Pages

Sabtu, 07 September 2013

MENUNGGU OMBAK


Oleh; R.Yulia
Padang Ekspres, 07022011 

Andini membuka mata dengan berat. Perih yang menggigit dari lebam di lingkaran mata, menginginkan pejaman yang menentramkan. Susah-payah ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan semburat matahari yang menerobos dari kisi-kisi jendela. Hanya sedikit cahaya. Selebihnya gulita.
Andini mencoba bangkit. Melawan rasa sakit. Kalau saja ada yang menanyakan kepadanya, dimana sakit itu terasa, niscaya takkan pernah ada jawaban. Bagi Andini, diam adalah harga yang harus dibayarnya untuk kehidupan. Ia sudah terlanjur membiasakan diri untuk selalu begitu. Diam. Meskipun setiap inci tubuhnya mampu menyuarakan ratusan kisah yang akan menghamburkan seluruh persediaan airmata di dunia, toh ia tetap diam. Tak ada yang mampu mengubahnya. Seorang pun tidak!

Laut lepas, laut mendebur. Gemuruh gulungan ombak adalah nyanyian sepanjang waktu yang mengisi hidup Andini. Ia melangkah tertatih di sepanjang garis pantai. Tangannya menjinjing keranjang rotan yang dasarnya berlumur pasir. Beberapa anyamannya mencuat keluar. Mengancam. Keranjang itu menua dengan cepat. Seperti dirinya. Bukannya Andini alpa tentang bagaimana rupanya yang kemilau di masa lalu. Bukan pula ia kini buta ketika meraba pantulan cermin di remang senja. Sedikitpun tidak! Tapi, ia bisa apa? Selain diam dan mengamati ubannya tumbuh lebih cepat dari menjulurnya kecambah di tumpukan kacang hijau basah?
Andini mempercepat langkahnya. Ia mengejar matahari yang beringsut perlahan-lahan. Di kejauhan ia melihat dermaga mulai lengang. Ah, pasti hanya sedikit ikan yang tersisa, keluhnya. Toh, langkahnya tetap. Meski terseok dalam bebukitan pasir yang coba memerangkap. Ngilu.
“Masih ada, Bang?”
Lelaki bertopi hitam pudar di hadapan Andini mengangkat wajahnya dari tumpukan tipis rajungan. Wajah itu basah dan berkilau oleh keringat dan jilatan surya.
“Andini, kenapa kesiangan? Hanya rajungan dan udang pasir yang tersisa. Ikan sudah diambil borongan. Selebihnya diambil Mak Idah.” Lelaki itu menunjuk dua jenis binatang laut yang menumpuk di dekat kakinya. Andini menarik nafas panjang. Bagaimana mungkin ia memilih salah satu dari dua pilihan itu? Sama mahalnya. Selembar lima ribuan lusuh digenggamannya takkan cukup menjadi penebus. Andini membalikkan badan setelah menggelengkan kepala dan tersenyum samar. Ia menyeret kembali langkahnya.
“Andini…, tunggu!” Seruan itu seketika menghentikannya. Andini menoleh. Lelaki berjarak dua tombak di belakangnya melambai. Tak menunggu Andini datang atau bertanya, bergegas ia memasukkan beberapa rajungan dan udang ke dalam kantung plastik hitam. Lalu berlari menghampiri Andini. Tangannya mengangsurkan kantung plastik di tangan. Andini bimbang.
“Bawalah. Hanya sedikit..” Andini mematung.
Tak sabaran, lelaki itu meraih tangan Andini dan menyelipkan kantung plastik ke pergelangannya. Sekejap ia terpukau oleh jejak membiru di permukaan kulit. Namun Andini cepat-cepat menarik tangannya. Kantung plastik berisi rajungan dan udang telah menggantung di sana. Andini berusaha mengeluarkannya. Tapi lelaki itu cepat mencegah.
“Bawalah. Tak perlu sungkan. Bang Hadi tak melaut. Kamu membutuhkannya untuk makan kalian hari ini.” Andini menunduk dalam-dalam. Tak membiarkan lelaki di depannya merekam seluruh jejak murka di wajah dan kulitnya yang terbuka.
“Terima kasih, Bang,” ucapnya lirih. Lelaki itu mengangguk. Ia membiarkan Andini meneruskan langkahnya. Karena ia tak punya persediaan kata untuk menahannya lebih lama. Ia hanya mampu memandang sosok yang terseok menjauh.
Andini mengerjap-ngerjap di sela suap, mencoba membuang perih di matanya. Entah kenapa airmata tak sudi berakhir begitu saja. Seiring kerjapnya, bulir bening terus mengalir. Mengawal kalimat yang menari-nari di benak. Suapannya tersendat-sendat diapit sesal.
Andini sangat mengerti, apa yang dihadapinya dalam seratus delapan puluh lima hari ini adalah pilihan yang dianggukkannya dengan wajah berseri dan senyum semanis gulali. Sungguh bodoh menampik tawaran seorang lelaki bernama Hadi, untuk mengarungi bahtera hidup bersama. Siapa tak mengenalnya? Anak orang terkaya kedua di desa nelayan yang miskin ini. Tak hanya Andini. Bapak, Ibu, sanak-keluarga dan orang sekampung turut bersuka-cita. Pasangan sepadan. Yang satu rupawan dan seorang lainnya anak hartawan terpandang.
Tapi pernikahan layaknya tebu yang kehilangan manis setelah dihisap tujuh malam tanpa jeda. Yang tertinggal hanya sepah. Hanya sepah! Dan sepah itu nasibnya tak lebih baik dari sampah. Sayangnya ia tak dibuang. Ia masih dibutuhkan untuk pengasah geligi yang menghunjamkan gigitan kasar dan liar. Ia juga masih ditenggak oleh dahaga yang serakah. Tandas. Berikutnya yang tersisa hanyalah sisa-sisa kemarahan, kebuasan dan kelelahan.
Hadi selepas tujuh hari adalah Hadi yang sejatinya harus Andini kenali sejak dini. Hadi yang dipinggirkan keluarga karena ulahnya yang mencoreng nama besar orang tua. Dan Hadi yang hanya mencintainya seperti laut. Ya, seperti laut. Yang kerap menggulungnya dalam ombak besar-besar, menghempaskannya ke pantai dan kemudian melumatnya hingga dasar palung yang kelam, penuh tekanan. Tanpa gelembung udara.
Andini sungguh tak mengerti. Mengapa selama seratus delapan puluh lima hari ini ia mampu terus bertahan menghadapi segala kesakitan dan perampasan haknya sebagai manusia? Sungguhkah ini semua dijalaninya dengan sadar? Tidakkah jerat hutang keluarganya pada mertua yang membuatnya tak tahu hendak kemana? Andini menyimpan rapat hasrat perlawanannya. Ia tak berani melangkah. Meskipun setiap pagi ia melihat matahari yang sumringah, tetap saja senyumnya terkubur.
“Wah, enak betul?!”
Andini terperanjat. Piring di tangannya terlepas. Menghempas di lantai dan menyerpih dalam sekedipan mata. Tangannya gemetar. Cepat ia sembunyikan di balik punggung. Suara itu membendung setengah dari kesadarannya.
“Sudah pulang, Bang?” sapanya takut-takut.
“Tak kau lihat rupanya?! Darimana kau dapatkan udang dan rajungan?!” Lelaki itu mendekat, setelah sekilas melirik hidangan di meja makan. Andini mengukur-ukur bencana. Dan sebuah renggutan kasar di rambutnya, membuat Andini memekik kecil.
“Rupanya Adenan masih mendekatimu, ya?!” Kalimat itu dibisikkan dekat ke gendang telinganya. Berdesis tajam, menyakitkan. Andini menggeleng dengan urat leher menegang. Renggutan di rambutnya mengendur. Lepas.
Hadi berjongkok di depan perempuan itu. Ia menggamit kasar dagunya. Andini memejamkan mata. Air telah berkecipak-kecipak lama di sana. Tidak, ia harus menahan tangis. Karena setetes yang melenggang akan menerbitkan bencana susulan untuknya. Bukankah saat ini lelaki di depannya yang punya kuasa?
Perlahan ia merasakan beberapa jari kasar membelai pipinya. Tapi Andini tak ingin membangkitkan kembali mimpinya. Ini bukan sungguhan. Bukan.
“Buka matamu.” Andini seperti mendengar suara angin.
“Buka matamu.” Kalimat kedua yang diiringi tepukan di pipi, memaksa Andini membuka matanya. Dalam jarak tiga senti yang memisahkan ujung hidungnya dengan ujung hidung di depannya, Andini dapat merasakan hawa panas yang menerpa wajahnya. Juga sepasang mata yang berbalut percik bara. Tak ada senyuman di sana. Hanya garis tipis bibir yang menyimpan geram.
“Aku tak tahu apakah harus menyesal atau bersyukur mempunyai istri sepertimu,” dengus Hadi seraya menghembuskan nafas kuat-kuat. Menyapu wajah perempuan di depannya.
“Baiklah, kuharap aku bisa memberitahumu jawabannya suatu saat nanti.” Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berdiri dan berlalu dalam langkah serampangan. Andini menatap punggung yang berlalu dalam kawal bayangan besar di belakangnya. Saat sosok itu menghilang, Andini berlari ke jendela. Ia mengikuti langkah Hadi yang gontai di tepi pantai. Kecemasan dengan cepat memerangkap benaknya saat melihat Hadi menghampiri seorang lelaki yang tengah menarik perahu menuju laut. Namun Andini sedikit lega, karena kedua lelaki itu hanya berbicara. Ya, hanya bicara.
Langit memerah. Matahari berangsur-angsur menepi. Pantai mulai ramai dengan kehadiran beberapa lelaki nelayan. Saat gelap mewujud sempurna, para lelaki itu akan berduyun-duyun mengayuh perahu. Mencecah ombak. Mengarungi samudera. Menebar jala. Memutus simpul-simpul kehidupan ayah, ibu dan anak; para makhluk air yang berenang-renang tanpa prasangka.
Andini selalu menyukai matahari. Sangat. Matahari yang terbit dan tenggelam dalam rona yang menggairahkan. Memompa denyut harapnya yang cabik sepanjang malam. Andini larut dalam ingatan tentang matahari. Seraut wajah melintas. Wajah yang siang tadi berkilau diterpa sang surya.
Andini enggan mengingat laut. Laut hanya menyajikan kenangan suram untuknya. Bukankah laut yang telah menghanyutkannya saat belajar berenang beberapa tahun lampau? Dan bukankah sekarang ini laut juga yang tengah mengurungnya dalam angkara tak bertitik? Hadi adalah penguasa laut sesungguhnya.
Andini mengatupkan daun jendela. Tapi sekelebat awas membuatnya kembali menguak jendela. Ia tertegun. Matanya menyipit, mencari-cari dua sosok yang tadi masih berdiri di garis pantai. Cahaya suram dari beberapa lampu kecil di perahu sedikit membantunya menelisik. Tidak ada. Tak pun salah seorang dari keduanya.
Tanya mencuat dari lorong-lorong pikiran. Dan tanya itu pula yang mendorong kakinya berlari keluar rumah, menghunjamkan jejak dalam-dalam pada hamparan pasir tebal. Menembus liang-liang dan menutup paksa riwayat beberapa anak kepiting yang tengah berlari menyamping. Sungguhkah hidup hanyalah perjudian kematian? Tak tahu kapan beruntung, kapan sial!
“Mana Bang Hadi, Pak?” tanyanya pada seorang lelaki berkulit legam, yang tengah sibuk dengan jalanya. Lelaki itu menatap Andini sejurus. Dipalingkannya wajah ke laut lepas. Tangannya terangkat dengan telunjuk menuding jauh. Andini terperangah.
“Ke laut?” Lelaki itu mengangguk, kembali menekuni kesibukannya semula. Andini menatap perahu kecil berayun-ayun di kejauhan. Tak ada bayangan keduanya. Meskipun hanya seukuran kelingking kaki. Ia melambai-lambai. Tak terlihat balasan.
“Ke laut dengan siapa? Bukankah biasanya Bang Hadi melaut dengan Sukri?” Panik, Andini memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan. Adenan. Lelaki itu juga menghilang.
“Adenan?”
Keraguan tak hendak mengalahkan rasa penasaran dan cemas yang berhimpit-tindih di hati Andini. Lelaki di depannya mengangguk acuh. Baginya, bukankah hal yang lumrah para lelaki berdua-tiga, bahkan lebih, untuk mengarungi lautan. Hah, perempuan! Selalu saja mengedepankan prasangka berlebih, dengusnya.
Andini masih terpaku. Bang Hadi melaut berdua dengan Adenan? Benarkah? Takkah itu terlihat sangat mustahil? Begitu ganjil untuk dimaklumi. Toh, Andini tak bisa apa-apa. Ia menyerah setelah bertanya ke banyak orang yang melihat mereka pergi. Andini harus menerimanya sebagai kebenaran.
Detik berjalan melampaui ratusan garis dan kecemasan. Andini dapat merasakan, seluruh kulit tubuhnya mengeriput dengan paksa. Diguyur hujan yang bergulir tersendat-sendat. Dibakar matahari yang tajam mengelupas. Ia mematung sepanjang waktu yang mampu ia tahankan. Tapi perahu yang dinanti tak juga menepi. Andini hanya menyaksikan berulang-ulang, laut dan matahari bersenggama di batas cakrawala. Lalu setelah itu gelap. Hanya gelap dan hitam. Tak lebih.
Andini masih menunggu. Menunggu ombak mengantar kabar. Ia terbaring lunglai di hamparan pasir. Membiarkan puluhan kepiting muda hilir-mudik di sekujur tubuhnya. Matanya terpejam. Ombak berayun diam-diam.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar