Pages

Kamis, 26 September 2013

PUTRI REMBULAN DAN PANGERAN MALAM



Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Story, 25 Januari 2010

. Malam mulai turun menggandeng bulan dan jutaan bintang. Menghiasi hamparan langit yang pekat. Sepekat hati Chiva yang sarat keluh.
Ini hari ke sepuluh. Divo belum juga datang. Tiga hari lagi tanggal 14. Mungkinkah Divo lupa akan janjinya? Chiva menarik nafas panjang, mencoba melepaskan beban berat di dadanya.
“Aku harus pergi…” bisik Divo pagi itu, di taman lingkar rumah sakit. Chiva dapat merasakan getaran suara Divo, karena wajah pemuda itu begitu dekat di telinganya. “Pergi? Pergi kemana?” tanya Chiva mencoba wajar. Meskipun entah kenapa hatinya gelisah. “Pulang maksudnya?”
Divo menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tertunduk. Meskipun saat ini mudah untuknya berbohong, tapi Divo tak tega untuk melakukannya.
“Mmm, ya…pulang. Tapi aku juga tak bisa datang menjengukmu beberapa hari ke depan.” jawabnya berat. Chiva tersenyum.
“Kenapa? Kamu ujian? Banyak tugas ya?” Divo terdiam. Ditatapnya wajah Chiva yang begitu tulus. Dan itu membuat hatinya menjerit. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk. Tapi Chiva tak melihatnya.
“Divo? Kok diam? Kamu ada ujian?” Chiva mengulang tanyanya.
“Iya..” Divo menjawab dengan susah payah.
“Ya udah, nggak apa-apa kok. Lagian aku yang harusnya minta maaf, terlalu banyak menyita waktumu. Tapi, minggu depan mungkin keluargaku akan datang dari Australia. Dan mereka yang akan menemaniku di sini. Jadi kamu bisa konsentrasi dengan tugas kuliah.” Chiva mencoba menenangkan. Justru itu semakin membuat Divo sesak. Gadis di hadapannya ini, masih kelas dua SMU. Namun kedewasaannya melebihi gadis-gadis lain seusianya. Divo mencoba tersenyum. Meski lagi-lagi Chiva tak melihatnya.
“Terima kasih. Aku akan sempatkan menjengukmu setelah kesibukanku reda.”
“Tak usah memaksakan diri…”
“Terima kasih…” bisik Divo lagi.
“Sekarang, kita kembali ke ruangan aja ya?” Chiva mengangguk.
Divo mengantarkan Chiva hingga ke ruangan dan memastikan gadis itu sudah aman di ranjangnya. Ia menarik selimut dan menutupkannya ke atas tubuh Chiva.
“Hei.., apakah ini artinya aku harus tidur?” protes Chiva.
“Ya..”
“Nggak ah, aku belum mau tidur. Kamu pulang aja. Aku nggak apa-apa..” protes Chiva sembari menyibakkan selimut dan mengeluarkan kakinya.
“Kenapa? Ini udah malam, tahu?”
“Pokoknya nggak mau! Aku ingin menikmati bintang. Aku ingin duduk di dekat jendela.” Chiva menggeser tubuhnya. Sambil berpegang di besi kepala ranjang, ia beringsut menuju jendela. Tak sulit.
“Chiva..”
“Divo.., jangan buat aku seperti anak kecil dong. Masa aku nggak boleh merasakan cahaya bulan dan bintang?” Sepasang mata Divo terlihat mulai berkaca-kaca. Ia tak dapat menahan diri untuk tak menyalahkan diri sendiri. Ya Tuhan, apa yang dapat kulakukan untuk dapat menebus semua kesalahan?
“Chiva, kamu yakin?” Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan pandangnya dari langit pekat. Meski Divo yakin ia takkan menemukan apapun di sana. Tiba-tiba ia tergelitik untuk bertanya.
“Chiva.., kenapa kamu suka memandang langit?”
“Karena langit selalu dipenuhi keindahan. Ada Putri Rembulan, gerombolan bintang dan Pangeran Malam..” sahutnya dengan wajah sumringah. Divo mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Kok diam? Bingung ya?”
“Ya..”
“Ketiga tokoh itu imajinasi ibuku. Dia selalu menceritakan dongeng Pangeran Malam dan Putri Rembulan padaku setiap akan berangkat tidur. Sejak usiaku lima tahun. Jadi bisa dibayangkan bagaimana melekatnya ketiga tokoh itu dalam ruang memoriku.” Divo manggut-manggut.
“Ya udah, kalo gitu selamat menikmati, ya? Tapi jangan lama-lama. Ntar bisa masuk angin. Aku pamit…” Chiva mengangguk. Ada yang berdesir di hatinya mendengar kalimat Divo yang penuh perhatian.
Chiva belum lama mengenal Divo. Tepatnya tiga minggu yang lalu, di rumah sakit ini. Ia tak tahu Divo siapa. Yang ia tahu, lelaki itu menyapanya dengan ramah, memperkenalkan dirinya dengan hangat dan mengakrabkan dirinya pada Chiva dengan begitu cepat. Chiva bahkan tak percaya kalau itu akan terjadi padanya, justru dalam masa-masa yang sulit. Masa dimana ia sulit untuk menerima dirinya sendiri. Diri yang baru. Yang berbeda dengan Chiva beberapa waktu sebelumnya. Chiva yang lincah, energik dan periang. Chiva yang sekarang adalah Chiva yang hanya mampu berdiam, merenung dan menjalani hari dengan irama yang monoton. Dan di saat itulah Divo datang. Sungguh ia sangat berterima kasih dan kadang merasa bahwa Divo adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuknya.
“Hai, Spidey..” Divo membalikkan badannya begitu sebuah suara lembut menyapanya mesra. Divo tersenyum. Seorang gadis cantik bertubuh semampai melangkah ke arahnya. Senyum gadis itu merekah manis. Seperti biasa.
“Hai, Della.” Sahutnya. Gadis bergaun biru itu menghentikan langkahnya. Spidey. Yah, itu panggilan khusus Della untuknya. “Karena tampilan fisikmu nyaris mirip Peter Parker.” Itu kata Della ketika ditanyakan latar belakang panggilan itu. Dan Divo sama sekali tak keberatan untuk menjadi figur bayangan Sang Manusia Cicak itu.
“Duduklah. Tiga minggu menghilang, kamu kembali canggung di rumah ini.” Divo tersenyum lebar. Benar juga. Biasanya begitu datang ia langsung duduk tanpa harus dipersilahkan ataupun menunggu empunya rumah datang.
“Nah, gimana perjalananmu selama tiga minggu kemarin, Spidey? Ceritain dong..” Pertanyaan basa-basi itu membuat Divo disergap rasa bersalah yang teramat kental. Apa yang dapat diceritakannya? Semua yang terjadi dalam rentang waktu tiga minggu ke belakang? Oho, tidak! Ia tak mau melakukan itu.
“Nggak ada yang luar biasa.” cetusnya kemudian.
“Oh ya? Masa?”
“Ya.” Della mengerucutkan bibirnya dengan manja.
“Pelit amat.”
“Beneran. Ya udah, kita berangkat sekarang, ya? Ntar telat ke pestanya..” Della mengangguk. Ia beranjak dari duduk dan merapikan gaunnya. Terngiang di telinganya kata-kata Dini, Aku ngeliat Divo di rumah sakit, Del. Ia bersama seorang gadis cantik. Kalau ingin menurutkan hati, sebenarnya banyak yang ingin ditanyakannya ke Divo. Tapi lidahnya kelu. Tak sedikitpun mampu mengeluarkan pertanyaan yang menyesaki dada. Biarlah. Ia akan menunggu Divo mengatakannya sendiri.
“Divo, kok diam terus? Kenapa? Banyak fikiran?” Divo tergeragap. Ia menatap sekeliling. Hingar bingar pesta masih berlangsung dengan meriah. Musik berdentum dengan keras. Teman-temannya terlihat menikmati pesta ini. Sementara di sampingnya, Della duduk sambil menatap tajam ke arahnya. Duh, kenapa ia bisa melamun dalam suasana seperti ini ya?
“Divo..” panggil Della sekali lagi.
“Ya? Mmm.., maaf Della. Aku tadi….” Ia tak meneruskan kalimatnya. Karena tak tahu harus mengatakan apa. Kalaupun ada yang ingin dikatakan, ia khawatir itu akan melukai perasaan Della. Baik jujur maupun kebohongan.
“Kenapa? Kamu kurang nyaman? Kita pulang aja?” Della mencoba mengerti. Divo menatap gadis bermata bening itu dengan iba. Mereka di café ini karena menghadiri pesta ulang tahun Shanti, teman dekat Della. Sebenarnya ia tak menyukai pesta. Tapi untuk membiarkan Della pergi sendiri juga ia tak tega. Dua tahun mereka menjalin kisah dan itu membuat ia selalu ingin melindungi gadis itu. Menyayanginya. Hanya saja, kali ini ada yang mengganggu fikirannya. Ia teringat Chiva. Ia bersenang-senang di tempat ini, sementara Chiva sendiri di rumah sakit. Dan ia memang benar-benar sendiri dalam kegelapannya. Kegelapan yang diciptakan Divo untuknya, tiga minggu yang lalu!
“Nggak usah. Kita tunggu aja acara puncaknya. Nggak enak dengan Shanti kan, kalo kita pergi sekarang.” jawab Divo.
“Bener?” Divo mengangguk.
“Maaf ya, tadi aku sedikit ngelamun.” Pintanya bersungguh-sungguh. Della mengangguk.
“Nggak apa. Kalo ada masalah, aku siap kok untuk membantu menyelesaikannya..” Divo tertawa.
“Masalah? Masalah apa? Nggak ada tuh..” kilahnya cepat.
“Ya udah, aku ambil makanan dulu, ya? Jangan ngelamun lagi lho…” Divo mengangguk. Della melesat meninggalkannya. Langkahnya ringan melayang di balik punggung teman-temannya. Divo tersenyum sendiri. Gadis itu begitu mempesona. Cantik, pintar dan sangat pengertian. Tiga hal yang membuat ia setengah mati berjuang meraih simpatinya. Dulu. Tiga hal yang mampu menahannya selama berjam-jam di tengah lapangan basket yang terik, semata untuk menunjukkan pada Della yang tengah praktek di laboratorium, bahwa ia bersungguh-sungguh ingin menjadikan Della teman spesialnya. Untungnya semua pengorbanan yang dilakukannya tak sia-sia. Semua harapannya bersambut. Adik kelasnya itu membalas semua perhatian Divo.
“Divo!” Teriakan itu nyaris membuat Divo terjengkang dari duduknya. Namun, demi melihat siapa yang memekikkan namanya, cowok kurus berkacamata itu lega. Della. Kelihatannya ia tengah bercanda tadi. Buktinya kini tawanya berderai.
“Sengaja, ya?”
“Biarin! Siapa suruh ngelamun terus. Emang enak dikerjain?”
“Nggak ngelamun kok..,” bantah Divo cepat. Della mendelik.
“Nggak ngelamun kok dipanggil reaksinya sampe segitunya? Hayyoo, mau ngeles lagi?” Divo nyengir. Diraihnya piring berisi beberapa potong cake yang disodorkan Della. Mencomot sebuah dan menatap Della dengan perasaan berkecamuk.
“Hei…., Spidey…” sapa gadis itu dengan manja.
“Ya?”
“Kemana kita tanggal 14 nanti?” Dahi Divo berkerut. Kedua alisnya bertaut.
“Tanggal 14? Memang ada apa tanggal 14?” tanyanya bingung sambil menelan potongan cake terakhir di mulutnya.
“Iih, kebiasaan. Tanggal 14 kan Valentine ..”
“Ooo, trus kenapa kalo Valentine?”
“Ya, buat acara dong. Jangan bilang nggak mau lagi….” Della sedikit mengancam. Bibirnya mengerucut.
“Tapi memang itu yang ingin aku katakan..”
“Iih, nyebelin!”
“Lho, kenapa? Ini kan bukan pertama kalinya aku menolak merayakan Valentine. Sorry, Della. Aku tak menganggap Valentine itu sesuatu yang spesial. Setiap hari bagiku adalah spesial. Setiap hari adalah hari penuh cinta. Cinta untuk semua.” papar Divo panjang lebar.
Della terdiam menunduk. Hatinya digayuti mendung. Divo menghela nafas.
“Gini aja, aku nggak mau merayakan Valentine. Tapi …..” Divo menggantung kalimatnya, menunggu reaksi gadis di depannya.
“Tapi apa?” sambar Della cepat.
“Tapi kita akan menghitung bintang di malam itu… Setuju?” Della terperangah. Tapi hanya sekejap. Karena detik berikutnya, tawanya telah merekah.
“Menghitung bintang? Seperti tanggal 14 tahun lalu?” ia mencoba memastikan.
“Ya..” Della mendesah.
“Ampuun, Spidey..Nggak punya ide yang lebih baik dari itu? Bosan, ah..” Di luar dugaan, Della menolaknya tegas. Divo terperanjat. Sepertinya baru kali ini Della bereaksi demikian. Divo menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih dalam lewat sepasang mata indah di depannya. Ada kabut di sana. Hei, ada apa dengannya? Della membuang pandang. Ia tak ingin terbaca. Ia bangkit mendahului Divo.
“Kita pulang..” ujarnya pendek sambil melangkah bergegas. Divo tak berusaha mencegah. Entahlah. Hatinya benar-benar kacau malam ini. Ia teringat Chiva. Mereka saling berdiam diri di motor, sepanjang perjalanan pulang. Tak ada pembicaraan lanjutan. Dan itu membuat Della ‘sesak’.
Hari ini 14 Februari. Tiap sudut kota dipenuhi dengan aroma pinky dan pernak-pernik khas Valentine. Sayangnya, meski sejak kecil dia telah terbiasa dengan orang-orang di sekeliling yang ‘heboh’ menyambut Valentine, Divo tak sekalipun tertarik untuk menganggap hari itu sebagai hari yang spesial. Ia tak pernah merasa perlu untuk membeli coklat berbentuk hati, menyiapkan sebuket mawar merah. Baginya, setiap hari adalah spesial. Setiap hari harusnya dipenuhi cinta. Cinta kepada sesama manusia dan semua makhluk Tuhan. Dan satu hal kenapa ia tak mau merayakan valentine dengan berhura-hura adalah kepergian Papa Mamanya di tanggal itu, tiga tahun yang lalu. Dalam kecelakaan tragis. Dan itu terlalu perih untuk ‘dirayakan’.
Sampai malam turun, Divo tak kunjung keluar rumah. Ia disibukkan dengan beberapa hal ringan di rumah. Dan hanya nyengir ketika melihat adiknya yang berbalut busana dan aksesoris pinky, pamit untuk jalan bareng teman-temannya. Sebenarnya, Divo menunggu telfon dari seseorang. Della. Ia ingin mereka kembali berbaikan. Bagaimana pun, hatinya ‘sakit’ harus berdiaman dengan gadis itu. Sayangnya, tak demikian dengan Della. Gadis itu tak menjawab telfonnya, tak menerima kehadirannya di rumah dan menghindarinya setiap Divo menjemput ke sekolah.
Divo tetap di rumah seharian. Bahkan hingga malam menjelang. Bolak-balik melirik ponsel dan telfon rumah. Sayangnya, kedua benda itu tak juga memenuhi harapannya. Sesekali telfon rumah berdering, tapi bukan dari orang yang diinginkannya. Hanya beberapa teman adiknya. Saat-saat seperti ini, tiba-tiba bayang seraut wajah melintas di benak Divo. Wajah seseorang yang entah kenapa, melindas kegelisahannya terhadap Della. Hatinya berdesir. Dan itu membuatnya beranjak dengan cepat dari duduk.
Langit cerah malam ini. Tak begitu pekat. Sementara ribuan bintang dan seulas senyum rembulan, hadir di sana. Divo tengadah, menikmati indahnya anugrah Sang Maha Pencipta itu. Sesaat kemudian, langkahnya mantap menyusuri koridor. Sebuket mawar merah tergenggam di tangannya, terayun-ayun mengikuti irama tubuhnya.
Ia berhenti di depan sebuah bangunan dengan jendela yang banyak dan besar-besar. Seseorang yang tengah tengadah di sisi jendela menyita perhatiannya. Gadis itu sepertinya tengah menikmati malam. Senyum tipis terkembang di bibirnya. Tatapannya lurus memandang langit. Sesekali tangannya melambai. Divo menghembuskan nafas dengan berat. Lambat ia memutar langkah. Tidak lurus di koridor yang akan mengantarkannya ke pintu ruangan gadis itu. Melainkan membelok menuju taman sisi depan gedung. Ia berhenti tepat di depan jendela. Di depan gadis itu. Ia menarik nafas panjang, mengangkat buket mawar dan mencium aromanya. Menikmati sejenak keharuman bunga-bunga indah itu. Dan menitipkan sebaris pesan hatinya di sana. Di tiap kuntum yang merekah indah.
“Chiva..,” sapanya lirih begitu tiba di depan gadis itu. Chiva menurunkan tangannya. Ia memiringkan sedikit wajahnya, menajamkan pendengarannya dan akhirnya melebarkan senyum.
“Divo.., kaukah itu?” Divo mengangguk perih.
“Ya. Ini aku..” Semburat merah muda teramat jelas menghiasi wajah putih di depannya. Ada kegembiraan mengalir di sana.
“Divo.., terima kasih.” ujarnya setengah berbisik.
“Untuk apa?” tanya Divo lagi.
“Untuk datang di hari ini..” Divo mendehem kecil.
“Kangen ya?” tudingnya diiringi tawa. Gadis itu ikut tertawa. Lucu sekali kata-kata itu. Kangen? Mungkinkah itu yang terasa di hatinya hari-hari belakangan?
“Aku bawakan ini untukmu..” Divo meletakkan buket mawar merah itu di tangan Chiva, yang langsung menggenggamnya dan mendekatkan ke wajahnya. Gadis itu menikmati keharuman yang tiba-tiba hadir di depannya. Menghirupnya dalam-dalam. Seakan ingin membawanya hingga ke relung hati.
“Mawar merah. Kau menyukainya?” tanya Divo.
“Terima kasih. Kau baik sekali. Sebenarnya, tanpa ini pun, aku udah sangat berterima kasih karena kamu mau hadir. Aku suka. Tapi kenapa mawar merah? Bukan putih?” Divo terperangah. Ia tak siap untuk pertanyaan itu. Ya, kenapa mawar merah? Bukankah seharusnya ia membawakan mawar putih, untuk meminta maaf atas sebuah kesalahan yang telah merenggut gadis itu dari keindahan dunia. Bukankah mawar putih jauh lebih tepat menyuarakan arti kehadirannya selama ini di samping Chiva? Untuk menebus sebuah rasa bersalah yang tak juga mau beranjak dari hatinya? Divo terdiam lama. Dan itu membuat Chiva kehilangan.
“Divo? Kamu masih di depanku kan?” tanyanya sambil memiringkan wajah, mencoba menangkap kehadiran Divo. Ya, sejak kecelakaan yang merenggut bukan saja kedua kakinya, bahkan penglihatannya, Chiva belajar memastikan kehadiran seseorang melalui pendengaran dan penciumannya. Dan entah kenapa, semakin lama ia merasa kedua inderanya tersebut semakin peka. Meskipun awalnya sungguh tak mudah. Terlebih untuk memberikan kekuatan bagi dirinya sendiri untuk menerima kondisinya saat ini. Melelahkan.
“Divo, aku tahu kamu masih di sana. Ayolah, kenapa diam? Tersinggung dengan kalimatku tadi ya? Maaf, aku benar-benar tak tahu diri, ya? Seorang gadis buta dibawakan mawar indah malah bertanya yang aneh-aneh. Maaf, ya?” sesal Chiva bersungguh-sungguh. Dan itu semakin membuat Divo sesak. Ingin ia berteriak di depan Chiva dan mengatakan bahwa dialah yang mengantarkan Chiva dalam kubangan penderitaan itu. Divolah yang menabrak Chiva. Tapi lidahnya kelu. Ia tak mampu mengatakannya. Ia tak sanggup menghadapi sorot kemarahan di mata gadis itu. Ia bahkan tak mau membayangkan hilangnya kesempatan untuk bertemu lagi dengan Chiva.
“Enggak, Chiva. Kamu nggak salah apa-apa kok.” ujar Divo akhirnya, meski dengan terbata. Meski gadis itu tak melihatnya, namun Divo tak sanggup berlama-lama memandang wajah itu. Apalagi kemudian Chiva tersenyum. Itu semakin mempertebal rasa bersalahnya. Karena, senyum itu pasti akan semakin manis bila sepasang matanya ikut tersenyum.
“Divo, malam ini banyak bintang, bukan?” tanya Chiva, mengalihkan pembicaraan. Divo mengangguk.
“Ya, banyak sekali. Langit indah malam ini, Chiva. Bahkan ada bulan. Bulan yang cantik..” sahut Divo sambil ikut tengadah menatap langit.
“Ya. Aku yakin, Pangeran Malam juga tengah menemani Putri Rembulan di sana. Mereka menghitung bintang. Indah sekali…” Chiva berbisik lirih. Nyaris tak terdengar. Divo menatap lekat wajah di depannya. Gadis itu terlihat begitu menikmati. Seandainya saja ia bisa meminjamkan penglihatannya, pasti wajah itu akan terlihat lebih cantik dengan semburat riangnya. Divo mengeluh dalam hati. Entah kenapa, lamat-lamat ia merasakan desir halus di sana. Mungkinkah itu sebuah jawaban atas pilihannya pada mawar merah untuk Chiva? Mungkin waktu yang akan menjawabnya. Ini pertama kalinya ia keluar untuk seseorang di tanggal 14 Februari dengan segala keringanan hati dan langkah. Karena ia tak ingin merasa ‘kesakitan’ yang sama dengan saat Papa Mamanya pergi. Juga tak ingin menambah dalam luka gadis yang telah dicampakkannya ke dasar kegelapan.
Waktu bergulir dalam diam. Mereka tak lagi bicara. Hanya menengadah, menatap langit yang begitu indah. Sementara hati mereka terwakilkan pada Putri Rembulan dan Pangeran Malam, yang berdansa dikelilingi pendar ribuan bintang. Dan malam menjadi begitu panjang ………








Tidak ada komentar:

Posting Komentar