Pages

Kamis, 26 September 2013

GURUKU TAMPAN SEKALI


Oleh : R. Yulia
Dimuat Mj Kreatif, 23 Juni 2011 

Aku berjalan terburu-buru menuju kelas. Sudah lonceng. Tak seorang pun berada di luar kelas lagi. Duh, semoga Pak Rahim belum masuk ke kelas, harapku. Dan, hup. Aku tiba di ambang pintu kelas, disambut tawa riuh seluruh teman. Ada apa? Aku kebingungan. Olala, ternyata teman-teman mengira aku adalah Pak Rahim. Cihuii, Pak Rahim belum masuk. Aku bergegas menuju bangku. Kelas gaduh kembali.
“Pak Rahim nggak masuk, ya?” tanyaku pada Karen, teman sebangkuku. Cewek berhidung bangir berkacamata itu menggeleng.
“Kabarnya sih, Pak Rahim pindah.” Aku melotot. Pindah? Ya ampuun, beliau kan guru favoritku.
“Pindah kemana?” Karen angkat bahu.
“Tapi sudah ada penggantinya.”
“Oh ya?” Karen tak sempat menjawab. Kelas mendadak sepi. Seorang perempuan berjas biru memasuki kelas dengan langkah berwibawa. Bu Dian, sang kepala sekolah. Aku mengubah posisi duduk menjadi lebih tertib. Bu Dian terkenal galak. Tak seorang siswa pun ingin bermasalah dengan beliau. Termasuk, aku.
Tak lama, menyusul masuk seorang lelaki muda yang……ooow ya ampuunn. Aku terpana melihat lelaki yang memasuki kelas dengan senyum menawan itu. Gila, tampan sekali, decak hatiku.
“Mungkin ini pengganti Pak Rahim,” bisik Karen. Pandanganku tak teralihkan sedikitpun. Duh, lelaki itu mirip sekali dengan bintang idolaku.
Di depan kelas, Bu Dian memberi penjelasan singkat tentang lelaki itu. Benar, lelaki tampan itu adalah guru Bahasa Indonesia yang menggantikan Pak Rahim. Aku kegirangan. Asyiiikk, pasti menyenangkan diajar oleh guru setampan itu.
“Hei, melamun terus.” Karen menyikut. Aku tersentak. “Hati-hati lho. Tampan sih, tapi bisa jadi galak.” Karen terkikik perlahan. Aku manyun. Bu Dian sudah pergi, makanya Karen berani berkomentar.
Pak Fauzan memperkenalkan dirinya secara singkat. Dengan senyumnya yang tak pernah lepas, ia meminta seisi kelas memperkenalkan diri secara bergantian. Saat tiba giliranku, ada sedikit perasaan grogi. Syukurlah, bel istirahat berdentang tak lama kemudian. Lega.
“Hayyoo.., ngaku. Kamu naksir Pak Fauzan, ya?” tuding Karen begitu Pak Fauzan meninggalkan kelas.
“Iih, ya nggaklah. Ketuaan kali..” cibirku, meski tak urung tersipu juga.
Begitu tiba di rumah, aku menceritakan Pak Fauzan dengan penuh semangat pada Mama.
“Wadduuhh, serunya punya guru tampan. Seperti Mama dulu.” Aku menatap Mama dengan antusias.
“Mama juga pernah punya guru tampan?” Mama mengangguk.
“Iya. Mama juga naksir sama guru itu. Sayangnya, Mama terlampau banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan mengagumi ketampanan guru itu. Akibatnya nilai Mama anjlok. Dan Mama tinggal kelas,” kisah Mama dengan raut menyesal. Aku ternganga.
“Mama pernah tinggal kelas?” Aku setengah tak percaya. Tapi, Mama mengangguk. Astaga, Mama yang dosen teladan ternyata dulu pernah tinggal kelas juga?
“Hanya sekali itu saja. Mama tak mau mengulangi kebodohan yang sama. Nah, karena nilai Mama menjadi sangat bagus di tahun berikutnya, Mama mendapatkan kenangan indah dari guru tampan itu.” Wah, kenangan apa itu? Aku tak sabar menunggu kelanjutan cerita Mama.
“Apa itu, Ma?” kejarku.
“Sebuah kamus bahasa Inggris bergambar dan ditanda tangani oleh Pak Guru tampan itu. Pesannya, Mama harus lebih giat belajar lagi agar lancar berbahasa Inggris dan bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri. Mama menuruti nasehatnya. Dan akhirnya, setamat smu, Mama berhasil memenangkan beasiswa ke luar negeri. Keren, kan?” Wow, keren banget, Ma. Aku sibuk mengagumi indahnya kenangan Mama. Aku mulai berangan-angan. Seandainya….
“Nah.., melamun…” Mama menepuk pundakku perlahan.
“Makanya, kalau ingin mendapatkan perhatian guru tampan itu, rajinlah belajar. Manatahu, dengan kehadiran Pak Fauzan itu, anak Mama yang cantik ini bisa mendapatkan nilai sempurna dan menjadi juara umum.” Aku tersipu malu. Namun, aku setuju dengan kata-kata Mama. Ya, mudah-mudahan saja keberuntungan Mama menular padaku. Nah, Pak Fauzan, bersiaplah untuk tercengang! Aku mengepalkan tangan dengan antusias.
“Hmm.., sepertinya ada yang sudah bertekad bulat nih.” Mama mengerling menggoda. Aku hanya mesem-mesem. Lalu kudekatkan wajah ke telinga Mama.
“Tenang, Ma. Vira akan melakukan yang terbaik untuk Mama..” Mama tersenyum dan memelukku erat-erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar