran.
“Loh, aku kan udah bilang nggak tahu tadi. Memangnya kenapa? Isinya nggak bom kan?” tanyanya cemas. Beberapa rekan menoleh ke arah kami, mendengar kalimat Saskia.
“Aduh, ya enggak lah. Kalo isinya bom, mana sempat kita bicara seperti ini.” Saskia menarik nafas lega. “So?”
“Kamu menemukan bingkisan itu dimana? Kapan?” Sepasang alis Saskia seketika saling bertaut.
“Aduh, Cha. Jangan borongan gitu dong nanyanya. Satu-satu atuh. Oke, aku jawab. Aku nemuin bingkisan itu di dekat mejaku tadi pagi. Tepatnya di lantai ini nih. Tadinya kukira untukku. Tapi karena ada namamu, ya berarti untukmu dong.” papar Saskia. Aku menatapnya bingung. Bingkisan ini ditujukan untukku tapi kenapa diletakkan dekat meja Saskia?
“Pertanyaanmu sama dengan pertanyaanku juga, Cha? Kenapa nggak langsung di depan pintu ruanganmu ya?” timpal Saskia lagi. Aku mengibaskan tangan. “Sudahlah, nggak usah dipikirkan. Mungkin hanya orang iseng,” kataku akhirnya.
“Cha, tunggu..” Saskia menahanku untuk melangkah.
“Kenapa?” Aku berharap ia memberikanku sedikit petunjuk. Tapi kelihatannya tidak.
“Ngomong-ngomong, boleh aku tahu isinya apa?” Ia mengerjap manja. Aku melengos.
“Maaf, bukan untuk konsumsi publik,” sahutku pendek sambil meninggalkannya, kembali ke ruanganku. Tak kuhiraukan gerutuannya.
Kalung itu benar-benar mengganggu. Hampir satu jam lamanya aku tak mengerjakan apa-apa, selain hanya memandangi kalung perak itu.
Tapi aku tak bisa terlalu lama bermain-main dengan perasaan. Setelah kutimbang-timbang, akhirnya kulekatkan kalung itu di leherku. Memegang sejenak ketiga bintangnya dengan perasaan galau.
“Hei, kalung baru ya? Beli dimana?” tanya Keisha saat istirahat makan siang ketika melihat kalung yang melingkari leherku. Aku tersenyum simpul. Keisha adalah rekan kerja yang cukup denganku selama ini. Meskipun begitu, aku tak hanya sedikit membicarakan hal pribadi dengannya.
“Dari seseorang...,” kataku dengan wajah sumringah. Aku sendiri tak tahu kenapa harus begitu.
“Wah, kado spesial dari suami nih nampaknya..” godanya. Aku seperti dilemparkan pada tempatku semula oleh pertanyaan itu. Entahlah, sepertinya tadi aku sedikit melupakan Harry. Sorry.
“Bukan. Bukan dari Harry,” kataku dengan nada berat. Dahi Keisha berkerut mendengar jawabanku.
“Dari Mama, ya?” Aku menggeleng. Nggak mungkin Mama. Ia pasti akan segera menelfon begitu memberiku kado. Keisha menatapku sejurus. Toh, kemudian ia hanya mengangkat bahu. “Sepertinya itu bukan urusanku, ya?” Keisha memutus pembicaraan.
“Kei, jangan begitu. Lagian, aku juga masih bingung dengan identitas pengirim kalung ini.” Kataku mencoba menghibur Keisha.
Keisha menatapku heran. “ Maksudmu...?”
“Ya. Kalung ini memang ditujukan untukku. Tapi aku tak tahu pasti siapa yang memberikannya.” Tandasku lagi. “Aduh, Cha. Rasanya kurang bijaksana memakai pemberian dari orang yang tidak kita kenal. Karena dengan mengenakannya, berarti kamu menyukai pemberian itu. Dan gawatnya lagi, kalau saja si pemberi punya maksud tertentu, ia akan mengira kamu menanggapinya.” Senyumku merekah.
Sebelum tiba di rumah dan bertemu Harry, aku sudah menduga reaksinya bila melihat kalung yang kukenakan.
“Ada yang baru nih nampaknya,” sindirnya sambil mengerling nakal. Aku tersenyum. “Iya. Hadiah dari teman.” Sahutku singkat. Sebuah jawaban yang telah kupersiapkan selangkah sebelum mencapai pintu.
“Oh ya? Wah, teman mana nih yang begitu baik menghadiahkan barang secantik ini?” Harry meraih tiga bintang biru di leherku.
“Klien, Har. Mungkin dia puas dengan hasil kerjaku. Udahlah, nggak penting. Untuk orang kaya apalah artinya barang seperti ini.”
“Laki-laki ya?” Harry menatapku tajam. Aku tergelak.
“Aduh Har, tolong deh. Jangan bilang kalo kamu cemburu ya?” sahutku sambil memandangnya dengan geli. Rasanya aku tak pernah mendapati ekspresi seperti itu selama ini.
“Kalo iya, kenapa? Apakah itu terlalu berlebihan?” Kuhentikan tawa dan menatapnya. “Harry, kamu serius ya? Ini nggak lucu kan? Ayolah, masa sih setelah selama ini baru sekarang kamu cemburu padaku?”
Harry merogoh saku celananya dan mengangsurkan amplop mungil merah muda di tangannya kepadaku. Perasaanku sedikit tidak enak menerimanya. Ia meninggalkanku ke ruang dalam. Aku membuka amplop dan mengeluarkan sebuh kartu mungil dari sana. Berwarna merah muda pucat dengan lukisan dua ekor kelinci berwajah imut di padang rumput.
Rembulan pucat mungkin lebih baik
Ketimbang berkilau kepalsuan
Di atas jejak-jejak yang bertebaran
Dan mencoba sembunyi pada sebatang ilalang
Hanya sepenggal puisi itu yang tertera di sana. Tanpa kalimat basa-basi ataupun nama pengirim. Aku kembali mengulangi kalimat itu. Aku bisa menduga arahnya. Hanya saja aku tetap tak berani memastikan. Siapa sebenarnya pengirim semua kejutan ini? Rasanya Harry bukan tipikal orang yang suka memberi kejutan. Tapi aku cepat menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu. Karena ada yang lebih penting harus kuurus. Harry. Aku mendapatinya tengah duduk berjuntai diruang tengah. Matanya tertuju lurus ke layar televisi. Namun aku yakin sekali, fikirannya tak di sana.
“Aku tak tahu siapa pengirimnya dan apa maksudnya. Kuharap kamu masih percaya padaku, Sayang..,” kataku bersungguh-sungguh.
“Aku percaya, Cha..” sahutnya dengan mimik serius. Aku menatapnya dengan tajam, penuh selidik. Entahlah, rasanya tadi aku melihat senyumnya sekilas, tersembunyi di balik wajah serius.
“Harry, kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu kan?” tanyaku curiga. Ia menggeleng cepat. Aku menyipitkan mata tak percaya. Terlebih melihat ia bersusah-payah menyembunyikan senyum. Aku menatapnya tajam, pura-pura marah. Akhirnya, tawanya pecah juga. Ia tergelak sambil mendekap perut.
“Kenapa?” tanyaku setengah gusar. Firasatku mengatakan ia tengah mempermainkanku. “Apa jangan-jangan kamu dalang di balik semua ini ya? Kado dan puisi misterius itu?!” Harry terus tertawa. Ia bahkan tak sanggup untuk berbicara.
“Maaf ya, Sayang.” Mohonnya di sela-sela tawa yang masih tersisa. Aku cemberut.
“Maafkanlah. Ya? Jangan marah lagi. Aku maksudnya cuma ingin buat kejutan aja ke kamu.” bujuknya sambil meraih tanganku.
“Kejutannya dengan cara membuat aku ge-er kalo ada pengagum rahasia. Gitu?” Harry mengangguk-angguk.
“Boleh kan? Sesekali aku ingin lihat mimikmu kalau kege-eran. Ternyata lucu juga ya?” godanya. Aku manyun. “Nggak lucu!” hardikku kesal.
“Iya deh, maaf. Kalo gitu, selamat ulang tahun yah?” Ia menatapku dengan wajah memelas. Tak urung aku tertawa juga. Setelah sepuluh tahun kepergian Rangga, seseorang yang mengisi hatiku sebelum hadirnya Harry, ternyata kali ini aku baru merasakan getar membahagiakan itu lagi. Tidak juga ketika kami menikah dulu. Mungkinkah ini berarti nama Rangga telah terkikis dan memudar di hatiku? Entahlah, mudah-mudahan saja begitu.
“Tapi aku punya permohonan nih. Cuma satu kok, biarpun hadiahnya dua,” pintanya dengan wajah bersungguh-sungguh. Aku memandangnya penuh tanya.
“Apa itu?”
“Tolong dong jangan panggil aku dengan nama lagi. Pingin yang lebih mesra.”
“Apaan? Mas? Abang? Papa?”
“Terserah kamu aja.”
“Kalo gitu Mas aja ya? Mas Harry...” Aku tergelak berbarengan dengan derai tawa Harry.Yah, aku memang harus menghapus bayangan Rangga, maupun bayangan lain yang ingin menyelinap dan berdiam di hatiku. Karena Mas Rangga sudah begitu setia mendampingiku. Berjalan di sisiku dengan segala cerita, suka maupun duka.

Situs Kab.Agam, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar