Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Story, 25 Januari 2010
. Malam mulai turun menggandeng bulan dan jutaan bintang. Menghiasi
hamparan langit yang pekat. Sepekat hati Chiva yang sarat keluh.
Ini hari ke sepuluh. Divo belum juga datang. Tiga hari lagi tanggal
14. Mungkinkah Divo lupa akan janjinya? Chiva menarik nafas panjang,
mencoba melepaskan beban berat di dadanya.
“Aku harus pergi…” bisik Divo pagi itu, di taman lingkar rumah
sakit. Chiva dapat merasakan getaran suara Divo, karena wajah pemuda
itu begitu dekat di telinganya. “Pergi? Pergi kemana?” tanya
Chiva mencoba wajar. Meskipun entah kenapa hatinya gelisah. “Pulang
maksudnya?”
Divo menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tertunduk. Meskipun saat
ini mudah untuknya berbohong, tapi Divo tak tega untuk melakukannya.
“Mmm, ya…pulang. Tapi aku juga tak bisa datang menjengukmu
beberapa hari ke depan.” jawabnya berat. Chiva tersenyum.
“Kenapa? Kamu ujian? Banyak tugas ya?” Divo terdiam. Ditatapnya
wajah Chiva yang begitu tulus. Dan itu membuat hatinya menjerit. Ya
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia
mengangguk. Tapi Chiva tak melihatnya.
“Divo? Kok diam? Kamu ada ujian?” Chiva mengulang tanyanya.
“Iya..” Divo menjawab dengan susah payah.
“Ya udah, nggak apa-apa kok. Lagian aku yang harusnya minta maaf,
terlalu banyak menyita waktumu. Tapi, minggu depan mungkin keluargaku
akan datang dari Australia. Dan mereka yang akan menemaniku di sini.
Jadi kamu bisa konsentrasi dengan tugas kuliah.” Chiva mencoba
menenangkan. Justru itu semakin membuat Divo sesak. Gadis di
hadapannya ini, masih kelas dua SMU. Namun kedewasaannya melebihi
gadis-gadis lain seusianya. Divo mencoba tersenyum. Meski lagi-lagi
Chiva tak melihatnya.
“Terima kasih. Aku akan sempatkan menjengukmu setelah kesibukanku
reda.”
“Tak usah memaksakan diri…”
“Terima kasih…” bisik Divo lagi.
“Sekarang, kita kembali ke ruangan aja ya?” Chiva mengangguk.
Divo mengantarkan Chiva hingga ke ruangan dan memastikan gadis itu
sudah aman di ranjangnya. Ia menarik selimut dan menutupkannya ke
atas tubuh Chiva.
“Hei.., apakah ini artinya aku harus tidur?” protes Chiva.
“Ya..”
“Nggak ah, aku belum mau tidur. Kamu pulang aja. Aku nggak
apa-apa..” protes Chiva sembari menyibakkan selimut dan
mengeluarkan kakinya.
“Kenapa? Ini udah malam, tahu?”
“Pokoknya nggak mau! Aku ingin menikmati bintang. Aku ingin duduk
di dekat jendela.” Chiva menggeser tubuhnya. Sambil berpegang di
besi kepala ranjang, ia beringsut menuju jendela. Tak sulit.
“Chiva..”
“Divo.., jangan buat aku seperti anak kecil dong. Masa aku nggak
boleh merasakan cahaya bulan dan bintang?” Sepasang mata Divo
terlihat mulai berkaca-kaca. Ia tak dapat menahan diri untuk tak
menyalahkan diri sendiri. Ya Tuhan, apa yang dapat kulakukan untuk
dapat menebus semua kesalahan?
“Chiva, kamu yakin?” Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan
pandangnya dari langit pekat. Meski Divo yakin ia takkan menemukan
apapun di sana. Tiba-tiba ia tergelitik untuk bertanya.
“Chiva.., kenapa kamu suka memandang langit?”
“Karena langit selalu dipenuhi keindahan. Ada Putri Rembulan,
gerombolan bintang dan Pangeran Malam..” sahutnya dengan wajah
sumringah. Divo mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Kok diam? Bingung ya?”
“Ya..”
“Ketiga tokoh itu imajinasi ibuku. Dia selalu menceritakan dongeng
Pangeran Malam dan Putri Rembulan padaku setiap akan berangkat tidur.
Sejak usiaku lima tahun. Jadi bisa dibayangkan bagaimana melekatnya
ketiga tokoh itu dalam ruang memoriku.” Divo manggut-manggut.
“Ya udah, kalo gitu selamat menikmati, ya? Tapi jangan lama-lama.
Ntar bisa masuk angin. Aku pamit…” Chiva mengangguk. Ada yang
berdesir di hatinya mendengar kalimat Divo yang penuh perhatian.
Chiva belum lama mengenal Divo. Tepatnya tiga minggu yang lalu, di
rumah sakit ini. Ia tak tahu Divo siapa. Yang ia tahu, lelaki itu
menyapanya dengan ramah, memperkenalkan dirinya dengan hangat dan
mengakrabkan dirinya pada Chiva dengan begitu cepat. Chiva bahkan tak
percaya kalau itu akan terjadi padanya, justru dalam masa-masa yang
sulit. Masa dimana ia sulit untuk menerima dirinya sendiri. Diri yang
baru. Yang berbeda dengan Chiva beberapa waktu sebelumnya. Chiva yang
lincah, energik dan periang. Chiva yang sekarang adalah Chiva yang
hanya mampu berdiam, merenung dan menjalani hari dengan irama yang
monoton. Dan di saat itulah Divo datang. Sungguh ia sangat berterima
kasih dan kadang merasa bahwa Divo adalah malaikat yang dikirimkan
Tuhan untuknya.
“Hai, Spidey..” Divo membalikkan badannya begitu sebuah suara
lembut menyapanya mesra. Divo tersenyum. Seorang gadis cantik
bertubuh semampai melangkah ke arahnya. Senyum gadis itu merekah
manis. Seperti biasa.
“Hai, Della.” Sahutnya. Gadis bergaun biru itu menghentikan
langkahnya. Spidey. Yah, itu panggilan khusus Della untuknya. “Karena
tampilan fisikmu nyaris mirip Peter Parker.” Itu kata Della
ketika ditanyakan latar belakang panggilan itu. Dan Divo sama sekali
tak keberatan untuk menjadi figur bayangan Sang Manusia Cicak itu.
“Duduklah. Tiga minggu menghilang, kamu kembali canggung di rumah
ini.” Divo tersenyum lebar. Benar juga. Biasanya begitu datang ia
langsung duduk tanpa harus dipersilahkan ataupun menunggu empunya
rumah datang.
“Nah, gimana perjalananmu selama tiga minggu kemarin, Spidey?
Ceritain dong..” Pertanyaan basa-basi itu membuat Divo disergap
rasa bersalah yang teramat kental. Apa yang dapat diceritakannya?
Semua yang terjadi dalam rentang waktu tiga minggu ke belakang? Oho,
tidak! Ia tak mau melakukan itu.
“Nggak ada yang luar biasa.” cetusnya kemudian.
“Oh ya? Masa?”
“Ya.” Della mengerucutkan bibirnya dengan manja.
“Pelit amat.”
“Beneran. Ya udah, kita berangkat sekarang, ya? Ntar telat ke
pestanya..” Della mengangguk. Ia beranjak dari duduk dan merapikan
gaunnya. Terngiang di telinganya kata-kata Dini, Aku ngeliat Divo
di rumah sakit, Del. Ia bersama seorang gadis cantik. Kalau ingin
menurutkan hati, sebenarnya banyak yang ingin ditanyakannya ke Divo.
Tapi lidahnya kelu. Tak sedikitpun mampu mengeluarkan pertanyaan yang
menyesaki dada. Biarlah. Ia akan menunggu Divo mengatakannya sendiri.
“Divo, kok diam terus? Kenapa? Banyak fikiran?” Divo tergeragap.
Ia menatap sekeliling. Hingar bingar pesta masih berlangsung dengan
meriah. Musik berdentum dengan keras. Teman-temannya terlihat
menikmati pesta ini. Sementara di sampingnya, Della duduk sambil
menatap tajam ke arahnya. Duh, kenapa ia bisa melamun dalam suasana
seperti ini ya?
“Divo..” panggil Della sekali lagi.
“Ya? Mmm.., maaf Della. Aku tadi….” Ia tak meneruskan
kalimatnya. Karena tak tahu harus mengatakan apa. Kalaupun ada yang
ingin dikatakan, ia khawatir itu akan melukai perasaan Della. Baik
jujur maupun kebohongan.
“Kenapa? Kamu kurang nyaman? Kita pulang aja?” Della mencoba
mengerti. Divo menatap gadis bermata bening itu dengan iba. Mereka di
café ini karena menghadiri pesta ulang tahun Shanti, teman dekat
Della. Sebenarnya ia tak menyukai pesta. Tapi untuk membiarkan Della
pergi sendiri juga ia tak tega. Dua tahun mereka menjalin kisah dan
itu membuat ia selalu ingin melindungi gadis itu. Menyayanginya.
Hanya saja, kali ini ada yang mengganggu fikirannya. Ia teringat
Chiva. Ia bersenang-senang di tempat ini, sementara Chiva sendiri di
rumah sakit. Dan ia memang benar-benar sendiri dalam kegelapannya.
Kegelapan yang diciptakan Divo untuknya, tiga minggu yang lalu!
“Nggak usah. Kita tunggu aja acara puncaknya. Nggak enak dengan
Shanti kan, kalo kita pergi sekarang.” jawab Divo.
“Bener?” Divo mengangguk.
“Maaf ya, tadi aku sedikit ngelamun.” Pintanya
bersungguh-sungguh. Della mengangguk.
“Nggak apa. Kalo ada masalah, aku siap kok untuk membantu
menyelesaikannya..” Divo tertawa.
“Masalah? Masalah apa? Nggak ada tuh..” kilahnya cepat.
“Ya udah, aku ambil makanan dulu, ya? Jangan ngelamun lagi lho…”
Divo mengangguk. Della melesat meninggalkannya. Langkahnya ringan
melayang di balik punggung teman-temannya. Divo tersenyum sendiri.
Gadis itu begitu mempesona. Cantik, pintar dan sangat pengertian.
Tiga hal yang membuat ia setengah mati berjuang meraih simpatinya.
Dulu. Tiga hal yang mampu menahannya selama berjam-jam di tengah
lapangan basket yang terik, semata untuk menunjukkan pada Della yang
tengah praktek di laboratorium, bahwa ia bersungguh-sungguh ingin
menjadikan Della teman spesialnya. Untungnya semua pengorbanan yang
dilakukannya tak sia-sia. Semua harapannya bersambut. Adik kelasnya
itu membalas semua perhatian Divo.
“Divo!” Teriakan itu nyaris membuat Divo terjengkang dari
duduknya. Namun, demi melihat siapa yang memekikkan namanya, cowok
kurus berkacamata itu lega. Della. Kelihatannya ia tengah bercanda
tadi. Buktinya kini tawanya berderai.
“Sengaja, ya?”
“Biarin! Siapa suruh ngelamun terus. Emang enak dikerjain?”
“Nggak ngelamun kok..,” bantah Divo cepat. Della mendelik.
“Nggak ngelamun kok dipanggil reaksinya sampe segitunya? Hayyoo,
mau ngeles lagi?” Divo nyengir. Diraihnya piring berisi
beberapa potong cake yang disodorkan Della. Mencomot sebuah dan
menatap Della dengan perasaan berkecamuk.
“Hei…., Spidey…” sapa gadis itu dengan manja.
“Ya?”
“Kemana kita tanggal 14 nanti?” Dahi Divo berkerut. Kedua
alisnya bertaut.
“Tanggal 14? Memang ada apa tanggal 14?” tanyanya bingung sambil
menelan potongan cake terakhir di mulutnya.
“Iih, kebiasaan. Tanggal 14 kan Valentine ..”
“Ooo, trus kenapa kalo Valentine?”
“Ya, buat acara dong. Jangan bilang nggak mau lagi….” Della
sedikit mengancam. Bibirnya mengerucut.
“Tapi memang itu yang ingin aku katakan..”
“Iih, nyebelin!”
“Lho, kenapa? Ini kan bukan pertama kalinya aku menolak merayakan
Valentine. Sorry, Della. Aku tak menganggap Valentine itu sesuatu
yang spesial. Setiap hari bagiku adalah spesial. Setiap hari adalah
hari penuh cinta. Cinta untuk semua.” papar Divo panjang lebar.
Della terdiam menunduk. Hatinya digayuti mendung. Divo menghela
nafas.
“Gini aja, aku nggak mau merayakan Valentine. Tapi …..” Divo
menggantung kalimatnya, menunggu reaksi gadis di depannya.
“Tapi apa?” sambar Della cepat.
“Tapi kita akan menghitung bintang di malam itu… Setuju?”
Della terperangah. Tapi hanya sekejap. Karena detik berikutnya,
tawanya telah merekah.
“Menghitung bintang? Seperti tanggal 14 tahun lalu?” ia mencoba
memastikan.
“Ya..” Della mendesah.
“Ampuun, Spidey..Nggak punya ide yang lebih baik dari itu? Bosan,
ah..” Di luar dugaan, Della menolaknya tegas. Divo terperanjat.
Sepertinya baru kali ini Della bereaksi demikian. Divo menyipitkan
matanya, mencoba melihat lebih dalam lewat sepasang mata indah di
depannya. Ada kabut di sana. Hei, ada apa dengannya? Della membuang
pandang. Ia tak ingin terbaca. Ia bangkit mendahului Divo.
“Kita pulang..” ujarnya pendek sambil melangkah bergegas. Divo
tak berusaha mencegah. Entahlah. Hatinya benar-benar kacau malam ini.
Ia teringat Chiva. Mereka saling berdiam diri di motor, sepanjang
perjalanan pulang. Tak ada pembicaraan lanjutan. Dan itu membuat
Della ‘sesak’.
Hari ini 14 Februari. Tiap sudut kota dipenuhi dengan aroma pinky
dan pernak-pernik khas Valentine. Sayangnya, meski sejak kecil dia
telah terbiasa dengan orang-orang di sekeliling yang ‘heboh’
menyambut Valentine, Divo tak sekalipun tertarik untuk menganggap
hari itu sebagai hari yang spesial. Ia tak pernah merasa perlu untuk
membeli coklat berbentuk hati, menyiapkan sebuket mawar merah.
Baginya, setiap hari adalah spesial. Setiap hari harusnya dipenuhi
cinta. Cinta kepada sesama manusia dan semua makhluk Tuhan. Dan satu
hal kenapa ia tak mau merayakan valentine dengan berhura-hura adalah
kepergian Papa Mamanya di tanggal itu, tiga tahun yang lalu. Dalam
kecelakaan tragis. Dan itu terlalu perih untuk ‘dirayakan’.
Sampai malam turun, Divo tak kunjung keluar rumah. Ia disibukkan
dengan beberapa hal ringan di rumah. Dan hanya nyengir ketika melihat
adiknya yang berbalut busana dan aksesoris pinky, pamit untuk jalan
bareng teman-temannya. Sebenarnya, Divo menunggu telfon dari
seseorang. Della. Ia ingin mereka kembali berbaikan. Bagaimana pun,
hatinya ‘sakit’ harus berdiaman dengan gadis itu. Sayangnya, tak
demikian dengan Della. Gadis itu tak menjawab telfonnya, tak menerima
kehadirannya di rumah dan menghindarinya setiap Divo menjemput ke
sekolah.
Divo tetap di rumah seharian. Bahkan hingga malam menjelang.
Bolak-balik melirik ponsel dan telfon rumah. Sayangnya, kedua benda
itu tak juga memenuhi harapannya. Sesekali telfon rumah berdering,
tapi bukan dari orang yang diinginkannya. Hanya beberapa teman
adiknya. Saat-saat seperti ini, tiba-tiba bayang seraut wajah
melintas di benak Divo. Wajah seseorang yang entah kenapa, melindas
kegelisahannya terhadap Della. Hatinya berdesir. Dan itu membuatnya
beranjak dengan cepat dari duduk.
Langit cerah malam ini. Tak begitu pekat. Sementara ribuan bintang
dan seulas senyum rembulan, hadir di sana. Divo tengadah, menikmati
indahnya anugrah Sang Maha Pencipta itu. Sesaat kemudian, langkahnya
mantap menyusuri koridor. Sebuket mawar merah tergenggam di
tangannya, terayun-ayun mengikuti irama tubuhnya.
Ia berhenti di depan sebuah bangunan dengan jendela yang banyak dan
besar-besar. Seseorang yang tengah tengadah di sisi jendela menyita
perhatiannya. Gadis itu sepertinya tengah menikmati malam. Senyum
tipis terkembang di bibirnya. Tatapannya lurus memandang langit.
Sesekali tangannya melambai. Divo menghembuskan nafas dengan berat.
Lambat ia memutar langkah. Tidak lurus di koridor yang akan
mengantarkannya ke pintu ruangan gadis itu. Melainkan membelok menuju
taman sisi depan gedung. Ia berhenti tepat di depan jendela. Di depan
gadis itu. Ia menarik nafas panjang, mengangkat buket mawar dan
mencium aromanya. Menikmati sejenak keharuman bunga-bunga indah itu.
Dan menitipkan sebaris pesan hatinya di sana. Di tiap kuntum yang
merekah indah.
“Chiva..,” sapanya lirih begitu tiba di depan gadis itu. Chiva
menurunkan tangannya. Ia memiringkan sedikit wajahnya, menajamkan
pendengarannya dan akhirnya melebarkan senyum.
“Divo.., kaukah itu?” Divo mengangguk perih.
“Ya. Ini aku..” Semburat merah muda teramat jelas menghiasi
wajah putih di depannya. Ada kegembiraan mengalir di sana.
“Divo.., terima kasih.” ujarnya setengah berbisik.
“Untuk apa?” tanya Divo lagi.
“Untuk datang di hari ini..” Divo mendehem kecil.
“Kangen ya?” tudingnya diiringi tawa. Gadis itu ikut tertawa.
Lucu sekali kata-kata itu. Kangen? Mungkinkah itu yang terasa di
hatinya hari-hari belakangan?
“Aku bawakan ini untukmu..” Divo meletakkan buket mawar merah
itu di tangan Chiva, yang langsung menggenggamnya dan mendekatkan ke
wajahnya. Gadis itu menikmati keharuman yang tiba-tiba hadir di
depannya. Menghirupnya dalam-dalam. Seakan ingin membawanya hingga ke
relung hati.
“Mawar merah. Kau menyukainya?” tanya Divo.
“Terima kasih. Kau baik sekali. Sebenarnya, tanpa ini pun, aku
udah sangat berterima kasih karena kamu mau hadir. Aku suka. Tapi
kenapa mawar merah? Bukan putih?” Divo terperangah. Ia tak siap
untuk pertanyaan itu. Ya, kenapa mawar merah? Bukankah seharusnya ia
membawakan mawar putih, untuk meminta maaf atas sebuah kesalahan yang
telah merenggut gadis itu dari keindahan dunia. Bukankah mawar putih
jauh lebih tepat menyuarakan arti kehadirannya selama ini di samping
Chiva? Untuk menebus sebuah rasa bersalah yang tak juga mau beranjak
dari hatinya? Divo terdiam lama. Dan itu membuat Chiva kehilangan.
“Divo? Kamu masih di depanku kan?” tanyanya sambil memiringkan
wajah, mencoba menangkap kehadiran Divo. Ya, sejak kecelakaan yang
merenggut bukan saja kedua kakinya, bahkan penglihatannya, Chiva
belajar memastikan kehadiran seseorang melalui pendengaran dan
penciumannya. Dan entah kenapa, semakin lama ia merasa kedua
inderanya tersebut semakin peka. Meskipun awalnya sungguh tak mudah.
Terlebih untuk memberikan kekuatan bagi dirinya sendiri untuk
menerima kondisinya saat ini. Melelahkan.
“Divo, aku tahu kamu masih di sana. Ayolah, kenapa diam?
Tersinggung dengan kalimatku tadi ya? Maaf, aku benar-benar tak tahu
diri, ya? Seorang gadis buta dibawakan mawar indah malah bertanya
yang aneh-aneh. Maaf, ya?” sesal Chiva bersungguh-sungguh. Dan itu
semakin membuat Divo sesak. Ingin ia berteriak di depan Chiva dan
mengatakan bahwa dialah yang mengantarkan Chiva dalam kubangan
penderitaan itu. Divolah yang menabrak Chiva. Tapi lidahnya kelu. Ia
tak mampu mengatakannya. Ia tak sanggup menghadapi sorot kemarahan di
mata gadis itu. Ia bahkan tak mau membayangkan hilangnya kesempatan
untuk bertemu lagi dengan Chiva.
“Enggak, Chiva. Kamu nggak salah apa-apa kok.” ujar Divo
akhirnya, meski dengan terbata. Meski gadis itu tak melihatnya, namun
Divo tak sanggup berlama-lama memandang wajah itu. Apalagi kemudian
Chiva tersenyum. Itu semakin mempertebal rasa bersalahnya. Karena,
senyum itu pasti akan semakin manis bila sepasang matanya ikut
tersenyum.
“Divo, malam ini banyak bintang, bukan?” tanya Chiva,
mengalihkan pembicaraan. Divo mengangguk.
“Ya, banyak sekali. Langit indah malam ini, Chiva. Bahkan ada
bulan. Bulan yang cantik..” sahut Divo sambil ikut tengadah menatap
langit.
“Ya. Aku yakin, Pangeran Malam juga tengah menemani Putri Rembulan
di sana. Mereka menghitung bintang. Indah sekali…” Chiva berbisik
lirih. Nyaris tak terdengar. Divo menatap lekat wajah di depannya.
Gadis itu terlihat begitu menikmati. Seandainya saja ia bisa
meminjamkan penglihatannya, pasti wajah itu akan terlihat lebih
cantik dengan semburat riangnya. Divo mengeluh dalam hati. Entah
kenapa, lamat-lamat ia merasakan desir halus di sana. Mungkinkah itu
sebuah jawaban atas pilihannya pada mawar merah untuk Chiva? Mungkin
waktu yang akan menjawabnya. Ini pertama kalinya ia keluar untuk
seseorang di tanggal 14 Februari dengan segala keringanan hati dan
langkah. Karena ia tak ingin merasa ‘kesakitan’ yang sama dengan
saat Papa Mamanya pergi. Juga tak ingin menambah dalam luka gadis
yang telah dicampakkannya ke dasar kegelapan.
Waktu bergulir dalam diam. Mereka tak lagi bicara. Hanya menengadah,
menatap langit yang begitu indah. Sementara hati mereka terwakilkan
pada Putri Rembulan dan Pangeran Malam, yang berdansa dikelilingi
pendar ribuan bintang. Dan malam menjadi begitu panjang ………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar