Pages

Jumat, 12 Maret 2010

TALI DINI



Malam begitu tua. Dan ringkih. Di halaman masih terdengar geraman dua ekor anjing yang saling berseteru. Entah memperebutkan apa. Mungkin betina atau sekerat daging sisa di onggokan sampah.
Aku baru saja berdiri di teras depan. Memandang langit yang penuh dengan pendar kemilau ribuan bintang. Rembulan tak membulat sempurna. Tapi ku rasa, sudah cukup untuk membuat langit terlihat menawan. Tiba-tiba aku bersendawa. Hah, untung saja tak ada Ibu ataupun Bapak. Kalau tidak, kupingku sudah penuh dengan ceramah tentang etika.
Sekelebat, Dini, adik bungsuku, lewat dengan langkah berjingkat. Ia tak melihatku meskipun telah melongok kesana-kemari. Mungkin karena posisi berdiriku yang terlindung, bersebelahan dengan pilar penyangga beranda. Juga temaram. Aku tersenyum. Mau apa dia berlaku seperti itu? Semula aku ingin tak menghiraukannya dan meneruskan kesibukanku, memintal angin yang semilir bertiup. Menggoda mata untuk terkatup. Tapi, sebuah benda di tangan Dini, menggelitik rasa penasaran. Kusipitkan mata untuk melihat lebih tajam lagi. Seutas tali? Untuk apa?
“Dini..” sapaku sebelum gadis tujuh belas tahun itu mengenakan sandal kirinya. Keterkejutannya tak dapat ditutupi, meskipun dalam cahaya samar yang mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku mendekat.
“Mau kemana?” tanyaku dengan nada tajam.
“Mmm.., mau ke belakang, Bang.” Jawabnya sedikit gugup. Ia tak berani menatap wajahku. Tunduknya semakin dalam.
“Ngapain?” kejarku lagi.
“Mau.., mau..anu Bang,” Ia terlihat semakin gugup. Tali di tangannya bergoyang karena getaran tubuh. Ketakutannya mencuat. Meskipun temaram coba menyamarkan, toh rembulan membantu memantulkan.
“Anu apa?” Aku mengernyitkan dahi. Di benakku muncul tanda tanya dan syak wasangka.
“Untuk besok, Bang. Disuruh bapak. Mungkin untuk kerbau..” Dini menjawab tersendat. Kerbau? Hmm, setahuku tak pernah kerbau diikat. Hanya dimasukkan dalam kandang dan dikunci dari luar. Itu saja. Kenapa harus diikat? Dan kenapa besok? Dan kenapa Dini? Meskipun Samin, orang kepercayaan bapak sudah pulang, biasanya hal-hal seperti itu dilimpahkan padaku. Bukannya Dini.
“Kenapa mesti malam-malam? Besok pagi juga bisa. Sini..” Aku meminta tali di tangan Dini. Namun reflek gadis itu menyembunyikannya ke balik punggung.
“Tak usah, Bang. Bapak yang nyuruh. Nanti Dini dimarahi.” Tolaknya dengan ekspresi yang tak ku mengerti. Jadi penasaran…
“Kok dimarahi? Di belakang kan gelap. Nanti kamu tersandung, jatuh.., siapa yang nolongin?” Aku berkeras juga. Tapi dia menggeleng panjang. Waah!
PRRAAANG!! Suara benda kaca jatuh. Aku terkesiap. Dini juga terperanjat. Namun kemudian, ia mengambil kesepatan itu untuk cepat-cepat berlalu meninggalkanku. Masih kucoba mencegah, meski sia-sia. Ia hilang dalam kegelapan. Tapi aku juga tak begitu menghiraukannya lagi, karena naluri menuntun kakiku melangkah cepat ke dalam rumah. Mencari tahu muasal keributan tadi. Ada apa?
Aku menghentikan langkah di kamar bapak dan mendapati sebuah pemandangan yang tak biasa. Khususnya selama dua puluh tahun hidup di rumah ini. Bapak duduk di ranjang dengan wajah kusam. Dahinya berlipat-lipat menahan geram. Nafasnya tersengal menahan muntahan amarah. Sepasang alisnya bertaut menyatukan kedua mata yang dipaksa merapat. Kulihat sepintas ada darah di tangannya yang terkepal. Sementara ibu, duduk mencangkung di sudut ruangan. Ada raut cemas. Dari matanya yang menekur takut-takut. Dan bibir yang memucat dalam geletar tak berkesudahan.
“Bapaaaak! Masyaallah, ada apa ini?!” Aku kebingungan. Lenyap sudah fikiran tentang Dini. Mungkin dia sudah di dekat kandang. Aku mendekat ke ibu. Kurengkuh tubuhnya yang terus bergetar. Tanganku bergerak mengusap punggung, mencoba menenangkan.
Bapak berdiri dan melangkah keluar. Ia sama sekali tak menghiraukan serpihan cermin yang merajam di bawah kakinya. Meski beralas sandal, aku yakin tetap terasa sakitnya. Tapi ia terus berjalan. Aku menghela nafas panjang. Sejak gagal di pemilihan kepala desa tempo hari, bapak memang berubah. Lebih pendiam dan perasa. Sehingga kerap bertengkar dengan ibu. Kupapah ibu ke bibir ranjang. Kami duduk dalam cahaya kamar yang nanar.
“Ada apa, Bu? Bertengkar sama Bapak?” Ibu tak mengangguk atau menggeleng. Tunduknya semakin dalam. Perlahan isaknya menyeruak. Kemudian mengalir menjadi tangis yang menyayat. Tubuhnya berguncang-guncang menahan kemelut dalam hati dan fikirannya.. Aku tak sampai hati bertanya lebih jauh lagi. Sudahlah. Nanti saja. Kufikir, membuat ibu tenang lebih dibutuhkan sekarang ketimbang meminta penjelasan yang hanya dijawab dengan derai tak berkesudahan.
Bapak tak balik lagi. Entah kemana mengasingkan diri. Aku tak bisa mencari tahu. Langkahku terhambat karena ibu tertidur di bahuku, dalam tangisnya yang terbawa sampai ke mimpi. Aku mencoba melawan kantuk. Tapi tubuh lunglaiku tahu-tahu sudah menyandar di kepala ranjang. Hhh, benar-benar tak kuasa menerjang kepenatan yang mengganjal mata. Seperti tersihir, aku benar-benar lumat dalam lelap. Tak menyadari apa-apa. Dan baru tersentak keesokan harinya, oleh cahaya matahari yang garang menerobos jendela. Ya ampuun, jam berapa ini? Panik aku menatap sekeliling dan menyadari ibu tak ada. Lantai sudah bersih. Tak ada serpih kaca dan juga darah. Bersih. Aku yakin ibu sudah bangun dari tadi dan melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bahkan bantal-bantal di ranjang pun sudah tersusun rapi. Selembar kertas terlipat melekat di bantal terbawah. Aku tersentak. Apa itu surat? Hei, surat apa?! Puluhan tanya menggerakkan tanganku terulur meraih kertas yang sepertinya dilipat dengan tergesa-gesa itu..
Dalam lembaran kertas kecil lusuh di tanganku, berbaris huruf-huruf kecil yang rapi. Aku tersenyum. Tulisan Ibu.. Masih saja bagus seperti dulu. Tapi isinya mengagetkanku.
Ibu pergi, Nak. Tak usah dicari. Memang sudah seharusnya ibu sendiri. Karena ibu tak tahu menghargai suami dan juga diri sendiri. Maafkan ibu, Nak. Tak bisa cerita banyak. Tapi yang jelas, ibu tak perlu dicari. Tolong jaga Bapak dan Dini. Ya…?
Ibu yang selalu mencintaimu..
Aku tergagap. Seketika jariku bergetar. Kertas terlepas dari genggaman. Aku seperti kehilangan nafas sesaat. Kenapa harus begini? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Rumah sepi sekali? Tak ada suara sedikitpun. Kemana bapak dan Dini? Pertanyaan ini menyadarkanku. Dan reflek mengantarkan langkah terayun keluar kamar. Tak ada bapak di ruang depan. Padahal jam segini biasanya bapak sedang asyik menikmati kopi dan rokoknya, sambil menonton televisi. Tidak kali ini. Meja bersih. Tak ada sisa kopi. Asbak juga. Tak ada sisa abu rokok di sana.
Dini bahkan tak terdengar bernyanyi. Satu kebiasaan yang memberi isyarat keberadaannya. Meskipun suaranya pas-pasan, tapi selalu menjadi magnet bagi rumah ini. Yang akan membawa penghuni lain berkomentar atau ikut merasakan detak keriangan Dini.
Kucoba menenangkan diri sesaat dan memusatkan fikiran. Menghalau fikiran-fikiran buruk yang saling berkecamuk. Seperti digiring oleh alam bawah sadar, aku melangkah. Melangkah terus tanpa tahu mau kemana. Sampai akhirnya kusadari, telah tiba di belakang rumah! Tempat sawah-sawah bapak menghampar hingga ke tepi parit kecil yang tak terjangkau pandangan. Tempat kerbau-kerbau Bapak bertambat. Tapi aneh. Ya.., ada yang aneh. Meski tak tahu apa yang aneh. Dan keanehan itu seperti merasuki seluruh panca inderaku.
Aku mematung di depan kandang. Takjub dalam belai semilir angin. Takjub oleh hening yang mencekam. Takjub oleh pemandangan di depanku yang rasanya bagai mimpi saja. Atau illustrasi puisi yang belum jadi. Aku melihat bapak dan Dini. Mereka juga melihatku. Tidak dengan tatapan yang biasa. Tatapan dingin dan penuh kepedihan. Mereka berdiri di sana. Tidak! Bukan berdiri! Mereka tergantung di sana!! Di kayu pipih penopang atap kandang. Dengan tali yang kemarin dibawa Dini…
Hanya saja, aku tak mau melihat ibu. Meskipun ibu berada dekat sekali. Genangan merah yang menggelumur di sekujur tubuhnya, membanjiri sisi baringnya, membuatku enggan memandang. Terlalu menyakitkan! Untuk mata, juga hati.

Harian Global, 13 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar