Oleh : R. Yulia
Dimuat Mj Kreatif, 23 Juni 2011
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas. Sudah lonceng. Tak seorang
pun berada di luar kelas lagi. Duh, semoga Pak Rahim belum masuk ke
kelas, harapku. Dan, hup. Aku tiba di ambang pintu kelas, disambut
tawa riuh seluruh teman. Ada apa? Aku kebingungan. Olala, ternyata
teman-teman mengira aku adalah Pak Rahim. Cihuii, Pak Rahim belum
masuk. Aku bergegas menuju bangku. Kelas gaduh kembali.
“Pak Rahim nggak masuk, ya?” tanyaku pada Karen, teman
sebangkuku. Cewek berhidung bangir berkacamata itu menggeleng.
“Kabarnya sih, Pak Rahim pindah.” Aku
melotot. Pindah? Ya ampuun, beliau kan guru favoritku.
“Pindah kemana?” Karen angkat bahu.
“Tapi sudah ada penggantinya.”
“Oh ya?” Karen tak sempat menjawab. Kelas
mendadak sepi. Seorang perempuan berjas biru memasuki kelas dengan
langkah berwibawa. Bu Dian, sang kepala sekolah. Aku mengubah posisi
duduk menjadi lebih tertib. Bu Dian terkenal galak. Tak seorang siswa
pun ingin bermasalah dengan beliau. Termasuk, aku.
Tak lama, menyusul masuk seorang lelaki muda
yang……ooow ya ampuunn. Aku terpana melihat lelaki yang memasuki
kelas dengan senyum menawan itu. Gila, tampan sekali, decak hatiku.
“Mungkin ini pengganti Pak Rahim,” bisik Karen. Pandanganku tak
teralihkan sedikitpun. Duh, lelaki itu mirip sekali dengan bintang
idolaku.
Di depan kelas, Bu Dian memberi penjelasan
singkat tentang lelaki itu. Benar, lelaki tampan itu adalah guru
Bahasa Indonesia yang menggantikan Pak Rahim. Aku kegirangan.
Asyiiikk, pasti menyenangkan diajar oleh guru setampan itu.
“Hei, melamun terus.” Karen menyikut. Aku tersentak. “Hati-hati
lho. Tampan sih, tapi bisa jadi galak.” Karen terkikik perlahan.
Aku manyun. Bu Dian sudah pergi, makanya Karen berani berkomentar.
Pak Fauzan memperkenalkan dirinya secara singkat. Dengan senyumnya
yang tak pernah lepas, ia meminta seisi kelas memperkenalkan diri
secara bergantian. Saat tiba giliranku, ada sedikit perasaan grogi.
Syukurlah, bel istirahat berdentang tak lama kemudian. Lega.
“Hayyoo.., ngaku. Kamu naksir Pak Fauzan, ya?” tuding Karen
begitu Pak Fauzan meninggalkan kelas.
“Iih, ya nggaklah. Ketuaan kali..” cibirku, meski tak urung
tersipu juga.
Begitu tiba di rumah, aku menceritakan Pak Fauzan dengan penuh
semangat pada Mama.
“Wadduuhh, serunya punya guru tampan. Seperti Mama dulu.” Aku
menatap Mama dengan antusias.
“Mama juga pernah punya guru tampan?” Mama mengangguk.
“Iya. Mama juga naksir sama guru itu. Sayangnya, Mama terlampau
banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan mengagumi ketampanan guru
itu. Akibatnya nilai Mama anjlok. Dan Mama tinggal kelas,” kisah
Mama dengan raut menyesal. Aku ternganga.
“Mama pernah tinggal kelas?” Aku setengah tak percaya. Tapi,
Mama mengangguk. Astaga, Mama yang dosen teladan ternyata dulu pernah
tinggal kelas juga?
“Hanya sekali itu saja. Mama tak mau mengulangi
kebodohan yang sama. Nah, karena nilai Mama menjadi sangat bagus di
tahun berikutnya, Mama mendapatkan kenangan indah dari guru tampan
itu.” Wah, kenangan apa itu? Aku tak sabar menunggu kelanjutan
cerita Mama.
“Apa itu, Ma?” kejarku.
“Sebuah kamus bahasa Inggris bergambar dan ditanda tangani oleh
Pak Guru tampan itu. Pesannya, Mama harus lebih giat belajar lagi
agar lancar berbahasa Inggris dan bisa melanjutkan sekolah ke luar
negeri. Mama menuruti nasehatnya. Dan akhirnya, setamat smu, Mama
berhasil memenangkan beasiswa ke luar negeri. Keren, kan?” Wow,
keren banget, Ma. Aku sibuk mengagumi indahnya kenangan Mama. Aku
mulai berangan-angan. Seandainya….
“Nah.., melamun…” Mama menepuk pundakku perlahan.
“Makanya, kalau ingin mendapatkan perhatian
guru tampan itu, rajinlah belajar. Manatahu, dengan kehadiran Pak
Fauzan itu, anak Mama yang cantik ini bisa mendapatkan nilai sempurna
dan menjadi juara umum.” Aku tersipu malu. Namun, aku setuju dengan
kata-kata Mama. Ya, mudah-mudahan saja keberuntungan Mama menular
padaku. Nah, Pak Fauzan, bersiaplah untuk tercengang! Aku mengepalkan
tangan dengan antusias.
“Hmm.., sepertinya ada yang sudah bertekad bulat nih.” Mama
mengerling menggoda. Aku hanya mesem-mesem. Lalu kudekatkan wajah ke
telinga Mama.
“Tenang, Ma. Vira akan melakukan yang terbaik untuk Mama..” Mama
tersenyum dan memelukku erat-erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar