Pages

Jumat, 13 September 2013

VICKY-NISASI?


Vicky Prasetyo. Nama ini belakangan menguasai jagad pemberitaan dan obrolan di dunia maya. Saat menjenguk video wawancaranya di you tube, saya sempat tergelak sesaat. Begitupula kala menyimak beberapa komentar di jejaring sosial. Tapi kemudian saya berpikir, kenapa harus mentertawakan 'kepedean plus kedunguan' Vicky? Sungguhkah saya sudah lebih baik dari dia? Atau, tidakkah saya juga sempat terperangkap pada kalimat-kalimat yang salah dan tak pada tempatnya di waktu-waktu ke belakang?

Mungkin saja saya pernah terperangkap dalam kalimat-kalimat 'tinggi' seperti yang diucapkan Vicky, pada suatu masa, dimana kesadaran sedang tercerabut atau pikiran tengah kalut. Itulah bedanya dengan Vicky yang melakukannya sebagai hal yang biasa dalam komunikasinya dan percaya diri benar meski di bawah sorotan kamera.

Semua orang berkomentar, semua orang merasa lebih pintar. Vicky pun menjadi selebritis dadakan.
Lantas, apakah dengan membicarakannya tanpa henti seperti sekarang ini, kita tak sedang mempopulerkan bahasa 'ngawur kelas tinggi' milik Vicky? Kita membuat kalimat Vicky menjadi semakin memasyarakat, membumi, hingga ke kalangan tidak berpendidikan yang hanya menelan saja kalimat yang didengarnya. Mereka kira itu benar, keren dan wah. Maka terjadilah vicky-nisasi. Semua berkomunikasi ala Vicky. Dari mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga, tukang beca, pengangguran/preman, bisa jadi orang gila juga.

Akan ke sanakah tujuan dari semua obrolan mengejek seorang Vicky ini? Dan si playboy cap sabun batangan itu pun akan tertawa bangga dan menepuk dada, juga merasa bahwa ia tak salah sama sekali dalam penempatan kalimat (pfuh, jadi ingat pidatonya yang berapi-api itu).

Atas kesadaran itulah saya mengurungkan niat untuk membuat atau mengomentari status tentang Vicky. Tulisan ini hanya sekadar mengingatkan, stop injeksi vicky-nisasi! Biarkan saja dia berbahasa seperti itu. Cerna saja sebisanya, sebagaimana kita berhadapan dengan profesor, tukang beca maupun orang berlainan suku/bangsa. Vicku berhak merasa benar untuk apa yang dicerna isi kepalanya sebagai kebenaran. Semoga saja Vicky tak berniat membuat cerpen seperti itu, yang celakanya diloloskan oleh redaktur yang terkantuk-kantuk dan bosan melihat tumpukan naskah di emailnya.. :(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar