Jurnal Medan, 141011
Aku mabuk! Benakku dipenuhi jejalan bohlam ribuan
watt. Aneh. Mataku entah sawan atau tidak, malah sibuk
mengerjap-ngerjap, mengintai dalam gelap. Awan hitam erat merangkul
langit, menutup celah tempat dimana rembulan selalu menyelinap untuk
membagi cahayanya yang menjemukan.
Aku bahkan tak mampu meraba, pada sisi mana air
menjilati tiang penyangga jermal saat ini. Biasanya, saat-saat pasang
naik, air yang berayun liar, cepat menenggelamkan kakiku yang
berjuntai. Dan sesekali deburan ombak memercikkan beberapa buliran
asinnya ke wajah dan dadaku yang telanjang. Tapi tidak malam ini!
Semua begitu ganjil. Terkecuali bayangan yang kini bermain di pelupuk
mata.
Ia seperti sekumpulan kunang-kunang yang biasa diletakkan Sari,
adikku, pada botol bekas selai yang telah dibersihkan, namun masih
menyisakan aroma pandan. Bercahaya, meski bukan pada bokongnya. Tepat
memantul silau di manik mata. Ia membuatku tak ingin berkedip. Karena
seperti kata ibu, sesuatu yang berharga itu hanya muncul sekerjapan
dan ting…, menghilang pada kedip berikutnya.
Ia membuatku mabuk. Lebih mabuk dari malam-malam
sebelumnya. Malam dimana Pak Bos membawaku ke daratan yang dipenuhi
perempuan-perempuan dengan dempul beraneka warna di wajahnya. Merah
di bibir, biru hijau di mata, hitam di alis dan pinggiran mata,
oranye di pipi dan putih pucat di sekitarnya. Kupikir, mereka mencoba
menyembunyikan diri di balik tebal dempul-dempul itu. Diri yang
sekarat!
Perempuan-perempuan itu membuatku mabuk lewat bir
oplosan yang mereka tuangkan dan kutenggak dengan dahi berkerut dan
lidah meriang. Perempuan-perempuan itu juga membuatku semakin mabuk
dengan aroma sihir salah mantera yang menguar dari sekujur tubuh
lewat parfum murahan, deodorant spray, hand
body dan jejak sambal jengkol yang
menyapa di sela kalimat-kalimat invalid dari bibir mereka yang
senantiasa menganga.
Aku duduk menunggu Pak Bos di sepertiga malam
hingga kesemutan dan terlelap. Terjaga setengah sadar di keesokan
siangnya. Berjalan sempoyongan menuju dermaga bersama Pak Bos yang
sekujur dada dan lehernya dihiasi jejak kecil memerah. Mungkinkah
malam itu nyamuk-nyamuk menjadi lebih gila ketimbang biasanya? Ah,
tiba-tiba saja aku ingin lebih cepat dewasa agar dapat memahami apa
yang dilakukan Pak Bos di dalam bilik semalaman bersama nyamuk-nyamuk
gila. Tapi tidak tua. Aku benci menjadi tua! Bukankah tua sering
disamakan dengan sampah?
Aku lebih suka mabuk kali ini. Tak seperti mabuk laut yang kualami
saat pertama kali tiba di jermal bersama Pak Bos. Sungguh, ketika itu
aku sangat membenci laut! Laut membuatku muntah belasan kali dan
terkapar berhari-hari. Juga bukan mabuk kepayang seperti saat jatuh
cinta pertama dengan Rasti, kembang desa anak Pak Rama, yang
menamparku di lingkaran teman. Itu mabuknya anak ingusan.
Mabuk kali ini menghantarkan pikiranku bukan
hanya pada dirinya tapi juga pada beberapa orang lain. Mengingatnya,
sekaligus mengingatkanku pada Emak, Pak Bos dan daratan. Juga
sesekali pada Tuhan. Menatapnya, aku mendapatkan satu dua patahan
cerita yang hati-hati kurekatkan pada beberapa bagian skenario yang
tersusun rapi dalam kepala. Aku enggan memikirkan endingnya!
“Im! Ngapain pulaklah awak diam di sini?
Naikkan jaring tu!” Hardikan itu menyambar dari belakang telinga.
Sontak kutarik kaki.
“Malas kalilah awak sekarang?! Maunya kucari saja pengganti kau,
Im. Semakin sering kubawa ke daratan, makin bertingkah kerjamu. Pasti
betina saja yang kau pikirkan sekarang, kan?!.”
Lelaki bertelanjang dada yang kulewati barusan
menyemburkan omelannya. Meski gelap menyembunyikan rautnya, toh aku
dapat menebak seperti apa mimik kemarahannya. Gigi beradu dalam
gemeretak, dahi berlipat-lipat, mata nyaris mencelat dan pipi
menggembung seperti buntal. Tahun-tahun yang kurangkaki bersamanya
telah membuat semua ekspresi lelaki itu mengakar dalam kepala. Juga
ancaman-ancamannya. Seperti gurita dalam benak!
Aku berjalan mendekati beberapa lelaki sebaya yang sibuk mengangkat
jaring dan memutar tangkul. Omelan Pak Bos sayup-sayup hinggap di
telinga. Namun selebihnya lenyap tertelan deru genset yang meraung
parau tersendat-sendat.
Aku melongok ke kolong jermal yang terbuka.
Ratusan ekor teri dan beberapa jenis ikan lain, menggeliang-geliut di
dalam jaring, berusaha melepaskan diri. Dari sekap dan tindihan.
Dalam terpaan cahaya yang seadanya, aku menikmati polah-tingkah
mereka dan terhanyut pada beberapa ‘andai-andai’ yang tiba-tiba
mekar seperti kuntum mawar. Kurasa, semut pun dapat mendengar
bisik-bisik gaduh dalam kepalaku. Senyumku mengembang tipis.
Krraaakk..!
Aku tergeragap ketika tubuhku mendadak limbung
dan nyaris amblas ke kolong jermal. Kesadaranku terbang beberapa
detik, membungkam. Lantai kayu tempat kakiku bertumpu tadi, ternyata
telah menua dengan cepat. Tengahnya rengkah dan menjepit kakiku yang
terperosok sebatas dengkul. Uffgh.., kutahan sakit yang menyayat saat
mencoba mengangkat tubuh yang melesak, kembali ke atas.
Pahaku robek. Darah mengucur deras dari liang-liang yang baru
tercipta. Nyeri kuabaikan. Bukankah lelaki pemilik segala nyeri?
Mendadak sebuah ending hinggap di kepalaku. Paripurna sudah!
Pagi merambat dengan cepat ketika aku masih sibuk meneguk nyeri,
linu dan liur serta menjahit harapan-harapan di kepala. Lukaku telah
berbalut sobekan kain celana yang rerak. Tak banyak yang kukerjakan
sepanjang benderang siang. Aku sibuk menyimak, karena tiba-tiba saja
semakin banyak mulut yang berteriak di benak.
“Im, tak makan-makan kau? Sudah siang begini, tak sekalipun
kulihat kau mengunyah. Sakit?” Tora, anak lelaki yang usianya
terpaut lima tahun di bawahku, menjulangkan bayangannya tepat di
depanku. Memutus tarian ombak yang sejak tadi menjadi tumpu
pandangan. Aku menengadah menatapnya, lalu menggeleng perlahan.
“Kalau tidak, ya makan lah. Mau sakit?”
tukasnya.
Dungu!
Rutukku dalam hati. Memangnya aku
pesakitan yang doyan sakit untuk mengulur persidangan?
“Ya,” jawabku sedikit enggan. Disertai sebuah anggukan kecil.
Ternyata itu cukup untuk mengusirnya dari hadapanku.
Hidup di jermal sebenarnya tak pernah membuatku benar-benar jenuh.
Meski hari-hariku selama beberapa tahun terakhir ini hanya berputar
pada urusan ikan dan kerja sepanjang waktu, toh aku masih memiliki
sedikit hiburan. Beberapa lelaki sebaya yang juga bekerja di jermal
Pak Bos adalah para lelaki pelarian yang bermulut besar. Mereka
membual sepanjang hari tentang masa lalu dan masa depan. Tentang
keinginan-keinginan yang tak kesampaian. Tentang perempuan-perempuan.
Juga tentang uang! Yang terakhir ini lebih berupa keluhan. Karena
jermal bukanlah gudang uang. Sekeras apapun kami bekerja, upah tak
pernah bertambah. Dan bertumbuh suburlah beberapa ‘andai-andai’
dari mulut-mulut mereka. Andai menjadi orang kaya, andai menang
undian satu miliar, andai punya rumah mewah.. Ahh, memintal
andai-andai memang memabukkan!
Pak Bos bukan pemilik jermal. Ia hanya mandor. Aku, bahkan seluruh
pekerja di jermal ini, tak pernah mengenal pemilik jermal. Ia hanya
berhubungan dengan Pak Bos. Adapun Pak Bos, tak seorang pun pekerja
jermal yang luput melewatkan malamnya tanpa Pak Bos.
Aku tak pernah merasakan rindu. Pada Emak, Bapak, teman-teman,
rumah, kampung dan semua hal yang pernah kunikmati sebelum ini. Tak
sekalipun. Namun, sejak bayangan itu menari-nari di pelupuk mata,
untuk pertama kali aku merasakan luapan rindu. Aku merindukannya,
sekaligus merindukan yang lain. Dan untuk pertama kali, campur-aduk
perasaan menggeliat penuh birahi di sekujur belulang.
Dia, bukan perempuan secantik bidadari. Sungguh. Aku bahkan tak
mampu menyebutkan bagian mana dari tubuhnya yang menarik. Dia bukan
mahadewi. Sungguh! Ia perempuan. Hanya seorang perempuan, dengan bius
di matanya.
Seperti kemarin, malam ini bulan juga enggan berbagi. Malam menjadi
lebih hitam dari sebelumnya. Aku mematung di sisi tangkul, mengamati
papan rapuh yang menjungkit di setombak jarak. Itu tempatku
terperosok kemarin. Mungkinkah malam ini akan ada yang terperosok
lagi? Aku enggan mengemas dugaan.
“Im!” Teriakan itu singgah di telinga. Pak Bos.
“Iiimm..!!”
Tiga bentakan berbalut amarah menyusul kemudian. Aku bergeming dalam
gelap Bahkan bayangan pun enggan melekatiku. Aku menghitung-hitung.
Lantai papan berderit-derit. Langkah-langkah mendekat. Aku memantik
dengan gelisah. Sepertinya aku memang harus terus menghitung.
“Iiiiiiimmmmm!!”
Meski telah bersiap-siap, tak urung aku terkesiap. Teriakan terakhir
adalah sebuah lolongan panjang berisi keterkejutan dan ketaksiapan.
Pemantik api di tanganku menari gelisah dalam genggaman. Aku kembali
berhitung. Sekarangkah saatnya? Sekejap ragu menyergap.
“Iiiiiimmmm!! Toloooonng!!” Seruan parau itu mungkin hanya aku
yang mendengar. Deru genset memangkas gelombang suaranya ke para
lelaki muda di depan sana.
Aku dapat membayangkan kondisi lelaki itu di
bawah sana. Paha robek, darah mengucur, tubuh tergantung dan mulut
yang terus melolong.. Kusangsikan lelaki itu dapat menarik tubuhnya
sendiri. Bukankah ia mulai tambun?
Aku berdiri di tepi jermal. Masih tetap
menghitung-hitung penuh ragu. Sebuah tanya hinggap, haruskah
kuhampiri saja lelaki itu, menariknya, membebat lukanya bahkan
mencium dahinya seraya mengucapkan salam perpisahan? Uh, picisan!
Hatiku lugas mengutarakan keengganan. Bisik-bisik semakin gaduh di
dalam benak.
Ini hitungan
terakhir, batinku. Aku memastikan,
semua harus berjalan seperti skenario yang telah kurangkai.
Aku dapat mendengar desah gelombang meski
segalanya menghitam. Pekat. Tanpa aba-aba, sebuah dorongan tak
terlihat membawa tubuhku melayang. Disambut air yang muncrat
berkecipak. Suara-suara di kepala semakin berisik. Aku kuyup dengan
sebuah bayangan yang masih menggantungi mata.
Jermal di kejauhan, samar. Hanya bayang-bayang
hitam dengan genset yang menderu-deru. Kukira, seorang lelaki masih
sibuk sendiri di atas jaring. Berusaha menahan sakit dan menarik
tubuhnya. Aku menarik nafas panjang. Mungkin
ia harus menunggu. Senyumku mengembang
perlahan. Sekaranglah saatnya aku akan
menemuinya. Perempuan bermata senja.
Aku tertawa mengingat kata-kata Pak Bos yang memergoki ketika mataku
terperangkap di wajahnya.
“Jangan
macam-macam kau, Im. Kucincang kau kalau berani
mengganggunya!”sergahnya dengan wajah sepanas bara.
Aku terus tertawa. Bagaimana
mungkin ia akan mencincangku kini? Aku
terkekeh dan mulai menghitung-hitung, berapa jam daratan dapat
kucapai? Gelap menyembunyikan garis pantai. Juga menyembunyikan
sebuah gelombang besar yang menerjang dan menggulungku. Melipat-lipat
kesadaranku. Sepertinya.., aku mabuk! Mulut-mulut dalam kepala sontak
gagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar