Pages

Sabtu, 07 September 2013

AKSARA DI KAKI BUKIT


Oleh ; R. Yulia
Haluan, 02062012


Tatapan Ayin terlempar jauh melampaui jendela yang membingkai kepalanya. Jauh menyeberangi pekarangan rumah yang berpagar bambu sekenanya, tanah berlumut yang basah, kerikil tanpa sudut yang berserakan dan kayu-kayu tua keropos yang mengalasi undakan menurun ke jalan setapak. Merambati semak perdu dan pohon-pohon jati, nun hingga mendaki perbukitan yang menjulang samar, berselimut kabut tipis yang berarak dalam kelompok kecil, seperti anak-anak ayam yang tak ingin kehilangan induknya. Ayin menatap semuanya dengan setengah putus asa.


Hujan bukan lagi berupa anak-anak panah yang menghunjam satu-persatu apa yang terlihat di matanya, melainkan air dari ratusan sungai yang disesap dan dimuntahkan dengan sepenuh kekuatan. Langit seperti anak perawan yang menangis tiada henti karena kehilangan waktu untuk bercengkerama dengan kekasih. Semua di pagi ini adalah keindahan yang liris, namun bukan yang diharapkan Ayin. Bukan.

Ini hujan pertama di sepanjang tahun. Tahun yang telah lelah menjalani empat bulan penuh dahaga, tanpa setetes air. Kering, semata kering. Kemarau meranggas pada tanah-tanah retak dan debu menyelimuti permukaan daun-daun yang resah. Hanya panas dan debu yang mengawal pagi menuju malam, beringsut lambat hingga pagi berikutnya dan menyisakan sedikit ruang menyesakkan untuk embun yang tertatih.

Hujan pertama yang datang di awal Subuh, sempat menahan keinginan Ayin untuk terjaga seperti biasa. Namun, Ayin bukan pemalas. Geliat tubuhnya tak senada dengan rayuan hujan yang membekapkan gigil. Ia terbangun sesaat azan berlalu. Membawa tubuh ringannya mencukupi ritual pagi. Tapi hujan tak juga berhenti. Hujan menggila memenuhi rindu para petani, dedaunan dan tanah-tanah rengkah. Hujan menyusui sungai-sungai, danau dan parit-parit kecil.

Ayin masih berdiri di depan jendela. Seragamnya yang tak cerlang lagi, rapat membungkus tubuh mungilnya. Ayin enggan menelisik asal-usul seragam sekolahnya. Entah darimana baju putih yang tak lagi putih dan rok merah yang tak sempurna merah itu didapatkan ibu, setelah menyerah atas rengekan Ayin yang bertahan berjam-jam memeluk tungkai kakinya demi mendapatkan sebuah anggukan. Anggukan untuk sepasang seragam. Terlihat sedikit kekecilan memang. Namun, tindasan setrika arang pada seragamnya beberapa jam lalu, menyisakan garis lipatan yang begitu rapi. Ayin mendapati pantulan wajah yang asing saat ia menatap cermin pagi tadi. Wajah yang begitu sumringah.

Ayin tak mengerti, mengapa hujan harus turun lebat dan tanpa henti, justru di hari ini? Hari yang telah lama dinantinya. Hari yang berbilang tak terhingga dalam kepalanya. Hari yang hanya pernah ada dalam mimpinya. Dan mimpi itu membuatnya tersenyum, sesaat terjaga Subuh tadi.

Derai hujan mengawal ingatan Ayin berlari surut pada sebuah masa. Masa dimana seorang gadis kecil terbiasa memangku dagu di pagar kayu yang membatasi pelataran sebuah bangunan sederhana yang cukup besar. Bangunan semi permanen itu dihuni beratus-ratus bocah kecil berpakaian putih merah dan beberapa orang dewasa berwajah ramah penuh wibawa.

Pagi-pagi sekali, para bocah dan orang dewasa itu berkumpul di pelataran dengan tiga acara tetap. Berbaris rapi dan melakukan upacara penaikan bendera pada hari pertama. Berbaris dengan berbagai gerakan tambahan ditingkahi musik bersemangat di tiap hari kedua hingga hari kelima. Serta berbaris dan melakukan upacara penurunan bendera di hari keenam. Gadis kecil itu mengamati semuanya hingga tuntas dan merekamnya dalam bilik ingatan.

Begitupun saat para bocah dan satu orang dewasa -perempuan cantik berkerudung dan berwajah sarat cahaya- memasuki ruangan, bocah kecil itu selalu menguntit. Meski langkahnya harus terhenti di ambang pintu. Cukup sampai di situ. Karena dia bukanlah salah seorang dari mereka. Dia tak punya hak untuk melantunkan do'a, membaca teks buku, menjawab pertanyaan, menyanyi dan bertepuk-tangan serta menggunakan pensil warna di atas kertas-kertas gambar. Tempatnya adalah ketepatan persisian bahu dengan pintu.

Mulanya, beberapa pasang mata bocah acap meliriknya dengan tatapan penuh tanya. Mulanya, bahkan bu guru –demikian bocah-bocah itu menyapa perempuan .berkerudung- pun tersenyum manis padanya. Namun hari-hari selanjutnya, tatapan dan senyum itu tak pernah lagi dialamatkan padanya. Semua terbiasa dengan kehadirannya, gadis kecil di ambang pintu yang begitu setia menyimak prilaku mereka, mencerna kata-kata bu guru dan menelusuri huruf-huruf berikut angka yang terpampang di papan hitam yang melekat di dinding depan. Bocah itu hirau semua hal di dalam ruang. Semua kecuali rasa kesemutan yang acap menyerang.

Ayin mengerjap, mengantar buliran bening yang tadi menggantung di kelopak matanya, bergulir merambati pipi. Nafasnya terhela berat, mencoba melumatkan gumpalan besar yang memenuhi rongga dada dan saluran tenggorokannya. Ia memejam, memaksa keluar sisa air mata yang masih bersemayam. Rasa kecewa ini setara dengan kepedihan ratusan malam yang dilaluinya tanpa ayah, lelaki terhebat yang dimilikinya, yang pergi meninggalkannya tanpa menitipkan sebuah kecupan di dahinya. Sebuah kealpaan di suatu pagi yang tak dapat dimaafkannya. Kata orang-orang, ayahnya meninggal tertimbun tebing longsor di kaki bukit. Nun, entah dimana. Pada suatu masa yang sarat gerimis.

Hujan mulai reda. Hanya rinai yang tak begitu rapat lagi. Sebentuk senyum tersungging perlahan di bibir gadis kecil itu. Manis.

Ayin melangkah berjingkat menjauhi jendela. Tangannya menjangkau tas plastik hitam berisi buku tulis dan pensil, dua benda yang juga entah didapatkan ibu darimana. Ayin tahu benar, mereka tak memiliki cukup banyak uang untuk membeli benda-benda seperti yang ia inginkan. Toh, ia tak mau ambil pusing. Bukankah ibu berhasil mendapatkannya? Itu yang terpenting.

Ayin melangkah perlahan, membuka pintu dan memacu gegas menuju pintu depan. Sebisa mungkin ia menghalangi percikan gaduh. Pun saat membuka pintu yang engselnya acap berderit. Di beranda, sebelah tangannya menadah. Rintik hujan lamat membasuh telapaknya. Lagi-lagi Ayin tersenyum. Manis sekali.

Ayin menoleh ke belakang sambil menarik nafas panjang, mengangguk kuat dan hap.., langkah pertamanya menancap gurat jejak. Ayunan selanjutnya kian lama kian cepat. Sepertinya hujan akan kembali deras. Ayin tak mau kuyup sebelum mencapai tujuan. Ini hari yang tak mungkin dilaluinya dengan sempurna, namun ia harus memilih. Hari ini atau tidak sama sekali.

Ayin berlari. Waktunya tak banyak lagi. Ia berlari bersama hujan yang berayun-ayun menguyupi. Kakinya berkecipak di genangan-genangan air yang terlewati. Seragamnya mulai lekat ke kulit. Di depannya, bangunan besar semi permanen berpagar kayu, ratusan bocah lelaki dan perempuan, perempuan berkerudung dan lelaki bersetelan safari yang berdiri di sepanjang selasar, melambaikan tangan dengan wajah cemas. Ayin terharu. Astaga, mereka menungguku? Siapakah yang memberitahu ihwal kedatangannya? Ibu?

Gadis kecil itu memangkas ribuan tanda tanya di kepalanya. Ia harus bergegas. Pelajaran akan dimulai. Ia tak mau terlambat di hari pertamanya. Ia ingin berdo'a, membaca teks, bernyanyi, menggambar dan menari. Semua hal yang selama ini hanya mampu disaksikannya. Ayin mengayun langkah lebih cepat dan semakin cepat. Ia tiba di sebuah dataran sempit yang diapit jurang. Tanpa gentar, ia mulai menuruni tebing. Bukankah ini perjalanan yang acap dilaluinya di hari-hari sebelumnya? Tak ada yang istimewa, tak ada aroma bahaya. Hanya hujan yang membuatnya sedikit berbeda.

Pintu terkuak. Seorang perempuan sederhana memasuki kamar dengan tanya memenuhi benaknya. Ia tak melihat siapa-siapa di sana. Tak seorangpun, kecuali ruangan yang berselimut dingin, daun jendela yang kerap terhempas angin dan tirai yang basah akan tempias. Dimana dia? Perempuan itu melayangkan pandang melampaui jendela. Hujan di luar demikian menggila, berjam-jam nyaris tanpa jeda. Bagaimana mungkin seseorang terlebih seorang anak berusia lima tahun dapat berpikir untuk pergi keluar?

Perempuan itu menebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia terkesiap saat sekelebat ingatan melintas.

"Ibu, aku akan ke sekolah hari ini." Bocah perempuan itu mengucapkannya sepenuh hati, saat ia mengancingkan buah baju seragam yang barusan dikenakan.

"Oh ya? Bukankah hari ini hujan? Biasanya sekolah diliburkan." Sahutnya.

"Tidak, Bu. Sekolahku tidak libur." Bocah itu membantah cepat.

"Begitukah? Dimana sekolahmu itu? Mengapa ia memberlakukan aturan yang tak biasa? Bukankah kau bisa basah, lalu sakit, kalau memaksakan diri ke sekolah dalam hujan deras seperti ini?"

"Sekolahku di kaki bukit. Sekolah yang besar dengan seorang guru perempuan yang cantik."

"Sekolah yang besar?"

"Ya. Meskipun atapnya sudah berkarat dan mulai berlubang di sana-sini, dindingnya papan yang mulai tua dan pagarnya dari kayu tak berserut, tapi sekolah itu indah di mataku. Dan hari ini, aku menjadi murid barunya, dengan baju ini dan juga buku serta pensil baruku." Bocah itu mengacungkan tangannya yang menggenggam kantung plastik hitam lusuh. Perempuan itu menahan senyumnya. Lamat-lamat ia merasakan kepedihan.

"Ibu, bolehkan aku pergi sekarang?" Perempuan itu menatap keluar dan menggeleng seketika.

"Tidak, Nak. Hujan begitu deras. Kalau kau bermain di luar, maka kau akan sakit. Ibu tak ingin kau sakit." Ia membelai rambut gadis kecil bermata bola di depannya dengan sepenuh perasaan. Ada ngilu yang menyusup. "Pergilah ke kamarmu dan bermain sekolah-sekolahan di sana. Setelah selesai memasak, ibu akan bermain bersamamu." Bocah itu mematung, bibirnya mengatup rapat.

"Aku ingin ke sekolah!" Serunya kemudian, memecah ruangan.

"Tapi tak ada sekolah di saat hujan."

"Ada!" Gadis kecil itu mengentakkan kakinya. Perempuan di depannya mengembuskan nafas, memintal sabar.

"Dengar, Nak. Tak ada sekolah di sini. Kelak kau akan bersekolah cukup jauh dari rumah, di balik bukit sana." Perempuan itu menunjuk ke bukit yang menjulang di kejauhan. "Kau akan pergi bersama-sama anak Bu Ratna, Bu Asih dan Bu Dedeh. Kalian akan ditumpangkan di bendi Pak Husni dan kembali dengan berjalan kaki. Tapi itu nanti, mungkin sekitar dua tahun lagi. Masih lama, kan?" Perempuan itu menjelaskan dengan panjang-lebar. Senyumnya tersungging tipis.

Tapi bocah itu menggeleng kuat.

"Tidak. Sekolahku di kaki bukit. Tak begitu jauh. Aku selalu ke sana setiap hari. Aku melihat mereka belajar, bernyanyi dan berdo'a. Aku tak harus diantar siapa-siapa." Bantahnya keras-kepala. Ibunya tertawa. Ia tak habis pikir, darimana anaknya mendapatkan ide cerita seperti itu? Sekolah di kaki bukit? Ah, bukankah itu cerita masa lalu? Sekolah itu memang pernah ada, tapi belasan tahun silam. Saat ia masih kanak-kanak, enam tahun dihabiskannya di sana, menimba ilmu bersama para guru yang sangat penyabar.

Perempuan itu terus tertawa sambil menggandeng anaknya menuju kamar.

"Bermain dulu di sini. Ibu akan kembali dan menemanimu secepatnya." Perempuan itu meninggalkan anaknya sendirian, seperti hari-hari yang lalu. Senyumnya masih terbetik saat menatap tubuh anaknya yang berbalut seragam.

Ayin tiba di pekarangan sekolah. Senyumnya merekah. Tapi tak ada orang di selasar. Lengang. Senyap. Hujan pun enggan merambat. Entahlah, di luar pagar hujan begitu deras.

Ayin melangkah perlahan. Lamat-lamat ia mendengar suara anak-anak yang melafalkan do'a sebelum memulai pelajaran. Ayin terkesiap. Astaga, ia terlambat! Ayin berlari menyusuri selasar, menuju kelasnya. Ia tiba di ambang pintu. Tak ada sesiapa di sana. Sepi.

"Ayin.." Seseorang menyapa dari balik punggungnya. Ayin membalikkan tubuh. Ia tak memercayai penglihatannya.

"Ayin.." Suara itu menyadarkannya. Juga sebuah uluran tangan.

"Ayah..." Sahutnya sembari memeluk lelaki di depannya sepenuh rindu yang meluap-luap. Lelaki itu memeluknya erat dan mengecup ubun-ubunnya dengan lembut.

"Pulanglah, Nak. Ayah akan mengantarmu."

"Aku mau bersekolah, Ayah."

"Ya. Tapi bukan sekarang. Kelak pada masanya akan ada sekolah baru di desa kita. Kau akan belajar di sana, Nak. Bukan di sini." Suara itu memarau, menyergapkan kemutlakan yang tak mungkin dibantah. Ayin mengangguk.

"Baiklah, Ayah." Beriringan keduanya menyusuri selasar, menyongsong hujan.

Perempuan itu tersadar. Sekolah di kaki bukit? Bukankah sekolah itu telah terkubur oleh longsoran tebing? Pun suaminya, yang tengah bekerja menyisip atap sekolah?

Perempuan itu mencelat dari keterpakuannya dan berlari menuju beranda. Sepasang matanya bergerak liar menyapu seluruh sudut. Tak separuh bayangan pun yang ditemuinya. Suaranya tercekat, seberapapun kuat usahanya untuk berteriak. Padam, suaranya rapuh diam-diam. Hujan masih deras, hunjamannya seperti mata pisau yang saling bergandengan. Tak ada celah, tak ada sela, tak ada jeda. (*)





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar