Tribun Jabar, 10062012
"Berdirilah."
"Untuk apa?"
"Aku tak memintamu untuk bertanya. Berdirilah." Pintanya
memaksa. Dia, perempuan berwajah rembulan. Bulat, sebulat-bulatnya
Meski enggan, aku menurut. Beranjak dari sofa lembut yang sejak tadi
kubelai-belai.
"Berputar." Aku mendelik.
"Berputar." Kuputar tubuhku dengan malas-malasan.
"Baiklah, cukup. Aku sudah tahu apa yang dapat kau kerjakan."
Aku mengernyitkan dahi, menatap pemilik tubuh tambun yang beranjak
pergi meninggalkan ruangan. Gumpalan lemak di seputar perut dan
pinggulnya, bergoyang-goyang mengikuti ayunan langkah yang tergesa.
Seiring bayangnya yang menghilang di balik pintu, aku kembali
menghempaskan diri ke atas sofa empuk, yang dengan segera menelan
tubuh kurusku. Aku merasa nyaman di ruang ini. "Kita pulang,
Wik." Aku tersentak oleh sebuah tepukan lembut di bahu. Saat
menoleh, kudapati perempuan separuh baya berwajah murung berdiri di
samping sofa, menganggukkan kepala. Aku menatapnya, kecewa.
"Bukan jodohmu. Mungkin kita harus berkeliling ke tempat lain.
Ayolah." Kali ini ia menarik tanganku. Tak punya pilihan, aku
berdiri dan mengekori langkahnya yang gontai menuju pintu.
Kami keluar, pergi meninggalkan rumah yang membuat kepalaku sulit
mengarah ke depan. Aku terus menoleh ke belakang, hingga batas
kemampuan leher dapat menopang putaran kepala. "Sudahlah. Akan
banyak rumah yang lebih indah dari itu, yang akan kau temukan
nantinya." Suara perempuan yang berjalan di sisi kananku,
mengendurkan tatapanku. Aku berpaling dan mendongak padanya. Ia tak
terlalu tinggi, namun masih cukup menyulitkan untukku menatapnya
tanpa mengangkat kepala.
"Mungkinkah di sana jodohku, Bulik?" Perempuan itu menoleh
sekilas, tersenyum tipis dan mengangguk.
"Atau rumah presiden?" Tawanya mencelat singkat,
meremehkan.
"Itu tak mungkin."
"Kenapa?" Buruku, penasaran.
"Takkan ada jodohmu di sana. Kau hanya akan menjadi tuba di
istana.." Aku tercenung, kembali menoleh ke belakang. Sudah
jauh. Rumah besar tadi hanya seumpama noktah saja, di balik rerimbun
pohon yang menyita wajahnya. Toh, aku telah memaku bayangnya di ruang
ingatan. Tak mungkin tertepis, pula terabai.
Aku dan Bulik tiba di rumah menjelang malam. Gulita menyergap saat
pintu depan terkuak. Bulik melangkah duluan, menghidupkan lampu. Aku
menyandar di daun pintu hingga benderang meluapi ruangan. Aku masuk
dengan lesu. Tadinya kupikir, lantai semen yang retak dan rengkah di
beberapa bagiannya ini, takkan kuinjak lagi. Bulik yang
menegaskannya.
"Aku yakin langkahmu pagi ini adalah langkah keberuntungan,
Wik." Kata Bulik sebelum kami pergi meninggalkan rumah.
"Kenapa, Bulik?" tanyaku bingung.
"Karena hari dan jam keluarmu hari ini telah kupaskan dengan
hari dan jam keluarku saat mencari pekerjaan dulu. Juga yang
dilakukan Ibumu." Sungguhkah? Itukah sebabnya ibu tak pernah
kembali?
"Maka, rumah yang akan kita tuju nanti adalah rumah yang
menjadi jodohmu. Yang akan mengikatmu, menjadi tempat pengabdian
seumur hidup."
"Apakah rumahnya besar, Bulik?" Perempuan itu mengangguk
kuat-kuat, membuatku sedikit cemas dengan daya elastis tulang
lehernya.
"Sangat besar. Aku mencarikan tempat terbaik untukmu."
"Apakah Bulik juga akan tinggal di sana?" Perempuan itu
menggeleng.
"Tidak. Bulik sudah memiliki jodoh sendiri. Berdoalah, semoga
rumah itu mengenalimu." Aku terdiam. Sungguh-sungguh diam dengan
mata memejam.
Aku tak pernah diajari bagaimana caranya berdoa. Hanya beberapa kali
melihat orang berdoa. Tentunya tidak di rumah, karena bulik selalu
pergi bekerja seharian dan kembali saat malam. Aku melihat mereka
diam dan memejamkan mata dengan kedua tangan menadah ke atas.
Sesekali ada juga yang berdoa dengan saling menangkupkan tangan dan
menundukkan kepala. Aku tak tahu mana yang paling pas untuk kutiru.
Sampai akhirnya kuputuskan hanya diam dan memejam. Aku merasakan hati
yang berbicara, berbisik; meminta agar perjodohan yang diatur bulik
terlaksana adanya.
Sayang, doaku terpinggirkan. Kukira ada banyak orang yang berdoa di
hari dan waktu yang sama, sehingga doaku terkalahkan oleh doa lain
yang lebih utama.
Aku merebahkan diri di dipan, menatap langit-langit setengah
menerawang. Bayang rumah besar itu ada di sana, menari-nari. Juga
sofa. Aku menggigit bibir, menahan airmata. Sofa itu, betapa aku
sangat merindukannya. Ia memelukku, menerima tubuhku dengan hangat.
Seperti ibu!
Kuubah posisi tidur, miring menghadap dinding. Saat mengerjap,
buliran air menitik dari sudut mata, mengaliri pipi. Malam itu, aku
tertidur menggenggam sekeping harap. Mungkin esok, akan kutemui rumah
yang menjadi jodohku.
"Akan kemana kita hari ini, Bulik?" tanyaku sambil menatap
Bulik yang menenteng sebuah tas coklat berukuran sedang. Bulik
tersenyum. Ia menjawil pipiku.
"Kita akan ke tempat Ibumu."
Sontak hatiku bersorak. Girang. Bertemu ibu? Ah, sudah lama sekali
aku tak melihatnya. Terakhir saat lebaran lalu. Ibu memukauku dalam
setiap pertemuan. Karena selalu ada tambahan kecantikan di dirinya
dari waktu ke waktu. Ibu seperti bidadari, dengan bibir merah,
sepasang mata biru cemerlang dan rambut menjuntai pirang. Aku tak
mengerti mengapa manik coklatnya berganti biru dan rambut hitamnya
menjadi keemasan. Mungkinkah itu ulah para penyihir? Aku tak tahu,
tapi ibu cantik seperti itu.
"Sekarang, Bulik?" tanyaku tak sabaran, menyeret sandal
merah muda pudar yang sedikit kekecilan.
"Ya. Kau senang, bukan?" Aku mengangguk. Kugenggam tangan
Bulik dan mengikuti ayunan tungkainya.
Langit rembang petang ketika aku dan Bulik tiba di sebuah rumah.
Rumah besar yang kusam dan remang. Pekarangannya hanya dihuni rumput
dan kerikil. Angin kemarau menyapa tak ramah, mengacaukan rambutku
hingga beberapa helai acap menusuk mata.
"Tunggulah sebentar di sini, Wik. Bulik akan menemui ibumu."
Bulik memberi isyarat untuk tak mengikuti langkahnya lagi. Aku ingin
membantah, namun Bulik sudah bergegas ke dalam ruangan. Langkahku
terhenti di ambang pintu, terpaku. Di depanku, sepasang manusia
tengah tenggelam di pangkuan sofa. Mereka..., bibir keduanya saling
berpagut dengan tangan-tangan saling membelai. Aku ingin pergi, atau
setidaknya berpaling. Bulik tak ada di sana. Tapi kaki dan leherku
kaku, tak bisa digerakkan sedikitpun. Bahkan mataku pun enggan untuk
mencuri kedipan.
Lalu sebuah cekalan mencengkeram lenganku, menyeret tubuhku setengah
paksa. Aku meringis kesakitan, mengerang dan mencoba memberontak.
"Sudah kubilang, jangan bawa dia ke sini!" Sebuah seruan
kasar menyentak, seiring terbukanya cekalan. Aku mengusap rasa sakit
di lengan sambil menatap dua sosok perempuan yang saling berhadapan
di depanku. Bulik dan Ibu.
"Tapi, Mbak..."
"Kau....." Aku menghambur ke tubuh ibu, memeluknya erat,
membungkam lanjutan kalimatnya.
Beberapa saat kemudian, tangan ibu membelai rambutku. Rasanya nyaman
sekali. Aku mengendurkan pelukan, menatapnya. Ibu tersenyum, namun
bukan senyum yang ranum. Sepasang matanya yang -ah, ia telah
menggantinya menjadi hijau- murka, membuatku menggigil. Aku menunduk,
menekuk kepalaku dalam-dalam.
Ibu berlutut di depanku. Kedua tangannya memegang bahuku hangat.
"Pulanglah dengan Bulik. Ibu harus bekerja dan rumah ini tak
sesuai untukmu." Aku mengangkat wajah dan merasakan betapa
sulitnya ibu menyibak kemarahan di matanya. Pandanganku tepat meraup
wajahnya. Kurasakan letupan rindu yang menggelora. Aku tahu kemarahan
ibu bukan untukku. Bulik membuang pandang.
"Bawa dia pulang. Dia akan menemukan rumah yang menjadi
jodohnya. Bukan di sini. Ini rumah pembuangan. Rumah tanpa harapan.
Kalau ia di sini bersamaku, maka jodohnya akan terhalang. Takkan ada
yang mengenalinya." Kalimat itu terlontar begitu dingin, dengan
roman membeku.
"Tapi aku tak mungkin membawanya, Mbak. Majikan baruku pasti
keberatan. Lantas, kepada siapa ia kutitipkan? Ataukah..."
"Panti maksudmu?!" Sergahnya menyela. Bulik mengembuskan
nafas, berat.
"Tak ada pilihan." Sahut Bulik dengan suara letih.
"Tidak. Pasti ada." Ibu bersikukuh.
"Aku tak mungkin menunggu lama, Mbak. Waktu yang diberikan
majikanku hanya tinggal dua hari lagi."
"Coba saja. Aku dapat merasakannya. Akan ada tempat untuknya.
Sekarang, bawa ia pulang. Aku sedang ada tamu." Ibu mengalihkan
tatapannya padaku. Ia tersenyum dan mengelus pipiku. "Pulanglah,
Wik. Ibu doakan yang terbaik untukmu." Ibu pergi setelah
mengecup lembut pipiku. Ia tak menunggu jawabanku. Tubuhnya lenyap di
balik pintu yang menghempas.
Aku menggoyang tangan bulik. "Ayo kita pulang, Bulik."
Perempuan itu tak menjawab. Ia melangkah tanpa suara, meninggalkanku.
Aku bergegas menyusul. Tak hendak aku berlama-lama di rumah ini.
Rumah yang menelan manik mata ibu.
Dua hari berlalu, dengan waktu yang dihabiskan bulik kesana-kemari.
Aku hanya bermain tanah seharian, tanpa teman. Kuresapi aroma pandan
yang lembut, ketika sehelai daunnya yang kurenggut, menebarkan
keharuman ke rongga hidung. Rasanya nyaman sekali.
Senja turun ketika Bulik menghampiriku tergesa. Nafasnya terengah.
"Wik..Wik!" Ia menyerukan namaku dari jauh. Aku menoleh,
menunggu. Jarak kami tak lagi jauh.
"Wik..Wik!" Suara Bulik semakin dekat. Aku bergeming,
hingga suara gaduh dari benda yang jatuh berdentam ke tanah meruyak.
Aku terkesima. Tak jauh di depanku, Bulik tersungkur, tertelungkup.
Ia mencoba mengangkat kepala, menatapku dengan wajah bersimbah
lempung debuan.
"Wik, jodohmu di rumah besar kemarin. Mereka memintamu. Bukan
jadi pembantu, tapi anak angkat." Ucapnya terbata, sembari
mengibas sisa lempung di wajah.
Aku ternganga. Tak tahu harus berlaku apa. Pandan di tangan
menguarkan keharuman, menjaring keluar bayang sofa yang terperangkap
di kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar