Pages

Sabtu, 07 September 2013

SUARA-SUARA DALAM KEPALA





Oleh; R. Yulia
Jurnal Medan, 141011
  

Aku mabuk! Benakku dipenuhi jejalan bohlam ribuan watt. Aneh. Mataku entah sawan atau tidak, malah sibuk mengerjap-ngerjap, mengintai dalam gelap. Awan hitam erat merangkul langit, menutup celah tempat dimana rembulan selalu menyelinap untuk membagi cahayanya yang menjemukan.

Aku bahkan tak mampu meraba, pada sisi mana air menjilati tiang penyangga jermal saat ini. Biasanya, saat-saat pasang naik, air yang berayun liar, cepat menenggelamkan kakiku yang berjuntai. Dan sesekali deburan ombak memercikkan beberapa buliran asinnya ke wajah dan dadaku yang telanjang. Tapi tidak malam ini! Semua begitu ganjil. Terkecuali bayangan yang kini bermain di pelupuk mata.

Ia seperti sekumpulan kunang-kunang yang biasa diletakkan Sari, adikku, pada botol bekas selai yang telah dibersihkan, namun masih menyisakan aroma pandan. Bercahaya, meski bukan pada bokongnya. Tepat memantul silau di manik mata. Ia membuatku tak ingin berkedip. Karena seperti kata ibu, sesuatu yang berharga itu hanya muncul sekerjapan dan ting…, menghilang pada kedip berikutnya.

Ia membuatku mabuk. Lebih mabuk dari malam-malam sebelumnya. Malam dimana Pak Bos membawaku ke daratan yang dipenuhi perempuan-perempuan dengan dempul beraneka warna di wajahnya. Merah di bibir, biru hijau di mata, hitam di alis dan pinggiran mata, oranye di pipi dan putih pucat di sekitarnya. Kupikir, mereka mencoba menyembunyikan diri di balik tebal dempul-dempul itu. Diri yang sekarat!

Perempuan-perempuan itu membuatku mabuk lewat bir oplosan yang mereka tuangkan dan kutenggak dengan dahi berkerut dan lidah meriang. Perempuan-perempuan itu juga membuatku semakin mabuk dengan aroma sihir salah mantera yang menguar dari sekujur tubuh lewat parfum murahan, deodorant spray, hand body dan jejak sambal jengkol yang menyapa di sela kalimat-kalimat invalid dari bibir mereka yang senantiasa menganga.

Aku duduk menunggu Pak Bos di sepertiga malam hingga kesemutan dan terlelap. Terjaga setengah sadar di keesokan siangnya. Berjalan sempoyongan menuju dermaga bersama Pak Bos yang sekujur dada dan lehernya dihiasi jejak kecil memerah. Mungkinkah malam itu nyamuk-nyamuk menjadi lebih gila ketimbang biasanya? Ah, tiba-tiba saja aku ingin lebih cepat dewasa agar dapat memahami apa yang dilakukan Pak Bos di dalam bilik semalaman bersama nyamuk-nyamuk gila. Tapi tidak tua. Aku benci menjadi tua! Bukankah tua sering disamakan dengan sampah?

Aku lebih suka mabuk kali ini. Tak seperti mabuk laut yang kualami saat pertama kali tiba di jermal bersama Pak Bos. Sungguh, ketika itu aku sangat membenci laut! Laut membuatku muntah belasan kali dan terkapar berhari-hari. Juga bukan mabuk kepayang seperti saat jatuh cinta pertama dengan Rasti, kembang desa anak Pak Rama, yang menamparku di lingkaran teman. Itu mabuknya anak ingusan.

Mabuk kali ini menghantarkan pikiranku bukan hanya pada dirinya tapi juga pada beberapa orang lain. Mengingatnya, sekaligus mengingatkanku pada Emak, Pak Bos dan daratan. Juga sesekali pada Tuhan. Menatapnya, aku mendapatkan satu dua patahan cerita yang hati-hati kurekatkan pada beberapa bagian skenario yang tersusun rapi dalam kepala. Aku enggan memikirkan endingnya!

“Im! Ngapain pulaklah awak diam di sini? Naikkan jaring tu!” Hardikan itu menyambar dari belakang telinga. Sontak kutarik kaki.

“Malas kalilah awak sekarang?! Maunya kucari saja pengganti kau, Im. Semakin sering kubawa ke daratan, makin bertingkah kerjamu. Pasti betina saja yang kau pikirkan sekarang, kan?!.”

Lelaki bertelanjang dada yang kulewati barusan menyemburkan omelannya. Meski gelap menyembunyikan rautnya, toh aku dapat menebak seperti apa mimik kemarahannya. Gigi beradu dalam gemeretak, dahi berlipat-lipat, mata nyaris mencelat dan pipi menggembung seperti buntal. Tahun-tahun yang kurangkaki bersamanya telah membuat semua ekspresi lelaki itu mengakar dalam kepala. Juga ancaman-ancamannya. Seperti gurita dalam benak!

Aku berjalan mendekati beberapa lelaki sebaya yang sibuk mengangkat jaring dan memutar tangkul. Omelan Pak Bos sayup-sayup hinggap di telinga. Namun selebihnya lenyap tertelan deru genset yang meraung parau tersendat-sendat.

Aku melongok ke kolong jermal yang terbuka. Ratusan ekor teri dan beberapa jenis ikan lain, menggeliang-geliut di dalam jaring, berusaha melepaskan diri. Dari sekap dan tindihan. Dalam terpaan cahaya yang seadanya, aku menikmati polah-tingkah mereka dan terhanyut pada beberapa ‘andai-andai’ yang tiba-tiba mekar seperti kuntum mawar. Kurasa, semut pun dapat mendengar bisik-bisik gaduh dalam kepalaku. Senyumku mengembang tipis.

Krraaakk..!

Aku tergeragap ketika tubuhku mendadak limbung dan nyaris amblas ke kolong jermal. Kesadaranku terbang beberapa detik, membungkam. Lantai kayu tempat kakiku bertumpu tadi, ternyata telah menua dengan cepat. Tengahnya rengkah dan menjepit kakiku yang terperosok sebatas dengkul. Uffgh.., kutahan sakit yang menyayat saat mencoba mengangkat tubuh yang melesak, kembali ke atas.

Pahaku robek. Darah mengucur deras dari liang-liang yang baru tercipta. Nyeri kuabaikan. Bukankah lelaki pemilik segala nyeri? Mendadak sebuah ending hinggap di kepalaku. Paripurna sudah!

Pagi merambat dengan cepat ketika aku masih sibuk meneguk nyeri, linu dan liur serta menjahit harapan-harapan di kepala. Lukaku telah berbalut sobekan kain celana yang rerak. Tak banyak yang kukerjakan sepanjang benderang siang. Aku sibuk menyimak, karena tiba-tiba saja semakin banyak mulut yang berteriak di benak.

“Im, tak makan-makan kau? Sudah siang begini, tak sekalipun kulihat kau mengunyah. Sakit?” Tora, anak lelaki yang usianya terpaut lima tahun di bawahku, menjulangkan bayangannya tepat di depanku. Memutus tarian ombak yang sejak tadi menjadi tumpu pandangan. Aku menengadah menatapnya, lalu menggeleng perlahan.

“Kalau tidak, ya makan lah. Mau sakit?” tukasnya.

Dungu! Rutukku dalam hati. Memangnya aku pesakitan yang doyan sakit untuk mengulur persidangan?

“Ya,” jawabku sedikit enggan. Disertai sebuah anggukan kecil. Ternyata itu cukup untuk mengusirnya dari hadapanku.

Hidup di jermal sebenarnya tak pernah membuatku benar-benar jenuh. Meski hari-hariku selama beberapa tahun terakhir ini hanya berputar pada urusan ikan dan kerja sepanjang waktu, toh aku masih memiliki sedikit hiburan. Beberapa lelaki sebaya yang juga bekerja di jermal Pak Bos adalah para lelaki pelarian yang bermulut besar. Mereka membual sepanjang hari tentang masa lalu dan masa depan. Tentang keinginan-keinginan yang tak kesampaian. Tentang perempuan-perempuan. Juga tentang uang! Yang terakhir ini lebih berupa keluhan. Karena jermal bukanlah gudang uang. Sekeras apapun kami bekerja, upah tak pernah bertambah. Dan bertumbuh suburlah beberapa ‘andai-andai’ dari mulut-mulut mereka. Andai menjadi orang kaya, andai menang undian satu miliar, andai punya rumah mewah.. Ahh, memintal andai-andai memang memabukkan!

Pak Bos bukan pemilik jermal. Ia hanya mandor. Aku, bahkan seluruh pekerja di jermal ini, tak pernah mengenal pemilik jermal. Ia hanya berhubungan dengan Pak Bos. Adapun Pak Bos, tak seorang pun pekerja jermal yang luput melewatkan malamnya tanpa Pak Bos.

Aku tak pernah merasakan rindu. Pada Emak, Bapak, teman-teman, rumah, kampung dan semua hal yang pernah kunikmati sebelum ini. Tak sekalipun. Namun, sejak bayangan itu menari-nari di pelupuk mata, untuk pertama kali aku merasakan luapan rindu. Aku merindukannya, sekaligus merindukan yang lain. Dan untuk pertama kali, campur-aduk perasaan menggeliat penuh birahi di sekujur belulang.

Dia, bukan perempuan secantik bidadari. Sungguh. Aku bahkan tak mampu menyebutkan bagian mana dari tubuhnya yang menarik. Dia bukan mahadewi. Sungguh! Ia perempuan. Hanya seorang perempuan, dengan bius di matanya.

Seperti kemarin, malam ini bulan juga enggan berbagi. Malam menjadi lebih hitam dari sebelumnya. Aku mematung di sisi tangkul, mengamati papan rapuh yang menjungkit di setombak jarak. Itu tempatku terperosok kemarin. Mungkinkah malam ini akan ada yang terperosok lagi? Aku enggan mengemas dugaan.

“Im!” Teriakan itu singgah di telinga. Pak Bos.

“Iiimm..!!”

Tiga bentakan berbalut amarah menyusul kemudian. Aku bergeming dalam gelap Bahkan bayangan pun enggan melekatiku. Aku menghitung-hitung. Lantai papan berderit-derit. Langkah-langkah mendekat. Aku memantik dengan gelisah. Sepertinya aku memang harus terus menghitung.

“Iiiiiiimmmmm!!”

Meski telah bersiap-siap, tak urung aku terkesiap. Teriakan terakhir adalah sebuah lolongan panjang berisi keterkejutan dan ketaksiapan. Pemantik api di tanganku menari gelisah dalam genggaman. Aku kembali berhitung. Sekarangkah saatnya? Sekejap ragu menyergap.

“Iiiiiimmmm!! Toloooonng!!” Seruan parau itu mungkin hanya aku yang mendengar. Deru genset memangkas gelombang suaranya ke para lelaki muda di depan sana.

Aku dapat membayangkan kondisi lelaki itu di bawah sana. Paha robek, darah mengucur, tubuh tergantung dan mulut yang terus melolong.. Kusangsikan lelaki itu dapat menarik tubuhnya sendiri. Bukankah ia mulai tambun?

Aku berdiri di tepi jermal. Masih tetap menghitung-hitung penuh ragu. Sebuah tanya hinggap, haruskah kuhampiri saja lelaki itu, menariknya, membebat lukanya bahkan mencium dahinya seraya mengucapkan salam perpisahan? Uh, picisan! Hatiku lugas mengutarakan keengganan. Bisik-bisik semakin gaduh di dalam benak.

Ini hitungan terakhir, batinku. Aku memastikan, semua harus berjalan seperti skenario yang telah kurangkai.

Aku dapat mendengar desah gelombang meski segalanya menghitam. Pekat. Tanpa aba-aba, sebuah dorongan tak terlihat membawa tubuhku melayang. Disambut air yang muncrat berkecipak. Suara-suara di kepala semakin berisik. Aku kuyup dengan sebuah bayangan yang masih menggantungi mata.

Jermal di kejauhan, samar. Hanya bayang-bayang hitam dengan genset yang menderu-deru. Kukira, seorang lelaki masih sibuk sendiri di atas jaring. Berusaha menahan sakit dan menarik tubuhnya. Aku menarik nafas panjang. Mungkin ia harus menunggu. Senyumku mengembang perlahan. Sekaranglah saatnya aku akan menemuinya. Perempuan bermata senja.

Aku tertawa mengingat kata-kata Pak Bos yang memergoki ketika mataku terperangkap di wajahnya.

“Jangan macam-macam kau, Im. Kucincang kau kalau berani mengganggunya!”sergahnya dengan wajah sepanas bara.

Aku terus tertawa. Bagaimana mungkin ia akan mencincangku kini? Aku terkekeh dan mulai menghitung-hitung, berapa jam daratan dapat kucapai? Gelap menyembunyikan garis pantai. Juga menyembunyikan sebuah gelombang besar yang menerjang dan menggulungku. Melipat-lipat kesadaranku. Sepertinya.., aku mabuk! Mulut-mulut dalam kepala sontak gagu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar