Pages

Kamis, 26 September 2013

SENYUM UNTUK ELEN


Oleh : R. Yulia

Dimuat mj LISA Jakarta, 4-11-2002 

Selangkah lagi sebelum memasuki areal parkir kantornya, Elen melirik arloji di pergelangan. Pukul sembilan lewat tujuh menit. Hh, ini sudah untuk yang ketiga kalinya dalam seminggu ini, batinnya. Dikibaskannya tangan untuk mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap di hati.
“Terlambat lagi ?” Perempuan cantik tiga puluhan, berambut ikal sebahu, sosok pertama yang berpapasan dengannya, menyambut dengan sapaan yang sama dengan kemarin dan kemarinnya lagi. Yosi, si pencatat absensi.
“Sorry..” Hanya kata itu yang terlontar dari bibirnya. Yosi menatap Elen sejurus. “No reason?” Elen menghela nafas berat. “Untuk apa? Toh aku sudah salah,” akunya pendek dan bergegas menuju ruangannya. Namun, belum jauh ia melangkah, Yosi kembali memanggil. Elen menggerakkan dagunya sebagai isyarat bertanya.
“Jangan lupa, rapat proyeksi setengah jam lagi!” seru gadis itu mengingatkan. Elen mengangguk dan secepatnya masuk ke ruangan. Ia harus segera menyiapkan progress report untuk rapat. Kalau tidak, Yudhis pasti akan mengomelinya di hadapan koordinator lain.
“Oke, saya sudah mendengar progress report kalian. Lumayan. Meskipun saya masih kecewa dengan hasil tersebut. Kalian terlalu santai! Seharusnya, untuk bulan ini kita dapat melampaui target dan meng-handle lebih dari empat case. Dengar, saya sangat menghargai kalau kalian dapat lebih serius dan mencurahkan perhatian sepenuhnya pada misi kita. Jadi bukan hanya asal memenuhi target!” Elen menatap white board yang dicoret-coret Yudhis dengan jemu. Pria gentle yang sedang berceramah panjang lebar itu kadang-kadang membuatnya bosan ke kantor. Ia terlalu ambisius dan budak kerja. Dan lebih parahnya, ia menginginkan seluruh staf di kantor ini berlaku seperti dirinya. Puhh!
“Elen! Apa proyeksi kamu untuk bulan depan? Sesuai program, kamu penuh dengan pembuatan newsletter, release dan campaign. Tapi saya ingin yang lain. Ada ide?” Elen tergagap. Ia merasa saat itu seluruh tatapan diarahkan kepadanya. Ya, ada dua belas pasang mata. Ditambah dengan hunjaman tajam milik Yudhis. Elen mencoba menatap Yudhis sesaat. Tapi otaknya terasa buntu.
“Sorry, aku…”
“Saya bukan ingin permintaan maaf. Coba fikirkan ide lain. Elen, kamu memegang posisi kunci untuk kesuksesan lembaga kita. Ingat, untuk ukuran Indonesia, lembaga kita merupakan salah satu LSM yang diperhitungkan donor. Kita punya komitmen dan prestasi. Saya nggak mau kamu mengabaikannya. Itu adalah peluang. Credit point yang kita miliki adalah jalan untuk meraih berbagai prestasi lain. Dan ingat, untuk semua itu kalian tidak pernah kerja dengan percuma kan? Nah Elen, teruskan..” Elen menyembunyikan cibirannya. Kadang ia merasa, Yudhis bukanlah seorang aktivis sejati. Ia hanya menjadikan seluruh aksinya sebagai batu loncatan untuk meraih prestasi dan posisi yang prestisius. Sangat pamrih dan bukan untuk rakyat semata!
“Aku sedang kosong. Mungkin yang lain bisa bantu aku untuk kali ini..,”sahut Elen menyerah.
“Agh..,” Yudhis mengibaskan tangannya dengan kesal.
“Saya ingin kalian lebih agresif lah. Jangan seperti ini terus. Kapan majunya? Okelah, Elen kamu mungkin bisa kerjasama dengan divisi anak. Pelajari tentang child abuse. Jalin kerjasama dengan lembaga dunia yang menangani hal tersebut. Menurut Karin, kita punya tiga kasus child abuse. Tindak lanjuti dengan campaign. Oke, saya rasa cukup untuk hari ini. Rapat mendatang, tolong perbaiki progress report kalian. Saya nggak mau hasil pas-pasan seperti sekarang.” Dan seperti robot, Yudhis keluar dari ruang rapat dengan langkahnya yang lebar-lebar. Dasar kuda besi, batin Elen. Sekarang ia baru merasakan adanya udara di ruangan ini. Mungkin juga dengan yang lainnya. Lihatlah, betapa cerianya wajah mereka. Ah Yudhis, kapan kami bisa melihatmu tersenyum? Elen menepuk kedua belah pipinya untuk memastikan bahwa harapan itu hanya sekedar mimpi.
“Len, dipanggil Yudhis tuh,” Kepala Yosi yang nongol sekejap dari balik pintu, menyampaikan amanat. Elen menarik nafas panjang. Ia meraba telinganya secara bergantian. Memastikan saja, bahwa kondisi keduanya cukup baik untuk mendengarkan ceramah panjang lebar Yudhis. Entahlah, Elen merasa Yudhis selalu menjadikannya sebagai bahan ceramah. Mencekoki otaknya dengan berbagai prospek ke depan, yang dianggapnya akan dapat menghantarkan Elen ke tangga kesuksesan. Bagi Yudhis segalanya mudah saja. Yang penting kerja ekstra keras. Tanpa kenal jam,siang atau malam. Dan hal inilah yang kerap membuatnya bertengkar dengan orangtuanya.
“Len, sebagai orangtua kami bangga kalau kamu sukses dan menjadi wanita karir yang berhasil. Tapi, kami juga nggak rela kalau melihatmu terlalu ngoyo seperti itu. Pulang tengah malam. Tidak tentu kapan makan dan istirahat. Lihat dirimu sekarang. Kurus dan pucat. Kamu bahkan nyaris kehilangan rasa humor. Kalau pulang bawaannya marah terus. Kerja apaan itu? Hidup itu harus seimbang. Jangan jadikan dirimu sebagai kuda pacu yang over dosis.” Bapak mengatakannya ketika Elen pulang ke Bandung seminggu yang lalu. Ya, saat itu ia merasa sangat lelah dan stress. Akibatnya, begitu sampai di rumah, bawaannya marah melulu. Semua jadi sasarannya, termasuk Ibu.
Kadang Elen merasa sangat bersalah pada diri sendiri. Benar kata Bapak, ia terlalu keras pada dirinya. Saat menimbang kemarin sore, bobotnya sudah turun lima kilo dari berat ideal yang selama ini dibanggakannya. Dan itu semua karena Yudhis. Ia terbawa dalam pola yang diinginkan Yudhis. Suka atau tidak suka. Ia bahkan lupa ke salon untuk creambath, facial dan luluran, seperti yang dulu kerap dilakoninya. Ia kehilangan seluruh privacy-nya dan juga.., Faizal! Elen mengibaskan tangannya untuk menghalau semua itu. Teramat menyakitkan.
“Ada apa, Dis?” Pria kurus tinggi dengan rambut ikal yang berdiri memunggungi Elen, berbalik.
“Kamu kenapa sih, Len? Ada masalah ? Pengen naik gaji atau butuh insentif lainnya?” serang Yudhis tanpa tedeng aling-aling.
“Maksudmu?” Elen belum mampu meraba ke arah mana pertanyaan itu sebenarnya ditujukan.
“Masih bertanya tentang maksud, hmm? Kamu itu pintar, Len. Bahkan menurutku, kalau saja kamu serius untuk mengasah talentamu, kamu adalah satu-satunya staf yang dapat kuharapkan untuk memimpin cabang lembaga kita kelak di Medan. Sayangnya,kamu terlalu childish. Cara kerjamu mengandalkan mood. Padahal, kamu tahu kan bahwa kita dituntut untuk patuh pada deadline. Pada kepentingan klien!” Sampai sejauh itu Yudhis menghentikan omongannya. Elen tak bersuara sama sekali. Dengan kesal ia menatap kertas kerja yang bertumpuk di meja Yudhis. Bibirnya sedikit membentuk kerucut, menyuarakan ketidaksenangannya atas kata-kata pria yang menatapnya dengan tajam. Tepat di depan wajah Elen!
“Aku tahu kamu sebenarnya adalah seorang pekerja keras. Namun fikiranmu sering dikendalikan oleh penilaian orang lain. Kamu terlalu perduli pada penampilan fisik dan perhatian orang terhadap hal tersebut. Akibatnya, kamu sering nggak nyaman kalau orang mengatakan bahwa rambutmu kusut atau wajahmu pucat. Ssh, tunggu! Aku belum selesai..,” Yudhis memberi isyarat lewat tangannya, mencegah Elen untuk memotong. Elen merasa kepalanya sudah begitu sumpek dengan kata-kata Yudhis. Ia sudah setengah bangkit dari duduknya. Sambil membenahi posisi jasnya, Yudhis memintanya untuk kembali duduk.
“Sorry kalau aku menyinggungmu. Aku mengatakan ini bukan apa-apa, sekedar ingin mengungkapkan tentang dirimu. Tentang betapa tidak percaya dirinya kamu,”
“Aku tidak perlu penilaianmu, Dis. Dan aku paling tidak suka kamu mengulitiku seperti ini!” sergah Elen dengan nada meninggi. Yudhis manggut-manggut.
“Tidak tahan kritik adalah salah satu sifat yang harus dibuang kalau ingin maju.
“OK. Len, dalam seminggu terakhir ini aku lihat kamu sering terlambat masuk. Kemudian beberapa surat yang harus kamu selesaikan untuk persiapan seminar belum juga kamu tuntaskan. Sementara progress report yang kamu buat jauh dari standar biasanya. Hanya sebatas pekerjaan setengah hati. Dan aku yakin pekerjaan itu pasti kamu lakukan dengan terrburu-buru. Benar kan? What’s wrong? Aku ingin penjelasan, sebelum segalanya kacau balau.” Elen mengeluh dalam hati. Kenapa sih Tuhan menciptakan makhluk sekaku ini, bisiknya.
“Kurasa tidak ada hal-hal yang harus dikhawatirkan, Dis. Lagipula, aku tidak pernah mengacaukan apapun. Jangan membesar-besarkan masalah…”
“Jangan berbohong padaku. Ayolah..Mungkin benar kalau aku terlalu keras padamu. Tapi kurasa kita bisa menjadi sahabat. Jujur saja, bagiku kamu adalah mitra kunci dalam lembaga ini. Jadi, kalau ada sesuatu yang mengganggumu, please..” Elen membuang pandangnya jauh menembus kaca jendela di belakang kursi yang diduduki Yudhis. Pria itu terlihat sengaja membiarkan Elen sekejap bermain dengan fikirannya. Dalam kondisi seperti itu, ia dapat menikmati lekuk wajah Elen. Ada sebersit rasa bersalah muncul di sudut hatinya.
“Sudah….” Elen seperti disadarkan oleh sebuah kelembutan. Ia nyaris tidak percaya. Dengan mulut ternganga ditatapnya pria di hadapannya. Yudhis-kah yang barusan melontarkan nada lembut itu. Sepasang alisnya seketika bertaut.
“Mungkin kamu segan curhat ke aku ya? Tapi tolong untuk sekali ini. Dan supaya kamu tahu, aku nggak akan biarkan kamu pergi sebelum kamu melepaskan semua bebanmu. Aku tahu, sumber masalahmu berhubungan denganku kan?” Masih dengan nada lembutnya, Yudhis menyalakan sebatang rokok yang sejak tadi tersemat di jarinya. Senyumnya mengembang sekilas. God, bisa juga ternyata makhluk ini tersenyum, batin Elen. Namun, cepat disingkirkannya persoalan senyum. Ada yang lebih penting, tantangan Yudhis!
“Kamu ingin tahu masalahku?!” tanya Elen sinis. Yudhis mengangguk. Elen mengumpulkan nafas sejenak. Dadanya terasa sesak. Ia sudah nekad untuk melakukannya.
“Masalahku itu adalah kamu! Kamu pembawa masalah bagi hidupku. Kamu telah merampas seluruh kehidupanku. Aku tidak lagi memiliki saat-saat yang menyenangkan dalam hidupku, selain kerja dan kerja. Kamu menjadikanku seperti robot! Kamu membuatku kehilangan segala yang pernah kunikmati sebagai keindahan hidup. Kamu membuatku kehilangan waktu untuk tersenyum dan menikmati senyum…” Elen merasa dirinya akan lepas kendali. Ia bahkan tak sanggup meneruskan seluruh uneg-uneg yang bersemayam di hatinya. Seluruh tubuhnya terasa sangat lemas. Dan itu semakin membuatnya kesal. Yudhis hanya membisu. Ia sudah dapat menebak apa yang akan dikatakan gadis yang ada di depannya itu. Apalagi kalau bukan seluruh pengaruh jelek dirinya dalam kehidupan Elen. Dan bukan hanya Elen yang merasakan, semua orang yang pernah dekat dengannya akan mengatakan hal yang sama. Termasuk…Tapi entahlah, ketika Elen yang mengatakannya, Yudhis bahkan ikut-ikutan menuding dirinya sebagai makhluk yang tidak berprikemanusiaan.
Ia membenarkan kata-kata Elen. Meskipun hanya di dalam hati. Ia telah membuat Elen kehilangan senyumnya sejak masuk ke kantor ini. Padahal, senyum itulah yang dulu membuatnya menerima Elen sebagai staf ahli di sini.
“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Yudhis akhirnya.
Elen mengangkat kepalanya.
“Aku ingin mengundurkan diri,” sahutnya lirih. Namun bagai petir di telinga Yudhis.
“Apa maksudmu, Len?! Tidak..tidak! Aku tidak akan membiarkan permintaan bodoh itu terlaksana. Katakanlah, apa yang dapat kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku..” tawarnya cepat-cepat.
“Aku bosan kerja di sini, Dis. Aku bosan. Semuanya begitu kaku. Tidak ada senyum di sini. Bahkan membuatku jadi ikut sulit tersenyum. Dan kau tahu.., semua membuat tubuh dan otakku kaku dan sakit. Aku tidak bisa bekerja di sini lebih lama, Dis. Kalau tidak, hidupku takkan berarti apa-apa..” papar Elen panjang lebar. Yudhis termangu.
“Separah itukah?” Elen mengangguk tegas.
Beberapa saat hening mencekam. Yudhis mengetukkan jarinya ke meja.
“Baiklah, aku akan coba memperbaikinya. Tapi, singkirkan soal pengunduran diri itu. Oh ya, kau boleh kerja dengan gayamu. Terserah. Hanya aku ingin hasil terbaik. Bagaimana?”
“Lantas, kau?” tuding Elen. Sepasang alis Yudhis bertaut.
“Apa maksudmu dengan aku?”
“Gayamu rasanya sudah layak untuk diganti. Aku bosan menghadapi bos yang terus menerus menekan dan berwajah serius..”
“Ah, Elen. Kau berlebihan sekali. Apakah aku sebegitu mengerikan?” Elen mengangguk. Yudhis menarik nafas panjang.
“Baiklah, aku coba…” janjinya mantap.
Elen melangkah bergegas di sepanjang koridor. Matanya sibuk mencari tanda-tanda yang disebutkan petugas tadi. Bau obat terasa menyengat hidung. Ah, ini dia ruangannya. Elen membatin di depan paviliun yang resik. Ia mengetuk perlahan.
“Masuk..” Sebuah suara lemah menyahut dari dalam. Elen mendorong pintu dan mendapati dirinya telah berada tepat di hadapan seorang pria muda yang terbaring lemah di ranjang. Pergerakan tangannya dibatasi oleh jarum infus yang menancap di punggung telapaknya.
“Dis, kenapa sih kamu nggak pernah bilang tentang penyakitmu?” tanya Elen lirih saat ia berada di sisi pria itu.
“Untuk apa?” tanyanya dengan senyum tipis.
“Lho, biar kami semua tahu dan mengingatkanmu untuk menjaga kondisi.”
“Masa sih? Aku bisa kok mengingatkan diriku sendiri.” Pria itu masih menyisakan kekeraskepalaannya. Elen benar-benar salut.
“Buktinya…” Cibir Elen. Maag akut telah mengantarkan sosok angkuh itu ke ranjang rumah sakit. Dan Elen benar-benar tak mengerti mengapa pria muda itu tak menganggap sakitnya berarti.
“Len, selama aku di sini, tolong kamu handle semua urusan kantor ya? Aku percaya padamu. Apalagi prestasimu belakangan semakin bagus. Apa itu karena senyum?”
Elen mengangguk.
“Ya. Semua karena aku sekarang sudah menemukan senyum yang hilang dari bibirku dan bibirmu,” canda Elen sambil tergelak. Yudhis ikut tersenyum.
“Kamu benar, Len. Dengan senyum memang hidup lebih nikmat dan menyenangkan. Selain itu banyak berkah yang datang. Iya kan?” Elen mengangguk kuat. Ya, salah satu berkah yang kini dirasakannya adalah keakrabannya dengan Yudhis yang semakin mengental. Melebihi batasan antara seorang atasan dengan bawahan. Dan Elen mensyukurinya.
Tiba-tiba pintu terkuak. Elen dan Yudhis serentak mengalihkan pandang ke sosok yang muncul dari baliknya.
“Hallo.., wah ada tamu rupanya. Sorry honey, aku kelamaan. Kantinnya ramai sih. Nih, bubur ayamnya.” Seorang gadis cantik, dengan rambut blonde dan senyum sumringah melangkah mendekati Yudhis. Mengecup ringan pipinya dan mengangsurkan tangannya kemudian ke arah Elen.
“Oh ya Len, ini dia salah satu berkah yang kumaksud. Seperti kamu kan, full smile,” terang Yudhis penuh senyum. Elen merasakan dirinya terbang. Senyum-senyum yang bertebaran di depannya kini bahkan membuatnya merasa terbelenggu. Dan senyumnyapun menguap seiring harapan yang tertanam jauh di lubuk hati.

Bandung, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar