Pages

Sabtu, 07 September 2013

JODOH


Oleh: R. Yulia
Tribun Jabar, 10062012 

"Berdirilah."
"Untuk apa?"
"Aku tak memintamu untuk bertanya. Berdirilah." Pintanya memaksa. Dia, perempuan berwajah rembulan. Bulat, sebulat-bulatnya
Meski enggan, aku menurut. Beranjak dari sofa lembut yang sejak tadi kubelai-belai.
"Berputar." Aku mendelik.
"Berputar." Kuputar tubuhku dengan malas-malasan.

"Baiklah, cukup. Aku sudah tahu apa yang dapat kau kerjakan." Aku mengernyitkan dahi, menatap pemilik tubuh tambun yang beranjak pergi meninggalkan ruangan. Gumpalan lemak di seputar perut dan pinggulnya, bergoyang-goyang mengikuti ayunan langkah yang tergesa.
Seiring bayangnya yang menghilang di balik pintu, aku kembali menghempaskan diri ke atas sofa empuk, yang dengan segera menelan tubuh kurusku. Aku merasa nyaman di ruang ini. "Kita pulang, Wik." Aku tersentak oleh sebuah tepukan lembut di bahu. Saat menoleh, kudapati perempuan separuh baya berwajah murung berdiri di samping sofa, menganggukkan kepala. Aku menatapnya, kecewa.
"Bukan jodohmu. Mungkin kita harus berkeliling ke tempat lain. Ayolah." Kali ini ia menarik tanganku. Tak punya pilihan, aku berdiri dan mengekori langkahnya yang gontai menuju pintu.
Kami keluar, pergi meninggalkan rumah yang membuat kepalaku sulit mengarah ke depan. Aku terus menoleh ke belakang, hingga batas kemampuan leher dapat menopang putaran kepala. "Sudahlah. Akan banyak rumah yang lebih indah dari itu, yang akan kau temukan nantinya." Suara perempuan yang berjalan di sisi kananku, mengendurkan tatapanku. Aku berpaling dan mendongak padanya. Ia tak terlalu tinggi, namun masih cukup menyulitkan untukku menatapnya tanpa mengangkat kepala.
"Mungkinkah di sana jodohku, Bulik?" Perempuan itu menoleh sekilas, tersenyum tipis dan mengangguk.
"Atau rumah presiden?" Tawanya mencelat singkat, meremehkan.
"Itu tak mungkin."
"Kenapa?" Buruku, penasaran.
"Takkan ada jodohmu di sana. Kau hanya akan menjadi tuba di istana.." Aku tercenung, kembali menoleh ke belakang. Sudah jauh. Rumah besar tadi hanya seumpama noktah saja, di balik rerimbun pohon yang menyita wajahnya. Toh, aku telah memaku bayangnya di ruang ingatan. Tak mungkin tertepis, pula terabai.
Aku dan Bulik tiba di rumah menjelang malam. Gulita menyergap saat pintu depan terkuak. Bulik melangkah duluan, menghidupkan lampu. Aku menyandar di daun pintu hingga benderang meluapi ruangan. Aku masuk dengan lesu. Tadinya kupikir, lantai semen yang retak dan rengkah di beberapa bagiannya ini, takkan kuinjak lagi. Bulik yang menegaskannya.
"Aku yakin langkahmu pagi ini adalah langkah keberuntungan, Wik." Kata Bulik sebelum kami pergi meninggalkan rumah.
"Kenapa, Bulik?" tanyaku bingung.
"Karena hari dan jam keluarmu hari ini telah kupaskan dengan hari dan jam keluarku saat mencari pekerjaan dulu. Juga yang dilakukan Ibumu." Sungguhkah? Itukah sebabnya ibu tak pernah kembali?
"Maka, rumah yang akan kita tuju nanti adalah rumah yang menjadi jodohmu. Yang akan mengikatmu, menjadi tempat pengabdian seumur hidup."
"Apakah rumahnya besar, Bulik?" Perempuan itu mengangguk kuat-kuat, membuatku sedikit cemas dengan daya elastis tulang lehernya.
"Sangat besar. Aku mencarikan tempat terbaik untukmu."
"Apakah Bulik juga akan tinggal di sana?" Perempuan itu menggeleng.
"Tidak. Bulik sudah memiliki jodoh sendiri. Berdoalah, semoga rumah itu mengenalimu." Aku terdiam. Sungguh-sungguh diam dengan mata memejam.
Aku tak pernah diajari bagaimana caranya berdoa. Hanya beberapa kali melihat orang berdoa. Tentunya tidak di rumah, karena bulik selalu pergi bekerja seharian dan kembali saat malam. Aku melihat mereka diam dan memejamkan mata dengan kedua tangan menadah ke atas. Sesekali ada juga yang berdoa dengan saling menangkupkan tangan dan menundukkan kepala. Aku tak tahu mana yang paling pas untuk kutiru. Sampai akhirnya kuputuskan hanya diam dan memejam. Aku merasakan hati yang berbicara, berbisik; meminta agar perjodohan yang diatur bulik terlaksana adanya.
Sayang, doaku terpinggirkan. Kukira ada banyak orang yang berdoa di hari dan waktu yang sama, sehingga doaku terkalahkan oleh doa lain yang lebih utama.
Aku merebahkan diri di dipan, menatap langit-langit setengah menerawang. Bayang rumah besar itu ada di sana, menari-nari. Juga sofa. Aku menggigit bibir, menahan airmata. Sofa itu, betapa aku sangat merindukannya. Ia memelukku, menerima tubuhku dengan hangat. Seperti ibu!
Kuubah posisi tidur, miring menghadap dinding. Saat mengerjap, buliran air menitik dari sudut mata, mengaliri pipi. Malam itu, aku tertidur menggenggam sekeping harap. Mungkin esok, akan kutemui rumah yang menjadi jodohku.
"Akan kemana kita hari ini, Bulik?" tanyaku sambil menatap Bulik yang menenteng sebuah tas coklat berukuran sedang. Bulik tersenyum. Ia menjawil pipiku.
"Kita akan ke tempat Ibumu."
Sontak hatiku bersorak. Girang. Bertemu ibu? Ah, sudah lama sekali aku tak melihatnya. Terakhir saat lebaran lalu. Ibu memukauku dalam setiap pertemuan. Karena selalu ada tambahan kecantikan di dirinya dari waktu ke waktu. Ibu seperti bidadari, dengan bibir merah, sepasang mata biru cemerlang dan rambut menjuntai pirang. Aku tak mengerti mengapa manik coklatnya berganti biru dan rambut hitamnya menjadi keemasan. Mungkinkah itu ulah para penyihir? Aku tak tahu, tapi ibu cantik seperti itu.
"Sekarang, Bulik?" tanyaku tak sabaran, menyeret sandal merah muda pudar yang sedikit kekecilan.
"Ya. Kau senang, bukan?" Aku mengangguk. Kugenggam tangan Bulik dan mengikuti ayunan tungkainya.
Langit rembang petang ketika aku dan Bulik tiba di sebuah rumah. Rumah besar yang kusam dan remang. Pekarangannya hanya dihuni rumput dan kerikil. Angin kemarau menyapa tak ramah, mengacaukan rambutku hingga beberapa helai acap menusuk mata.
"Tunggulah sebentar di sini, Wik. Bulik akan menemui ibumu." Bulik memberi isyarat untuk tak mengikuti langkahnya lagi. Aku ingin membantah, namun Bulik sudah bergegas ke dalam ruangan. Langkahku terhenti di ambang pintu, terpaku. Di depanku, sepasang manusia tengah tenggelam di pangkuan sofa. Mereka..., bibir keduanya saling berpagut dengan tangan-tangan saling membelai. Aku ingin pergi, atau setidaknya berpaling. Bulik tak ada di sana. Tapi kaki dan leherku kaku, tak bisa digerakkan sedikitpun. Bahkan mataku pun enggan untuk mencuri kedipan.
Lalu sebuah cekalan mencengkeram lenganku, menyeret tubuhku setengah paksa. Aku meringis kesakitan, mengerang dan mencoba memberontak.
"Sudah kubilang, jangan bawa dia ke sini!" Sebuah seruan kasar menyentak, seiring terbukanya cekalan. Aku mengusap rasa sakit di lengan sambil menatap dua sosok perempuan yang saling berhadapan di depanku. Bulik dan Ibu.
"Tapi, Mbak..."
"Kau....." Aku menghambur ke tubuh ibu, memeluknya erat, membungkam lanjutan kalimatnya.
Beberapa saat kemudian, tangan ibu membelai rambutku. Rasanya nyaman sekali. Aku mengendurkan pelukan, menatapnya. Ibu tersenyum, namun bukan senyum yang ranum. Sepasang matanya yang -ah, ia telah menggantinya menjadi hijau- murka, membuatku menggigil. Aku menunduk, menekuk kepalaku dalam-dalam.
Ibu berlutut di depanku. Kedua tangannya memegang bahuku hangat.
"Pulanglah dengan Bulik. Ibu harus bekerja dan rumah ini tak sesuai untukmu." Aku mengangkat wajah dan merasakan betapa sulitnya ibu menyibak kemarahan di matanya. Pandanganku tepat meraup wajahnya. Kurasakan letupan rindu yang menggelora. Aku tahu kemarahan ibu bukan untukku. Bulik membuang pandang.
"Bawa dia pulang. Dia akan menemukan rumah yang menjadi jodohnya. Bukan di sini. Ini rumah pembuangan. Rumah tanpa harapan. Kalau ia di sini bersamaku, maka jodohnya akan terhalang. Takkan ada yang mengenalinya." Kalimat itu terlontar begitu dingin, dengan roman membeku.
"Tapi aku tak mungkin membawanya, Mbak. Majikan baruku pasti keberatan. Lantas, kepada siapa ia kutitipkan? Ataukah..."
"Panti maksudmu?!" Sergahnya menyela. Bulik mengembuskan nafas, berat.
"Tak ada pilihan." Sahut Bulik dengan suara letih.
"Tidak. Pasti ada." Ibu bersikukuh.
"Aku tak mungkin menunggu lama, Mbak. Waktu yang diberikan majikanku hanya tinggal dua hari lagi."
"Coba saja. Aku dapat merasakannya. Akan ada tempat untuknya. Sekarang, bawa ia pulang. Aku sedang ada tamu." Ibu mengalihkan tatapannya padaku. Ia tersenyum dan mengelus pipiku. "Pulanglah, Wik. Ibu doakan yang terbaik untukmu." Ibu pergi setelah mengecup lembut pipiku. Ia tak menunggu jawabanku. Tubuhnya lenyap di balik pintu yang menghempas.
Aku menggoyang tangan bulik. "Ayo kita pulang, Bulik." Perempuan itu tak menjawab. Ia melangkah tanpa suara, meninggalkanku. Aku bergegas menyusul. Tak hendak aku berlama-lama di rumah ini. Rumah yang menelan manik mata ibu.
Dua hari berlalu, dengan waktu yang dihabiskan bulik kesana-kemari. Aku hanya bermain tanah seharian, tanpa teman. Kuresapi aroma pandan yang lembut, ketika sehelai daunnya yang kurenggut, menebarkan keharuman ke rongga hidung. Rasanya nyaman sekali.
Senja turun ketika Bulik menghampiriku tergesa. Nafasnya terengah.
"Wik..Wik!" Ia menyerukan namaku dari jauh. Aku menoleh, menunggu. Jarak kami tak lagi jauh.
"Wik..Wik!" Suara Bulik semakin dekat. Aku bergeming, hingga suara gaduh dari benda yang jatuh berdentam ke tanah meruyak. Aku terkesima. Tak jauh di depanku, Bulik tersungkur, tertelungkup. Ia mencoba mengangkat kepala, menatapku dengan wajah bersimbah lempung debuan.
"Wik, jodohmu di rumah besar kemarin. Mereka memintamu. Bukan jadi pembantu, tapi anak angkat." Ucapnya terbata, sembari mengibas sisa lempung di wajah.
Aku ternganga. Tak tahu harus berlaku apa. Pandan di tangan menguarkan keharuman, menjaring keluar bayang sofa yang terperangkap di kepala.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar