Padang Ekspres, 30102011
Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan besi persegi yang tergantung
di teras rumah kosong itu. Hanya sebuah lempengan kusam dengan
bulatan di tengah, tempat bergantungnya sebuah pasak besi sepanjang
30 sentimeter. Sekujur tubuhnya dipenuhi lubang pori-pori yang lahir
dari ketukan pasak besi yang berulang-ulang selama bertahun-tahun.
Ya, besi itu hanya sebuah lonceng tua, yang dulunya digunakan sebagai
penanda bermula dan berakhirnya pelajaran di sekolah dasar yang
berada tepat di sebelah rumah kosong itu. Baru sebulan belakangan
lonceng itu tergantung di sana. Fungsi awalnya sudah digantikan oleh
bel yang lebih modern, yang meraung-raung memekakkan telinga setiap
jamnya. Raungan itu sangat efektif memaksa anak-anak memasuki kelas
masing-masing. Sehingga tak ada lagi yang memperpanjang waktu
istirahat di kantin ataupun bergerombol di bawah pohon mangga yang
rimbun di belakang sekolah.
Lonceng besi itu kini hanyalah sebuah benda tak bernyawa dan tak
berharga. Tak ada yang merasa kehilangan ataupun merindukan
kehadirannya. Tak ada yang menanyakan kabarnya. Bahkan tak seorang
pun yang berminat mengadopsinya Tak ada. Lonceng besi tua itu hanya
bergantung diam di sana, di tiang penyangga beranda yang dipenuhi
sarang laba-laba, menekuri perjalanan hidupnya sepanjang tahun-tahun
ke belakang.
Namun, seiring fajar yang menyeruak pagi ini, sesuatu memecah hening
dan menyentak kesadaran para makhluk yang mulai terjaga. Orang-orang
yang berdiam di sekitar sekolah dasar mendengar suara lonceng yang
berdentang nyaring. Tak ada yang meragukan, itu suara lonceng yang
tergantung di rumah kosong. Beberapa orang memastikan kebenarannya
dengan keluar rumah dan mengarahkan pandangan tajam ke rumah kosong
yang setengah bangunannya ditutupi belukar.
Bunyi itu masih terus bergema. Anehnya, tak seorang pun terlihat di
dekat lonceng. Hanya lempengan besi tua itu saja yang berayun-ayun
lambat, mengisyaratkan keberadaan seseorang yang barusan
menyentuhnya. Tapi tak ada sesiapa. Lengang. Cahaya remang yang jatuh
dari lampu jalan di depan rumah itu, tak setitik pun memunculkan
bayangan tubuh seseorang. Hanya liuk siluet daun-daun liar yang
menari di tepi dinding rumah.
Orang-orang yang tadi bergegas keluar rumah kini saling beradu
pandang, penuh tanya. Namun tak ada yang memberikan jawaban selain
mengedikkan bahu dan berlalu tak acuh ke rumah masing-masing. Dalam
benak mereka tertanam berbagai kemungkinan tentang seseorang yang
menjadi tersangka pembunyi lonceng. Orang iseng, preman mabuk, orang
gila atau hantu kesiangan. Siapapun itu –bagi mereka- semoga tak
mengulangi keisengannya di hari-hari esok. Karena keributan dinihari
ini telah membuat sisa kantuk menguap begitu saja. Padahal, hangat
kasur masih sangat nikmat untuk digelungi dalam dingin yang menggigit
seperti sekarang.
Keributan yang menandai datangnya pagi itu
ternyata berantai ke keributan selanjutnya, yang merebak dari rumah
Bu Alit. Anak bungsunya, gadis kecil sembilan tahun, yang sejak
kemarin sore tak pulang ke rumah dan telah menyibukkan seluruh
tetangga menelisik seluruh sudut kampung, pagi ini tiba di depan
rumahnya dalam kondisi memprihatinkan. Bajunya kotor berlumpur dan
sobek di beberapa bagian, wajahnya juga berlumur lumpur kering dan
lebam di sisi rahang. Rambutnya kusut masai. Ia mematung dengan
ekspresi dingin di depan rumah Bu Alit. Mengail pekik histeris
perempuan parobaya bertubuh subur itu ketika membuka pintu dan
menemukan gadis kecil kesayangannya di sana. Pekik itu dengan segera
menyeret puluhan pemilik kepala ke rumah Bu Alit. Lalu bertubi-tubi
tanya berkumandang, diikuti tatapan penuh iba ke arah ibu dan anak
yang tengah berpelukan di tengah halaman. Tidak…tidak…, bukan
berpelukan. Tepatnya, Bu Alit-lah
yang memeluk gadis kecil itu. Sementara yang dipeluk hanya berdiri
kaku. Kedua tangannya yang menjuntai di samping tubuh terayun-ayun
mengikuti gerakan tubuhnya yang diguncang-guncang Bu Alit.
Kabar tak jelas yang bersilang serabut lalu menyebar secepat anak
panah. Ada yang bilang, anak Bu Alit telah disembunyikan dan dikawini
makhluk halus. Ada juga yang bilang, anak Bu Alit tadinya diculik
oleh orang-orang kota yang berprofesi sebagai pedagang manusia. Namun
karena tubuhnya terlalu kurus, hidungnya pesek dan matanya yang
sedikit menyipit itu, para penculik mengubah niatnya. Anak Bu Alit
tak memiliki nilai jual tinggi. Akibatnya, ia diturunkan di pinggir
jalan. Dan gadis kecil itu harus terseok-seok menyusuri jalan untuk
kembali ke rumah. Gadis kecil itu diduga terguncang jiwanya karena
mendapat perlakuan kasar dari para penculik. Lalu masih ada satu
versi lagi. Gadis kecil itu disekap oleh gerombolan preman yang biasa
mangkal di perbatasan desa dan diperkosa beramai-ramai. Begitu pagi,
ia dilepas setelah sebelumnya diancam akan dibunuh kalau
memberitahukan kejadian sebenarnya pada orang lain.
Berita-berita tak jelas itu semakin lama semakin tak berbentuk,
mengabur dan akhirnya menguap begitu saja sebelum menemui muara. Tak
ada yang benar-benar perduli pada nasib gadis kecil Bu Alit. Semua
hanya ingin memuaskan hasrat keingintahuan yang meluap-luap. Berharap
mereka mendapatkan berita paling lengkap dan paling benar, sehingga
dapat diteruskan ke orang-orang yang mendengarkan mereka dengan mulut
terperangah. Itulah tujuannya dan itu pulalah sumber kebahagiaannya.
Tak penting bagaimana nasib gadis kecil itu kelak.
Jelang siang, keributan ketiga pecah. Sumbernya lagi-lagi dari rumah
kosong. Besi pasak pemukul lonceng hilang!
Berawal dari Mang Sukur, sang penjaga sekolah, yang bertandang ke
rumah kosong untuk meminjam besi pasak yang selalu tergantung di
lonceng tua itu. Ia membutuhkannya untuk mencongkel pintu gudang
sekolah yang kuncinya patah. Namun, besi itu tak ada di sana. Ia
sudah mencarinya ke sekeliling beranda dan menelisik semak-semak di
halaman, berharap benda itu terjatuh atau digeser anjing ke
sudut-sudut. Nihil. Bahkan, sangking penasaran, Mang Sukur
mengelilingi halaman samping rumah dan mengais-ngais tumpukan
daun-daun mati. Tak ada. Pemukul lonceng itu raib. Yang didapatnya
hanyalah daun jendela samping rumah yang miring dan berayun-ayun
rapuh. Salah satu engsel atas bingkainya telah lepas, entah karena
dibuka paksa atau telah menua termakan usia. Padahal, dua hari lalu
jendela itu masih rapi.
Benak Mang Sukur dipenuhi tanda tanya. Kemana pemukul lonceng itu?
Bukankah pagi tadi orang-orang meributkan lonceng yang berdentang
misterius? Apakah orang yang membunyikan lonceng itu yang telah
membawa pemukul besi? Tapi untuk apa? Dan mengapa loncengnya tidak
ikut dibawa? Mang Sukur dilanda kebingungan, yang sejam kemudian
diteruskannya pada guru-guru yang berkumpul di kantor dan penjual
jajanan di depan sekolah. Dan dari dua kumpulan manusia itulah,
berita tentang hilangnya besi pemukul lonceng menyebar ke seluruh
kampung dan mengisi perbincangan di lapau-lapau, pasar, juga
mulut-mulut gang.
Berbagai hipotesa pun beterbangan dengan segala bentuk argumen yang
dipas-paskan. Ada yang bilang, pemukul besi sengaja dibawa oleh orang
yang memukul lonceng pagi tadi, agar bisa sesewaktu mengulangi
keisengannya. Ada juga yang berpendapat, pemukul besi hilang secara
mistis. Dan masih ada belasan pendapat lain yang berhamburan tanpa
juntrungan. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, keributan ketiga ini
juga tak memberikan jawaban yang jelas. Dan tak ada yang berminat
mengusutnya lebih jauh. Tak ada yang bersungguh-sungguh ingin tahu,
siapa yang membuat lonceng berdentang dinihari tadi, apa yang terjadi
dengan gadis kecil Bu Alit dan kemana pemukul besi lonceng tua. Tiga
keributan itu dipandang hanya sebagai torehan warna yang membedakan
hari ini dengan hari kemarin dan hari esok.
Bulan sabit menggantung samar di rengkuhan awan hitam. Hujan baru
saja reda, setelah beberapa menit sebelumnya mengucur deras,
menerjang kumpulan debu yang meranum di beberapa ruas belahan bumi.
Bulir-bulir beningnya masih lekat merengkuh permukaan daun dan
genting. Tertatih-tatih, bergulir meluncur setengah enggan.
Sebenarnya malam belum menua dengan sempurna. Hanya saja, gerimis
telah membuatnya pekat lebih cepat. Tak seorang pun berlalu-lalang.
Jalanan basah menggigil dalam dingin dan lengang. Sayup-sayup
lolongan anjing bersahutan di kejauhan, menajamkan aroma magis.
Beriringan dengan dua bayangan yang berkelebat di balik rerimbunan
belukar sepanjang sisi kiri rumah kosong. Yang satu bergegas,
sementara lainnya menyeret langkah dengan sungkan. Bisik mereka samar
dalam irama nafas yang nyaris saling memagut.
Setelah mengendap-endap beberapa saat, pemilik bayangan terdepan
menyelinap masuk ke dalam rumah lewat bingkai jendela yang
berayun-ayun malas.
“Ayo..,” bisiknya sembari mengulurkan tangan pada pemilik
bayangan kedua yang memaku bimbang.
“Ayooo…, keburu ada yang lewat.”
“Seharusnya kita mencari tempat yang lebih nyaman,” gerutu sosok
kedua sambil menarik tinggi roknya dan memanjat jendela, menyusul
bayangan pertama yang telah menunggunya dalam gulita. Sebuah gelak
mengekeh menjawab gerutuannya.
“Sabar. Akan ada saat yang tepat…” Pemilik bayangan kedua
mencibir. Ia menajamkan indera penglihatannya untuk mengukur
kesungguhan lelaki di depannya. Namun, noktah cahaya yang begitu
minim dan suram tak mampu membantunya. Hatinya berdecak, lelaki
pertama atau lelaki ke seratus sebenarnya tak berbeda isi kepala..
“Bagaimana kalau dia mengikuti kita lagi?” Mendadak benaknya
terjaga.
“Nggak mungkin. Dia sudah jera.”
“Tapi..”
“Sudahlah, tak perlu risau. Aku sudah mengeceknya sebelum pergi
tadi. Ia tidur dengan pulas. Lagipula, tak mungkin ia akan mengulangi
kebodohan yang sama. Kecuali kalau ia menginginkan wajahnya lebih
babak-belur dari kemarin…” Lelaki itu terbahak dalam gelap,
membuang geramnya pada wajah mungil berambut masai. Ia masih
menyimpan rekam peristiwa itu. Saat kesadaran tiba-tiba tercerabut
dari buluh kemanusiaannya dan membawanya pada laku membabi-buta. Ia
ingat pekik gadis kecil itu. Pekik tertahan yang baru kali itu
didengarnya kembali, setelah sembilan tahun berlalu di ruang
persalinan sederhana.
Lelaki itu meraih tubuh dalam dekapannya dengan liar. Ia ingin
membuang gambar-gambar yang membentang benderang di kepalanya. Gambar
gadis kecil yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi mampir dalam
dekapannya. Tepatnya sejak ia menemukan adanya darah asing yang
mengalir dalam tubuh gadis kecil itu. Bukan darahnya. Bukan pula
darah Alit. Darah yang menjauhkan hatinya dari gadis itu, yang
membentangkan jarak dan membangun dinding tebal diantara mereka
berdua. Mungkin hanya satu malam yang mencatat kesedihannya ketika
semua fakta itu terkuak. Malam dimana ia tersedu-sedu menyesali
kebodohannya, meninggalkan istrinya bertahun-tahun ke negeri jiran
hanya untuk mengejar kemapanan sosial. Kebodohan yang membutakannya
tentang cinta dan kesetiaan Alit, yang ternyata harus menyerah pada
gigitan sepi.
Lelaki itu mencoba tenggelam dalam irama purba
yang diciptakannya dalam gulita. Peluhnya mencair, mengalir bersama
hasrat yang berjalan tanpa kendali. Hatinya mengumpat, perempuan
pertama atau perempuan ke seratus sebenarnya tak berbeda isi
kepala..Wajah mungil itu telah enyah
dari fikirannya.
Gadis kecil itu mematung dalam kegelapan. Wajahnya datar. Rambutnya
masai. Bibirnya mengatup dalam gigitan geram. Di tangannya tergenggam
sebatang pasak besi. Di atas kepalanya tergantung lonceng tua yang
pendiam. Rahangnya mengeras dalam kemarahan. Ia mulai
menghitung-hitung, berapa banyak pukulan pasak yang akan
didaratkannya ke lempengan besi di atas kepalanya. Juga berapa banyak
pukulan yang kelak akan mendarat ke sekujur tubuhnya. Akankah ibu
mendengar dentang lonceng dinihari ini?
`
`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar