Oleh: R.Yulia
Dimuat Mj. Story, 25 Oktober 2009
“Viaaa! Cepetan gih! Udah mo berangkat nih!!” Teriakan Mama
membahana dari luar kamarku.
“Iya..iya…Ma. Bentar!!” Aku balas berteriak. Waah, sudah
seperti di hutan aja nih. Ala Tarzan. Untung nggak pake auwoo-an
segala.
Cepat kurapikan isi koper, setelah sebelumnya memeriksa kembali
apakah ada barang-barangku yang ketinggalan. Mudik…mudik…Ya,
saat ini kami sekeluarga memang tengah bersiap-siap untuk mudik.
Tradisi tahunan yang tak pernah
terlewatkan. Selalu disambut dengan antusias. Pertemuan kembali
dengan seluruh sanak saudara, oma, opa, tante, om, sepupu dan
lain-lain. Menikmati kue-kue dan makanan lebaran khas kampung
halaman. Mengantongi ‘THR’ dari saudara-saudara yang lebih tua.
Ha..ha.., biarpun sudah gede dan duduk di bangku SMU, tapi yang
namanya THR tetap jadi incaranku di hari Lebaran.
“Viaa!!” Teriakan Mama kembali bergema.
Bergegas kututup koper dan menarik pegangannya. Lalu melangkah keluar
kamar,setelah sebelumnya sempat melirik sejenak ke cermin. Sekadar
memastikan penampilanku secara keseluruhan. Perfect,
decakku sedikit narsis.
“Iya, Ma. Nggak sabaran amat sih?” gerutuku begitu tiba di
teras. Semua sudah lengkap di sana. Mama, Papa dan Uni Vira.
“Ya iyalah. Pengen ketinggalan pesawat?”
sahut Mama dengan tajam. Aku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk
kepala yang nggak gatal.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku lebih banyak diam. Bahkan
juga sampai di pesawat. Setiap pulang kampung, ada perasaan lain yang
membawaku kembali ke masa lalu. Tepatnya, masa kecilku. Dan perasaan
itu selalu berulang.
Ini bukan sekedar kenangan masa kecil yang berwarna-warni dengan
teman-teman sebaya. Melainkan juga tentang ‘seseorang’ yang
memiliki catatan hutang di benak dan hatiku. Aku mengeluh dalam hati.
Kenapa ya, aku nggak juga bisa melupakannya? Padahal, itu kan hanya
masa lalu. Dan terjadi saat aku masih anak-anak lagi. Toh, hati dan
fikiranku tetap nggak mau melepaskannya hanya sebagai sebuah ‘catatan
kecil’.
“Heii, kok diam aja, Via? Kesambet? Udah mau mendarat nih kita..”
Uni Vira yang duduk di sebelahku, menepuk pahaku lumayan keras.
“Aww, sakit loh, Uni!’ pekikku tertahan. Lamunanku buyar.
“Rasain. Abis, sepanjang perjalanan kok bengong aja bawaannya.
Tumben, betah diem.” Aku tertawa mendengar ‘pujian’ itu.
“Ya kan masih puasa...” kilahku.
“Halah, gayamu! Biasanya, makin kosong tuh perut makin cerewetlah
bibirmu itu adikku...,” Uni Vira mencubit pelan pipiku. Aku
meringis sambil mengusap-usap bekas cubitannya. Nggak sakit sih. Cuma
reflek aja.
Akhirnya, tiba juga di kota kelahiran. Hmm, udara panas kota Padang
langsung menyambut kami begitu keluar dari pesawat.
“Ma.., ntar malam cari durian ya? Adduh, udah ngidam lama nih ama
durian. Hmm..., yummy..” kataku sambil mempermainkan lidah bagai
orang yang tengah menikmati makanan lezat. Mama kontan melotot.
“Huss! Masih jam segini udah ngebayangin makanan.” Hardik Mama
pura-pura marah. Aku terkekeh, berbarengan dengan Uni Vira.
Begitu tiba di rumah Oma, kami disambut dengan beragam komentar
sukacita dan peluk cium beberapa saudara di sana. Sepertinya mereka
sengaja berkumpul menunggu kedatangan kami. Ciee..., istimewa Bo! Ya
iyalah. Soalnya, Papaku kan anak pertama Opa dan Oma. Jadi, adik-adik
Papa yang tujuh orang itu, sudah nungguin gitu dikabarin kami bakal
pulang hari ini.
Setelah ikutan obral-obrol sejenak, aku pun beranjak keluar rumah.
Ada hal rutin yang kulakukan setiap pulang ke rumah Oma. Menyusuri
halaman belakang rumah, melewati deretan rumpun bambu dan pohon-pohon
tinggi. Lalu tibalah aku di tepian danau. Ya, danau. Rumah Omaku
memang bukan di tengah kota. Melainkan di sebuah kampung kecil atau
yang di daerah ini lazim disebut sebagai Nagari. Nah, rumah Oma
berada tak jauh dari bibir Danau Maninjau, salah satu danau cantik di
Sumatera Barat. Danau yang masih sangat alami. Belum mengalami banyak
polesan. Meskipun lumayan banyak juga wisatawan asing hilir mudik di
daerah ini.
Tempat aku berdiri sekarang adalah tempat bermainku di masa kecil.
Dari balita sampai tamat sekolah dasar. Bersama teman-teman, aku
menghabiskan waktu dengan bermain pasir, menangkap kepiting, berenang
dan naik perahu menyusuri danau. Tak jauh memang. Karena setiap kali
mulai jauh, teriakan Mama akan langsung terdengar. Memanggil kami
untuk kembali ke bibir danau. Entah kenapa, feeling Mama selalu aja
pas dengan saat kepergian kami ke tengah danau.
Aku memejamkan mata sejenak. Hmm, segar sekali. Aroma khas yang
takkan kujumpai di Jakarta. Dan ini yang membuatku selalu rindu untuk
pulang ke sini. Aku semakin erat memejamkan mata. Menuntun kembali
ingatanku ke masa lalu. Masa itu!
“Via, kita lomba berenang ke sana yuk!” Seorang anak lelaki
sebayaku, menunjuk jauh dengan telunjuknya, ke arah sebuah rumah di
tepian danau yang lainnya. Aku mengikuti arah yang dimaksudkannya
dengan sedikit menyipit. Oo, rumah Bu Siti. Aku menyanggupi dengan
anggukan kecil.
“Bener nih?” Anak lelaki itu minta kepastian. Aku kembali
mengangguk.
“Nggak takut?” Ia menatapku kurang yakin. Aku menggeleng
kuat-kuat.
“Yaa, udah. Ayoo...” Anak itu melepaskan bajunya. Menyisakan
hanya celana pendek di tubuhnya. Aku juga ikut melepas baju. Namun,
masih menyisakan singlet dan celana pendek. Kueratkan kuncir rambutku
yang terasa mengendur. Kami melangkah berbarengan menuju bibir danau.
“Siap? Mulaiii!!” Teriakan anak lelaki itu reflek membuatku
berlari dan melompat ke air. Aku berusaha berenang dengan cepat. Tapi
anak lelaki itu sudah mendahului cukup jauh di depanku. Sebagai anak
kampung, terlebih dibesarkan di pinggir danau, kami memang jago-jago
berenang. Tapi, aku punya ‘riwayat’ lain yang sebenarnya tak
memperkenanku untuk berenang cukup lama. Sesak nafas! Dan nafasku
mulai terasa berat. Padahal belum lagi setengah jarak yang kutempuh
untuk menjangkau rumah Bu Siti. Dan anak lelaki itu sudah jauh di
depanku. Nafasku semakin terengah. Aku mulai merasa tak mampu.
Kuhentikan gerakan renangku dan mencoba untuk mengapung aja.
Kulambaikan tangan pada Ferry, anak lelaki yang kini telah
melompat-lompat kegirangan di depan rumah Bu Siti.
“Tolong aku!” Aku mencoba berteriak. Tapi yang keluar hanya
suara yang lemah. Nafasku semakin terengah-engah. Aku mulai menelan
air beberapa kali. Tak hanya itu. Air bahkan mulai masuk hidung.
Semakin memperparah pernafasanku. Karena mulai kehilangan tenaga,
tubuhku beberapa kali timbul tenggelam. Aku masih juga coba melambai.
Tapi Ferry sepertinya tak mengerti. Ia masih aja melonjak-lonjak di
tepian sana. Sesekali berteriak menyemangatiku untuk terus berenang.
Tapi bagaimana lagi? Mana mungkin aku berenang, kalau mempertahankan
tubuhku untuk tetap mengapung di air aja begitu sulit. Aku semakin
kesulitan. Air masuk semakin banyak. Dan tubuh kecilku mulai tak
mampu menahan kekuatan air yang menarik tubuhku semakin dalam. Aku
tak ingat apa-apa lagi, setelah tersedak berkali-kali, terengah-engah
dan menelan semakin banyak dan bertambah banyak air.
Aku tak lagi sadarkan diri. Bahkan tak tahu siapa yang
menyelamatkanku. Yang kutahu hanyalah, saat sadar aku merasa begitu
lemas. Pandanganku kabur. Meskipun sekilas masih dapat mengenali
Mama, Papa, Uni Vira, Oma dan Opa. Selebihnya aku hanya mendengar
suara-suara. Entahlah, apa yang mereka katakan. Lalu kemudian aku tak
sadarkan diri lagi.
Beberapa hari aku terkapar di rumah sakit, namun
tak sekalipun Ferry menjengukku. Dan itu membuatku sangat kesal. Aku
membencinya. Kenapa ia tak mau menolongku saat itu? Kenapa ia hanya
diam aja melihatku tenggelam? Hmm, kalau aja Mama tak mengandalkan
feelingnya
dan mencariku ke belakang rumah di saat-saat kritis itu, mungkin aku
takkan terselamatkan. Dan itu semua terjadi tepat waktu. Tepat saat
terakhir kalinya tanganku melambai dengan lemah, Mama menyaksikannya.
Dan perempuan terkasih itu seketika menjerit histeris. Lalu tanpa
fikir panjang ia langsung melompat ke air dan menyelamatkanku dari
maut. Dan Ferry? Entahlah! Yang kudengar, ia hanya tertegun di depan
rumah Bu Siti, melihatku digotong beramai-ramai. Setelah itu aku tak
melihatnya lagi. Tak pernah. Sampai akhirnya kami pindah ke Jakarta,
dua bulan kemudian.
“Viaa! Adduh, udah ditebak, pasti kesini deh. Dicariin tuh! Yuk,
udah mau berbuka..” Aku tergeragap. Kubuka mata cepat-cepat.
Astaga, aku ngelamun? Aku terkenang lagi ke masa itu? Kutatap
sekeliling danau. Sepi. Hanya ada Uni Vira di belakangku. Ia menarik
lenganku, memaksa untuk secepatnya beranjak meninggalkan tempat itu.
Sesaat aku tengadah. Hmm, senja sudah turun sejak tadi rupanya.
Berapa lama aku berdiri di sini, ya? Tak ada yang menjawab tanyaku
selain gemerisik rumpun bambu. Cepat kutinggalkan danau dan
mengikuti langkah uniku.
Sayangnya, aku tak pernah tahu dan tak pernah bisa meramal apa yang
terjadi kemudian. Karena lima menit setelah kepergianku, seorang
cowok berambut ikal, dengan kulit putih dan tubuh jangkung, melangkah
perlahan mendekati bibir danau. Pandangannya jauh ke seberang. Ke
rumah tua Bu Siti. Rumah tempat ia menyaksikan salah seorang teman
kecilnya, nyaris tenggelam. Dan ia hanya berdiri di sana. Tak berbuat
apa-apa. Sungguh, sesal itu telah menggunung di hatinya sejak lama.
“Hei, bangun! Pemalas!” Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Uni Vira
melotot di depan wajahku. Aku menatapnya kesal. Ooo, jadi dia nih
yang dari tadi mengguncang-guncang tubuhku dan menggelitiki telapak
kaki? Uh, mengganggu aja.
“Apaan sih?” dengusku sambil kembali menarik selimut. Tapi Uni
Vira tak membiarkannya. Cepat ia menjauhkan selimut ke sudut ranjang.
“Banguuun..Ini hari pekan terakhir sebelum Lebaran. Temani uni ke
pasar yuk...”
“Males ah..”
“Lho, kok males sih? Ayoo..” Uni Vira terus memaksa dan
menarik-narik tanganku. Aku mengucek-ucek mata dan bangkit dengan
malas. Ugh, heboh amat sih ke pasar? Kayak yang mau ke mall aja.
“Ayoo.., cepetan ganti baju sana. Puasa kok bobok mulu
kerjaannya?” omel Uni Vira sambil mendorong-dorong tubuhku menuju
kamar mandi. Dengan sedikit ogah-ogahan dan rasa kantuk yang masih
menggantung di mata, kuturuti juga keinginan kakakku satu-satunya
itu. Kalo nggak, bisa ngomel panjang lebar dia nanti..
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling pasar. Rame
banget. Tapi aku nggak ngerti, apa sebenarnya yang dicari uni di
pasar ini? Karena urusan masak kan sudah dihandle
sama Oma, Mama dan saudara-saudara Papa. Trus ngapain juga?
“Nyari apa sih, Uni? ” Aku nggak bisa nyimpan rasa penasaran
lebih lama lagi. Soalnya kakiku sudah penat berkeliling sejak tadi.
Mana udara sejuk ini begitu membuai mata untuk tertidur lagi.
“Nyari yang keren-keren..” Sahut Uni Vira sekenanya. Aku melotot
ke arahnya.
“Puasa-puasa nyari yang keren? Nggak salah? Mending bobok lagi.
Udahan, mana ada yang keren-keren di sini..” Gerutuku. Nggak habis
fikir, apa uni sudah kehabisan stok tampang keren di kampusnya, ya?
“Eits, jangan salah! Biar di kampung, yang keren juga banyak.
Belum lagi yang pada mudik seperti kita. Tapi nggak nyari itu
ding..Uni lagi nyari *pensi yang enak untuk berbuka. Katanya di pasar
sini ada yang enak..” Aku ber-ooo panjang. Pensi toh yang dicari.
Bilang kek dari tadi. Kalo itu aku juga mau..
Sangking asiknya mencari-cari penjual pensi yang disarankan Oma ke
uni, aku tak memperhatikan jalan dengan detil. Bruk! Seseorang yang
berjalan terburu-buru dari arah yang berlawanan, menubrukku dengan
keras. Keseimbanganku mendadak hilang, hingga terhuyung ke penjual
*sanjay di kiriku. Astagaaa..! Namun,..hap! Sebuah tangan kokoh cepat
menyambar lenganku. Aku kembali pada posisi semula. Pfuh, untung aja.
Kalau nggak, aku sudah mendarat dengan manisnya di atas tumpukan
*sanjay balado. Whuuuaaa, nggak kebayang. Selain sakit dan kepedasan,
barangkali juga harus mengganti sanjay yang remuk tertimpa tubuhku.
“Kamu nggak apa-apa?” Sebuah suara menyadarkanku. Aku menatap
pemiliknya. Seorang cowok jangkung, berkulit putih dan berambut ikal.
Sebenarnya, tampangnya lumayan juga. Cuma...
“Ooo, jadi kamu ya yang nabrak aku barusan? Kalo jalan hati-hati
dong. Jangan sampe membuat orang lain celaka!” Omelku kesal. Ia
tersenyum dan mengangguk.
“Iya. Maaf, ya? Saya nggak sengaja.” Ujarnya tulus. Tapi aku
masih kesal.
“Maaf aja nggak cukup. Harus hati-hati. Untung aku nggak apa-apa.
Coba kalo sampe akunya terluka atau pingsan, apa bisa cukup dengan
kata maaf aja?!” Aku melengos ke arahnya. Wajah cowok itu terlihat
sangat menyesal. Tapi aku nggak perduli. Aku bahkan nggak tahu kalo
kata-kataku barusan telah melemparkannya kembali ke ingatan masa
kecilnya. Ya, kalo ada apa-apa dengan cewek di depannya, maka ada dua
orang yang pernah celaka karena dia, desah cowok itu dalam hati.
“Hei! Dicariin, malah tertambat di sini! Ayoo, uni udah dapet nih
pensinya.” Baru kusadari kalau Uni Vira tak ada di dekatku sejak
tadi. Ya ampuun, sangking asyiknya nyari pensi ia sampai nggak tau
kalau adiknya nyaris jadi varian baru sanjay. Iih...
Uni Vira menarik tanganku melewati cowok itu. Sekilas ia melirik
juga. Dahiku sedikit berkernyit menatap wajah cowok itu. Siapa, ya?
Kok rasa-rasanya ada sesuatu di wajahnya yang mengingatkanku pada
seseorang. Tapi apanya? Dan siapa? Capek mikir, aku menyerah.
Mengikuti langkah lebar-lebar milik Uni Vira.
Malam ini langit cerah sekali. Ada banyak bintang di sana. Juga ada
bulan yang berkemilau sempurna. Manis sekali. Dan semua itu makin
indah dengan iringan suara takbir yang bersahut-sahutan. Waah, besok
sudah Lebaran. Hmm, aku senyum-senyum sendiri mikirin baju baru mana
yang akan kukenakan besok. Ha..ha..ha.., biarpun sudah gede, yang
namanya baju baru untuk lebaran, wajib juga hukumnya!
Rumah Oma ramai betul hari ini. Dan selalu begitu setiap Lebaran.
Apalagi di hari pertama. Seluruh keluarga, sanak-saudara dan
tetangga, berdatangan untuk bersilaturrahmi dan saling
maaf-memaafkan. Aku juga kedatangan beberapa teman semasa kecil.
“Via.., makin cantik aja. Tapi kok kurusan, yah?” Sapa Ririn,
salah satu teman kecilku. Aku tergelak.
“Ya iyalah, kurusan. Namanya juga puasa.”
“Nggak juga. Maksudku, dibanding Lebaran tahun lalu..”
“Gitu ya? Nggak apa deh. Yang penting, masih cantik kan?”
Narsisku kumat lagi. Tawa kami berderai diantara riuh rendah obrolan
para orang tua.
“Ya deh...” jawab Ririn begitu tawa kami mereda.
“Eh, aku ada kabar penting nih.” Ririn mendekatkan wajahnya dan
merendahkan suara hingga hampir berbisik. Aku menatapnya tak
mengerti.
“Kabar penting? Sepenting apa itu?”
“Masih ingat Ferry nggak?” Aku yang tengah meneguk minuman,
seketika tersedak mendengar nama itu disebut. Ririn terkejut dan
segera sibuk menepuk-nepuk ringan punggungku untuk meredakan batuk
yang hadir beruntun.
“Pelan-pelan dong minumnya..” nasihat Ririn. Aku menarik nafas
panjang setelah berhasil menenangkan diri.
“Sorry, aku agak ngelamun dikit tadi,” kilahku cepat. Ririn
mengangguk maklum.
“Memikirkan yang di Jakarta, ya?” ledeknya.
“Ah, nggak. Emang siapa yang dipikirin di Jakarta. Nggak ada
kok..” tepisku cepat-cepat.
“Ya udah kalo gitu. Nah, balik ke omongan tadi. Ferry, teman masa
kecil kita, yang ngajakin kamu berenang ke rumah Bu Siti itu lho..”
“Iya, aku ingat. Kenapa?” tanyaku cuek. Gimana aku bisa
ngelupain anak itu, kalau sampai sekarang pun aku masih menunggu ia
datang dan meminta maaf padaku.
“Nah, dia sekarang ada di sini. Dia pulang kampung..”
“Pulang? Memang selama ini dia dimana?”
“Oooh, jadi kamu nggak tahu ya?” Ririn menatapku bingung. Aku
menggeleng.
“Beberapa bulan setelah kamu pindah, keluarga si Ferry juga pindah
ke Surabaya. Nah, biasanya mereka mudik pas lebaran haji. Kayaknya
baru kali ini deh mereka mudik di lebaran Idul Fitri..” Aku
ber-ooo panjang sambil manggut-manggut. Pantesan, aku tak pernah
melihatnya. Padahal, beberapa kali aku melintas di depan rumahnya.
“Nah, kemarin aku jumpa dia di pasar.” Aku terperanjat. Di
pasar? Kok nggak jumpa aku ya? Tapi kusimpan aja pertanyaan itu di
dalam hati.
“Dia nanya kamu. Katanya pengen jumpa kamu. Mau minta maaf soal
dulu. Dia nyesal abis katanya.” Ada sedikit rasa aneh yang mengalir
di hatiku. Entah apa.
Ririn masih terus berceloteh. Menceritakan tentang kerennya
penampilan Ferry sekarang. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Ingat
Ferry yang dulu, yang culun, ceking dan tak menarik sama sekali. Toh,
cerita itu akhirnya berhenti begitu aja. Karena Ririn harus pulang
bersama orangtuanya.
Meski tak terlalu berharap, namun kata-kata Ririn membuatku bertahan
di rumah sampai sore. Kuakui, aku menunggunya. Menunggu teman
kecilku, yang katanya sekarang sudah menjelma jadi cowok keren itu.
Yang katanya juga sangat menyesal dengan kejadian dulu dan ingin
minta maaf.
“Via, ayoo...” Uni Vira tahu-tahu muncul dan menarik tanganku.
Aku terkejut.
“Iih, Uni! Kok pake acara tarik-tarik sih? Kemana emang?”
Protesku sambil melepaskan diri dari cekalan Uni Vira.
“Ke Bukittinggi. Diajakin Papa Mama tuh..Cepetan! Semua udah di
mobil..” Tergopoh-gopoh aku mengikuti langkah Uni Vira yang nyaris
berlari.
“Tapi aku belum ganti baju..” Aku masih mencoba protes meskipun
sudah di dalam mobil.
“Udah Mama siapin pakaian kamu sama uni. Tenang aja.” Sahut Mama
dari jok depan.
“Kita nginap?” tanyaku bingung.
“Iya..” Papa, Mama dan Uni Vira nyaris serempak menjawab. Tawa
kami pecah kemudian. Aku pun melupakan penantianku sepanjang hari.
Melupakan Ferry. Aku tak pernah tahu, kalau setengah jam kemudian
setelah kepergianku, seorang cowok berambut ikal dan berkulit putih,
datang ke rumah Oma. Mencariku.
Nggak terasa, seminggu lebaran sudah kami lewati di kampung halaman.
Dan hari ini, hari dimana kami harus kembali ke Jakarta.
Barang-barang sudah kukemasi di dalam koper. Sedih juga rasanya,
meninggalkan kampung halaman. Terlebih, aku tak juga sempat bertemu
muka dengan Ferry. Ingat Ferry, membuatku tersentak. Aku belum ke
danau.
Aku kembali berdiri di bibir danau Maninjau. Danau yang indah. Danau
yang selalu mendapat tempat khusus di hatiku. Danau tempat banyak
kenangan masa kecilku terpatri. Dan kini aku harus meninggalkannya.
Untuk kembali lagi di tahun berikutnya. Aku tersenyum getir saat
memandang ke seberang, ke rumah Bu Siti, yang kini nampak semakin
kokoh dan megah. Berbeda dengan dulu. Saat dimana seorang anak lelaki
kecil melonjak-lonjak sambil melambai di depannya. Tanpa sadar,
tanganku terangkat dan bergerak melambai. Seakan membalas lambaian
Ferry dulu.
“Viaa! Duh, dicariin ternyata di sini. Cepat!” Uni Vira kembali
membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. Sebelum melangkah, aku menatap
kembali ke rumah itu. Selamat tinggal, bisikku dalam hati.
Bergegas aku menuju rumah Oma. Menyalami Oma dan seluruh keluarga
yang tersisa di sana. Berikutnya, menyusul Mama, Papa dan Uni Vira
yang sudah menunggu di mobil sejak tadi.
“Daaagh..!!” Aku melambai dengan tak bersemangat. Padahal, lima
belas kemudian aku telah tertidur pulas di jok belakang. Baru
terjaga begitu mobil memasuki bandara. Itupun dibangunkan.
“Akhirnya, kita akan kembali lagi ke rumah. Jakarta..!! Aku
kembali...!!” Seruku norak, begitu menginjakkan kaki di pelataran
bandara.
“Hussh!! Berisik tahu?!” Uni Vira melotot ke arahku. Toh, aku
cuek aja dan berjalan mendahuluinya. Daguku terangkat sedikit dan
berlagak bagai wisatawan dari negeri seberang...Tiba-tiba...BRUK!!
Aku terhuyung sedikit, namun cepat mengembalikan keseimbangan tubuh.
Astaga! Siapa sih yang nubruk aku? Untung nggak jatuh. Coba kalau
jatuh?! Bukan sakitnya yang kufikirin tapi malunya......
“Maaf..maaf, saya terburu-buru. Maaf...” Cowok di depanku
berulang-ulang mengucap kata maaf. Dan aku terperanjat begitu
mengenali sosoknya. Ya ampuun.., bukankah cowok berambut ikal ini
yang menubrukku di pasar tempo hari. Wah, bahaya! Masa iya aku
ditakdirkan untuk selalu bertubrukan dengannya sih?
“Kamu!” seruku tertahan. Cowok itu juga tak kalah kagetnya.
“Kamu!” Ia berucap senada. Kini aku dapat melihat wajahnya
dengan lebih jelas. Lebih detil. Aha.., tahi lalat di dagu cowok itu!
Aku mengingat-ingat. Seperti siapa ya? Aku tak menyadari kalau cowok
itu juga tengah mengingat-ingat sesuatu. Mata bola dan bayang seraut
wajah yang menjelma di depannya..., ah..itu seperti milik..
“Ferry....” Nama itu spontan keluar dari mulutku begitu
menyelinap di benak.
“Via....” Cowok itu mendesiskan namaku. Dan
aku hanya dapat tertegun menatapnya, yang juga tengah menatapku. Aku
tahu.., apa yang tersirat di matanya itulah yang kunanti sejak lama.
Istilah :
Uni = Sebutan untuk kakak di Sumatera Barat
Pensi = Cemilan khas masyarakat di sekitar Danau Maninjau, berupa
kerang berukuran kecil yang diberi bumbu khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar