Pages

Sabtu, 07 September 2013

DUA HARI


Oleh : R. Yulia
Padang Ekspres, 10022013
 

Jangan pernah percaya dengan lelaki, Yu. Mereka semua pendusta!

Kalimat itu seperti alarm, yang pada waktu-waktu tertentu menguing-nguing di telingaku. Dibisikkan selama bertahun-tahun, seperti senandung nina bobok. Yang jelas, semua dimulai sejak usiaku masih sangat belia. Aku tak dapat mengingat. Yang kutahu, kalimat itu dibisikkan lewat kehangatan udara yang bergelombang. Juga desir harum daun mint. Dan aku terperangkap dalam hangat dan keharumannya.

Aku tak pernah sepenuhnya bisa mencerna kata-kata itu. Bisikan yang merangkaki saluran pendengaranku rasanya hanya bertumpuk begitu saja di liang telinga. Terpuruk. Aku masih terlalu hijau untuk memahami maknanya. Mungkin suatu hari nanti.

Yu, kelak saat kau remaja, ingatlah selalu pesanku, ya? Jangan percaya dengan para lelaki. Mereka hanya akan memberikanmu beban janji.


Aku manggut-manggut ketika Mbak Sekar kembali mengulangi kalimat favoritnya. Percayalah, aku manggut bukan karena ingin menyenangkan hatinya dan berlagak mengerti. Aku melakukannya karena sebuah dorongan otomatis di bawah sadarku. Aku melakukannya begitu saja. Ya, seperti saat kau terhuyung dan nyaris jatuh, lalu tanganmu reflek menapak lantai untuk bertumpu. Mbak Sekar tersenyum, puas dengan reaksiku.

Mbak Sekar menggamit daguku dan mengusap ubun-ubun.

Kamu cantik, Yu. Seperti ibumu. Aku yakin, saat remaja nanti, pasti banyak lelaki yang terpikat denganmu. Tapi jangan terbuai. Karena kalau itu kau lakukan, kau akan jatuh terkapar. Sekarat. Merekalah yang harus kau buat sekarat. Cinta itu nggak ada. Jangan percaya dengan kata-kata cinta. Itu sihir yang akan melemahkanmu. Ingat, Yu. Dunia akan berada dalam genggamanmu jika kau menuruti kata-kataku.

Aku kembali manggut-manggut. Mbak Sekar tak bicara lagi. Ia sibuk merapikan jalinan rambutku. Aku juga enggan bertanya. Kupikir, apa yang dikatakan Mbak Sekar sudah sangat jelas. Bahkan kalaupun aku memiliki pertanyaan, semuanya hanya kusimpan dalam hati saja. Aku tak pandai mengatakannya.

Mbak Sekar, hanya dia satu-satunya orang yang kupercaya di dunia ini. Bagiku dia lebih mirip seorang ibu. Tapi bukan seperti ibunya Ninuk, tetangga depan rumahku. Ibunya Ninuk jahat! Dia suka memukuli Ninuk dengan sandal jepit dan gagang sapu. Mbak Sekar baik dan lembut. Dia yang merawatku, memandikan, merapikan rambut, memasakkan makanan, mencuci dan menyetrika bajuku. Sesekali, ia juga bersenandung untukku. Aku suka tertidur dalam pangkuannya. Itu saat-saat yang menentramkan. Kata Mbak Sekar, ibuku meninggal saat melahirkanku. Jadi, aku hanya memiliki dirinya di dunia ini. Apakah Mbak Sekar kakakku? Entahlah, aku tak pernah memiliki keberanian -pun kemampuan- untuk menanyakannya.

Sehabis Isya, Mbak Sekar selalu meninggalkanku. Ia kembali keesokan paginya. Pagi-pagi benar. Aku bahkan tak tahu pasti ia tiba pukul berapa. Karena saat aku terjaga, ia telah sibuk di dapur. Aroma masakan yang menyergap hidungku segera memancing rasa lapar, sehingga aku selalu lupa untuk bertanya, pukul berapa ia tiba.

“Yu, kau sudah bangun?” Aku mengangguk. Perempuan berambut ikal tebal sebahu itu mendekatiku. Ia berjongkok di hadapanku sambil menatapku dengan cermat, lewat sepasang mata bundarnya yang keruh.

“Yu, besok pagi aku harus pergi ke suatu tempat. Sekitar dua hari. Kau berani di rumah sendirian, kan? Aku sudah siapkan lauk kering untuk makananmu.” Aku menatap wajahnya. Di rumah sendirian? Dua hari? Ah, lamakah dua hari itu? Tapi dari kata-kata Mbak Sekar, sepertinya dua hari itu tidak lama.

“Kamu berani, Yu?” Aku mengangguk kuat-kuat. Bukankah selama ini ia juga selalu meninggalkanku sehabis Magrib dan kembali esok pagi? Mbak Sekar tersenyum. Ia mengusap kepalaku.

“Bagus. Kamu memang pintar, Yu. Perempuan memang harus pintar. Ayoo...” Ia menggandeng tanganku menuju kamar mandi. Ia mengguyur dan menggosok tubuhku dengan lembut. Sesekali ia tertawa dan menjentik satu dua gelembung sabun di perutku.

Begitulah.. Setelah seharian menghabiskan waktu bermain denganku, malam ini Mbak Sekar menemaniku tidur dengan beberapa dongeng indah yang dicomotnya entah darimana. Ia tak meninggalkanku seperti malam-malam sebelumnya. Ia berbaring di sampingku sambil membelai rambut, mengusap punggung dan menepuk-nepuk lembut pinggulku. Senyumnya terus mengembang hingga mataku mengatup. Aku tertidur dengan mimpi yang sebelumnya tak pernah singgah. Sebuah mimpi indah. Mimpi yang membuatku tak terjaga meski ada dua bulir air bening yang jatuh ke atas dahiku. Aku bahkan tak pernah tahu kalau itu airmata. Airmata Mbak Sekar!

Meski telah pamit, aku tak menyangka kalau Mbak Sekar akan pergi pagi-pagi benar. Aku tak mendapati sosoknya lagi ketika terjaga. Yang kutemukan hanya serundeng daging dan sambal teri kacang tanah di stoples. Juga nasi hangat di kukusan. Oh ya, aku juga menemukan dua lembar kertas persegi berwarna hijau putih yang ditindih gelas kaca. Semuanya diletakkan di atas meja rendah. Mbak Sekar pasti sengaja meletakkannya di sana untuk memudahkanku mengambilnya.

Aku makan dengan lahap. Serundeng daging adalah lauk kesukaanku. Begitu juga sambal teri kacang tanah. Seusai makan, aku bingung harus melakukan apa. Tubuhku gerah. Aku rasa, aku harus mandi. Tapi mandi sendiri? Bukankah itu tak pernah kulakukan sebelumnya? Bagaimana kalau aku tergelincir saat berjinjit meraih gayung? Bak air di kamar mandi tingginya melampaui tubuhku. Ah, sudahlah. Tak mandi juga tak apa. Bukankah Mbak Sekar hanya pergi dua hari? Itu takkan lama. Aku tak mungkin menjadi sangat bau jika tak mandi dua hari.

Menghabiskan siang tanpa Mbak Sekar, bukanlah hal mudah. Biasanya ia meninggalkanku di malam hari dan aku hanya melewati waktu sendiri dengan tidur hingga esok pagi, lalu melihatnya lagi. Tapi siang? Sendiri? Apa yang harus kulakukan? Tadinya setelah makan, aku mencoba tidur. Hanya sesaat, sebelum berbolak-balik posisi dengan gelisah. Aku tak bisa tidur dengan udara gerah. Biasanya ada Mbak Sekar yang akan mengipasiku dengan lembaran koran hingga tertidur.

Lewat kaca jendela yang buram, aku menatap anak-anak yang tengah bermain gundu di halaman rumah. Aku pikir, mereka sangat beruntung. Memiliki ayah, ibu, saudara dan teman. Tapi aku juga beruntung biarpun hanya memiliki Mbak Sekar, bantahku seketika. Tiba-tiba aku merasa ingin pipis. Aku menekan perut bagian bawah untuk menghalangi keinginan itu. Aduh.., bagaimana ini? Aku tak bisa menahannya lebih lama. Aku harus ke kamar mandi, berjongkok dan cebok. Tapi bagaimana caranya cebok sendiri?

Aku menekan perut semakin kuat. Namun, rasa itu semakin menyesak. Dan aku hanya bisa pasrah menunggu, sampai beberapa saat kemudian air hangat mengaliri kedua pahaku. Terus merembes hingga betis dan pergelangan kaki. Akhirnya menggenang di sekitar telapak kaki. Aku menatapnya dengan dungu dan mata berkaca-kaca. Ingatanku melayang pada sebuah kalimat yang diucapkan Mbak Sekar dengan riang; Lihat, kau sudah besar dan semakin pintar, Yu. Sudah sebulan ini kau tidak ngompol lagi. Hebat, Yu. Aku menggigit bibir dengan perasaan bersalah yang memukul-mukul hati. Maafkan aku, Mbak. Aku ngompol lagi. Cepatlah pulang! Pipis ini begitu jahat padaku.

Waktu berlalu dengan sangat lama. Aku duduk menatap jarum jam yang berputar lambat dan mengeluarkan bunyi tik tok tik tok. Di luar, gelap turun membungkus harap. Kuputuskan untuk memanjat kursi dan menghidupkan lampu. Mbak Sekar mengajariku untuk kebisaan yang satu ini. Baju bagian bawah yang tadi kuyup, kini mulai sedikit mengering. Tapi baunya tak kunjung menghilang.

Aku masih duduk mencangkung. Perutku lapar. Sepertinya aku harus makan. Bukankah serundeng daging dan sambal teri kacang tanah masih bersisa? Aku makan dengan tak bersemangat. Dua hari, seberapa lama lagi?

Malam ini, aku tidur dengan sisa tangis. Bagaimana tidak? Aku ngompol lagi! Mbak Sekar pergi dan aku semakin bodoh. Baju dan celana dalamku kuyup. Bau. Aku menanggalkannya dengan paksa. Kupikir ada suara robek di beberapa bagiannya. Kubuka lemari dan mengambil baju juga celana dalam. Setelah berkali-kali mencoba dengan putus asa, kupikir aku telah mengenakannya dengan benar. Meski ada yang ganjil dengan posisi celana dalamku. Gambar boneka berkepang yang biasanya di pantat, kini beralih ke depan. Aku menatapnya asing. Tak penting. Yang jelas aku tak kedinginan dan bau.

Dua hari itu ternyata lama. Aku sudah melewati malam dan siang yang panjang dan berganti-ganti. Stoples serundeng dan sambal teri kacang tanah juga sudah kosong. Nasi di kukusan juga sudah diselimuti cendawan. Tapi Mbak Sekar belum kembali.

Pagi ini aku terbangun dengan rasa lapar yang menggigit dan menatap dua stoples kosong dengan putus asa. Pandanganku beralih ke lembaran kertas hijau yang ditindih gelas kaca. Seingatku, lembaran itu pernah diberikan Mbak Sekar pada pemilik kedai nasi di ujung gang. Sebagai gantinya, pemilik kedai memberikan dua bungkus nasi pada Mbak Sekar. Hmm..., ya..ya..aku akan memberikan lembaran itu ke pemilik kedai. Pasti ia akan memberikanku nasi bungkus.

Benar saja. Pemilik kedai nasi itu memberikan sebungkus nasi kepadaku (setelah beberapa saat bersusah-payah memahami isyarat tanganku yang menunjuk tempat nasi dan lauk yang kuinginkan) dan juga selembar kertas serupa berwarna ungu.

“Yu..! Yu..!”

Aku menghentikan langkah. Sepertinya seruan itu ditujukan padaku. Aku menoleh. Seorang perempuan gemuk berambut keriting berlari-lari kecil menyusulku. Aku memandangnya dengan dahi berkerut. Sepertinya aku mengenal perempuan itu. Ah ya, dia kan Bu ….ah aku lupa namanya. Tapi ia tinggal di sebelah kanan rumahku.

“Yu. Kamu kemana saja? Tadi aku mencarimu ke rumah. Astaga, kamu jorok sekali.” Aku menatapnya dengan bingung.

“Yu, kamu tinggal di rumahku saja mulai sekarang, ya? Nanti biar aku yang mengemasi barang-barang di rumah.” Dahiku mulai berkerut. Apa yang dibicarakannya?

“Ayoo..” Ia menggandeng tanganku. “Ah, kau lapar, ya? Baru membeli nasi? Sini kupegang. Seharusnya sejak kemarin aku menjemputmu. Ibumu sudah menyerahkanmu padaku. Tapi kemarin aku sibuk sekali.” Ibu? Aku mengibaskan tangan perempuan itu dan memandangnya dengan penuh tuntutan.

“Kenapa?” Ia sedikit terkejut dengan reaksiku. Namun mereda sesaat kemudian, seperti memaklumi suatu hal.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan. Ibumu itu masih muda dan cantik. Wajar saja kalau ada lelaki kaya yang menginginkannya. Biarpun hanya menjadi istri simpanan, yang penting kan banyak duit. Ibumu akan mengirimi uang untukmu setiap bulan. Ia tak mungkin mengajakmu serta. Pasti ia berdusta padamu saat akan pergi, kan? Jadi nggak usah dipikirkan, ya? Yuukk..” Perempuan itu menggandengku dengan setengah memaksa. Kali ini pegangannya cukup kuat. Aku tak kuasa meronta. Lagipula, aku memang tak ingin meronta. Benakku sibuk meraba sketsa. Ibu? Apakah Ibuku yang telah mati datang kembali? Ia muda dan cantik? Apakah seperti Mbak Sekar? Lalu.., apa maksudnya Ibuku berdusta? Bukankah Ibuku perempuan? Bukankah kata Mbak Sekar yang pendusta itu laki-laki? Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat. Aku tak mengerti semuanya, kecuali satu; dua hari itu ternyata sangat lama!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar