Pages

Kamis, 26 September 2013

SEUNTAI MAAF DI MATAMU


Oleh: R.Yulia

Dimuat Mj. Story, 25 Oktober 2009

“Viaaa! Cepetan gih! Udah mo berangkat nih!!” Teriakan Mama membahana dari luar kamarku.
“Iya..iya…Ma. Bentar!!” Aku balas berteriak. Waah, sudah seperti di hutan aja nih. Ala Tarzan. Untung nggak pake auwoo-an segala.
Cepat kurapikan isi koper, setelah sebelumnya memeriksa kembali apakah ada barang-barangku yang ketinggalan. Mudik…mudik…Ya, saat ini kami sekeluarga memang tengah bersiap-siap untuk mudik. Tradisi tahunan yang tak pernah terlewatkan. Selalu disambut dengan antusias. Pertemuan kembali dengan seluruh sanak saudara, oma, opa, tante, om, sepupu dan lain-lain. Menikmati kue-kue dan makanan lebaran khas kampung halaman. Mengantongi ‘THR’ dari saudara-saudara yang lebih tua. Ha..ha.., biarpun sudah gede dan duduk di bangku SMU, tapi yang namanya THR tetap jadi incaranku di hari Lebaran.
“Viaa!!” Teriakan Mama kembali bergema. Bergegas kututup koper dan menarik pegangannya. Lalu melangkah keluar kamar,setelah sebelumnya sempat melirik sejenak ke cermin. Sekadar memastikan penampilanku secara keseluruhan. Perfect, decakku sedikit narsis.
“Iya, Ma. Nggak sabaran amat sih?” gerutuku begitu tiba di teras. Semua sudah lengkap di sana. Mama, Papa dan Uni Vira.
“Ya iyalah. Pengen ketinggalan pesawat?” sahut Mama dengan tajam. Aku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku lebih banyak diam. Bahkan juga sampai di pesawat. Setiap pulang kampung, ada perasaan lain yang membawaku kembali ke masa lalu. Tepatnya, masa kecilku. Dan perasaan itu selalu berulang.
Ini bukan sekedar kenangan masa kecil yang berwarna-warni dengan teman-teman sebaya. Melainkan juga tentang ‘seseorang’ yang memiliki catatan hutang di benak dan hatiku. Aku mengeluh dalam hati. Kenapa ya, aku nggak juga bisa melupakannya? Padahal, itu kan hanya masa lalu. Dan terjadi saat aku masih anak-anak lagi. Toh, hati dan fikiranku tetap nggak mau melepaskannya hanya sebagai sebuah ‘catatan kecil’.
“Heii, kok diam aja, Via? Kesambet? Udah mau mendarat nih kita..” Uni Vira yang duduk di sebelahku, menepuk pahaku lumayan keras.
“Aww, sakit loh, Uni!’ pekikku tertahan. Lamunanku buyar.
“Rasain. Abis, sepanjang perjalanan kok bengong aja bawaannya. Tumben, betah diem.” Aku tertawa mendengar ‘pujian’ itu.
“Ya kan masih puasa...” kilahku.
“Halah, gayamu! Biasanya, makin kosong tuh perut makin cerewetlah bibirmu itu adikku...,” Uni Vira mencubit pelan pipiku. Aku meringis sambil mengusap-usap bekas cubitannya. Nggak sakit sih. Cuma reflek aja.
Akhirnya, tiba juga di kota kelahiran. Hmm, udara panas kota Padang langsung menyambut kami begitu keluar dari pesawat.
“Ma.., ntar malam cari durian ya? Adduh, udah ngidam lama nih ama durian. Hmm..., yummy..” kataku sambil mempermainkan lidah bagai orang yang tengah menikmati makanan lezat. Mama kontan melotot.
“Huss! Masih jam segini udah ngebayangin makanan.” Hardik Mama pura-pura marah. Aku terkekeh, berbarengan dengan Uni Vira.
Begitu tiba di rumah Oma, kami disambut dengan beragam komentar sukacita dan peluk cium beberapa saudara di sana. Sepertinya mereka sengaja berkumpul menunggu kedatangan kami. Ciee..., istimewa Bo! Ya iyalah. Soalnya, Papaku kan anak pertama Opa dan Oma. Jadi, adik-adik Papa yang tujuh orang itu, sudah nungguin gitu dikabarin kami bakal pulang hari ini.
Setelah ikutan obral-obrol sejenak, aku pun beranjak keluar rumah. Ada hal rutin yang kulakukan setiap pulang ke rumah Oma. Menyusuri halaman belakang rumah, melewati deretan rumpun bambu dan pohon-pohon tinggi. Lalu tibalah aku di tepian danau. Ya, danau. Rumah Omaku memang bukan di tengah kota. Melainkan di sebuah kampung kecil atau yang di daerah ini lazim disebut sebagai Nagari. Nah, rumah Oma berada tak jauh dari bibir Danau Maninjau, salah satu danau cantik di Sumatera Barat. Danau yang masih sangat alami. Belum mengalami banyak polesan. Meskipun lumayan banyak juga wisatawan asing hilir mudik di daerah ini.
Tempat aku berdiri sekarang adalah tempat bermainku di masa kecil. Dari balita sampai tamat sekolah dasar. Bersama teman-teman, aku menghabiskan waktu dengan bermain pasir, menangkap kepiting, berenang dan naik perahu menyusuri danau. Tak jauh memang. Karena setiap kali mulai jauh, teriakan Mama akan langsung terdengar. Memanggil kami untuk kembali ke bibir danau. Entah kenapa, feeling Mama selalu aja pas dengan saat kepergian kami ke tengah danau.
Aku memejamkan mata sejenak. Hmm, segar sekali. Aroma khas yang takkan kujumpai di Jakarta. Dan ini yang membuatku selalu rindu untuk pulang ke sini. Aku semakin erat memejamkan mata. Menuntun kembali ingatanku ke masa lalu. Masa itu!
“Via, kita lomba berenang ke sana yuk!” Seorang anak lelaki sebayaku, menunjuk jauh dengan telunjuknya, ke arah sebuah rumah di tepian danau yang lainnya. Aku mengikuti arah yang dimaksudkannya dengan sedikit menyipit. Oo, rumah Bu Siti. Aku menyanggupi dengan anggukan kecil.
“Bener nih?” Anak lelaki itu minta kepastian. Aku kembali mengangguk.
“Nggak takut?” Ia menatapku kurang yakin. Aku menggeleng kuat-kuat.
“Yaa, udah. Ayoo...” Anak itu melepaskan bajunya. Menyisakan hanya celana pendek di tubuhnya. Aku juga ikut melepas baju. Namun, masih menyisakan singlet dan celana pendek. Kueratkan kuncir rambutku yang terasa mengendur. Kami melangkah berbarengan menuju bibir danau.
“Siap? Mulaiii!!” Teriakan anak lelaki itu reflek membuatku berlari dan melompat ke air. Aku berusaha berenang dengan cepat. Tapi anak lelaki itu sudah mendahului cukup jauh di depanku. Sebagai anak kampung, terlebih dibesarkan di pinggir danau, kami memang jago-jago berenang. Tapi, aku punya ‘riwayat’ lain yang sebenarnya tak memperkenanku untuk berenang cukup lama. Sesak nafas! Dan nafasku mulai terasa berat. Padahal belum lagi setengah jarak yang kutempuh untuk menjangkau rumah Bu Siti. Dan anak lelaki itu sudah jauh di depanku. Nafasku semakin terengah. Aku mulai merasa tak mampu. Kuhentikan gerakan renangku dan mencoba untuk mengapung aja. Kulambaikan tangan pada Ferry, anak lelaki yang kini telah melompat-lompat kegirangan di depan rumah Bu Siti.
“Tolong aku!” Aku mencoba berteriak. Tapi yang keluar hanya suara yang lemah. Nafasku semakin terengah-engah. Aku mulai menelan air beberapa kali. Tak hanya itu. Air bahkan mulai masuk hidung. Semakin memperparah pernafasanku. Karena mulai kehilangan tenaga, tubuhku beberapa kali timbul tenggelam. Aku masih juga coba melambai. Tapi Ferry sepertinya tak mengerti. Ia masih aja melonjak-lonjak di tepian sana. Sesekali berteriak menyemangatiku untuk terus berenang. Tapi bagaimana lagi? Mana mungkin aku berenang, kalau mempertahankan tubuhku untuk tetap mengapung di air aja begitu sulit. Aku semakin kesulitan. Air masuk semakin banyak. Dan tubuh kecilku mulai tak mampu menahan kekuatan air yang menarik tubuhku semakin dalam. Aku tak ingat apa-apa lagi, setelah tersedak berkali-kali, terengah-engah dan menelan semakin banyak dan bertambah banyak air.
Aku tak lagi sadarkan diri. Bahkan tak tahu siapa yang menyelamatkanku. Yang kutahu hanyalah, saat sadar aku merasa begitu lemas. Pandanganku kabur. Meskipun sekilas masih dapat mengenali Mama, Papa, Uni Vira, Oma dan Opa. Selebihnya aku hanya mendengar suara-suara. Entahlah, apa yang mereka katakan. Lalu kemudian aku tak sadarkan diri lagi.
Beberapa hari aku terkapar di rumah sakit, namun tak sekalipun Ferry menjengukku. Dan itu membuatku sangat kesal. Aku membencinya. Kenapa ia tak mau menolongku saat itu? Kenapa ia hanya diam aja melihatku tenggelam? Hmm, kalau aja Mama tak mengandalkan feelingnya dan mencariku ke belakang rumah di saat-saat kritis itu, mungkin aku takkan terselamatkan. Dan itu semua terjadi tepat waktu. Tepat saat terakhir kalinya tanganku melambai dengan lemah, Mama menyaksikannya. Dan perempuan terkasih itu seketika menjerit histeris. Lalu tanpa fikir panjang ia langsung melompat ke air dan menyelamatkanku dari maut. Dan Ferry? Entahlah! Yang kudengar, ia hanya tertegun di depan rumah Bu Siti, melihatku digotong beramai-ramai. Setelah itu aku tak melihatnya lagi. Tak pernah. Sampai akhirnya kami pindah ke Jakarta, dua bulan kemudian.
“Viaa! Adduh, udah ditebak, pasti kesini deh. Dicariin tuh! Yuk, udah mau berbuka..” Aku tergeragap. Kubuka mata cepat-cepat. Astaga, aku ngelamun? Aku terkenang lagi ke masa itu? Kutatap sekeliling danau. Sepi. Hanya ada Uni Vira di belakangku. Ia menarik lenganku, memaksa untuk secepatnya beranjak meninggalkan tempat itu. Sesaat aku tengadah. Hmm, senja sudah turun sejak tadi rupanya. Berapa lama aku berdiri di sini, ya? Tak ada yang menjawab tanyaku selain gemerisik rumpun bambu. Cepat kutinggalkan danau dan mengikuti langkah uniku.
Sayangnya, aku tak pernah tahu dan tak pernah bisa meramal apa yang terjadi kemudian. Karena lima menit setelah kepergianku, seorang cowok berambut ikal, dengan kulit putih dan tubuh jangkung, melangkah perlahan mendekati bibir danau. Pandangannya jauh ke seberang. Ke rumah tua Bu Siti. Rumah tempat ia menyaksikan salah seorang teman kecilnya, nyaris tenggelam. Dan ia hanya berdiri di sana. Tak berbuat apa-apa. Sungguh, sesal itu telah menggunung di hatinya sejak lama.
“Hei, bangun! Pemalas!” Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Uni Vira melotot di depan wajahku. Aku menatapnya kesal. Ooo, jadi dia nih yang dari tadi mengguncang-guncang tubuhku dan menggelitiki telapak kaki? Uh, mengganggu aja.
“Apaan sih?” dengusku sambil kembali menarik selimut. Tapi Uni Vira tak membiarkannya. Cepat ia menjauhkan selimut ke sudut ranjang.
“Banguuun..Ini hari pekan terakhir sebelum Lebaran. Temani uni ke pasar yuk...”
“Males ah..”
“Lho, kok males sih? Ayoo..” Uni Vira terus memaksa dan menarik-narik tanganku. Aku mengucek-ucek mata dan bangkit dengan malas. Ugh, heboh amat sih ke pasar? Kayak yang mau ke mall aja.
“Ayoo.., cepetan ganti baju sana. Puasa kok bobok mulu kerjaannya?” omel Uni Vira sambil mendorong-dorong tubuhku menuju kamar mandi. Dengan sedikit ogah-ogahan dan rasa kantuk yang masih menggantung di mata, kuturuti juga keinginan kakakku satu-satunya itu. Kalo nggak, bisa ngomel panjang lebar dia nanti..
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling pasar. Rame banget. Tapi aku nggak ngerti, apa sebenarnya yang dicari uni di pasar ini? Karena urusan masak kan sudah dihandle sama Oma, Mama dan saudara-saudara Papa. Trus ngapain juga?
“Nyari apa sih, Uni? ” Aku nggak bisa nyimpan rasa penasaran lebih lama lagi. Soalnya kakiku sudah penat berkeliling sejak tadi. Mana udara sejuk ini begitu membuai mata untuk tertidur lagi.
“Nyari yang keren-keren..” Sahut Uni Vira sekenanya. Aku melotot ke arahnya.
“Puasa-puasa nyari yang keren? Nggak salah? Mending bobok lagi. Udahan, mana ada yang keren-keren di sini..” Gerutuku. Nggak habis fikir, apa uni sudah kehabisan stok tampang keren di kampusnya, ya?
“Eits, jangan salah! Biar di kampung, yang keren juga banyak. Belum lagi yang pada mudik seperti kita. Tapi nggak nyari itu ding..Uni lagi nyari *pensi yang enak untuk berbuka. Katanya di pasar sini ada yang enak..” Aku ber-ooo panjang. Pensi toh yang dicari. Bilang kek dari tadi. Kalo itu aku juga mau..
Sangking asiknya mencari-cari penjual pensi yang disarankan Oma ke uni, aku tak memperhatikan jalan dengan detil. Bruk! Seseorang yang berjalan terburu-buru dari arah yang berlawanan, menubrukku dengan keras. Keseimbanganku mendadak hilang, hingga terhuyung ke penjual *sanjay di kiriku. Astagaaa..! Namun,..hap! Sebuah tangan kokoh cepat menyambar lenganku. Aku kembali pada posisi semula. Pfuh, untung aja. Kalau nggak, aku sudah mendarat dengan manisnya di atas tumpukan *sanjay balado. Whuuuaaa, nggak kebayang. Selain sakit dan kepedasan, barangkali juga harus mengganti sanjay yang remuk tertimpa tubuhku.
“Kamu nggak apa-apa?” Sebuah suara menyadarkanku. Aku menatap pemiliknya. Seorang cowok jangkung, berkulit putih dan berambut ikal. Sebenarnya, tampangnya lumayan juga. Cuma...
“Ooo, jadi kamu ya yang nabrak aku barusan? Kalo jalan hati-hati dong. Jangan sampe membuat orang lain celaka!” Omelku kesal. Ia tersenyum dan mengangguk.
“Iya. Maaf, ya? Saya nggak sengaja.” Ujarnya tulus. Tapi aku masih kesal.
“Maaf aja nggak cukup. Harus hati-hati. Untung aku nggak apa-apa. Coba kalo sampe akunya terluka atau pingsan, apa bisa cukup dengan kata maaf aja?!” Aku melengos ke arahnya. Wajah cowok itu terlihat sangat menyesal. Tapi aku nggak perduli. Aku bahkan nggak tahu kalo kata-kataku barusan telah melemparkannya kembali ke ingatan masa kecilnya. Ya, kalo ada apa-apa dengan cewek di depannya, maka ada dua orang yang pernah celaka karena dia, desah cowok itu dalam hati.
“Hei! Dicariin, malah tertambat di sini! Ayoo, uni udah dapet nih pensinya.” Baru kusadari kalau Uni Vira tak ada di dekatku sejak tadi. Ya ampuun, sangking asyiknya nyari pensi ia sampai nggak tau kalau adiknya nyaris jadi varian baru sanjay. Iih...
Uni Vira menarik tanganku melewati cowok itu. Sekilas ia melirik juga. Dahiku sedikit berkernyit menatap wajah cowok itu. Siapa, ya? Kok rasa-rasanya ada sesuatu di wajahnya yang mengingatkanku pada seseorang. Tapi apanya? Dan siapa? Capek mikir, aku menyerah. Mengikuti langkah lebar-lebar milik Uni Vira.
Malam ini langit cerah sekali. Ada banyak bintang di sana. Juga ada bulan yang berkemilau sempurna. Manis sekali. Dan semua itu makin indah dengan iringan suara takbir yang bersahut-sahutan. Waah, besok sudah Lebaran. Hmm, aku senyum-senyum sendiri mikirin baju baru mana yang akan kukenakan besok. Ha..ha..ha.., biarpun sudah gede, yang namanya baju baru untuk lebaran, wajib juga hukumnya!
Rumah Oma ramai betul hari ini. Dan selalu begitu setiap Lebaran. Apalagi di hari pertama. Seluruh keluarga, sanak-saudara dan tetangga, berdatangan untuk bersilaturrahmi dan saling maaf-memaafkan. Aku juga kedatangan beberapa teman semasa kecil.
“Via.., makin cantik aja. Tapi kok kurusan, yah?” Sapa Ririn, salah satu teman kecilku. Aku tergelak.
“Ya iyalah, kurusan. Namanya juga puasa.”
“Nggak juga. Maksudku, dibanding Lebaran tahun lalu..”
“Gitu ya? Nggak apa deh. Yang penting, masih cantik kan?” Narsisku kumat lagi. Tawa kami berderai diantara riuh rendah obrolan para orang tua.
“Ya deh...” jawab Ririn begitu tawa kami mereda.
“Eh, aku ada kabar penting nih.” Ririn mendekatkan wajahnya dan merendahkan suara hingga hampir berbisik. Aku menatapnya tak mengerti.
“Kabar penting? Sepenting apa itu?”
“Masih ingat Ferry nggak?” Aku yang tengah meneguk minuman, seketika tersedak mendengar nama itu disebut. Ririn terkejut dan segera sibuk menepuk-nepuk ringan punggungku untuk meredakan batuk yang hadir beruntun.
“Pelan-pelan dong minumnya..” nasihat Ririn. Aku menarik nafas panjang setelah berhasil menenangkan diri.
“Sorry, aku agak ngelamun dikit tadi,” kilahku cepat. Ririn mengangguk maklum.
“Memikirkan yang di Jakarta, ya?” ledeknya.
“Ah, nggak. Emang siapa yang dipikirin di Jakarta. Nggak ada kok..” tepisku cepat-cepat.
“Ya udah kalo gitu. Nah, balik ke omongan tadi. Ferry, teman masa kecil kita, yang ngajakin kamu berenang ke rumah Bu Siti itu lho..”
“Iya, aku ingat. Kenapa?” tanyaku cuek. Gimana aku bisa ngelupain anak itu, kalau sampai sekarang pun aku masih menunggu ia datang dan meminta maaf padaku.
“Nah, dia sekarang ada di sini. Dia pulang kampung..”
“Pulang? Memang selama ini dia dimana?”
“Oooh, jadi kamu nggak tahu ya?” Ririn menatapku bingung. Aku menggeleng.
“Beberapa bulan setelah kamu pindah, keluarga si Ferry juga pindah ke Surabaya. Nah, biasanya mereka mudik pas lebaran haji. Kayaknya baru kali ini deh mereka mudik di lebaran Idul Fitri..” Aku ber-ooo panjang sambil manggut-manggut. Pantesan, aku tak pernah melihatnya. Padahal, beberapa kali aku melintas di depan rumahnya.
“Nah, kemarin aku jumpa dia di pasar.” Aku terperanjat. Di pasar? Kok nggak jumpa aku ya? Tapi kusimpan aja pertanyaan itu di dalam hati.
“Dia nanya kamu. Katanya pengen jumpa kamu. Mau minta maaf soal dulu. Dia nyesal abis katanya.” Ada sedikit rasa aneh yang mengalir di hatiku. Entah apa.
Ririn masih terus berceloteh. Menceritakan tentang kerennya penampilan Ferry sekarang. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Ingat Ferry yang dulu, yang culun, ceking dan tak menarik sama sekali. Toh, cerita itu akhirnya berhenti begitu aja. Karena Ririn harus pulang bersama orangtuanya.
Meski tak terlalu berharap, namun kata-kata Ririn membuatku bertahan di rumah sampai sore. Kuakui, aku menunggunya. Menunggu teman kecilku, yang katanya sekarang sudah menjelma jadi cowok keren itu. Yang katanya juga sangat menyesal dengan kejadian dulu dan ingin minta maaf.
“Via, ayoo...” Uni Vira tahu-tahu muncul dan menarik tanganku. Aku terkejut.
“Iih, Uni! Kok pake acara tarik-tarik sih? Kemana emang?” Protesku sambil melepaskan diri dari cekalan Uni Vira.
“Ke Bukittinggi. Diajakin Papa Mama tuh..Cepetan! Semua udah di mobil..” Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkah Uni Vira yang nyaris berlari.
“Tapi aku belum ganti baju..” Aku masih mencoba protes meskipun sudah di dalam mobil.
“Udah Mama siapin pakaian kamu sama uni. Tenang aja.” Sahut Mama dari jok depan.
“Kita nginap?” tanyaku bingung.
“Iya..” Papa, Mama dan Uni Vira nyaris serempak menjawab. Tawa kami pecah kemudian. Aku pun melupakan penantianku sepanjang hari. Melupakan Ferry. Aku tak pernah tahu, kalau setengah jam kemudian setelah kepergianku, seorang cowok berambut ikal dan berkulit putih, datang ke rumah Oma. Mencariku.
Nggak terasa, seminggu lebaran sudah kami lewati di kampung halaman. Dan hari ini, hari dimana kami harus kembali ke Jakarta. Barang-barang sudah kukemasi di dalam koper. Sedih juga rasanya, meninggalkan kampung halaman. Terlebih, aku tak juga sempat bertemu muka dengan Ferry. Ingat Ferry, membuatku tersentak. Aku belum ke danau.
Aku kembali berdiri di bibir danau Maninjau. Danau yang indah. Danau yang selalu mendapat tempat khusus di hatiku. Danau tempat banyak kenangan masa kecilku terpatri. Dan kini aku harus meninggalkannya. Untuk kembali lagi di tahun berikutnya. Aku tersenyum getir saat memandang ke seberang, ke rumah Bu Siti, yang kini nampak semakin kokoh dan megah. Berbeda dengan dulu. Saat dimana seorang anak lelaki kecil melonjak-lonjak sambil melambai di depannya. Tanpa sadar, tanganku terangkat dan bergerak melambai. Seakan membalas lambaian Ferry dulu.
“Viaa! Duh, dicariin ternyata di sini. Cepat!” Uni Vira kembali membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. Sebelum melangkah, aku menatap kembali ke rumah itu. Selamat tinggal, bisikku dalam hati.
Bergegas aku menuju rumah Oma. Menyalami Oma dan seluruh keluarga yang tersisa di sana. Berikutnya, menyusul Mama, Papa dan Uni Vira yang sudah menunggu di mobil sejak tadi.
“Daaagh..!!” Aku melambai dengan tak bersemangat. Padahal, lima belas kemudian aku telah tertidur pulas di jok belakang. Baru terjaga begitu mobil memasuki bandara. Itupun dibangunkan.
“Akhirnya, kita akan kembali lagi ke rumah. Jakarta..!! Aku kembali...!!” Seruku norak, begitu menginjakkan kaki di pelataran bandara.
“Hussh!! Berisik tahu?!” Uni Vira melotot ke arahku. Toh, aku cuek aja dan berjalan mendahuluinya. Daguku terangkat sedikit dan berlagak bagai wisatawan dari negeri seberang...Tiba-tiba...BRUK!! Aku terhuyung sedikit, namun cepat mengembalikan keseimbangan tubuh. Astaga! Siapa sih yang nubruk aku? Untung nggak jatuh. Coba kalau jatuh?! Bukan sakitnya yang kufikirin tapi malunya......
“Maaf..maaf, saya terburu-buru. Maaf...” Cowok di depanku berulang-ulang mengucap kata maaf. Dan aku terperanjat begitu mengenali sosoknya. Ya ampuun.., bukankah cowok berambut ikal ini yang menubrukku di pasar tempo hari. Wah, bahaya! Masa iya aku ditakdirkan untuk selalu bertubrukan dengannya sih?
“Kamu!” seruku tertahan. Cowok itu juga tak kalah kagetnya.
“Kamu!” Ia berucap senada. Kini aku dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas. Lebih detil. Aha.., tahi lalat di dagu cowok itu! Aku mengingat-ingat. Seperti siapa ya? Aku tak menyadari kalau cowok itu juga tengah mengingat-ingat sesuatu. Mata bola dan bayang seraut wajah yang menjelma di depannya..., ah..itu seperti milik..
“Ferry....” Nama itu spontan keluar dari mulutku begitu menyelinap di benak.
“Via....” Cowok itu mendesiskan namaku. Dan aku hanya dapat tertegun menatapnya, yang juga tengah menatapku. Aku tahu.., apa yang tersirat di matanya itulah yang kunanti sejak lama.

Istilah :
Uni = Sebutan untuk kakak di Sumatera Barat
Pensi = Cemilan khas masyarakat di sekitar Danau Maninjau, berupa kerang berukuran kecil yang diberi bumbu khusus.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar