Oleh : R. Yulia
Dimuat mj LISA Jakarta, 4-11-2002
Selangkah lagi sebelum
memasuki areal parkir kantornya, Elen melirik arloji di pergelangan.
Pukul sembilan lewat tujuh menit. Hh, ini sudah untuk yang ketiga
kalinya dalam seminggu ini, batinnya. Dikibaskannya tangan untuk
mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap di hati.
“Terlambat lagi ?”
Perempuan cantik tiga puluhan, berambut ikal sebahu, sosok pertama
yang berpapasan dengannya, menyambut dengan sapaan yang sama dengan
kemarin dan kemarinnya lagi. Yosi, si pencatat absensi.
“Sorry..”
Hanya kata itu yang terlontar dari bibirnya. Yosi menatap Elen
sejurus. “No reason?”
Elen menghela nafas berat. “Untuk apa? Toh aku sudah salah,”
akunya pendek dan bergegas menuju ruangannya. Namun, belum jauh ia
melangkah, Yosi kembali memanggil. Elen menggerakkan dagunya sebagai
isyarat bertanya.
“Jangan
lupa, rapat proyeksi setengah jam lagi!” seru gadis itu
mengingatkan. Elen mengangguk dan secepatnya masuk ke ruangan. Ia
harus segera menyiapkan progress
report untuk rapat. Kalau tidak,
Yudhis pasti akan mengomelinya di hadapan koordinator lain.
“Oke,
saya sudah mendengar progress report
kalian. Lumayan. Meskipun saya masih kecewa dengan hasil tersebut.
Kalian terlalu santai! Seharusnya, untuk bulan ini kita dapat
melampaui target dan meng-handle
lebih dari empat case.
Dengar, saya sangat menghargai kalau kalian dapat lebih serius dan
mencurahkan perhatian sepenuhnya pada misi kita. Jadi bukan hanya
asal memenuhi target!” Elen menatap white
board yang dicoret-coret Yudhis
dengan jemu. Pria gentle
yang sedang berceramah panjang lebar itu kadang-kadang membuatnya
bosan ke kantor. Ia terlalu ambisius dan budak kerja. Dan lebih
parahnya, ia menginginkan seluruh staf di kantor ini berlaku seperti
dirinya. Puhh!
“Elen!
Apa proyeksi kamu untuk bulan depan? Sesuai program, kamu penuh
dengan pembuatan newsletter, release
dan campaign.
Tapi saya ingin yang lain. Ada ide?” Elen tergagap. Ia merasa saat
itu seluruh tatapan diarahkan kepadanya. Ya, ada dua belas pasang
mata. Ditambah dengan hunjaman tajam milik Yudhis. Elen mencoba
menatap Yudhis sesaat. Tapi otaknya terasa buntu.
“Sorry, aku…”
“Saya
bukan ingin permintaan maaf. Coba fikirkan ide lain. Elen, kamu
memegang posisi kunci untuk kesuksesan lembaga kita. Ingat, untuk
ukuran Indonesia, lembaga kita merupakan salah satu LSM yang
diperhitungkan donor. Kita punya komitmen dan prestasi. Saya nggak
mau kamu mengabaikannya. Itu adalah peluang. Credit
point yang kita miliki adalah jalan
untuk meraih berbagai prestasi lain. Dan ingat, untuk semua itu
kalian tidak pernah kerja dengan percuma kan? Nah Elen, teruskan..”
Elen menyembunyikan cibirannya. Kadang ia merasa, Yudhis bukanlah
seorang aktivis sejati. Ia hanya menjadikan seluruh aksinya sebagai
batu loncatan untuk meraih prestasi dan posisi yang prestisius.
Sangat pamrih dan bukan untuk rakyat semata!
“Aku sedang kosong.
Mungkin yang lain bisa bantu aku untuk kali ini..,”sahut Elen
menyerah.
“Agh..,” Yudhis
mengibaskan tangannya dengan kesal.
“Saya
ingin kalian lebih agresif lah.
Jangan seperti ini terus. Kapan majunya? Okelah, Elen kamu mungkin
bisa kerjasama dengan divisi anak. Pelajari tentang child
abuse. Jalin kerjasama dengan
lembaga dunia yang menangani hal tersebut. Menurut Karin, kita punya
tiga kasus child abuse.
Tindak lanjuti dengan campaign.
Oke, saya rasa cukup untuk hari ini. Rapat mendatang, tolong perbaiki
progress report
kalian. Saya nggak mau hasil pas-pasan seperti sekarang.” Dan
seperti robot, Yudhis keluar dari ruang rapat dengan langkahnya yang
lebar-lebar. Dasar kuda besi, batin Elen. Sekarang ia baru merasakan
adanya udara di ruangan ini. Mungkin juga dengan yang lainnya.
Lihatlah, betapa cerianya wajah mereka. Ah Yudhis, kapan kami bisa
melihatmu tersenyum? Elen menepuk kedua belah pipinya untuk
memastikan bahwa harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Len, dipanggil
Yudhis tuh,” Kepala Yosi yang nongol sekejap dari balik pintu,
menyampaikan amanat. Elen menarik nafas panjang. Ia meraba telinganya
secara bergantian. Memastikan saja, bahwa kondisi keduanya cukup baik
untuk mendengarkan ceramah panjang lebar Yudhis. Entahlah, Elen
merasa Yudhis selalu menjadikannya sebagai bahan ceramah. Mencekoki
otaknya dengan berbagai prospek ke depan, yang dianggapnya akan dapat
menghantarkan Elen ke tangga kesuksesan. Bagi Yudhis segalanya mudah
saja. Yang penting kerja ekstra keras. Tanpa kenal jam,siang atau
malam. Dan hal inilah yang kerap membuatnya bertengkar dengan
orangtuanya.
“Len,
sebagai orangtua kami bangga kalau kamu sukses dan menjadi wanita
karir yang berhasil. Tapi, kami juga nggak rela kalau melihatmu
terlalu ngoyo seperti
itu. Pulang tengah malam. Tidak tentu kapan makan dan istirahat.
Lihat dirimu sekarang. Kurus dan pucat. Kamu bahkan nyaris kehilangan
rasa humor. Kalau pulang bawaannya marah terus. Kerja apaan itu?
Hidup itu harus seimbang. Jangan jadikan dirimu sebagai kuda pacu
yang over dosis.” Bapak mengatakannya ketika Elen pulang ke Bandung
seminggu yang lalu. Ya, saat itu ia merasa sangat lelah dan stress.
Akibatnya, begitu sampai di rumah, bawaannya marah melulu. Semua jadi
sasarannya, termasuk Ibu.
Kadang
Elen merasa sangat bersalah pada diri sendiri. Benar kata Bapak, ia
terlalu keras pada dirinya. Saat menimbang kemarin sore, bobotnya
sudah turun lima kilo dari berat ideal yang selama ini
dibanggakannya. Dan itu semua karena Yudhis. Ia terbawa dalam pola
yang diinginkan Yudhis. Suka atau tidak suka. Ia bahkan lupa ke salon
untuk creambath, facial
dan luluran, seperti yang dulu kerap dilakoninya. Ia kehilangan
seluruh privacy-nya
dan juga.., Faizal! Elen mengibaskan tangannya untuk menghalau semua
itu. Teramat menyakitkan.
“Ada apa, Dis?”
Pria kurus tinggi dengan rambut ikal yang berdiri memunggungi Elen,
berbalik.
“Kamu kenapa sih,
Len? Ada masalah ? Pengen naik gaji atau butuh insentif lainnya?”
serang Yudhis tanpa tedeng aling-aling.
“Maksudmu?” Elen
belum mampu meraba ke arah mana pertanyaan itu sebenarnya ditujukan.
“Masih
bertanya tentang maksud, hmm? Kamu itu pintar, Len. Bahkan menurutku,
kalau saja kamu serius untuk mengasah talentamu, kamu adalah
satu-satunya staf yang dapat kuharapkan untuk memimpin cabang lembaga
kita kelak di Medan. Sayangnya,kamu terlalu childish.
Cara kerjamu mengandalkan mood.
Padahal, kamu tahu kan bahwa kita dituntut untuk patuh pada deadline.
Pada kepentingan klien!” Sampai sejauh itu Yudhis menghentikan
omongannya. Elen tak bersuara sama sekali. Dengan kesal ia menatap
kertas kerja yang bertumpuk di meja Yudhis. Bibirnya sedikit
membentuk kerucut, menyuarakan ketidaksenangannya atas kata-kata pria
yang menatapnya dengan tajam. Tepat di depan wajah Elen!
“Aku tahu kamu
sebenarnya adalah seorang pekerja keras. Namun fikiranmu sering
dikendalikan oleh penilaian orang lain. Kamu terlalu perduli pada
penampilan fisik dan perhatian orang terhadap hal tersebut.
Akibatnya, kamu sering nggak nyaman kalau orang mengatakan bahwa
rambutmu kusut atau wajahmu pucat. Ssh, tunggu! Aku belum selesai..,”
Yudhis memberi isyarat lewat tangannya, mencegah Elen untuk memotong.
Elen merasa kepalanya sudah begitu sumpek dengan kata-kata Yudhis. Ia
sudah setengah bangkit dari duduknya. Sambil membenahi posisi jasnya,
Yudhis memintanya untuk kembali duduk.
“Sorry kalau aku
menyinggungmu. Aku mengatakan ini bukan apa-apa, sekedar ingin
mengungkapkan tentang dirimu. Tentang betapa tidak percaya dirinya
kamu,”
“Aku tidak perlu
penilaianmu, Dis. Dan aku paling tidak suka kamu mengulitiku seperti
ini!” sergah Elen dengan nada meninggi. Yudhis manggut-manggut.
“Tidak tahan kritik
adalah salah satu sifat yang harus dibuang kalau ingin maju.
“OK.
Len, dalam seminggu terakhir ini aku lihat kamu sering terlambat
masuk. Kemudian beberapa surat yang harus kamu selesaikan untuk
persiapan seminar belum juga kamu tuntaskan. Sementara progress
report yang kamu buat jauh dari
standar biasanya. Hanya sebatas pekerjaan setengah hati. Dan aku
yakin pekerjaan itu pasti kamu lakukan dengan terrburu-buru. Benar
kan? What’s wrong?
Aku ingin penjelasan, sebelum segalanya kacau balau.” Elen mengeluh
dalam hati. Kenapa sih Tuhan menciptakan makhluk sekaku ini,
bisiknya.
“Kurasa tidak ada
hal-hal yang harus dikhawatirkan, Dis. Lagipula, aku tidak pernah
mengacaukan apapun. Jangan membesar-besarkan masalah…”
“Jangan berbohong padaku.
Ayolah..Mungkin benar kalau aku terlalu keras padamu. Tapi kurasa
kita bisa menjadi sahabat. Jujur saja, bagiku kamu adalah mitra kunci
dalam lembaga ini. Jadi, kalau ada sesuatu yang mengganggumu,
please..”
Elen membuang pandangnya jauh menembus kaca jendela di belakang kursi
yang diduduki Yudhis. Pria itu terlihat sengaja membiarkan Elen
sekejap bermain dengan fikirannya. Dalam kondisi seperti itu, ia
dapat menikmati lekuk wajah Elen. Ada sebersit rasa bersalah muncul
di sudut hatinya.
“Sudah….” Elen seperti disadarkan oleh
sebuah kelembutan. Ia nyaris tidak percaya. Dengan mulut ternganga
ditatapnya pria di hadapannya. Yudhis-kah yang barusan melontarkan
nada lembut itu. Sepasang alisnya seketika bertaut.
“Mungkin kamu segan
curhat ke aku ya? Tapi tolong untuk sekali ini. Dan supaya kamu tahu,
aku nggak akan biarkan kamu pergi sebelum kamu melepaskan semua
bebanmu. Aku tahu, sumber masalahmu berhubungan denganku kan?”
Masih dengan nada lembutnya, Yudhis menyalakan sebatang rokok yang
sejak tadi tersemat di jarinya. Senyumnya mengembang sekilas. God,
bisa juga ternyata makhluk ini
tersenyum, batin Elen. Namun, cepat disingkirkannya persoalan
senyum. Ada yang lebih penting, tantangan Yudhis!
“Kamu ingin tahu masalahku?!” tanya Elen
sinis. Yudhis mengangguk. Elen mengumpulkan nafas sejenak. Dadanya
terasa sesak. Ia sudah nekad untuk melakukannya.
“Masalahku itu adalah kamu! Kamu pembawa
masalah bagi hidupku. Kamu telah merampas seluruh kehidupanku. Aku
tidak lagi memiliki saat-saat yang menyenangkan dalam hidupku, selain
kerja dan kerja. Kamu menjadikanku seperti robot! Kamu membuatku
kehilangan segala yang pernah kunikmati sebagai keindahan hidup. Kamu
membuatku kehilangan waktu untuk tersenyum dan menikmati senyum…”
Elen merasa dirinya akan lepas kendali. Ia bahkan tak sanggup
meneruskan seluruh uneg-uneg yang bersemayam di hatinya. Seluruh
tubuhnya terasa sangat lemas. Dan itu semakin membuatnya kesal.
Yudhis hanya membisu. Ia sudah dapat menebak apa yang akan dikatakan
gadis yang ada di depannya itu. Apalagi kalau bukan seluruh pengaruh
jelek dirinya dalam kehidupan Elen. Dan bukan hanya Elen yang
merasakan, semua orang yang pernah dekat dengannya akan mengatakan
hal yang sama. Termasuk…Tapi entahlah, ketika Elen yang
mengatakannya, Yudhis bahkan ikut-ikutan menuding dirinya sebagai
makhluk yang tidak berprikemanusiaan.
Ia membenarkan
kata-kata Elen. Meskipun hanya di dalam hati. Ia telah membuat Elen
kehilangan senyumnya sejak masuk ke kantor ini. Padahal, senyum
itulah yang dulu membuatnya menerima Elen sebagai staf ahli di sini.
“Lalu, apa yang kau
inginkan?” tanya Yudhis akhirnya.
Elen mengangkat
kepalanya.
“Aku ingin
mengundurkan diri,” sahutnya lirih. Namun bagai petir di telinga
Yudhis.
“Apa maksudmu, Len?!
Tidak..tidak! Aku tidak akan membiarkan permintaan bodoh itu
terlaksana. Katakanlah, apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki
kesalahanku..” tawarnya cepat-cepat.
“Aku bosan kerja di
sini, Dis. Aku bosan. Semuanya begitu kaku. Tidak ada senyum di sini.
Bahkan membuatku jadi ikut sulit tersenyum. Dan kau tahu.., semua
membuat tubuh dan otakku kaku dan sakit. Aku tidak bisa bekerja di
sini lebih lama, Dis. Kalau tidak, hidupku takkan berarti apa-apa..”
papar Elen panjang lebar. Yudhis termangu.
“Separah itukah?”
Elen mengangguk tegas.
Beberapa saat hening
mencekam. Yudhis mengetukkan jarinya ke meja.
“Baiklah, aku akan
coba memperbaikinya. Tapi, singkirkan soal pengunduran diri itu. Oh
ya, kau boleh kerja dengan gayamu. Terserah. Hanya aku ingin hasil
terbaik. Bagaimana?”
“Lantas, kau?”
tuding Elen. Sepasang alis Yudhis bertaut.
“Apa maksudmu dengan
aku?”
“Gayamu rasanya sudah
layak untuk diganti. Aku bosan menghadapi bos yang terus menerus
menekan dan berwajah serius..”
“Ah, Elen. Kau
berlebihan sekali. Apakah aku sebegitu mengerikan?” Elen
mengangguk. Yudhis menarik nafas panjang.
“Baiklah, aku coba…”
janjinya mantap.
Elen melangkah bergegas
di sepanjang koridor. Matanya sibuk mencari tanda-tanda yang
disebutkan petugas tadi. Bau obat terasa menyengat hidung. Ah, ini
dia ruangannya. Elen membatin di depan paviliun yang resik. Ia
mengetuk perlahan.
“Masuk..” Sebuah
suara lemah menyahut dari dalam. Elen mendorong pintu dan mendapati
dirinya telah berada tepat di hadapan seorang pria muda yang
terbaring lemah di ranjang. Pergerakan tangannya dibatasi oleh jarum
infus yang menancap di punggung telapaknya.
“Dis, kenapa sih kamu
nggak pernah bilang tentang penyakitmu?” tanya Elen lirih saat ia
berada di sisi pria itu.
“Untuk apa?”
tanyanya dengan senyum tipis.
“Lho, biar kami semua
tahu dan mengingatkanmu untuk menjaga kondisi.”
“Masa sih? Aku bisa
kok mengingatkan diriku sendiri.” Pria itu masih menyisakan
kekeraskepalaannya. Elen benar-benar salut.
“Buktinya…” Cibir
Elen. Maag akut telah mengantarkan sosok angkuh itu ke ranjang rumah
sakit. Dan Elen benar-benar tak mengerti mengapa pria muda itu tak
menganggap sakitnya berarti.
“Len, selama aku di
sini, tolong kamu handle semua urusan kantor ya? Aku percaya padamu.
Apalagi prestasimu belakangan semakin bagus. Apa itu karena senyum?”
Elen mengangguk.
“Ya. Semua karena aku
sekarang sudah menemukan senyum yang hilang dari bibirku dan
bibirmu,” canda Elen sambil tergelak. Yudhis ikut tersenyum.
“Kamu benar, Len.
Dengan senyum memang hidup lebih nikmat dan menyenangkan. Selain itu
banyak berkah yang datang. Iya kan?” Elen mengangguk kuat. Ya,
salah satu berkah yang kini dirasakannya adalah keakrabannya dengan
Yudhis yang semakin mengental. Melebihi batasan antara seorang atasan
dengan bawahan. Dan Elen mensyukurinya.
Tiba-tiba pintu
terkuak. Elen dan Yudhis serentak mengalihkan pandang ke sosok yang
muncul dari baliknya.
“Hallo..,
wah ada tamu rupanya. Sorry
honey,
aku kelamaan. Kantinnya ramai sih. Nih, bubur ayamnya.” Seorang
gadis cantik, dengan rambut blonde dan senyum sumringah melangkah
mendekati Yudhis. Mengecup ringan pipinya dan mengangsurkan tangannya
kemudian ke arah Elen.
“Oh
ya Len, ini dia salah satu berkah yang kumaksud. Seperti kamu kan,
full smile,” terang
Yudhis penuh senyum. Elen merasakan dirinya terbang. Senyum-senyum
yang bertebaran di depannya kini bahkan membuatnya merasa
terbelenggu. Dan senyumnyapun menguap seiring harapan yang tertanam
jauh di lubuk hati.
Bandung, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar