Dimuat laman agamkab.go.id, 13 September 2013
Hujan turun, mengetuk-ngetuk. Di atap seng, jendela, pintu dan
kaki-kaki dinding luar. Orang-orang di lantai atas sibuk beradu
celoteh, acap berteriak meningkah deru hujan. Beberapa menit sekali
langkah-langkah berat berdentam-dentam kesana-kemari, membuat lantai
kayu tua berderak-derak di atas kepala Ju. Gaduh. Berisik sekali. Tak
tahukah mereka kalau aku nyaris sulit bernapas terbelit sepuluh soal
Matematika, bahkan sebelum hujan tiba? Ju menggerutu dalam hati.
Matematika, entah kenapa, selalu hadir membonceng gerombolan
penyakit dadakan yang membuat putaran otak Ju bekerja semakin
melambat. Sesak napas, sakit kepala, sakit mata, sakit perut,
mengantuk hingga sesak buang air. Dan itu membuatnya frustasi. Belum
lagi orang-orang yang berisik di lantai bawah dan atas. Tak ada yang
menghiraukan kesulitannya.
"Kamu harus rajin belajar, Ju. Biar pinter, jadi
orang besar kayak bapak-bapak pejabat di tipi itu. Jangan males
kayak Bapak dan Emak dulu.
Akibatnya gini nih, Bapakmu
cuma bisa kepake jadi
kuli bangunan. Sementara Emak, cuma jadi tukang cuci. Nggak ada
hebatnya." Emak tak pernah bosan mengulang-ulang kalimat itu
pada Ju, setiap kali ia mengeluhkan sulitnya Matematika. Seperti hari
ini.
"Tapi Mak, jadi orang pinter
itu capek," tukas Ju.
"Belajaaaar melulu, kayak Sholeh. Nggak pernah main keluar."
"Lha, kalau mau berhasil ya
harus capek. Belajar. Kelak kalau sudah besar baru akan menerima
hasilnya. Jadi orang hebat, kaya, punya mobil dan rumah bagus. Memang
Ju nggak pengen?"
Emak masih terus menyemangati. Ju menunduk. Punya mobil, rumah bagus,
siapa juga yang nggak mau. Tapi belajar, Matematika pula?
"Ju, kamu harus sabar. Emak memang nggak bisa membantu
mengerjakan pe-ermu. Emak nggak ngerti. Jadi, apa salahnya kamu
berteman dengan Sholeh dan minta diajarin sama dia cara
mengerjakannya," bujuk Emak. Tunduk Ju semakin dalam.
Ju belum beranjak dari tempatnya.
Ia duduk mencangkung sambil memelototi deretan soal yang tak satupun
berhasil dikerjakannya. Ke rumah Sholeh? Ah, tidak. Ju enggan
mendatangi rumah teman sekelasnya itu, meskipun letaknya tak begitu
jauh dari rumah Ju. Gengsi, ketahuan bodohnya.
Seingat Ju, ia masih bergumul dengan angka-angka, ketika segala
sesuatu, sekitar dan berisik yang begitu nyata, lenyap termakan
hening. Hening sekali. Diketahui kemudian kalau ia tertidur tatkala
serangkaian gambar tak berurutan melintas lambat di depan matanya,
seperti gerbong kereta mainan yang kerap dilihatnya di pasar malam.
Mata Ju mengerjap-ngerjap dalam pejaman, mencoba melihat lebih jelas
gambar-gambar di tiap gerbong mimpinya.
Gerbong pertama di belakang lokomotif membawa Emak dan Bapak.
Keduanya duduk di tepi jendela dengan wajah muram. Bersesak-sesak
dalam gerbong itu, orang-orang yang menghuni rumah-rumah di kanan dan
kiri tempat tinggal Ju, juga orang-orang berisik di lantai atas.
Mereka juga berwajah muram, dengan dahi berlipat-lipat, ujung mata
mengerut dan bibir yang mengatup rapat. Tak ada yang berbicara. Semua
pandangan tertuju pada sisi-sisi kosong, dinding, lantai, atap dan
udara yang kasat mata.
"Emak!" Ju mencoba menyeru. Lirih, lenyap ditelan angin
yang meliuk-liuk berkesiur. Gerbong Emak terus melaju, meninggalkan
Ju. Ju mengeluh. Kenapa seluruh tubuhnya kaku? Padahal ia ingin ikut
dengan Emak dan Bapak?
Ju tak sempat berpikir lama. Gerbong kedua melintas, membawa
tumpukan angka-angka dan simbol-simbol yang bertumpang-tindih,
jungkir-balik tak beraturan. Angka-angka itu, simbol-simbol itu,
semuanya termuat dalam soal-soal di buku matematikanya. Bedanya,
angka-angka dan simbol-simbol yang dilihat Ju sekarang memiliki
wajah. Ya, mereka memiliki mata, alis, hidung, mulut dan telinga.
Ekspresi mereka bermacam-macam. Ada yang tersenyum, cemberut, datar,
marah dan sebagainya. Ju terperangah. Astaga, angka-angka berwajah?
Kemana mereka akan pergi? Satu tujuankah dengan Emak, Bapak dan
orang-orang di gerbong pertama?
"Ju, kamu harus belajar mencintai matematika, agar otakmu
terbuka dengan sendirinya saat memecahkan soal-soal. Sebenarnya
matematika itu tak sulit kok. Tapi kalau belum apa-apa kita sudah
membencinya dan menganggap matematika itu sulit, ya semakin sulit
saja jadinya. Matematika itu inti kehidupan lho, tentang bagaimana
menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi apa yang kita miliki."
Kata-kata Pak Nadi, wali kelasnya, mengiang di benak Ju. Ia melepas
gerbong kedua dari jangkau pandangannya dengan kepala sarat tanda
tanya.
Gerbong ketiga melintas, tanpa isi. Tapi percik-percik air yang
meloncat-loncat di permukaan jendela yang tertutup rapat mengulik
rasa penasaran. Ju menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas.
Air. Ada air di gerbong ketiga. Ju tak habis pikir, bagaimana
mungkin? Air berkecipak, berayun-ayun mengikuti irama kitaran roda
yang menggoyang gerbong. Ah, air? Aneh. Ju semakin terpana, gerbong
keempat, kelima, keenam dan seterusnya, juga membawa air. Semata air.
Gerbong-gerbong itu seperti tak habis-habisnya. Ini rangkaian kereta
terpanjang yang pernah dilihat Ju. Akan kemana air-air itu dibawa?
Negeri mana yang kekurangan air sehingga harus mengimpor air dari
daerah lain? Ju menggeleng-gelengkan kepalanya yang semakin berat.
Tiba-tiba saja Ju merasa sangat kedinginan. Rasa dingin itu menjalar
dari kaki. Ju ingin membuka mata, namun kelopak matanya seperti
ditindih benda berat, berat sekali.
"Ju, Ju, bangun! Ayo cepat ke atas, sebelum air bertambah
tinggi!!" Seseorang mengguncang-guncang tubuh Ju dengan kasar,
setengah panik. Ju memaksa matanya terbuka, seiring rasa dingin di
kaki yang kian terasa. Seorang perempuan kurus bermata juling berdiri
di sampingnya dengan wajah tak sabar. Bu Aryo, salah seorang penghuni
lantai atas. Ju menatapnya dengan sedikit rasa kurang senang karena
tidurnya yang terganggu.
"Bangun, Ju! Ayo, cepetan naik
ke atas. Banjir, nih. Emakmu nelpon barusan, mengingatkan kalau kamu
ada di sini. Kata Emak naik saja dulu ke atas. Emak masih di rumah
majikannya." Ju linglung. Ia berpaling menatap ke sekeliling
ruangan. Air. Ada air di rumahnya! Ju menunduk, air menyembunyikan
sambungan pangkal pahanya. Ju teringat mimpinya; air di gerbong!
Apakah mereka membongkar muatan di rumahnya?
"Ju!!" Sebuah bentakan dengan renggutan kasar di lengannya
membuyarkan lamunan Ju. Ia tersentak kaget dan berusaha melepaskan
diri.
"Iya...iya. Ju naik sendiri. Ibu duluan saja, deh."
"Nggak bisa. Ibu harus
sama-sama dengan kamu. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu yang disalahkan
emakmu." Ju manyun. Bergegas ia mengemasi buku-bukunya dan
mengikuti langkah Bu Aryo keluar rumah, menyibak air yang terasa
membebat langkah. Ju limbung sesekali karena tubuh kurusnya hilang
keseimbangan diayun riak.
"Ngapain kamu, Ju? Ngerjain pe-er?!" Seorang lelaki
membungkuk di depan Ju yang duduk membungkuk di lantai kayu. Ju
mengangkat kepalanya dan mengangguk kemudian, sesaat mengenali
penyapanya. Salah seorang penghuni lantai atas. Saat ini Ju berada di
lantai atas, tempat bermukim orang-orang yang beberapa jam lalu
diserapahinya.
"Matematika?" Ju mengangguk lagi. Lelaki itu terbahak.
"Sudahlah, Ju. Tak usah
capek-capek belajar matematika. Nanti juga lihai sendiri."
Lelaki itu mengibaskan tangannya di depan Ju. Meremehkan.
"Kata Emak, Ju harus rajin
belajar, Kang. Biar bisa jadi orang hebat. Biar cepat kaya dan bisa
membahagiakan Emak," sahut Ju polos. Lelaki itu kembali
terbahak. Tubuhnya berguncang-guncang, sepasang matanya berair dan
liurnya meleleh karena tawa yang tak berkesudahan. Saat hampir
mereda, ia menatap Ju, lalu tawanya kembali membahana. Seseorang
berlari menghampiri mereka. Lelaki, kurus, bermata cekung dan
berambut cepak dengan jambul menggulung di atas dahi.
"Meriah sekali, Kang? Ada yang lucu? Bagi-bagi dong. Saya
ngeliat dari ujung sampai penasaran. Ada apa, Kang?"
Lelaki yang terbahak berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan
tawanya. Telunjuk kanannya menuding Ju yang memasang tampang bingung.
Ia tak tertawa. Ju tak paham apa letak kelucuan kalimatnya. Ju
menunggu lelaki di depannya berhenti tertawa. Ia harus menunggu untuk
bisa bertanya.
"Kang, lucunya seru, ya? Ada apa, Kang?" Lelaki yang baru
datang tak kuasa menahan rasa penasarannya. Ia mengguncang-guncang
lengan lelaki di sampingnya.
Dengan susah-payah, akhirnya lelaki itu dapat menghentikan tawanya.
Ia menyeka air mata berikut liur di ujung bibir dengan ujung kaos
yang dikenakannya.
"Si Ju lucu juga, Nang," ujarnya kemudian. Lelaki yang
disapa Nang itu menoleh pada Ju. Namun beberapa menit terpaku, tak
juga ditemukannya kelucuan yang disebutkan.
"Ah, apanya yang lucu, Kang?" katanya setelah bosan
mencari-cari.
"Lihat, si Ju belajar
matematika." Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh.
"Lantas?"
"Katanya biar pintar, bisa
jadi orang hebat dan cepat kaya."
"Lalu, lucunya dimana, Kang?" Lelaki itu menggaruk-garuk
kepalanya.
"Yaa.. di matematika."
"Matematika?" Nang semakin bingung.
"He-eh. Masa dia belajar
matematika supaya bisa jadi orang hebat. Padahal, banyak orang hebat
yang sdnya dulu bodoh matematika pun sekarang sama pintarnya dengan
sang juara kelas. Bukankah tak ada jaminan matematika itu bisa
membuat seseorang jadi hebat? Ngerti, lu?" Nang mikir-mikir.
Dahinya berkerut, bibirnya terkatup.
"Ngerti nggak?!" Sergah lelaki itu tak sabaran. Nang
menggeleng.
"Ah, kau!" Lelaki itu menatap ke arah Ju. "Kau, Ju?"
Ju ikut menggeleng.
"Kalian ini! Ya sudahlah, lanjutkan saja belajarmu, Ju.
Sebentar lagi hari gelap. Kalau banjir lebih tinggi lagi, mungkin
besok kau beruntung tidak sekolah, Ju." Ju tercenung. Tiba-tiba
lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Ju.
"Ju, kalau kelak kau kaya dan
jadi orang hebat, jangan lupa sama aku, ya? Bagi-bagiii....."
Lelaki itu mengakhiri kalimatnya dengan tawa berderai, lalu
melenggang pergi. Langkahnya berdentam-dentam di sepanjang lantai
kayu. Sesekali terdengar derit kayu yang mulai menua. Ju menutup
telinganya. Bunyi itu melahirkan ngilu di telinganya.
"Ju, apanya sih yang lucu?" Lelaki bernama Nang menatap Ju
dengan serius. Ju angkat bahu sambil melirik buku pe-ernya.
"Entahlah, Kang. Soal
matematika ini saja sudah membuatku hampir linglung, konon pula tawa
Kang Rois," ucap Ju ketus. Nang melengos sambil melangkah pergi.
Langkahnya terseret-seret.
Ju terdiam sesaat, mencoba mencerna
kata-kata lelaki yang duluan pergi. Benarkah ia tak perlu belajar
matematika? Ju mengamati deretan soal di bukunya. Tapi, biarpun kelak
tetap bisa jadi orang hebat, bukankah ia akan kena hukum Bu Guru
kalau tak mengerjakan pe-er matematika ini? Kedua tangan memegang
telinga dan berdiri jongkok puluhan kali atau disuruh menulis 'aku
tak malas lagi mengerjakan pe-er' sampai
ratusan baris di buku tulis elok. Hmm..., aku tak mau
keduanya! Ju bergegas
mengerjakan pe-ernya. Di sel-sel kelabu otaknya, tertanam cita-cita
Emak untuknya. Sementara air, perlahan meninggi dan semakin meninggi.
Dan hujan tak juga berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar