Dimuat Padang Ekspres, 8 September 2013
Rubiah -perempuan dengan tahi lalat besar di pangkal hidungnya-
menyusut air yang menggenang di sudut matanya dengan ujung selendang.
Senyumnya mengembang. Mereka pulang.
Entahlah, pulang yang mana
pun dari keluarga kecil di hadapannya senantiasa membuncahkan
perasaan aneh. Sejumput ngilu, segumpal bahagia dan setitik air mata.
Selalu begitu. Pulang ke rumahnya, pun ke rumah mereka.
Seorang lelaki tiga puluhan yang
didampingi perempuan sebaya berjilbab menghampirinya. Di belakang
keduanya menguntit sepasang bocah yang asyik mempertengkarkan hal tak
penting.
Lelaki itu, ah betapa gagahnya dia.
Seperti memandang lelaki serupa di dimensi masa puluhan tahun ke
belakang. Lelaki yang menaburkan begitu banyak benih bahagia dalam
hidupnya.
"Mak," lelaki itu mendekapnya, disambut Rubiah dengan erat. Lagi-lagi air mengalir dari sudut matanya. Tubuhnya berguncang. Lelaki itu mengelus punggungnya dengan sayang. "Kami pulang, Mak." Rubiah mengangguk. Hidungnya dipenuhi ingus, air matanya membasuh paras, kalimatnya tersumbat di pangkal tenggorokan.
Lelaki itu mengendurkan pelukannya dan menatap Rubiah dengan
sepasang mata berkaca.
"Ikutlah dengan kami, Mak."
Rubiah menggeleng. Untuk puluhan kalinya.
"Mak akan kesepian di sini."
"Tidak. Banyak teman Mak di sini."
"Tapi..."
"Sudahlah. Kalian tak perlu
mencemaskan Mak. Semua akan baik-baik saja. Seperti biasanya. Terima
kasih karena telah mengambil cuti panjang untuk berlebaran bersama
Mak di kampung.
Perpisahan, ah ya.. Rubiah tak begitu menyukai perpisahan. Meskipun
ia selalu menerimanya dengan lapang dada. Perpisahan itu begitu
menyesakkan dan menguras air mata. Sungguhpun air mata itu tak
membasahi pipinya, melainkan mengalir dingin menyusupi hatinya dan
berubah menjadi sembilu yang menikam dalam.
Rubiah masih mematung di tempatnya, meskipun lambaian tangan anak,
menantu dan cucu-cucu dari dalam mobil mewah yang membawa mereka
telah lama usai, menghilang di tikungan. Ia masuk ke rumah begitu
kakinya mulai terasa kebas.
Di dapur, Rubiah mengedarkan
pandang ke sekitar. Tak ada yang harus dibereskan. Menantunya telah
membersihkan seluruh ruangan dan piranti hidangan. Matanya tertumbuk
pada tiga stoples kue setengah isi yang berjajar di meja dapur. Ia
tersenyum dan mendekat ke meja dapur. Tangan kanannya terjulur
membuka lemari gantung. Sebuah stoples berisi kue kering berselimut
gula tepung menambat tatapannya.
Kue salju. Ah, tak ada yang berkurang sekeping pun dari susunannya
selepas dipanggang sebelum lebaran. Bahkan, kedua cucunya pun tak
berani merengek, meminta kue salju pada mamanya. Senyum Rubiah
melebar. Mereka tahu, kue salju itu menunggu siapa.
"Uda mungkin tak pulang lebaran kali ini, Mak. Pekerjaannya
sangat banyak. Bagaimana kalau Arvan bawakan saja kue salju itu?"
Rubiah menggeleng, menampik tawaran anak bungsunya.
"Tidak usah. Biar saja kue itu menunggu."
"Tapi.."
"Udamu pasti pulang. Ia sangat menyukai kue salju. Kalau kau
bawakan kue itu ke rumahnya, padahal ia sangat sibuk, pasti kue itu
takkan sampai ke lidahnya. Anak-anaknya masih sangat kecil. Kue salju
pasti sangat menggoda, bukan? Tentu pula ibunya tak sampai hati untuk
mengabaikan rengekan anak-anaknya. Udamu yang sibuk juga takkan punya
waktu untuk menikmati kue salju ini."
"Ah, Amak.." Rubiah tersenyum.
"Biar saja kue salju itu menunggu."
Rubiah menutup pintu lemari.
Hatinya disusupi sepi. Tak ada lagi teriakan Galang, tak juga
tangisan Rinjani. Hanya suara ayam dan bebek yang sahut-menyahut dari
kandang di belakang rumah. Mereka belum makan. Rubiah
bergegas menyambar caping yang tersangkut di dinding dekat pintu.
Tugas-tugas telah menunggu.
Lebaran telah melampaui belasan hari. Rubiah tak lagi kebanjiran
tamu seperti di minggu pertama dan kedua. Sepi, semata sunyi. Rubiah
melewati hari-harinya dengan berbagai kesibukan rumah tangga,
mengurus ternak dan sesekali menjenguk sawahnya yang digarap salah
seorang tetangga. Di sawah itulah ia menyempatkan diri mengobrol
dengan beberapa tetangga sebayanya.
Sebenarnya Rubiah masih merasa kuat untuk melakukan pekerjaan
bertani. Sayangnya, Arvan melarangnya dengan keras.
"Mak, sudahlah. Jangan lagi bekerja terlalu keras. Kami berdua
sudah dewasa dan mandiri. Tak ada yang perlu Mak cemaskan, baik
kebutuhan kami maupun kebutuhan Mak. Semua bisa kami cukupi."
"Insya Allah," sahut Rubiah kala Arvan memintanya untuk
pensiun bertani.
"Arvan sungguh-sungguh, Mak. Bertani itu pekerjaan berat untuk
seusia Mak."
"Ya." Arvan mengembuskan napas berat.
"Atau Mak ikut kami sajalah ke Jakarta." Rubiah
menggeleng.
"Tidak. Mak di sini saja. Mak akan menuruni keinginanmu."
Dan sejak itu, cangkul, sabit beserta teman-temannya, hanya menghuni
gudang di belakang rumah. Bahkan untuk membersihkan halaman rumah
dari rumput liar pun Arvan telah mencarikan pekerjanya.
Arvan.., anak bungsunya itu memang sangat perhatian padanya, pun
orang lain. Hal itu sudah berlangsung lama. Bahkan seingat Rubiah,
sejak balita pun Arvan selalu memperhatikannya melebihi takaran anak
seusianya. Saat Rubiah sakit ia sangat cekatan mengambilkan obat,
minuman, menyuapi makanan dan menyelimutinya. Jauh berbeda dengan
abangnya, Ardy. Ardy memang patuh ketika diminta melakukan sesuatu.
Tapi tak pernah mempunyai inisiatif sendiri untuk memperhatikan
orang-orang di sekitarnya. Dunia Ardy hanya berkutat pada buku dan
buku. Sehingga taklah mengherankan bila Arvan memiliki teman jauh
lebih banyak ketimbang Ardy. Perbedaan keduanya berlanjut hingga
dewasa. Arvan selalu menelpon Rubiah, meski hanya sekadar menanyakan
kabar dan obrolan remeh-temeh. Sementara abangnya, bisa dihitung
telponnya dalam setahun. Ardy juga tak setiap lebaran bisa mudik
seperti Arvan. Namun bagaimanapun Ardy, Rubiah tetap mencintainya.
Cinta seorang ibu yang tak pernah kunjung padam.
Lebaran semakin jauh ke belakang, meninggalkan ratusan denting
kesunyian.
Langit rembang petang. Rubiah menyipitkan mata, menatap ujung jalan
dari jendela kamarnya yang terbuka. Dahan sawo yang menjulur di dekat
pagar, dengan gerumbul daunnya sedikit menghalangi pandangan
perempuan itu. Sepi.., semata sepi. Rubiah mendesah. Sebuah mobil
berkaca hitam melintas perlahan di jalan depan rumahnya. Dahi Rubiah
mengernyit. Ia tak mengenali mobil itu. Bahkan rasanya tak seorang
warga pun yang memilikinya. Siapa itu? Ardy-kah? Namun kemungkinan
itu lenyap seiring berlalunya mobil dari pandangan. Ah, mungkin anak
atau kerabat salah seorang warga, pikir Rubiah sambil menutup
jendela. Gelap berangsur turun seiring kumandang azan dari toa
mesjid.
Sholat itu mendamaikan hati dan menjernihkan pikiran. Mestinya
begitu dan biasanya seperti itulah yang dirasakan Rubiah. Tapi tidak
kali ini. Hatinya meruap gelisah, pikirannya membubung rusuh. Rubiah
melepaskan mukenanya dan setengah berlari menuju dapur. Telinganya
menangkap suara-suara aneh dari belakang rumah. Bahkan ayam-ayam dan
bebek miliknya juga ikut gaduh bersuara.
"Siapa di luar?!" hardik Rubiah menekan rasa takut yang
menyergap. Tak ada jawaban. Hanya ayam dan bebek yang semakin gaduh.
Pasti ada yang tak beres. Rubiah menunggu sambil mengawasi seluruh
sudut dengan seksama. Bunyi-bunyi aneh itu menghilang.
Rubiah bergegas menuju lemari gantung. Ia membuka pintu lemari dan
menatap stoples berisi kue salju yang masih penuh. Ia meraih stoples
dan mendekapnya erat. Rubiah bergegas menuju kamar. Ia membungkuk
ke kolong tempat tidur dan menyorongkan stoples dalam-dalam. Kue
salju itu akan aman di sana.
Suara-suara aneh dari arah belakang kembali terdengar. Rubiah mulai
merasa takut. Siapa itu? Pencurikah? Bagaimana bila ia berhasil
memasuki rumah? Tak ada siapapun yang dapat menolongnya. Rumah
tetangga sekitar tak terlalu dekat untuk mendengar teriakannya.
Lagipula, kalaupun rumah mereka cukup dekat, masih sanggupkah ia
berteriak dalam ketegangan yang nyaris melumpuhkan ini?
Lalu suara lain muncul dari depan rumah. Sebuah ketukan berirama.
Astaga, Rubiah benar-benar takut. Sekujur tubuhnya bergetar. Ketukan
di pintu semakin gencar, namun suara aneh mulai terhenti. Gemerisik
daun kering yang terinjak dan langkah-langkah terburu tertangkap
telinga Rubiah. Apa yang dapat kulakukan? Apakah para pencuri itu
urung memasuki rumahnya? Atau malah sebaliknya,mencari jalan masuk
lain yang lebih mudah?
Keringat dingin mengucur deras. Rubiah teringat dengan emas-emas
beragam bentuk hadiah dari suaminya yang tersimpan di laci lemari.
Kemana mereka akan disembunyikannya? Kalau para pencuri itu
merampasnya, tentu tak ada lagi hadiah kenangan yang tersisa.
Rubiah berjalan perlahan menuju laci lemari. Ketukan di pintu kini
sudah berupa gedoran bertubi-tubi. Rubiah melirik jam dinding
sekilas. Pukul tujuh lewat lima belas. Perempuan itu bergegas membuka
pintu lemari dan menarik laci di dalamnya dengan tergesa. Namun
karena jemarinya terlampau gemetar, laci terlepas dan jatuh ke
lantai. Isinya berhamburan, terserak kemana-mana. Gelang, kalung,
cincin dan segala perhiasan berkilauan. Rubiah panik. Gedoran di
pintu semakin menjadi-jadi. Rubiah mengabaikan perhiasannya dan
merangkak ke bawah kolong tempat tidur. Ia bergelung di sudut dekat
stoples kue salju. Dipeluknya stoples erat-erat dengan mata terpejam.
Ia berkomat-kamit melafazkan do'a.
Rubiah nyaris mencelat ketika
handphone-nya
berdering keras. Ah ya, mengapa Rubiah melupakan benda satu itu?
Bukankah ia bisa menelepon Mursidi, tetangga sebelahnya? Rubiah
beringsut keluar dari kolong dengan masih mendekap stoples.
Dijangkaunya handphone cepat
dan menempelkannya ke telinga setelah menekan tombol bergambar gagang
telepon warna merah tanpa melihat nama si penelpon.
"Assalamualaikum.." sapanya dengan suara bergetar
"Mak, cepatlah buka pintunya. Tangan Ardy sudah sakit mengetuk
dari tadi." Rubiah terpana. Handphone terlepas dari tangannya,
jatuh berderai mencium lantai. Berkumpul bersama perhiasan
berkilauan. Rubiah memeluk erat stoples kue saljunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar