Padang Ekspres, 10022013
“Jangan
pernah
percaya
dengan
lelaki,
Yu.
Mereka
semua
pendusta!”
Kalimat
itu
seperti
alarm, yang pada waktu-waktu tertentu menguing-nguing di telingaku.
Dibisikkan
selama bertahun-tahun, seperti senandung nina bobok.
Yang
jelas,
semua
dimulai
sejak usiaku masih
sangat
belia.
Aku
tak
dapat
mengingat.
Yang
kutahu,
kalimat
itu
dibisikkan
lewat
kehangatan
udara
yang
bergelombang.
Juga
desir
harum
daun
mint.
Dan
aku
terperangkap
dalam
hangat
dan
keharumannya.
Aku
tak
pernah
sepenuhnya bisa
mencerna
kata-kata
itu.
Bisikan
yang
merangkaki
saluran
pendengaranku
rasanya
hanya
bertumpuk
begitu
saja
di
liang
telinga.
Terpuruk.
Aku
masih
terlalu
hijau
untuk
memahami
maknanya.
Mungkin
suatu
hari
nanti.
“Yu,
kelak
saat
kau
remaja,
ingatlah
selalu
pesanku,
ya?
Jangan
percaya
dengan
para
lelaki.
Mereka
hanya
akan
memberikanmu
beban
janji.”
Aku
manggut-manggut
ketika
Mbak
Sekar
kembali
mengulangi
kalimat
favoritnya.
Percayalah,
aku
manggut
bukan
karena
ingin
menyenangkan
hatinya
dan
berlagak
mengerti.
Aku
melakukannya
karena
sebuah
dorongan
otomatis
di
bawah
sadarku.
Aku
melakukannya
begitu
saja.
Ya,
seperti
saat
kau
terhuyung
dan
nyaris
jatuh,
lalu
tanganmu
reflek
menapak
lantai
untuk
bertumpu.
Mbak
Sekar
tersenyum,
puas
dengan
reaksiku.
Mbak
Sekar
menggamit
daguku dan mengusap
ubun-ubun.
“Kamu
cantik,
Yu.
Seperti ibumu. Aku
yakin,
saat
remaja
nanti,
pasti
banyak
lelaki
yang
terpikat
denganmu.
Tapi
jangan
terbuai.
Karena
kalau
itu
kau
lakukan,
kau
akan
jatuh
terkapar.
Sekarat.
Merekalah
yang
harus
kau
buat
sekarat.
Cinta
itu
nggak
ada.
Jangan
percaya
dengan
kata-kata
cinta.
Itu
sihir
yang
akan
melemahkanmu.
Ingat,
Yu.
Dunia
akan
berada
dalam
genggamanmu
jika
kau
menuruti
kata-kataku.”
Aku kembali manggut-manggut.
Mbak Sekar tak bicara lagi. Ia sibuk merapikan jalinan rambutku. Aku
juga enggan bertanya. Kupikir, apa yang dikatakan Mbak Sekar sudah
sangat jelas. Bahkan kalaupun aku memiliki pertanyaan, semuanya hanya
kusimpan dalam hati saja. Aku tak pandai mengatakannya.
Mbak Sekar, hanya dia
satu-satunya orang yang kupercaya di dunia ini. Bagiku dia lebih
mirip seorang ibu. Tapi bukan seperti ibunya Ninuk, tetangga depan
rumahku. Ibunya Ninuk jahat! Dia suka memukuli Ninuk dengan sandal
jepit dan gagang sapu. Mbak Sekar baik dan lembut. Dia yang
merawatku, memandikan, merapikan rambut, memasakkan makanan, mencuci
dan menyetrika bajuku. Sesekali, ia juga bersenandung untukku. Aku
suka tertidur dalam pangkuannya. Itu saat-saat yang menentramkan.
Kata Mbak Sekar, ibuku meninggal saat melahirkanku. Jadi, aku hanya
memiliki dirinya di dunia ini. Apakah Mbak Sekar kakakku? Entahlah,
aku tak pernah memiliki keberanian -pun kemampuan- untuk
menanyakannya.
Sehabis Isya, Mbak Sekar selalu
meninggalkanku. Ia kembali keesokan paginya. Pagi-pagi benar. Aku
bahkan tak tahu pasti ia tiba pukul berapa. Karena saat aku terjaga,
ia telah sibuk di dapur. Aroma masakan yang menyergap hidungku
segera memancing rasa lapar, sehingga aku selalu lupa untuk bertanya,
pukul berapa ia tiba.
“Yu, kau sudah bangun?” Aku
mengangguk. Perempuan berambut ikal tebal sebahu itu mendekatiku. Ia
berjongkok di hadapanku sambil menatapku dengan cermat, lewat
sepasang mata bundarnya yang keruh.
“Yu, besok pagi aku harus
pergi ke suatu tempat. Sekitar dua hari. Kau berani di rumah
sendirian, kan? Aku sudah siapkan lauk kering untuk makananmu.” Aku
menatap wajahnya. Di rumah sendirian? Dua hari? Ah, lamakah dua hari
itu? Tapi dari kata-kata Mbak Sekar, sepertinya dua hari itu tidak
lama.
“Kamu berani, Yu?” Aku
mengangguk kuat-kuat. Bukankah selama ini ia juga selalu
meninggalkanku sehabis Magrib dan kembali esok pagi? Mbak Sekar
tersenyum. Ia mengusap kepalaku.
“Bagus. Kamu memang pintar,
Yu. Perempuan memang harus pintar. Ayoo...” Ia menggandeng tanganku
menuju kamar mandi. Ia mengguyur dan menggosok tubuhku dengan lembut.
Sesekali ia tertawa dan menjentik satu dua gelembung sabun di
perutku.
Begitulah.. Setelah seharian
menghabiskan waktu bermain denganku, malam ini Mbak Sekar menemaniku
tidur dengan beberapa dongeng indah yang dicomotnya entah darimana.
Ia tak meninggalkanku seperti malam-malam sebelumnya. Ia berbaring di
sampingku sambil membelai rambut, mengusap punggung dan menepuk-nepuk
lembut pinggulku. Senyumnya terus mengembang hingga mataku mengatup.
Aku tertidur dengan mimpi yang sebelumnya tak pernah singgah. Sebuah
mimpi indah. Mimpi yang membuatku tak terjaga meski ada dua bulir air
bening yang jatuh ke atas dahiku. Aku bahkan tak pernah tahu kalau
itu airmata. Airmata Mbak Sekar!
Meski telah pamit, aku tak
menyangka kalau Mbak Sekar akan pergi pagi-pagi benar. Aku tak
mendapati sosoknya lagi ketika terjaga. Yang kutemukan hanya
serundeng daging dan sambal teri kacang tanah di stoples. Juga nasi
hangat di kukusan. Oh ya, aku juga menemukan dua lembar kertas
persegi berwarna hijau putih yang ditindih gelas kaca. Semuanya
diletakkan di atas meja rendah. Mbak Sekar pasti sengaja
meletakkannya di sana untuk memudahkanku mengambilnya.
Aku makan dengan lahap.
Serundeng daging adalah lauk kesukaanku. Begitu juga sambal teri
kacang tanah. Seusai makan, aku bingung harus melakukan apa. Tubuhku
gerah. Aku rasa, aku harus mandi. Tapi mandi sendiri? Bukankah itu
tak pernah kulakukan sebelumnya? Bagaimana kalau aku tergelincir saat
berjinjit meraih gayung? Bak air di kamar mandi tingginya melampaui
tubuhku. Ah, sudahlah. Tak mandi juga tak apa. Bukankah Mbak Sekar
hanya pergi dua hari? Itu takkan lama. Aku tak mungkin menjadi sangat
bau jika tak mandi dua hari.
Menghabiskan siang tanpa Mbak
Sekar, bukanlah hal mudah. Biasanya ia meninggalkanku di malam hari
dan aku hanya melewati waktu sendiri dengan tidur hingga esok pagi,
lalu melihatnya lagi. Tapi siang? Sendiri? Apa yang harus kulakukan?
Tadinya setelah makan, aku mencoba tidur. Hanya sesaat, sebelum
berbolak-balik posisi dengan gelisah. Aku tak bisa tidur dengan udara
gerah. Biasanya ada Mbak Sekar yang akan mengipasiku dengan lembaran
koran hingga tertidur.
Lewat
kaca
jendela
yang
buram,
aku
menatap
anak-anak
yang
tengah
bermain
gundu
di
halaman
rumah.
Aku
pikir,
mereka
sangat
beruntung.
Memiliki
ayah,
ibu,
saudara
dan
teman.
Tapi
aku
juga
beruntung
biarpun
hanya
memiliki
Mbak
Sekar,
bantahku
seketika.
Tiba-tiba
aku
merasa
ingin
pipis.
Aku
menekan
perut
bagian
bawah
untuk
menghalangi
keinginan
itu.
Aduh..,
bagaimana
ini? Aku tak bisa
menahannya lebih lama.
Aku
harus
ke
kamar
mandi,
berjongkok
dan
cebok.
Tapi
bagaimana
caranya
cebok
sendiri?
Aku
menekan
perut
semakin
kuat.
Namun,
rasa
itu
semakin
menyesak.
Dan
aku
hanya
bisa
pasrah
menunggu,
sampai
beberapa
saat
kemudian
air
hangat
mengaliri
kedua
pahaku.
Terus
merembes
hingga
betis
dan
pergelangan
kaki.
Akhirnya
menggenang
di
sekitar
telapak
kaki.
Aku
menatapnya
dengan
dungu
dan
mata
berkaca-kaca.
Ingatanku
melayang
pada
sebuah
kalimat
yang
diucapkan
Mbak
Sekar
dengan
riang;
“Lihat,
kau
sudah
besar
dan
semakin
pintar,
Yu.
Sudah
sebulan
ini
kau
tidak
ngompol
lagi.
Hebat,
Yu.”
Aku
menggigit
bibir
dengan
perasaan
bersalah
yang
memukul-mukul
hati.
Maafkan
aku,
Mbak.
Aku
ngompol
lagi.
Cepatlah
pulang!
Pipis
ini
begitu
jahat
padaku.
Waktu berlalu dengan sangat
lama. Aku duduk menatap jarum jam yang berputar lambat dan
mengeluarkan bunyi tik tok tik tok. Di luar, gelap turun membungkus
harap. Kuputuskan untuk memanjat kursi dan menghidupkan lampu. Mbak
Sekar mengajariku untuk kebisaan yang satu ini. Baju bagian bawah
yang tadi kuyup, kini mulai sedikit mengering. Tapi baunya tak
kunjung menghilang.
Aku masih duduk mencangkung.
Perutku lapar. Sepertinya aku harus makan. Bukankah serundeng daging
dan sambal teri kacang tanah masih bersisa? Aku makan dengan tak
bersemangat. Dua hari, seberapa lama lagi?
Malam ini, aku tidur dengan sisa
tangis. Bagaimana tidak? Aku ngompol lagi! Mbak Sekar pergi dan aku
semakin bodoh. Baju dan celana dalamku kuyup. Bau. Aku
menanggalkannya dengan paksa. Kupikir ada suara robek di beberapa
bagiannya. Kubuka lemari dan mengambil baju juga celana dalam.
Setelah berkali-kali mencoba dengan putus asa, kupikir aku telah
mengenakannya dengan benar. Meski ada yang ganjil dengan posisi
celana dalamku. Gambar boneka berkepang yang biasanya di pantat, kini
beralih ke depan. Aku menatapnya asing. Tak penting. Yang jelas aku
tak kedinginan dan bau.
Dua hari itu ternyata lama. Aku
sudah melewati malam dan siang yang panjang dan berganti-ganti.
Stoples serundeng dan sambal teri kacang tanah juga sudah kosong.
Nasi di kukusan juga sudah diselimuti cendawan. Tapi Mbak Sekar belum
kembali.
Pagi ini aku terbangun dengan
rasa lapar yang menggigit dan menatap dua stoples kosong dengan putus
asa. Pandanganku beralih ke lembaran kertas hijau yang ditindih gelas
kaca. Seingatku, lembaran itu pernah diberikan Mbak Sekar pada
pemilik kedai nasi di ujung gang. Sebagai gantinya, pemilik kedai
memberikan dua bungkus nasi pada Mbak Sekar. Hmm..., ya..ya..aku
akan memberikan lembaran itu ke pemilik kedai. Pasti ia akan
memberikanku nasi bungkus.
Benar saja. Pemilik kedai nasi
itu memberikan sebungkus nasi kepadaku (setelah beberapa saat
bersusah-payah memahami isyarat tanganku yang menunjuk tempat nasi
dan lauk yang kuinginkan) dan juga selembar kertas serupa berwarna
ungu.
“Yu..! Yu..!”
Aku menghentikan langkah.
Sepertinya seruan itu ditujukan padaku. Aku menoleh. Seorang
perempuan gemuk berambut keriting berlari-lari kecil menyusulku. Aku
memandangnya dengan dahi berkerut. Sepertinya aku mengenal perempuan
itu. Ah ya, dia kan Bu ….ah aku lupa namanya. Tapi ia tinggal di
sebelah kanan rumahku.
“Yu. Kamu kemana saja? Tadi
aku mencarimu ke rumah. Astaga, kamu jorok sekali.” Aku menatapnya
dengan bingung.
“Yu, kamu tinggal di rumahku
saja mulai sekarang, ya? Nanti biar aku yang mengemasi barang-barang
di rumah.” Dahiku mulai berkerut. Apa yang dibicarakannya?
“Ayoo..” Ia menggandeng
tanganku. “Ah, kau lapar, ya? Baru membeli nasi? Sini kupegang.
Seharusnya sejak kemarin aku menjemputmu. Ibumu sudah menyerahkanmu
padaku. Tapi kemarin aku sibuk sekali.” Ibu?
Aku mengibaskan tangan perempuan itu dan memandangnya dengan penuh
tuntutan.
“Kenapa?”
Ia sedikit terkejut dengan reaksiku. Namun mereda sesaat kemudian,
seperti memaklumi suatu hal.
“Sudahlah,
tak usah dipikirkan. Ibumu itu masih muda dan cantik. Wajar saja
kalau ada lelaki kaya yang menginginkannya. Biarpun hanya menjadi
istri simpanan, yang penting kan banyak duit. Ibumu akan mengirimi
uang untukmu setiap bulan. Ia tak mungkin mengajakmu serta. Pasti ia
berdusta padamu saat akan pergi, kan? Jadi nggak usah dipikirkan, ya?
Yuukk..” Perempuan itu menggandengku dengan setengah memaksa. Kali
ini pegangannya cukup kuat. Aku tak kuasa meronta. Lagipula, aku
memang tak ingin meronta. Benakku sibuk meraba sketsa. Ibu?
Apakah Ibuku yang telah mati datang kembali? Ia muda dan cantik?
Apakah seperti Mbak Sekar? Lalu.., apa maksudnya Ibuku berdusta?
Bukankah Ibuku perempuan? Bukankah kata Mbak Sekar yang pendusta itu
laki-laki? Aku
menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat. Aku tak mengerti semuanya,
kecuali satu; dua
hari itu ternyata sangat lama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar