Pages

Sabtu, 07 September 2013

LONCENG

 R. Yulia
Padang Ekspres, 30102011


Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan besi persegi yang tergantung di teras rumah kosong itu. Hanya sebuah lempengan kusam dengan bulatan di tengah, tempat bergantungnya sebuah pasak besi sepanjang 30 sentimeter. Sekujur tubuhnya dipenuhi lubang pori-pori yang lahir dari ketukan pasak besi yang berulang-ulang selama bertahun-tahun. Ya, besi itu hanya sebuah lonceng tua, yang dulunya digunakan sebagai penanda bermula dan berakhirnya pelajaran di sekolah dasar yang berada tepat di sebelah rumah kosong itu. Baru sebulan belakangan lonceng itu tergantung di sana. Fungsi awalnya sudah digantikan oleh bel yang lebih modern, yang meraung-raung memekakkan telinga setiap jamnya. Raungan itu sangat efektif memaksa anak-anak memasuki kelas masing-masing. Sehingga tak ada lagi yang memperpanjang waktu istirahat di kantin ataupun bergerombol di bawah pohon mangga yang rimbun di belakang sekolah.

Lonceng besi itu kini hanyalah sebuah benda tak bernyawa dan tak berharga. Tak ada yang merasa kehilangan ataupun merindukan kehadirannya. Tak ada yang menanyakan kabarnya. Bahkan tak seorang pun yang berminat mengadopsinya Tak ada. Lonceng besi tua itu hanya bergantung diam di sana, di tiang penyangga beranda yang dipenuhi sarang laba-laba, menekuri perjalanan hidupnya sepanjang tahun-tahun ke belakang.


Namun, seiring fajar yang menyeruak pagi ini, sesuatu memecah hening dan menyentak kesadaran para makhluk yang mulai terjaga. Orang-orang yang berdiam di sekitar sekolah dasar mendengar suara lonceng yang berdentang nyaring. Tak ada yang meragukan, itu suara lonceng yang tergantung di rumah kosong. Beberapa orang memastikan kebenarannya dengan keluar rumah dan mengarahkan pandangan tajam ke rumah kosong yang setengah bangunannya ditutupi belukar.

Bunyi itu masih terus bergema. Anehnya, tak seorang pun terlihat di dekat lonceng. Hanya lempengan besi tua itu saja yang berayun-ayun lambat, mengisyaratkan keberadaan seseorang yang barusan menyentuhnya. Tapi tak ada sesiapa. Lengang. Cahaya remang yang jatuh dari lampu jalan di depan rumah itu, tak setitik pun memunculkan bayangan tubuh seseorang. Hanya liuk siluet daun-daun liar yang menari di tepi dinding rumah.

Orang-orang yang tadi bergegas keluar rumah kini saling beradu pandang, penuh tanya. Namun tak ada yang memberikan jawaban selain mengedikkan bahu dan berlalu tak acuh ke rumah masing-masing. Dalam benak mereka tertanam berbagai kemungkinan tentang seseorang yang menjadi tersangka pembunyi lonceng. Orang iseng, preman mabuk, orang gila atau hantu kesiangan. Siapapun itu –bagi mereka- semoga tak mengulangi keisengannya di hari-hari esok. Karena keributan dinihari ini telah membuat sisa kantuk menguap begitu saja. Padahal, hangat kasur masih sangat nikmat untuk digelungi dalam dingin yang menggigit seperti sekarang.

Keributan yang menandai datangnya pagi itu ternyata berantai ke keributan selanjutnya, yang merebak dari rumah Bu Alit. Anak bungsunya, gadis kecil sembilan tahun, yang sejak kemarin sore tak pulang ke rumah dan telah menyibukkan seluruh tetangga menelisik seluruh sudut kampung, pagi ini tiba di depan rumahnya dalam kondisi memprihatinkan. Bajunya kotor berlumpur dan sobek di beberapa bagian, wajahnya juga berlumur lumpur kering dan lebam di sisi rahang. Rambutnya kusut masai. Ia mematung dengan ekspresi dingin di depan rumah Bu Alit. Mengail pekik histeris perempuan parobaya bertubuh subur itu ketika membuka pintu dan menemukan gadis kecil kesayangannya di sana. Pekik itu dengan segera menyeret puluhan pemilik kepala ke rumah Bu Alit. Lalu bertubi-tubi tanya berkumandang, diikuti tatapan penuh iba ke arah ibu dan anak yang tengah berpelukan di tengah halaman. Tidak…tidak…, bukan berpelukan. Tepatnya, Bu Alit-lah yang memeluk gadis kecil itu. Sementara yang dipeluk hanya berdiri kaku. Kedua tangannya yang menjuntai di samping tubuh terayun-ayun mengikuti gerakan tubuhnya yang diguncang-guncang Bu Alit.

Kabar tak jelas yang bersilang serabut lalu menyebar secepat anak panah. Ada yang bilang, anak Bu Alit telah disembunyikan dan dikawini makhluk halus. Ada juga yang bilang, anak Bu Alit tadinya diculik oleh orang-orang kota yang berprofesi sebagai pedagang manusia. Namun karena tubuhnya terlalu kurus, hidungnya pesek dan matanya yang sedikit menyipit itu, para penculik mengubah niatnya. Anak Bu Alit tak memiliki nilai jual tinggi. Akibatnya, ia diturunkan di pinggir jalan. Dan gadis kecil itu harus terseok-seok menyusuri jalan untuk kembali ke rumah. Gadis kecil itu diduga terguncang jiwanya karena mendapat perlakuan kasar dari para penculik. Lalu masih ada satu versi lagi. Gadis kecil itu disekap oleh gerombolan preman yang biasa mangkal di perbatasan desa dan diperkosa beramai-ramai. Begitu pagi, ia dilepas setelah sebelumnya diancam akan dibunuh kalau memberitahukan kejadian sebenarnya pada orang lain.

Berita-berita tak jelas itu semakin lama semakin tak berbentuk, mengabur dan akhirnya menguap begitu saja sebelum menemui muara. Tak ada yang benar-benar perduli pada nasib gadis kecil Bu Alit. Semua hanya ingin memuaskan hasrat keingintahuan yang meluap-luap. Berharap mereka mendapatkan berita paling lengkap dan paling benar, sehingga dapat diteruskan ke orang-orang yang mendengarkan mereka dengan mulut terperangah. Itulah tujuannya dan itu pulalah sumber kebahagiaannya. Tak penting bagaimana nasib gadis kecil itu kelak.

Jelang siang, keributan ketiga pecah. Sumbernya lagi-lagi dari rumah kosong. Besi pasak pemukul lonceng hilang!

Berawal dari Mang Sukur, sang penjaga sekolah, yang bertandang ke rumah kosong untuk meminjam besi pasak yang selalu tergantung di lonceng tua itu. Ia membutuhkannya untuk mencongkel pintu gudang sekolah yang kuncinya patah. Namun, besi itu tak ada di sana. Ia sudah mencarinya ke sekeliling beranda dan menelisik semak-semak di halaman, berharap benda itu terjatuh atau digeser anjing ke sudut-sudut. Nihil. Bahkan, sangking penasaran, Mang Sukur mengelilingi halaman samping rumah dan mengais-ngais tumpukan daun-daun mati. Tak ada. Pemukul lonceng itu raib. Yang didapatnya hanyalah daun jendela samping rumah yang miring dan berayun-ayun rapuh. Salah satu engsel atas bingkainya telah lepas, entah karena dibuka paksa atau telah menua termakan usia. Padahal, dua hari lalu jendela itu masih rapi.

Benak Mang Sukur dipenuhi tanda tanya. Kemana pemukul lonceng itu? Bukankah pagi tadi orang-orang meributkan lonceng yang berdentang misterius? Apakah orang yang membunyikan lonceng itu yang telah membawa pemukul besi? Tapi untuk apa? Dan mengapa loncengnya tidak ikut dibawa? Mang Sukur dilanda kebingungan, yang sejam kemudian diteruskannya pada guru-guru yang berkumpul di kantor dan penjual jajanan di depan sekolah. Dan dari dua kumpulan manusia itulah, berita tentang hilangnya besi pemukul lonceng menyebar ke seluruh kampung dan mengisi perbincangan di lapau-lapau, pasar, juga mulut-mulut gang.

Berbagai hipotesa pun beterbangan dengan segala bentuk argumen yang dipas-paskan. Ada yang bilang, pemukul besi sengaja dibawa oleh orang yang memukul lonceng pagi tadi, agar bisa sesewaktu mengulangi keisengannya. Ada juga yang berpendapat, pemukul besi hilang secara mistis. Dan masih ada belasan pendapat lain yang berhamburan tanpa juntrungan. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, keributan ketiga ini juga tak memberikan jawaban yang jelas. Dan tak ada yang berminat mengusutnya lebih jauh. Tak ada yang bersungguh-sungguh ingin tahu, siapa yang membuat lonceng berdentang dinihari tadi, apa yang terjadi dengan gadis kecil Bu Alit dan kemana pemukul besi lonceng tua. Tiga keributan itu dipandang hanya sebagai torehan warna yang membedakan hari ini dengan hari kemarin dan hari esok.

Bulan sabit menggantung samar di rengkuhan awan hitam. Hujan baru saja reda, setelah beberapa menit sebelumnya mengucur deras, menerjang kumpulan debu yang meranum di beberapa ruas belahan bumi. Bulir-bulir beningnya masih lekat merengkuh permukaan daun dan genting. Tertatih-tatih, bergulir meluncur setengah enggan.

Sebenarnya malam belum menua dengan sempurna. Hanya saja, gerimis telah membuatnya pekat lebih cepat. Tak seorang pun berlalu-lalang. Jalanan basah menggigil dalam dingin dan lengang. Sayup-sayup lolongan anjing bersahutan di kejauhan, menajamkan aroma magis. Beriringan dengan dua bayangan yang berkelebat di balik rerimbunan belukar sepanjang sisi kiri rumah kosong. Yang satu bergegas, sementara lainnya menyeret langkah dengan sungkan. Bisik mereka samar dalam irama nafas yang nyaris saling memagut.

Setelah mengendap-endap beberapa saat, pemilik bayangan terdepan menyelinap masuk ke dalam rumah lewat bingkai jendela yang berayun-ayun malas.

“Ayo..,” bisiknya sembari mengulurkan tangan pada pemilik bayangan kedua yang memaku bimbang.

“Ayooo…, keburu ada yang lewat.”

“Seharusnya kita mencari tempat yang lebih nyaman,” gerutu sosok kedua sambil menarik tinggi roknya dan memanjat jendela, menyusul bayangan pertama yang telah menunggunya dalam gulita. Sebuah gelak mengekeh menjawab gerutuannya.

“Sabar. Akan ada saat yang tepat…” Pemilik bayangan kedua mencibir. Ia menajamkan indera penglihatannya untuk mengukur kesungguhan lelaki di depannya. Namun, noktah cahaya yang begitu minim dan suram tak mampu membantunya. Hatinya berdecak, lelaki pertama atau lelaki ke seratus sebenarnya tak berbeda isi kepala..

“Bagaimana kalau dia mengikuti kita lagi?” Mendadak benaknya terjaga.

“Nggak mungkin. Dia sudah jera.”

“Tapi..”

“Sudahlah, tak perlu risau. Aku sudah mengeceknya sebelum pergi tadi. Ia tidur dengan pulas. Lagipula, tak mungkin ia akan mengulangi kebodohan yang sama. Kecuali kalau ia menginginkan wajahnya lebih babak-belur dari kemarin…” Lelaki itu terbahak dalam gelap, membuang geramnya pada wajah mungil berambut masai. Ia masih menyimpan rekam peristiwa itu. Saat kesadaran tiba-tiba tercerabut dari buluh kemanusiaannya dan membawanya pada laku membabi-buta. Ia ingat pekik gadis kecil itu. Pekik tertahan yang baru kali itu didengarnya kembali, setelah sembilan tahun berlalu di ruang persalinan sederhana.

Lelaki itu meraih tubuh dalam dekapannya dengan liar. Ia ingin membuang gambar-gambar yang membentang benderang di kepalanya. Gambar gadis kecil yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi mampir dalam dekapannya. Tepatnya sejak ia menemukan adanya darah asing yang mengalir dalam tubuh gadis kecil itu. Bukan darahnya. Bukan pula darah Alit. Darah yang menjauhkan hatinya dari gadis itu, yang membentangkan jarak dan membangun dinding tebal diantara mereka berdua. Mungkin hanya satu malam yang mencatat kesedihannya ketika semua fakta itu terkuak. Malam dimana ia tersedu-sedu menyesali kebodohannya, meninggalkan istrinya bertahun-tahun ke negeri jiran hanya untuk mengejar kemapanan sosial. Kebodohan yang membutakannya tentang cinta dan kesetiaan Alit, yang ternyata harus menyerah pada gigitan sepi.

Lelaki itu mencoba tenggelam dalam irama purba yang diciptakannya dalam gulita. Peluhnya mencair, mengalir bersama hasrat yang berjalan tanpa kendali. Hatinya mengumpat, perempuan pertama atau perempuan ke seratus sebenarnya tak berbeda isi kepala..Wajah mungil itu telah enyah dari fikirannya.

Gadis kecil itu mematung dalam kegelapan. Wajahnya datar. Rambutnya masai. Bibirnya mengatup dalam gigitan geram. Di tangannya tergenggam sebatang pasak besi. Di atas kepalanya tergantung lonceng tua yang pendiam. Rahangnya mengeras dalam kemarahan. Ia mulai menghitung-hitung, berapa banyak pukulan pasak yang akan didaratkannya ke lempengan besi di atas kepalanya. Juga berapa banyak pukulan yang kelak akan mendarat ke sekujur tubuhnya. Akankah ibu mendengar dentang lonceng dinihari ini?





















































`















































































`


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar