Oleh : R.Yulia
Dimuat Mj Jelita Jakarta, 17-23 Juli 2006
“Dina! Apa kabar?” Teriakan histeris itu justru mengagetkan aku,
yang sebenarnya ingin mengagetkan perempuan muda cantik di hadapanku
ini. Aku tersenyum sambil mendekap dada.
“Aku keduluan nih..,” gerutuku kesal. Perempuan cantik itu
tersenyum hangat.
“Dari dulu kan?”
“Iya. Aku selalu kalah cepat denganmu dalam hal apa pun,”
keluhku.
“Ah, jangan sentimentil begitu. Masuklah.
Silahkan duduk. Santai aja. Sebentar ya?” Ia meraih airphone.
“Sus, tolong bawakan dua minuman ke
ruangan saya ya? Nggak ada pasien kan? Bagus. Terima kasih ya?”
“Nggak usah repot, Siska. Aku cuma sekedar kangen-kangenan aja
kok.” kataku jengah.
“Dinaaa.., kamu tuh kege-eran deh. Sebenarnya,
yang haus itu aku. Jadi kamu dateng atau nggak, aku pasti minta
dibawakan minuman.” kilahnya. Aku tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong, mimpi apa nih yang menuntunmu
ke klinikku? Soalnya udah tahun kan? Sejak kamu menikah, kita nggak
pernah ketemu lagi. Habis, kamu juga jauh kali sih merantaunya. Nah,
sekarang ceritain dong semua pengalaman merantaumu.” Rentetan
kalimat yang tak terputus dari bibir Siska memperlebar senyumku. Dia
tak berubah. Masih cerewet.
“Biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Namanya juga ikut suami.
Paling-paling aku hanya menjalani semua rutinitas seorang ibu rumah
tangga.”
“Oh ya? Anakmu sudah berapa?”
“Satu. Sudah lima tahunan.”
“Wah, pasti cantik dan pinter seperti kamu ya? Kok nggak diajak?”
Siska begitu antusias menanyaiku. Aku menunda jawaban ketika seorang
perawat mengetuk pintu dan memasuki ruangan.
“Tadinya sih mau diajak. Tapi udah keduluan sama neneknya. Mau
diajak jalan ke rumah adik bungsuku, Hera.” jawabku begitu perawat
itu meninggalkan ruangan.
“Sudah. Eh, kok dari tadi kamu aja yang
interview
aku. Gantian dong. Gimana klinikmu sekarang? Makin sukses sepertinya
ya?” Aku memandang keliling ruangan praktek.
Siska tertawa lebar.“Maybe.
Tapi di sisi lain mungkin kamu lebih beruntung daripada aku, Dian,”
keluhnya sambil memandangku dengan serius.
“Beruntung apaan? Aku aja nggak punya kerjaan dan status seperti
kamu. Nggak ada yang bisa dibanggakan.” elakku jengah. Sejujurnya,
memang seperti itulah perasaanku yang sebenarnya. Mungkin karena
awalnya, sebelum menikah, aku seorang wanita karir yang punya
pekerjaan mapan. Dan semuanya harus kulepaskan karena cinta. Memang
tidak ada yang memaksaku. Cuma terkadang, saat kejenuhan akan
rutinitas menjebakku, tiba-tiba saja aku merindukan sebuah status
lain. Sebuah pekerjaan.
“Jangan begitu. Aku jelas belum seberuntung dirimu. Kau memiliki
sebuah keluarga yang utuh. Suami dan anak yang melengkapi hidup.
Sementara aku? Sampai saat ini belum juga laku,” gerutunya diiringi
senyum pahit.
“Siska…, jangan bilang begitu ah..,” Aku sedikit kurang enak
mendengar kalimatnya.
“Kenapa? Rasanya memang lucu ya? Setiap orang selalu merasa
kekurangan dengan apa yang telah dimilikinya. Aku punya pekerjaan,
mapan secara materi tapi kosong di sini,” Ia menunjuk ke dadanya.
“Sementara kau, punya keluarga kecil yang menyenangkan, ternyata
juga masih merasa haus dan kosong...” Perempuan berhidung bangir
itu menatap jauh ke depan. Sekilas, ia seperti tak melihatku ada di
hadapannya.
“Ah, sudahlah! Kok jadi serius begini..” Siska mengibaskan
tangannya cepat.
“Nggak apa kok kalo kamu mau curhat. Psikholog kan bukan makhluk
sempurna. Sesekali boleh dong curhat ke orang. Jadi nggak hanya
dengerin curhatnya orang lain kan?” Aku mencoba menghiburnya.
“Dina, kamu benar. Hanya saja, waktunya tidak tepat. Kita kan baru
jumpa setelah sekian lama. Masa aku langsung mengeluhkan ini itu. Kan
lebih baik senang-senang dulu. Nah gini aja, kamu berapa lama sih di
sini?”
“Gak lama. Paling juga seminggu.”
“Kalo gitu, punya waktu lebih nggak untuk ngobrol? Kamu bisa
curhatin apapun ke aku. Gitu juga sebaliknya. Mau bawa anakmu juga
nggak apa kok. Kalau bisa kita cari tempat yang enak. Di klinik kan
kurang leluasa..” Aku berfikir sejenak.
“Mungkin besok juga aku bisa. Tapi agak sorean lah. Soalnya, pagi
dan siang mungkin aku ada urusan dikit dengan keluarga suamiku.”
Siska mengangguk.
“Nggak apa-apa. Kalau nggak sempat juga nggak perlu dipaksakan.
Kamu hubungi aja ke ponselku ya? Nih..,” Siska mengangsurkan
selembar kartu namanya.
“Aku sempatkan deh. Soalnya aku juga udah lama nggak punya teman
curhat.” Siska mengangguk.
“Kalo gitu aku pulang dulu ya. Besok kan kita bisa ngobrol abis..”
Aku beranjak dari duduk.
“Lho, kok jadi buru-buru. Sebentar lagi dong. Kan nggak keburu
amat. Lagian kamu juga belum minum tuh.”
“Eh iya ya?” Cepat aku menyambar botol minuman di depanku dan
menyeruputnya cepat.
“Ya ampuuun..” Siska menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis
fikir.
“Kamu tuh, udah jadi ibu tapi slebornya gak hilang juga. Gimana
anaknya?”
“Oh tidak! Anakku sangat baik dan sopan. Ya udah, aku pamit dulu.
Sampai besok ya, Siska..” Aku melangkah menuju pintu dan menatapnya
sekali lagi sebelum keluar. Perempuan cantik itu cuma manggut-manggut
sambil tersenyum.
Esoknya, setelah menyelesaikan urusan keluarga,
aku menelfon Siska. Ia menjemputku. Kuputuskan untuk tidak membawa
Alya, anakku. Kufikir, akan merepotkan nantinya. Ya tahu sendirilah
anak-anak. Mana mungkin dia betah duduk diam mendengarkan orang
ngobrol berjam-jam. Terlebih yang diobrolkan itu sama sekali bukan
konsumsi anak-anak. Setelah pamit dengan Alya dan Mas Andika, kami
meluncur menuju tempat yang telah dipesan Siska.
Aku mengikuti langkah bergegas Siska memasuki sebuah café yang
terlihat sangat romantis. Aku tersenyum tanpa sadar.
“Ada apa ? Kok senyum tanpa sebab ?” Ternyata Siska
memperhatikanku.
“Enggak. Aku cuma sedang mikir, kenapa kamu milih tempat beginian
untuk kita ngobrol. Pasti karena sebelumnya kamu pernah ke sini dan
punya kesan khusus kan?”
Siska tersenyum simpul sambil melambai pada
pelayan. Ia memesan minuman dan makanan. “Nggak juga, Dina. Aku
nggak pernah kencan di sini. Tapi memang aku sering ke sini. Terlebih
kalo sedang ada live music.
Sendirian lho. Soalnya, aku suka dengan setting
decoration-nya. Adem untuk menenangkan
fikiran. Kamu setuju nggak dengan pendapatku?” tuturnya panjang
lebar. Aku mengangguk cepat.
Ya, disain interior café ini memang cukup bagus.
Dengan water fall pada
permukaan kaca jendela yang lebar dan taman yang tertata apik, memang
membuat kita bisa betah berlama-lama nongkrong di sini. Belum lagi
tatanan cahaya dan beberpa pernik interiornya. Pokoknya, untuk mereka
yang ingin menyatakan cinta atau melamar seseorang, tempat ini cocok
banget.
“Nah, sekarang cerita kamu duluan..”
“Kamu ajalah.” tolakku sedikit enggan.
“Ayolah Dina, nggak usah sungkan gitu. Jangan anggap curhat ke
psikholog. Kan aku temanmu sejak dulu…” bujuk Siska.
“Sebenarnya nggak berat kali sih. Cuma, kadang
aku tuh merasa jenuh sekali menjalani seluruh rutinitasku. Sejak dari
bangun sampai tidur lagi, polanya selalu sama dari tahun ke tahun.
Aku tuh jadi ngerasa seperti robot. Dan itu membuatku semakin bosan
dan merasa kesepian. Biarpun aku sudah memiliki sebuah keluarga yang
bahagia. Suami dan anakku baik. Kelewat baik malah.” Aku berhenti
untuk menarik nafas panjang. “Mungkin bagi orang lain aku seperti
kurang bersyukur ya, Sis? Tapi aku sendiri juga nggak suka dengan
perasaan seperti itu.” akuku jujur. Siska manggut-manggut.
“Nggak perlu menghakimi diri seperti itu. Sebenarnya apa yang
rasakan itu wajar saja kok, Din. Terlebih karena dulunya kamu punya
karir dan uang sendiri. Tentu itu jauh lebih menyenangkan ketimbang
menerima uang dari suami kan?” Aku mengangguk. Siska tersenyum.
“Aku bisa memahaminya. Tapi setidaknya kamu kan bisa lihat dari
sisi positifnya. Kamu nggak perlu capek di luar. Bisa meneruskan
hobby menulismu dan sebagainya,” kata Siska mencoba memberi
semangat. Aku mendesah.
“Justru di situ masalahnya, Sis. Aku sudah berulangkali melihat
sisi positifnya. Tapi berulangkali pula jenuh itu timbul. Terlebih
kalau semuanya berjalan baik-baik saja. Aku pasti selalu ingin
membuat keributan,” keluhku lagi. Siska tergelak.
“Ya ya.., kamu kan orangnya dinamis. Terlebih dari dulu juga kamu
bekerja pada bidang yang penuh dinamika. Nggak monoton. Jadi setelah
sekarang kamu hidup adem ayem jadi rasanya kurang seru dan nggak
punya tantangan, iya kan?” Aku mengangguk cepat.
“Tapi coba fikirkan, apa kamu juga sudah siap kalau nantinya rumah
tanggamu penuh masalah? Kurasa jalan keluarnya begini aja Dina, kamu
coba deh cari sesuatu yang bisa buat kamu sibuk. Misalnya hobi
menulismu itu lebih dikembangkan. Cari dong terobosan-terobosan baru.
Sepertinya itu akan membuat hidupmu jadi lebih menarik. Atau bisa
juga dengan coba-coba buka usaha. Kan tantangannya juga cukup besar
tuh. Tapi yang jelas, kamu harus punya tujuan dan sasaran jelas. Juga
konsisten. Kalo nggak ya kamu bisa balik kembali dalam suasana yang
menjenuhkan. Untuk urusan rumah tangga, yang sudah adem ayem jangan
diutak-utik lagi. Ntar datang masalah malah bikin pusing kepala..”
tutur Siska panjang lebar. Aku manggut-manggut. Mencoba mencerna
pendapatnya.
“Layak dicoba juga nih,” kataku akhirnya sambil mencicipi
makanan yang terhidang. Enak. Meskipun aku nggak tahu apa namanya.
Juga minumannya yang berwarna oranye mencolok itu.
“Eh, lalu kamu gimana?” aku balik bertanya. Siska manyun sambil
mengedarkan pandang sekilas.
“Aku?” Ia menunjuk dadanya. Aku manggut. “Kalau menurutmu, aku
gimana, Din?” Ia malah menanyaiku.
“Kurasa kamu nggak punya masalah. Kamu punya karir bagus dan
pergaulan yang luas. Pasti menyenangkan.” jawabku polos. Siska
tersenyum
“Begitu ya? Tapi aku nggak punya suami dan anak seperti kamu lho…”
“Itu kan masalah waktu saja, Siska. Barangkali kamu terlalu
pilih-pilih. Kriterianya jangan terlalu tinggi dong,” saranku.
Siska mengangkat alisnya.
“Nggak juga. Masalahnya bukan di soal kriteria kok, Din.”
“So what
gitu loh?” tanyaku sambil tertawa. Wajah Siska berubah. Ekspresinya
terlihat aneh. Aku menangkap kegetiran di matanya. “Sis…” Aku
menyentuh tangannya perlahan.
“Sudahlah, Din. Nggak perlu betul membahas hal itu. Nggak terlalu
penting!” sergahnya sambil mengibaskan tangan. Aku menatapnya
tertegun.
“Sis, kamu punya masalah? Ceritakan dong ke aku, mana tahu bisa
sedikit meringankan beban di hatimu,” bujukku. Siska tersenyum
lebar.
“Enggak kok. Aku nggak punya masalah apa-apa.
Cuma agak jealous
aja dikit ke kamu. Not a big problem
kok,” sahutnya ringan. Seringan perubahan ekspresinya yang kembali
ceria. Aku Cuma bisa mengangkat bahu, tak mengerti dan tak perduli.
Selanjutnya kami terus berbicara. Tentang berbagai hal. Namun
nampaknya Siska tak ingin pembicaraan kami menjurus pada soal
pribadinya. Dan aku tak memaksa. Saat mengantarku pulang, Siska hanya
berujar singkat padaku,” Kalau besok ingin menelfonku, sekitar jam
limaan sore aja ya?” Aku mengangguk.
“Memangnya kamu sibuk ya?” tanyaku.
“Ya, mempersiapkan akhir perjalanan,” katanya sambil tersenyum
misterius. Mobilnya meluncur meninggalkanku yang terpaku. Bingung
dengan kalimatnya.
Esoknya, karena sibuk dengan berbagai pertemuan keluarga, aku tak
sempat menelfonnya. Sehingga dua hari setelah pertemuan kami, baru
aku bisa meluangkan waktu menelfonnya. Yang menjawab ponsel bukan
Siska, walau juga suara seorang wanita. Tapi bukan itu yang membuatku
terkejut. Melainkan pada berita yang disampaikannya. Benar-benar
mengejutkan. Sampai-sampai membuatku terhuyung lemas dan roboh di
sofa.
Sepucuk surat di tanganku, yang kudapatkan dari mamanya saat
berkunjung ke rumah Siska, membuatku tak sanggup menahan tangis. Aku
terisak dalam pelukan suamiku.
Ya, Siska memang telah pergi meninggalkanku.
Dengan cara yang tak dapat diterima akal sehatku. Ia menenggak obat
tidur secara over dosis. Dan penyebabnya adalah rasa frustasi yang
telah cukup lama dipendamnya setelah divonis dokter menderita kanker
rahim. Dan hal itu semakin menyiksa batinnya setelah bertemu
denganku, yang dianggapnya cukup bahagia, karena memiliki keluarga
yang sempurna dan bahagia. Siska,
mengapa kau tak mau menceritakan kepedihanmu padaku? pekikku
dalam hati dengan sedih. Kau benar
Siska, aku memang harus bersyukur. Lebih dan lebih lagi bersyukur.
Selamat jalan, Sobatku Sayang….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar