Pages

Kamis, 26 September 2013

AKHIR SEBUAH PERJALANAN

 Oleh : R.Yulia
Dimuat Mj Jelita Jakarta, 17-23 Juli 2006

“Dina! Apa kabar?” Teriakan histeris itu justru mengagetkan aku, yang sebenarnya ingin mengagetkan perempuan muda cantik di hadapanku ini. Aku tersenyum sambil mendekap dada.
“Aku keduluan nih..,” gerutuku kesal. Perempuan cantik itu tersenyum hangat.
“Dari dulu kan?”
“Iya. Aku selalu kalah cepat denganmu dalam hal apa pun,” keluhku.
“Ah, jangan sentimentil begitu. Masuklah. Silahkan duduk. Santai aja. Sebentar ya?” Ia meraih airphone. “Sus, tolong bawakan dua minuman ke ruangan saya ya? Nggak ada pasien kan? Bagus. Terima kasih ya?”
“Nggak usah repot, Siska. Aku cuma sekedar kangen-kangenan aja kok.” kataku jengah.
“Dinaaa.., kamu tuh kege-eran deh. Sebenarnya, yang haus itu aku. Jadi kamu dateng atau nggak, aku pasti minta dibawakan minuman.” kilahnya. Aku tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong, mimpi apa nih yang menuntunmu ke klinikku? Soalnya udah tahun kan? Sejak kamu menikah, kita nggak pernah ketemu lagi. Habis, kamu juga jauh kali sih merantaunya. Nah, sekarang ceritain dong semua pengalaman merantaumu.” Rentetan kalimat yang tak terputus dari bibir Siska memperlebar senyumku. Dia tak berubah. Masih cerewet.
“Biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Namanya juga ikut suami. Paling-paling aku hanya menjalani semua rutinitas seorang ibu rumah tangga.”
“Oh ya? Anakmu sudah berapa?”
“Satu. Sudah lima tahunan.”
“Wah, pasti cantik dan pinter seperti kamu ya? Kok nggak diajak?” Siska begitu antusias menanyaiku. Aku menunda jawaban ketika seorang perawat mengetuk pintu dan memasuki ruangan.
“Tadinya sih mau diajak. Tapi udah keduluan sama neneknya. Mau diajak jalan ke rumah adik bungsuku, Hera.” jawabku begitu perawat itu meninggalkan ruangan.
“Ooh. Sudah sekolah belum dia?”
“Sudah. Eh, kok dari tadi kamu aja yang interview aku. Gantian dong. Gimana klinikmu sekarang? Makin sukses sepertinya ya?” Aku memandang keliling ruangan praktek.
Siska tertawa lebar.“Maybe. Tapi di sisi lain mungkin kamu lebih beruntung daripada aku, Dian,” keluhnya sambil memandangku dengan serius.
“Beruntung apaan? Aku aja nggak punya kerjaan dan status seperti kamu. Nggak ada yang bisa dibanggakan.” elakku jengah. Sejujurnya, memang seperti itulah perasaanku yang sebenarnya. Mungkin karena awalnya, sebelum menikah, aku seorang wanita karir yang punya pekerjaan mapan. Dan semuanya harus kulepaskan karena cinta. Memang tidak ada yang memaksaku. Cuma terkadang, saat kejenuhan akan rutinitas menjebakku, tiba-tiba saja aku merindukan sebuah status lain. Sebuah pekerjaan.
“Jangan begitu. Aku jelas belum seberuntung dirimu. Kau memiliki sebuah keluarga yang utuh. Suami dan anak yang melengkapi hidup. Sementara aku? Sampai saat ini belum juga laku,” gerutunya diiringi senyum pahit.
“Siska…, jangan bilang begitu ah..,” Aku sedikit kurang enak mendengar kalimatnya.
“Kenapa? Rasanya memang lucu ya? Setiap orang selalu merasa kekurangan dengan apa yang telah dimilikinya. Aku punya pekerjaan, mapan secara materi tapi kosong di sini,” Ia menunjuk ke dadanya. “Sementara kau, punya keluarga kecil yang menyenangkan, ternyata juga masih merasa haus dan kosong...” Perempuan berhidung bangir itu menatap jauh ke depan. Sekilas, ia seperti tak melihatku ada di hadapannya.
“Ah, sudahlah! Kok jadi serius begini..” Siska mengibaskan tangannya cepat.
“Nggak apa kok kalo kamu mau curhat. Psikholog kan bukan makhluk sempurna. Sesekali boleh dong curhat ke orang. Jadi nggak hanya dengerin curhatnya orang lain kan?” Aku mencoba menghiburnya.
“Dina, kamu benar. Hanya saja, waktunya tidak tepat. Kita kan baru jumpa setelah sekian lama. Masa aku langsung mengeluhkan ini itu. Kan lebih baik senang-senang dulu. Nah gini aja, kamu berapa lama sih di sini?”
“Gak lama. Paling juga seminggu.”
“Kalo gitu, punya waktu lebih nggak untuk ngobrol? Kamu bisa curhatin apapun ke aku. Gitu juga sebaliknya. Mau bawa anakmu juga nggak apa kok. Kalau bisa kita cari tempat yang enak. Di klinik kan kurang leluasa..” Aku berfikir sejenak.
“Mungkin besok juga aku bisa. Tapi agak sorean lah. Soalnya, pagi dan siang mungkin aku ada urusan dikit dengan keluarga suamiku.” Siska mengangguk.
“Nggak apa-apa. Kalau nggak sempat juga nggak perlu dipaksakan. Kamu hubungi aja ke ponselku ya? Nih..,” Siska mengangsurkan selembar kartu namanya.
“Aku sempatkan deh. Soalnya aku juga udah lama nggak punya teman curhat.” Siska mengangguk.
“Kalo gitu aku pulang dulu ya. Besok kan kita bisa ngobrol abis..” Aku beranjak dari duduk.
“Lho, kok jadi buru-buru. Sebentar lagi dong. Kan nggak keburu amat. Lagian kamu juga belum minum tuh.”
“Eh iya ya?” Cepat aku menyambar botol minuman di depanku dan menyeruputnya cepat.
“Ya ampuuun..” Siska menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis fikir.
“Kamu tuh, udah jadi ibu tapi slebornya gak hilang juga. Gimana anaknya?”
“Oh tidak! Anakku sangat baik dan sopan. Ya udah, aku pamit dulu. Sampai besok ya, Siska..” Aku melangkah menuju pintu dan menatapnya sekali lagi sebelum keluar. Perempuan cantik itu cuma manggut-manggut sambil tersenyum.
Esoknya, setelah menyelesaikan urusan keluarga, aku menelfon Siska. Ia menjemputku. Kuputuskan untuk tidak membawa Alya, anakku. Kufikir, akan merepotkan nantinya. Ya tahu sendirilah anak-anak. Mana mungkin dia betah duduk diam mendengarkan orang ngobrol berjam-jam. Terlebih yang diobrolkan itu sama sekali bukan konsumsi anak-anak. Setelah pamit dengan Alya dan Mas Andika, kami meluncur menuju tempat yang telah dipesan Siska.
Aku mengikuti langkah bergegas Siska memasuki sebuah café yang terlihat sangat romantis. Aku tersenyum tanpa sadar.
“Ada apa ? Kok senyum tanpa sebab ?” Ternyata Siska memperhatikanku.
“Enggak. Aku cuma sedang mikir, kenapa kamu milih tempat beginian untuk kita ngobrol. Pasti karena sebelumnya kamu pernah ke sini dan punya kesan khusus kan?”
Siska tersenyum simpul sambil melambai pada pelayan. Ia memesan minuman dan makanan. “Nggak juga, Dina. Aku nggak pernah kencan di sini. Tapi memang aku sering ke sini. Terlebih kalo sedang ada live music. Sendirian lho. Soalnya, aku suka dengan setting decoration-nya. Adem untuk menenangkan fikiran. Kamu setuju nggak dengan pendapatku?” tuturnya panjang lebar. Aku mengangguk cepat.
Ya, disain interior café ini memang cukup bagus. Dengan water fall pada permukaan kaca jendela yang lebar dan taman yang tertata apik, memang membuat kita bisa betah berlama-lama nongkrong di sini. Belum lagi tatanan cahaya dan beberpa pernik interiornya. Pokoknya, untuk mereka yang ingin menyatakan cinta atau melamar seseorang, tempat ini cocok banget.
“Nah, sekarang cerita kamu duluan..”
“Kamu ajalah.” tolakku sedikit enggan.
“Ayolah Dina, nggak usah sungkan gitu. Jangan anggap curhat ke psikholog. Kan aku temanmu sejak dulu…” bujuk Siska.
“Sebenarnya nggak berat kali sih. Cuma, kadang aku tuh merasa jenuh sekali menjalani seluruh rutinitasku. Sejak dari bangun sampai tidur lagi, polanya selalu sama dari tahun ke tahun. Aku tuh jadi ngerasa seperti robot. Dan itu membuatku semakin bosan dan merasa kesepian. Biarpun aku sudah memiliki sebuah keluarga yang bahagia. Suami dan anakku baik. Kelewat baik malah.” Aku berhenti untuk menarik nafas panjang. “Mungkin bagi orang lain aku seperti kurang bersyukur ya, Sis? Tapi aku sendiri juga nggak suka dengan perasaan seperti itu.” akuku jujur. Siska manggut-manggut.
“Nggak perlu menghakimi diri seperti itu. Sebenarnya apa yang rasakan itu wajar saja kok, Din. Terlebih karena dulunya kamu punya karir dan uang sendiri. Tentu itu jauh lebih menyenangkan ketimbang menerima uang dari suami kan?” Aku mengangguk. Siska tersenyum.
“Aku bisa memahaminya. Tapi setidaknya kamu kan bisa lihat dari sisi positifnya. Kamu nggak perlu capek di luar. Bisa meneruskan hobby menulismu dan sebagainya,” kata Siska mencoba memberi semangat. Aku mendesah.
“Justru di situ masalahnya, Sis. Aku sudah berulangkali melihat sisi positifnya. Tapi berulangkali pula jenuh itu timbul. Terlebih kalau semuanya berjalan baik-baik saja. Aku pasti selalu ingin membuat keributan,” keluhku lagi. Siska tergelak.
“Ya ya.., kamu kan orangnya dinamis. Terlebih dari dulu juga kamu bekerja pada bidang yang penuh dinamika. Nggak monoton. Jadi setelah sekarang kamu hidup adem ayem jadi rasanya kurang seru dan nggak punya tantangan, iya kan?” Aku mengangguk cepat.
“Tapi coba fikirkan, apa kamu juga sudah siap kalau nantinya rumah tanggamu penuh masalah? Kurasa jalan keluarnya begini aja Dina, kamu coba deh cari sesuatu yang bisa buat kamu sibuk. Misalnya hobi menulismu itu lebih dikembangkan. Cari dong terobosan-terobosan baru. Sepertinya itu akan membuat hidupmu jadi lebih menarik. Atau bisa juga dengan coba-coba buka usaha. Kan tantangannya juga cukup besar tuh. Tapi yang jelas, kamu harus punya tujuan dan sasaran jelas. Juga konsisten. Kalo nggak ya kamu bisa balik kembali dalam suasana yang menjenuhkan. Untuk urusan rumah tangga, yang sudah adem ayem jangan diutak-utik lagi. Ntar datang masalah malah bikin pusing kepala..” tutur Siska panjang lebar. Aku manggut-manggut. Mencoba mencerna pendapatnya.
“Layak dicoba juga nih,” kataku akhirnya sambil mencicipi makanan yang terhidang. Enak. Meskipun aku nggak tahu apa namanya. Juga minumannya yang berwarna oranye mencolok itu.
“Eh, lalu kamu gimana?” aku balik bertanya. Siska manyun sambil mengedarkan pandang sekilas.
“Aku?” Ia menunjuk dadanya. Aku manggut. “Kalau menurutmu, aku gimana, Din?” Ia malah menanyaiku.
“Kurasa kamu nggak punya masalah. Kamu punya karir bagus dan pergaulan yang luas. Pasti menyenangkan.” jawabku polos. Siska tersenyum
“Begitu ya? Tapi aku nggak punya suami dan anak seperti kamu lho…”
“Itu kan masalah waktu saja, Siska. Barangkali kamu terlalu pilih-pilih. Kriterianya jangan terlalu tinggi dong,” saranku. Siska mengangkat alisnya.
“Nggak juga. Masalahnya bukan di soal kriteria kok, Din.”
So what gitu loh?” tanyaku sambil tertawa. Wajah Siska berubah. Ekspresinya terlihat aneh. Aku menangkap kegetiran di matanya. “Sis…” Aku menyentuh tangannya perlahan.
“Sudahlah, Din. Nggak perlu betul membahas hal itu. Nggak terlalu penting!” sergahnya sambil mengibaskan tangan. Aku menatapnya tertegun.
“Sis, kamu punya masalah? Ceritakan dong ke aku, mana tahu bisa sedikit meringankan beban di hatimu,” bujukku. Siska tersenyum lebar.
“Enggak kok. Aku nggak punya masalah apa-apa. Cuma agak jealous aja dikit ke kamu. Not a big problem kok,” sahutnya ringan. Seringan perubahan ekspresinya yang kembali ceria. Aku Cuma bisa mengangkat bahu, tak mengerti dan tak perduli.
Selanjutnya kami terus berbicara. Tentang berbagai hal. Namun nampaknya Siska tak ingin pembicaraan kami menjurus pada soal pribadinya. Dan aku tak memaksa. Saat mengantarku pulang, Siska hanya berujar singkat padaku,” Kalau besok ingin menelfonku, sekitar jam limaan sore aja ya?” Aku mengangguk.
“Memangnya kamu sibuk ya?” tanyaku.
“Ya, mempersiapkan akhir perjalanan,” katanya sambil tersenyum misterius. Mobilnya meluncur meninggalkanku yang terpaku. Bingung dengan kalimatnya.
Esoknya, karena sibuk dengan berbagai pertemuan keluarga, aku tak sempat menelfonnya. Sehingga dua hari setelah pertemuan kami, baru aku bisa meluangkan waktu menelfonnya. Yang menjawab ponsel bukan Siska, walau juga suara seorang wanita. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Melainkan pada berita yang disampaikannya. Benar-benar mengejutkan. Sampai-sampai membuatku terhuyung lemas dan roboh di sofa.
Sepucuk surat di tanganku, yang kudapatkan dari mamanya saat berkunjung ke rumah Siska, membuatku tak sanggup menahan tangis. Aku terisak dalam pelukan suamiku.
Ya, Siska memang telah pergi meninggalkanku. Dengan cara yang tak dapat diterima akal sehatku. Ia menenggak obat tidur secara over dosis. Dan penyebabnya adalah rasa frustasi yang telah cukup lama dipendamnya setelah divonis dokter menderita kanker rahim. Dan hal itu semakin menyiksa batinnya setelah bertemu denganku, yang dianggapnya cukup bahagia, karena memiliki keluarga yang sempurna dan bahagia. Siska, mengapa kau tak mau menceritakan kepedihanmu padaku? pekikku dalam hati dengan sedih. Kau benar Siska, aku memang harus bersyukur. Lebih dan lebih lagi bersyukur. Selamat jalan, Sobatku Sayang….







Tidak ada komentar:

Posting Komentar