Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Gadis, 19 September 2011
“Hallo, Pink.”
Seseorang memanggilku begitu. Renyah. Dengan senyum sumringah.
Bagaimana bisa aku menolaknya? Lalu seulas senyum yang sama, merekah
di bibirku. Namun. buru-buru aku menarik kembali sudut bibir. Dari
ekor mata, aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh. Kenapa begitu sulit untuk menolak senyumnya? Kenapa pesonanya
begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku, melainkan seluruh penghuni
sekolah. Dia memang istimewa, akuku dalam hati. Tapi aku membencinya!
Aku tak ingin tersenyum untuknya. Lantas gimana caranya agar kedua
sudut bibir ini gak tertarik keluar? Uh, sepertinya aku harus
menanyakan tipsnya ke Mbah Google.
“Wah..wah.., kayaknya ada yang klepek-klepek nih?” Kalimat
menggoda itu mengulik telinga. Memaksaku memutar tubuh dan mencari
tahu siapa pemiliknya. Jihan. Aku mencibir.
“Nggak segitunya, ah..’” bantahku seketika.
“Yuhuuu… , masa sih? Lihat, wajahmu memerah tuh!” Jihan bersiul
panjang. Refleks kuraba permukaan wajah. Sedikit rasa panas menjalar
di sana. Jihan terbahak.
“Udahlah. Akui aja. Nggak ada yang ngelarang kok. Lagian, masa
perang dingin melulu. Damai dong.., damaiiiiii.” Jihan masih terus
meledekku.
“Sok tahu!” Aku mengibaskan tangan dan berlalu dengan angkuh.
Damai? Dengan Ray? Oh, mustahil..!! Aku menarik nafas lega. Jihan tak
mengikuti.
Namun sayangnya, lepas dari Jihan tak berarti aku lepas dari masalah.
Karena di depanku telah berdiri tegak seorang cowok. Tepatnya,
makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini. God,
tolong berikan aku arah yang lain… Aku celingak-celinguk. Nihil.
Hanya tersisa dua pilihan, meneruskan langkah hingga ke hadapannya
atau berbalik kembali ke kelas. Setelah berfikir sejenak, aku menarik
nafas panjang. Baiklah, aku akan menghadapinya.
“Hai, Pink,” sapanya menyambutku dalam jarak setengah meter. Aku
melengos. Mencoba bersikap tak perduli dan meneruskan langkah.
Perutku sudah bernyanyi sejak tadi. Tak mungkin kuabaikan gara-gara
cowok ini. Jarak semakin dekat. Lalu…
“Pink, kita harus mengakhiri semua ini.” Gugup yang datang
tiba-tiba, mengacaukan konsentrasiku. Akibatnya, aku tak mampu
menjaga jarak. Di pintu, siku kami bersinggungan. Aku mundur beberapa
langkah.
“Sori,” katanya buru-buru. Aku bersiap memutar. Namun….
“Pink...”
“Jangan panggil aku dengan nama itu,” tukasku tak senang. Ia
mengerutkan dahi. Sungguh, itu mimik terbaiknya.
“Kenapa? Bukankah itu panggilan yang biasa untukmu?”
“Tapi aku tak mau dipanggil begitu,” dengusku kesal. Kenapa ia
begitu keras- kepala?
“Kenapa? Aku menyukainya.” Ia masih berkeras. Dan itu membuatku
meradang.
“Tapi aku tidak! Tolong, jangan panggil aku dengan nama itu..,”
pintaku bersungguh-sungguh. Bahkan, mungkin terdengar sedikit tajam.
Cowok beralis tebal dengan sepasang mata teduh bagai telaga itu,
menatapku dalam-dalam. Lalu mengangguk.
“Baiklah. Tapi dengan satu syarat, kita harus bahas masalah dulu.”
Aku tercengang. Ya ampuuun, kenapa jadi dia yang menentukan? Tapi aku
tak punya pilihan, kecuali dia akan terus memanggilku dengan nama
itu.
“Baiklah…” Aku menyerah dengan sangat terpaksa. Tampaknya aku
harus mengakui kebenaran yang beredar di tengah cewek-cewek di
sekolah ini. Ray sulit untuk ditolak. Lihatlah, bahkan aku pun
menyerah.
Kami duduk di sudut kantin, menjauh dari kelompok-kelompok yang
berisik di tengah ruangan. Suara mereka berdengung bagai sekumpulan
lebah yang mengitari madu. Sesekali gelak terbahak meruak, menyentak
telinga. Apa aja sih yang mereka perbincangkan?
Menit-menit berlalu dalam diam. Kami duduk berhadapan dengan
pandangan berlawanan. Aku membuang pandang ke luar kantin, menjangkau
lapangan basket yang lengang. Ray sibuk dengan fikirannya. Ia
mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Sesekali ekor mataku menangkap
tatapannya yang tertuju ke wajahku. Uh, terperangkap dalam situasi
beku seperti ini benar-benar menyebalkan. Kenapa dia belum bicara
sih?!
“Kalo gak ada yang dibicarakan, aku pergi.” Aku berdiri dan
menatapnya dengan gusar. Ray tersentak. Aku menangkap kegugupan yang
membayang selintas di wajahnya.
“Oke, sori,” sahutnya buru-buru. “Duduklah. Aku bingung
darimana harus memulainya. Apakah, sebuah permintaan maaf?”
tanyanya hati-hati sambil menelisik wajahku. Aku melengos.
“Kayaknya udah basi tuh.”
“Kenapa? Bukankah kamu pernah bilang, setiap manusia berhak untuk
memperoleh kesempatan kedua?” Aku membuang pandang.
“Masih ingat pernah ngucapin kalimat itu, kan?” Ia mencecarku
dengan nada menyiratkan kemenangan. Dan aku tak rela!
“Aku ingat. Tapi itu gak berlaku untuk kasus kita. Kamu itu sadar
nggak sih, udah mengatakan sesuatu yang sangat merendahkan
seseorang?!” sergahku.
“Aku gak bermaksud begitu. Aku sedang kesal. Itu aja. Aku nggak
punya niat sama sekali untuk merendahkan kamu.” Ray membela diri.
“Tapi kamu mengejekku dengan julukan cewek perempatan. Coba deh
kamu tanya dengan orang lain, apakah kalimat itu gak merendahkan?”
Ray menghela nafas dan menatapku dengan serius.
“Aku nggak punya pilihan. Aku nggak tahu nama kamu. Dan omongan
kamu benar-benar membuatku tersinggung.”
“Tapi kamu membuat anak-anak lain ikut-ikutan!” Aku berkeras
sambil menahan air mata yang hampir jatuh. Nggak, aku gak akan
menangis di depan cowok ini!
Aku ingat sekali kejadian awal yang membuatku membenci Ray. Saat
itu, umurku masih dua belas tahun. Aku besar di jalanan, sebagaimana
ibu dan ayah. Rumah kami hanyalah sebuah rumah mungil di mulut gang
sempit, tepat di bawah naungan sebatang pohon mangga tua. Gang itu
adalah satu dari beberapa gang lain yang bermuara ke sebuah jalan
besar, yang setiap harinya sesak oleh arus beragam kendaraan.
Jauh sebelum ia menemukanku, sosok Ray sudah tak asing di mataku. Ia
anak salah satu pemilik rumah mewah di pinggir jalan besar, tak jauh
dari rumahku. Setiap pagi ia pergi ke sekolah bersama ayahnya yang
mengendarai sedan mahal buatan Eropa. Siangnya pulang bersama supir
dengan mobil berbeda. Dua jam kemudian pergi lagi menyandang tas dan
berpakaian rapi. Pulang lagi ke rumah. Tak lama, keluar mengenakan
baju muslim dan sebuah peci. Kupikir, ia pergi mengaji. Dua jam
berikutnya pulang, masuk ke rumah dan tak keluar-keluar lagi.
Begitulah setiap harinya, kecuali Minggu. Karena hari Minggu, jadwal
anak lelaki itu jadi tak beraturan. Terkadang ia bermain roller
skate di halamannya yang luas. Atau bermain sepeda ke jalanan
bersama teman-temannya. Sepedanya bagus. Sepeda balap berwarna silver
dengan stang melengkung. Diam-diam, aku mengaguminya kala mengayuh
sepeda di depanku. Ia tak memperhatikanku sama sekali. Selain itu,
masih ada beragam hal lain yang dilakukannya di hari Minggu.
Berenang, main badminton dengan ayahnya atau pergi ke pesta bersama
seluruh keluarga. Nah, untuk hal terakhir, aku sering terkikik geli
melihat penampilannya yang berjas dan berdasi kupu-kupu. Bagiku,
penampilannya seperti aktor-aktor drama Korea, salah satu favoritku.
Lalu suatu ketika, saat aku hendak menyeberang jalan, seorang cowok
bersepeda nyaris menubrukku. Aku menutup mata dan menjerit histeris
melihat sepeda itu meluncur kencang ke arahku. Untung tak terjadi
apa-apa. Kecuali permukaan ban yang menyentuh lembut kulit betisku.
Aku membuka mata dan buru-buru berlari ke trotoar. Pengendara sepeda
telah duluan berada di sana. Dan aku mengenalinya. Anak orang kaya
dengan sepeda keren yang kukagumi.
“Kamu nggak punya mata, ya? Lampu merah masih main kebut. Percuma
aja sekolah, tapi gak tahu aturan!” Aku mendampratnya dengan marah.
Tapi anak lelaki itu malah balas melotot ke arahku. Wajahnya merah
padam. Teman-temannya yang tiba belakangan udah merubungi kami.
“Dasar, cewek perempatan! Kamu tuh yang nggak tahu aturan.
Bersepeda pake ngelamun segala.” Aku makin marah mendengar
kata-katanya.
“Kamu…” Sangking marahnya, aku kehilangan kata-kata. Banyak
kalimat yang ingin kuhamburkan tapi yang keluar hanya airmata. Belum
pernah ada seorang pun yang memanggilku cewek perempatan. Dan aku
bersumpah, aku takkan pernah melupakan itu. Nggak akan pernah!
“Udah, ah. Yuk, kita jalan lagi. Ngapain juga ngelayani cewek
perempatan.” Anak lelaki itu memberi isyarat pada teman-temannya
lewat tangannya. Mereka mengayuh sepedanya dan meninggalkanku dengan
gelak tawa sumbang. Aku menggeram marah. Dan lebih marah lagi karena
setelah itu, julukan cewek perempatan menjadi begitu lekat denganku.
Teman-temannya dan seluruh anak-anak lelaki di kawasan itu
memanggilku begitu.
“Pink, ngelamun?” Sebuah sentuhan di ujung jari membuat seluruh
gambar dari masa laluku, buyar menguap. Cepat kutarik tanganku dari
meja.
“Nggak,” jawabku ketus.
“Tapi kamu nggak mendengar kata-kataku barusan, kan?” Aku
menatapnya dengan bibir terkatup rapat.
“Aku minta maaf karena pernah menjulukimu cewek perempatan. Tapi,
aku ingin tetap memanggilmu Pink. Boleh?” Ray merendahkan suaranya.
Aku menggeleng.
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Itu bukan namaku.”
“Tapi kamu membiarkan Papa memanggilmu demikian. Kenapa aku tidak
boleh?” protes Ray. Aku memalingkan wajah.
“Karena merasa berhutang budi?” kejar Ray. Hatiku mengiyakan.
Ya, bagaimana mungkin aku menolak panggilan itu untuk orang yang
telah mengangkatku sebagai anak, sejak ayah dan ibu meninggal dalam
kecelakaan di depan rumah Ray? Aku memejamkan mata dengan hati perih.
Semua seperti membayang kembali. Ayah dan Ibu yang terkapar
berlumuran darah di badan jalan. Sepeda Ayah yang remuk di bawah ban
truk. Orang-orang yang berkerumun dengan tatapan terenyuh. Dan
tangisan seorang gadis kecil yang menyayat, pilu. Gadis kecil yang
tiba-tiba merasa dunianya hampa, tanpa siapa-siapa. Lalu gelap. Ia
pingsan, entah untuk berapa lama. Dan saat tersadar, wajah seorang
lelaki berkumis tebal dengan senyum lebarlah yang pertama-tama
didapati. Lelaki yang menolong Ayah, Ibu dan aku.
“Hallo, Pink? Kamu udah sadar?” Itu kalimat pertama yang kudengar
sekaligus pertama kalinya aku disapa dengan sebutan Pink. Beberapa
hari setelahnya baru ku tahu alasan lelaki itu melekatkan nama pink.
Tak lain warna baju yang kupakai saat pingsan dan semburat merah muda
yang membayang di pipiku ketika sadar. Sebutan pink itu sekaligus
melekatkan identitas baru untukku sebagai anak angkat dr. Rahmad,
ayah Ray!
Anehnya, meskipun telah serumah, aku dan Ray jarang bertegur sapa.
Kecuali di depan papanya. Kebencian yang kutanam sejak kasus di
perempatan, tak pernah pupus. Bahkan hingga aku duduk di bangku SMU.
“Pink…”
“Pokoknya aku nggak mau kamu memanggilku Pink. Itu hanya berlaku
untuk Papa,” tandasku.
“Tapi aku suka. Apa aku harus membelikanmu baju pink, boneka pink,
sepatu pink dan benda-benda pink lainnya, baru kamu mau kupanggil
begitu?” Ray masih berkeras.
“Kamu kira aku cewek matre, ya?” Ray menggeleng kuat-kuat.
“Nggak. Aku nggak bilang begitu. Aku cuma ingin memanggilmu Pink.”
“Tapi aku nggak mau.”
“Ya, tapi kenapa? Bukankah semua butuh penjelasan?”
“Aku hanya ingin memakai namaku. Nama yang dipilihkan Ibu. Aku
ingin nama itu selalu melekat. Dengan begitu, kuharap mereka tak
pernah benar-benar pergi dariku,” paparku dengan susah-payah.
Rasanya, untuk menelan ludah pun menjadi sangat sulit kulakukan
sekarang ini. Apalagi menahan air mata yang terus-menerus berkecipak
di pelupuk. Pertahananku runtuh. Sebutir demi sebutir air bening,
menyusuri pipi. Dan tahu-tahu aku telah terisak.
“Ini.” Ray menyodorkan selembar tisu. Aku meraihnya dan
cepat-cepat menyusut air mata.
“Aku mengerti,” ujarnya dengan mimik serius. “Aku ingin
memanggilmu dengan nama itu sama dengan alasan Papa. Kami ingin kamu
bangkit dari masa lalu. Bukan berarti menghilangkan jejak itu sama
sekali. Kurasa, dengan atau tanpa nama asli kami memanggilmu, toh
nama itu akan terus melekat. Di rapor, ijazah dan surat-surat penting
lain. Takkan ada yang terhapus. Nama itu selalu melekat dengan
dirimu, sebagaimana kedua orangtuamu. Mereka selalu ada dan hidup di
hatimu meskipun teman-teman memanggilmu dengan sebutan apa saja.
Begitu, kan?” Aku terdiam. Kupikir, apa yang dikatakan Ray ada
benarnya juga. Tanpa sadar senyumku mengembang tipis. Meski rasanya
masih memahit.
“Hei.., kamu tersenyum. Apa itu artinya aku boleh memanggilmu
Pink?” Aku mengangguk. Ray tertawa lebar.
“Pink, adikku yang cantik..” katanya kemudian. Pipiku memanas.
Rasa-rasanya ada semburat pink di sana. Bel berdentang. Hmm, itu
artinya pembicaraan ini telah usai. Juga perang dingin kami.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar