Padang Ekspres, 07022011
Andini membuka mata dengan berat. Perih yang menggigit dari lebam
di lingkaran mata, menginginkan pejaman yang menentramkan.
Susah-payah ia mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan semburat
matahari yang menerobos dari kisi-kisi jendela. Hanya sedikit cahaya.
Selebihnya gulita.
Andini mencoba bangkit. Melawan rasa sakit. Kalau saja ada yang
menanyakan kepadanya, dimana sakit itu terasa, niscaya takkan pernah
ada jawaban. Bagi Andini, diam adalah harga yang harus dibayarnya
untuk kehidupan. Ia sudah terlanjur membiasakan diri untuk selalu
begitu. Diam. Meskipun setiap inci tubuhnya mampu menyuarakan ratusan
kisah yang akan menghamburkan seluruh persediaan airmata di dunia,
toh ia tetap diam. Tak ada yang mampu mengubahnya. Seorang pun tidak!
Laut lepas, laut mendebur. Gemuruh gulungan ombak adalah nyanyian
sepanjang waktu yang mengisi hidup Andini. Ia melangkah tertatih di
sepanjang garis pantai. Tangannya menjinjing keranjang rotan yang
dasarnya berlumur pasir. Beberapa anyamannya mencuat keluar.
Mengancam. Keranjang itu menua dengan cepat. Seperti dirinya.
Bukannya Andini alpa tentang bagaimana rupanya yang kemilau di masa
lalu. Bukan pula ia kini buta ketika meraba pantulan cermin di remang
senja. Sedikitpun tidak! Tapi, ia bisa apa? Selain diam dan mengamati
ubannya tumbuh lebih cepat dari menjulurnya kecambah di tumpukan
kacang hijau basah?
Andini mempercepat langkahnya. Ia mengejar matahari yang beringsut
perlahan-lahan. Di kejauhan ia melihat dermaga mulai lengang. Ah,
pasti hanya sedikit ikan yang tersisa, keluhnya. Toh, langkahnya
tetap. Meski terseok dalam bebukitan pasir yang coba memerangkap.
Ngilu.
“Masih ada, Bang?”
Lelaki bertopi hitam pudar di hadapan Andini mengangkat wajahnya
dari tumpukan tipis rajungan. Wajah itu basah dan berkilau oleh
keringat dan jilatan surya.
“Andini, kenapa kesiangan? Hanya rajungan dan udang pasir yang
tersisa. Ikan sudah diambil borongan. Selebihnya diambil Mak Idah.”
Lelaki itu menunjuk dua jenis binatang laut yang menumpuk di dekat
kakinya. Andini menarik nafas panjang. Bagaimana mungkin ia memilih
salah satu dari dua pilihan itu? Sama mahalnya. Selembar lima ribuan
lusuh digenggamannya takkan cukup menjadi penebus. Andini membalikkan
badan setelah menggelengkan kepala dan tersenyum samar. Ia menyeret
kembali langkahnya.
“Andini…, tunggu!” Seruan itu seketika menghentikannya. Andini
menoleh. Lelaki berjarak dua tombak di belakangnya melambai. Tak
menunggu Andini datang atau bertanya, bergegas ia memasukkan beberapa
rajungan dan udang ke dalam kantung plastik hitam. Lalu berlari
menghampiri Andini. Tangannya mengangsurkan kantung plastik di
tangan. Andini bimbang.
“Bawalah. Hanya sedikit..” Andini mematung.
Tak sabaran, lelaki itu meraih tangan Andini dan menyelipkan kantung
plastik ke pergelangannya. Sekejap ia terpukau oleh jejak membiru di
permukaan kulit. Namun Andini cepat-cepat menarik tangannya. Kantung
plastik berisi rajungan dan udang telah menggantung di sana. Andini
berusaha mengeluarkannya. Tapi lelaki itu cepat mencegah.
“Bawalah. Tak perlu sungkan. Bang Hadi tak melaut. Kamu
membutuhkannya untuk makan kalian hari ini.” Andini menunduk
dalam-dalam. Tak membiarkan lelaki di depannya merekam seluruh jejak
murka di wajah dan kulitnya yang terbuka.
“Terima kasih, Bang,” ucapnya lirih. Lelaki itu mengangguk. Ia
membiarkan Andini meneruskan langkahnya. Karena ia tak punya
persediaan kata untuk menahannya lebih lama. Ia hanya mampu memandang
sosok yang terseok menjauh.
Andini mengerjap-ngerjap di sela suap, mencoba membuang perih
di matanya. Entah kenapa airmata tak sudi berakhir begitu saja.
Seiring kerjapnya, bulir bening terus mengalir. Mengawal kalimat yang
menari-nari di benak. Suapannya tersendat-sendat diapit sesal.
Andini sangat mengerti, apa yang dihadapinya dalam seratus delapan
puluh lima hari ini adalah pilihan yang dianggukkannya dengan wajah
berseri dan senyum semanis gulali. Sungguh bodoh menampik tawaran
seorang lelaki bernama Hadi, untuk mengarungi bahtera hidup bersama.
Siapa tak mengenalnya? Anak orang terkaya kedua di desa nelayan yang
miskin ini. Tak hanya Andini. Bapak, Ibu, sanak-keluarga dan orang
sekampung turut bersuka-cita. Pasangan sepadan. Yang satu rupawan dan
seorang lainnya anak hartawan terpandang.
Tapi pernikahan layaknya tebu yang kehilangan manis setelah dihisap
tujuh malam tanpa jeda. Yang tertinggal hanya sepah. Hanya sepah! Dan
sepah itu nasibnya tak lebih baik dari sampah. Sayangnya ia tak
dibuang. Ia masih dibutuhkan untuk pengasah geligi yang menghunjamkan
gigitan kasar dan liar. Ia juga masih ditenggak oleh dahaga yang
serakah. Tandas. Berikutnya yang tersisa hanyalah sisa-sisa
kemarahan, kebuasan dan kelelahan.
Hadi selepas tujuh hari adalah Hadi yang sejatinya harus Andini
kenali sejak dini. Hadi yang dipinggirkan keluarga karena ulahnya
yang mencoreng nama besar orang tua. Dan Hadi yang hanya mencintainya
seperti laut. Ya, seperti laut. Yang kerap menggulungnya dalam ombak
besar-besar, menghempaskannya ke pantai dan kemudian melumatnya
hingga dasar palung yang kelam, penuh tekanan. Tanpa gelembung udara.
Andini sungguh tak mengerti. Mengapa selama seratus delapan puluh
lima hari ini ia mampu terus bertahan menghadapi segala kesakitan dan
perampasan haknya sebagai manusia? Sungguhkah ini semua dijalaninya
dengan sadar? Tidakkah jerat hutang keluarganya pada mertua yang
membuatnya tak tahu hendak kemana? Andini menyimpan rapat hasrat
perlawanannya. Ia tak berani melangkah. Meskipun setiap pagi ia
melihat matahari yang sumringah, tetap saja senyumnya terkubur.
“Wah, enak betul?!”
Andini terperanjat. Piring di tangannya terlepas. Menghempas di
lantai dan menyerpih dalam sekedipan mata. Tangannya gemetar. Cepat
ia sembunyikan di balik punggung. Suara itu membendung setengah dari
kesadarannya.
“Sudah pulang, Bang?” sapanya takut-takut.
“Tak kau lihat rupanya?! Darimana kau dapatkan udang dan
rajungan?!” Lelaki itu mendekat, setelah sekilas melirik hidangan
di meja makan. Andini mengukur-ukur bencana. Dan sebuah renggutan
kasar di rambutnya, membuat Andini memekik kecil.
“Rupanya Adenan masih mendekatimu, ya?!” Kalimat itu dibisikkan
dekat ke gendang telinganya. Berdesis tajam, menyakitkan. Andini
menggeleng dengan urat leher menegang. Renggutan di rambutnya
mengendur. Lepas.
Hadi berjongkok di depan perempuan itu. Ia menggamit kasar dagunya.
Andini memejamkan mata. Air telah berkecipak-kecipak lama di sana.
Tidak, ia harus menahan tangis. Karena setetes yang melenggang akan
menerbitkan bencana susulan untuknya. Bukankah saat ini lelaki di
depannya yang punya kuasa?
Perlahan ia merasakan beberapa jari kasar membelai pipinya. Tapi
Andini tak ingin membangkitkan kembali mimpinya. Ini bukan sungguhan.
Bukan.
“Buka matamu.” Andini seperti mendengar suara angin.
“Buka matamu.” Kalimat kedua yang diiringi tepukan di pipi,
memaksa Andini membuka matanya. Dalam jarak tiga senti yang
memisahkan ujung hidungnya dengan ujung hidung di depannya, Andini
dapat merasakan hawa panas yang menerpa wajahnya. Juga sepasang mata
yang berbalut percik bara. Tak ada senyuman di sana. Hanya garis
tipis bibir yang menyimpan geram.
“Aku tak tahu apakah harus menyesal atau bersyukur mempunyai istri
sepertimu,” dengus Hadi seraya menghembuskan nafas kuat-kuat.
Menyapu wajah perempuan di depannya.
“Baiklah, kuharap aku bisa memberitahumu jawabannya suatu saat
nanti.” Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia berdiri dan berlalu
dalam langkah serampangan. Andini menatap punggung yang berlalu
dalam kawal bayangan besar di belakangnya. Saat sosok itu menghilang,
Andini berlari ke jendela. Ia mengikuti langkah Hadi yang gontai di
tepi pantai. Kecemasan dengan cepat memerangkap benaknya saat melihat
Hadi menghampiri seorang lelaki yang tengah menarik perahu menuju
laut. Namun Andini sedikit lega, karena kedua lelaki itu hanya
berbicara. Ya, hanya bicara.
Langit memerah. Matahari berangsur-angsur menepi. Pantai mulai ramai
dengan kehadiran beberapa lelaki nelayan. Saat gelap mewujud
sempurna, para lelaki itu akan berduyun-duyun mengayuh perahu.
Mencecah ombak. Mengarungi samudera. Menebar jala. Memutus
simpul-simpul kehidupan ayah, ibu dan anak; para makhluk air yang
berenang-renang tanpa prasangka.
Andini selalu menyukai matahari. Sangat. Matahari yang terbit dan
tenggelam dalam rona yang menggairahkan. Memompa denyut harapnya yang
cabik sepanjang malam. Andini larut dalam ingatan tentang matahari.
Seraut wajah melintas. Wajah yang siang tadi berkilau diterpa sang
surya.
Andini enggan mengingat laut. Laut hanya menyajikan kenangan suram
untuknya. Bukankah laut yang telah menghanyutkannya saat belajar
berenang beberapa tahun lampau? Dan bukankah sekarang ini laut juga
yang tengah mengurungnya dalam angkara tak bertitik? Hadi adalah
penguasa laut sesungguhnya.
Andini mengatupkan daun jendela. Tapi sekelebat awas membuatnya
kembali menguak jendela. Ia tertegun. Matanya menyipit, mencari-cari
dua sosok yang tadi masih berdiri di garis pantai. Cahaya suram dari
beberapa lampu kecil di perahu sedikit membantunya menelisik. Tidak
ada. Tak pun salah seorang dari keduanya.
Tanya mencuat dari lorong-lorong pikiran. Dan tanya itu pula yang
mendorong kakinya berlari keluar rumah, menghunjamkan jejak
dalam-dalam pada hamparan pasir tebal. Menembus liang-liang dan
menutup paksa riwayat beberapa anak kepiting yang tengah berlari
menyamping. Sungguhkah hidup hanyalah perjudian kematian? Tak tahu
kapan beruntung, kapan sial!
“Mana Bang Hadi, Pak?” tanyanya pada seorang lelaki berkulit
legam, yang tengah sibuk dengan jalanya. Lelaki itu menatap Andini
sejurus. Dipalingkannya wajah ke laut lepas. Tangannya terangkat
dengan telunjuk menuding jauh. Andini terperangah.
“Ke laut?” Lelaki itu mengangguk, kembali menekuni kesibukannya
semula. Andini menatap perahu kecil berayun-ayun di kejauhan. Tak ada
bayangan keduanya. Meskipun hanya seukuran kelingking kaki. Ia
melambai-lambai. Tak terlihat balasan.
“Ke laut dengan siapa? Bukankah biasanya Bang Hadi melaut dengan
Sukri?” Panik, Andini memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan.
Adenan. Lelaki itu juga menghilang.
“Adenan?”
Keraguan tak hendak mengalahkan rasa penasaran dan cemas yang
berhimpit-tindih di hati Andini. Lelaki di depannya mengangguk acuh.
Baginya, bukankah hal yang lumrah para lelaki berdua-tiga, bahkan
lebih, untuk mengarungi lautan. Hah, perempuan! Selalu saja
mengedepankan prasangka berlebih, dengusnya.
Andini masih terpaku. Bang Hadi melaut berdua dengan Adenan?
Benarkah? Takkah itu terlihat sangat mustahil? Begitu ganjil untuk
dimaklumi. Toh, Andini tak bisa apa-apa. Ia menyerah setelah bertanya
ke banyak orang yang melihat mereka pergi. Andini harus menerimanya
sebagai kebenaran.
Detik berjalan melampaui ratusan garis dan kecemasan. Andini dapat
merasakan, seluruh kulit tubuhnya mengeriput dengan paksa. Diguyur
hujan yang bergulir tersendat-sendat. Dibakar matahari yang tajam
mengelupas. Ia mematung sepanjang waktu yang mampu ia tahankan. Tapi
perahu yang dinanti tak juga menepi. Andini hanya menyaksikan
berulang-ulang, laut dan matahari bersenggama di batas cakrawala.
Lalu setelah itu gelap. Hanya gelap dan hitam. Tak lebih.
Andini masih menunggu. Menunggu ombak mengantar kabar. Ia terbaring
lunglai di hamparan pasir. Membiarkan puluhan kepiting muda
hilir-mudik di sekujur tubuhnya. Matanya terpejam. Ombak berayun
diam-diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar