Oleh ; R. Yulia
Haluan, 02062012
Tatapan Ayin terlempar jauh melampaui jendela yang membingkai
kepalanya. Jauh menyeberangi pekarangan rumah yang berpagar bambu
sekenanya, tanah berlumut yang basah, kerikil tanpa sudut yang
berserakan dan kayu-kayu tua keropos yang mengalasi undakan menurun
ke jalan setapak. Merambati semak perdu dan pohon-pohon jati, nun
hingga mendaki perbukitan yang menjulang samar, berselimut kabut
tipis yang berarak dalam kelompok kecil, seperti anak-anak ayam yang
tak ingin kehilangan induknya. Ayin menatap semuanya dengan setengah
putus asa.
Hujan bukan lagi berupa anak-anak panah yang menghunjam satu-persatu
apa yang terlihat di matanya, melainkan air dari ratusan sungai yang
disesap dan dimuntahkan dengan sepenuh kekuatan. Langit seperti anak
perawan yang menangis tiada henti karena kehilangan waktu untuk
bercengkerama dengan kekasih. Semua di pagi ini adalah keindahan yang
liris, namun bukan yang diharapkan Ayin. Bukan.
Ini hujan pertama di sepanjang tahun. Tahun yang telah lelah
menjalani empat bulan penuh dahaga, tanpa setetes air. Kering, semata
kering. Kemarau meranggas pada tanah-tanah retak dan debu menyelimuti
permukaan daun-daun yang resah. Hanya panas dan debu yang mengawal
pagi menuju malam, beringsut lambat hingga pagi berikutnya dan
menyisakan sedikit ruang menyesakkan untuk embun yang tertatih.
Hujan pertama yang datang di awal Subuh, sempat menahan keinginan
Ayin untuk terjaga seperti biasa. Namun, Ayin bukan pemalas. Geliat
tubuhnya tak senada dengan rayuan hujan yang membekapkan gigil. Ia
terbangun sesaat azan berlalu. Membawa tubuh ringannya mencukupi
ritual pagi. Tapi hujan tak juga berhenti. Hujan menggila memenuhi
rindu para petani, dedaunan dan tanah-tanah rengkah. Hujan menyusui
sungai-sungai, danau dan parit-parit kecil.
Ayin masih berdiri di depan jendela. Seragamnya yang tak cerlang
lagi, rapat membungkus tubuh mungilnya. Ayin enggan menelisik
asal-usul seragam sekolahnya. Entah darimana baju putih yang tak lagi
putih dan rok merah yang tak sempurna merah itu didapatkan ibu,
setelah menyerah atas rengekan Ayin yang bertahan berjam-jam memeluk
tungkai kakinya demi mendapatkan sebuah anggukan. Anggukan untuk
sepasang seragam. Terlihat sedikit kekecilan memang. Namun, tindasan
setrika arang pada seragamnya beberapa jam lalu, menyisakan garis
lipatan yang begitu rapi. Ayin mendapati pantulan wajah yang asing
saat ia menatap cermin pagi tadi. Wajah yang begitu sumringah.
Ayin tak mengerti, mengapa hujan harus turun lebat dan tanpa henti,
justru di hari ini? Hari yang telah lama dinantinya. Hari yang
berbilang tak terhingga dalam kepalanya. Hari yang hanya pernah ada
dalam mimpinya. Dan mimpi itu membuatnya tersenyum, sesaat terjaga
Subuh tadi.
Derai hujan mengawal ingatan Ayin berlari surut pada sebuah masa.
Masa dimana seorang gadis kecil terbiasa memangku dagu di pagar kayu
yang membatasi pelataran sebuah bangunan sederhana yang cukup besar.
Bangunan semi permanen itu dihuni beratus-ratus bocah kecil
berpakaian putih merah dan beberapa orang dewasa berwajah ramah penuh
wibawa.
Pagi-pagi sekali, para bocah dan orang dewasa itu berkumpul di
pelataran dengan tiga acara tetap. Berbaris rapi dan melakukan
upacara penaikan bendera pada hari pertama. Berbaris dengan berbagai
gerakan tambahan ditingkahi musik bersemangat di tiap hari kedua
hingga hari kelima. Serta berbaris dan melakukan upacara penurunan
bendera di hari keenam. Gadis kecil itu mengamati semuanya hingga
tuntas dan merekamnya dalam bilik ingatan.
Begitupun saat para bocah dan satu orang dewasa -perempuan cantik
berkerudung dan berwajah sarat cahaya- memasuki ruangan, bocah kecil
itu selalu menguntit. Meski langkahnya harus terhenti di ambang
pintu. Cukup sampai di situ. Karena dia bukanlah salah seorang dari
mereka. Dia tak punya hak untuk melantunkan do'a, membaca teks buku,
menjawab pertanyaan, menyanyi dan bertepuk-tangan serta menggunakan
pensil warna di atas kertas-kertas gambar. Tempatnya adalah ketepatan
persisian bahu dengan pintu.
Mulanya, beberapa pasang mata bocah acap meliriknya dengan tatapan
penuh tanya. Mulanya, bahkan bu guru –demikian bocah-bocah itu
menyapa perempuan .berkerudung- pun tersenyum manis padanya. Namun
hari-hari selanjutnya, tatapan dan senyum itu tak pernah lagi
dialamatkan padanya. Semua terbiasa dengan kehadirannya, gadis kecil
di ambang pintu yang begitu setia menyimak prilaku mereka, mencerna
kata-kata bu guru dan menelusuri huruf-huruf berikut angka yang
terpampang di papan hitam yang melekat di dinding depan. Bocah itu
hirau semua hal di dalam ruang. Semua kecuali rasa kesemutan yang
acap menyerang.
Ayin mengerjap, mengantar buliran bening yang tadi menggantung di
kelopak matanya, bergulir merambati pipi. Nafasnya terhela berat,
mencoba melumatkan gumpalan besar yang memenuhi rongga dada dan
saluran tenggorokannya. Ia memejam, memaksa keluar sisa air mata yang
masih bersemayam. Rasa kecewa ini setara dengan kepedihan ratusan
malam yang dilaluinya tanpa ayah, lelaki terhebat yang dimilikinya,
yang pergi meninggalkannya tanpa menitipkan sebuah kecupan di
dahinya. Sebuah kealpaan di suatu pagi yang tak dapat dimaafkannya.
Kata orang-orang, ayahnya meninggal tertimbun tebing longsor di kaki
bukit. Nun, entah dimana. Pada suatu masa yang sarat gerimis.
Hujan mulai reda. Hanya rinai yang tak begitu rapat lagi. Sebentuk
senyum tersungging perlahan di bibir gadis kecil itu. Manis.
Ayin melangkah berjingkat menjauhi jendela. Tangannya menjangkau tas
plastik hitam berisi buku tulis dan pensil, dua benda yang juga entah
didapatkan ibu darimana. Ayin tahu benar, mereka tak memiliki cukup
banyak uang untuk membeli benda-benda seperti yang ia inginkan. Toh,
ia tak mau ambil pusing. Bukankah ibu berhasil mendapatkannya? Itu
yang terpenting.
Ayin melangkah perlahan, membuka pintu dan memacu gegas menuju pintu
depan. Sebisa mungkin ia menghalangi percikan gaduh. Pun saat membuka
pintu yang engselnya acap berderit. Di beranda, sebelah tangannya
menadah. Rintik hujan lamat membasuh telapaknya. Lagi-lagi Ayin
tersenyum. Manis sekali.
Ayin menoleh ke belakang sambil menarik nafas panjang, mengangguk
kuat dan hap.., langkah pertamanya menancap gurat jejak. Ayunan
selanjutnya kian lama kian cepat. Sepertinya hujan akan kembali
deras. Ayin tak mau kuyup sebelum mencapai tujuan. Ini hari yang tak
mungkin dilaluinya dengan sempurna, namun ia harus memilih. Hari ini
atau tidak sama sekali.
Ayin berlari. Waktunya tak banyak lagi. Ia berlari bersama hujan
yang berayun-ayun menguyupi. Kakinya berkecipak di genangan-genangan
air yang terlewati. Seragamnya mulai lekat ke kulit. Di depannya,
bangunan besar semi permanen berpagar kayu, ratusan bocah lelaki dan
perempuan, perempuan berkerudung dan lelaki bersetelan safari yang
berdiri di sepanjang selasar, melambaikan tangan dengan wajah cemas.
Ayin terharu. Astaga, mereka menungguku? Siapakah yang memberitahu
ihwal kedatangannya? Ibu?
Gadis kecil itu memangkas ribuan tanda tanya di kepalanya. Ia harus
bergegas. Pelajaran akan dimulai. Ia tak mau terlambat di hari
pertamanya. Ia ingin berdo'a, membaca teks, bernyanyi, menggambar dan
menari. Semua hal yang selama ini hanya mampu disaksikannya. Ayin
mengayun langkah lebih cepat dan semakin cepat. Ia tiba di sebuah
dataran sempit yang diapit jurang. Tanpa gentar, ia mulai menuruni
tebing. Bukankah ini perjalanan yang acap dilaluinya di hari-hari
sebelumnya? Tak ada yang istimewa, tak ada aroma bahaya. Hanya hujan
yang membuatnya sedikit berbeda.
Pintu terkuak. Seorang perempuan
sederhana memasuki kamar dengan tanya memenuhi benaknya. Ia tak
melihat siapa-siapa di sana. Tak seorangpun, kecuali ruangan yang
berselimut dingin, daun jendela yang kerap terhempas angin dan tirai
yang basah akan tempias. Dimana dia?
Perempuan itu melayangkan pandang melampaui jendela. Hujan di luar
demikian menggila, berjam-jam nyaris tanpa jeda. Bagaimana mungkin
seseorang terlebih seorang anak berusia lima tahun dapat berpikir
untuk pergi keluar?
Perempuan itu menebarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia terkesiap
saat sekelebat ingatan melintas.
"Ibu, aku akan ke sekolah hari ini." Bocah perempuan itu
mengucapkannya sepenuh hati, saat ia mengancingkan buah baju seragam
yang barusan dikenakan.
"Oh ya? Bukankah hari ini hujan? Biasanya sekolah diliburkan."
Sahutnya.
"Tidak, Bu. Sekolahku tidak libur." Bocah itu membantah
cepat.
"Begitukah? Dimana sekolahmu itu? Mengapa ia memberlakukan
aturan yang tak biasa? Bukankah kau bisa basah, lalu sakit, kalau
memaksakan diri ke sekolah dalam hujan deras seperti ini?"
"Sekolahku di kaki bukit. Sekolah yang besar dengan seorang
guru perempuan yang cantik."
"Sekolah yang besar?"
"Ya. Meskipun atapnya sudah berkarat dan mulai berlubang di
sana-sini, dindingnya papan yang mulai tua dan pagarnya dari kayu tak
berserut, tapi sekolah itu indah di mataku. Dan hari ini, aku menjadi
murid barunya, dengan baju ini dan juga buku serta pensil baruku."
Bocah itu mengacungkan tangannya yang menggenggam kantung plastik
hitam lusuh. Perempuan itu menahan senyumnya. Lamat-lamat ia
merasakan kepedihan.
"Ibu, bolehkan aku pergi sekarang?" Perempuan itu menatap
keluar dan menggeleng seketika.
"Tidak, Nak. Hujan begitu deras. Kalau kau bermain di luar,
maka kau akan sakit. Ibu tak ingin kau sakit." Ia membelai
rambut gadis kecil bermata bola di depannya dengan sepenuh perasaan.
Ada ngilu yang menyusup. "Pergilah ke kamarmu dan bermain
sekolah-sekolahan di sana. Setelah selesai memasak, ibu akan bermain
bersamamu." Bocah itu mematung, bibirnya mengatup rapat.
"Aku ingin ke sekolah!" Serunya kemudian, memecah ruangan.
"Tapi tak ada sekolah di saat hujan."
"Ada!" Gadis kecil itu mengentakkan kakinya. Perempuan di
depannya mengembuskan nafas, memintal sabar.
"Dengar, Nak. Tak ada sekolah di sini. Kelak kau akan
bersekolah cukup jauh dari rumah, di balik bukit sana."
Perempuan itu menunjuk ke bukit yang menjulang di kejauhan. "Kau
akan pergi bersama-sama anak Bu Ratna, Bu Asih dan Bu Dedeh. Kalian
akan ditumpangkan di bendi Pak Husni dan kembali dengan berjalan
kaki. Tapi itu nanti, mungkin sekitar dua tahun lagi. Masih lama,
kan?" Perempuan itu menjelaskan dengan panjang-lebar. Senyumnya
tersungging tipis.
Tapi bocah itu menggeleng kuat.
"Tidak. Sekolahku di kaki bukit. Tak begitu jauh. Aku selalu ke
sana setiap hari. Aku melihat mereka belajar, bernyanyi dan berdo'a.
Aku tak harus diantar siapa-siapa." Bantahnya keras-kepala.
Ibunya tertawa. Ia tak habis pikir, darimana anaknya mendapatkan ide
cerita seperti itu? Sekolah di kaki bukit? Ah, bukankah itu cerita
masa lalu? Sekolah itu memang pernah ada, tapi belasan tahun silam.
Saat ia masih kanak-kanak, enam tahun dihabiskannya di sana, menimba
ilmu bersama para guru yang sangat penyabar.
Perempuan itu terus tertawa sambil menggandeng anaknya menuju kamar.
"Bermain dulu di sini. Ibu akan kembali dan menemanimu
secepatnya." Perempuan itu meninggalkan anaknya sendirian,
seperti hari-hari yang lalu. Senyumnya masih terbetik saat menatap
tubuh anaknya yang berbalut seragam.
Ayin tiba di pekarangan sekolah. Senyumnya merekah. Tapi tak ada
orang di selasar. Lengang. Senyap. Hujan pun enggan merambat.
Entahlah, di luar pagar hujan begitu deras.
Ayin melangkah perlahan. Lamat-lamat ia mendengar suara anak-anak
yang melafalkan do'a sebelum memulai pelajaran. Ayin terkesiap.
Astaga, ia terlambat! Ayin berlari menyusuri selasar, menuju
kelasnya. Ia tiba di ambang pintu. Tak ada sesiapa di sana. Sepi.
"Ayin.." Seseorang menyapa dari balik punggungnya. Ayin
membalikkan tubuh. Ia tak memercayai penglihatannya.
"Ayin.." Suara itu menyadarkannya. Juga sebuah uluran
tangan.
"Ayah..." Sahutnya sembari memeluk lelaki di depannya
sepenuh rindu yang meluap-luap. Lelaki itu memeluknya erat dan
mengecup ubun-ubunnya dengan lembut.
"Pulanglah, Nak. Ayah akan mengantarmu."
"Aku mau bersekolah, Ayah."
"Ya. Tapi bukan sekarang. Kelak pada masanya akan ada sekolah
baru di desa kita. Kau akan belajar di sana, Nak. Bukan di sini."
Suara itu memarau, menyergapkan kemutlakan yang tak mungkin dibantah.
Ayin mengangguk.
"Baiklah, Ayah." Beriringan keduanya menyusuri selasar,
menyongsong hujan.
Perempuan itu tersadar. Sekolah di kaki bukit? Bukankah sekolah itu
telah terkubur oleh longsoran tebing? Pun suaminya, yang tengah
bekerja menyisip atap sekolah?
Perempuan itu mencelat dari keterpakuannya dan berlari menuju
beranda. Sepasang matanya bergerak liar menyapu seluruh sudut. Tak
separuh bayangan pun yang ditemuinya. Suaranya tercekat, seberapapun
kuat usahanya untuk berteriak. Padam, suaranya rapuh diam-diam. Hujan
masih deras, hunjamannya seperti mata pisau yang saling bergandengan.
Tak ada celah, tak ada sela, tak ada jeda. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar