Pages

Kamis, 26 September 2013

PINK


Oleh; R.Yulia

Dimuat Mj Gadis, 19 September 2011

“Hallo, Pink.”
Seseorang memanggilku begitu. Renyah. Dengan senyum sumringah. Bagaimana bisa aku menolaknya? Lalu seulas senyum yang sama, merekah di bibirku. Namun. buru-buru aku menarik kembali sudut bibir. Dari ekor mata, aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh. Kenapa begitu sulit untuk menolak senyumnya? Kenapa pesonanya begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku, melainkan seluruh penghuni sekolah. Dia memang istimewa, akuku dalam hati. Tapi aku membencinya! Aku tak ingin tersenyum untuknya. Lantas gimana caranya agar kedua sudut bibir ini gak tertarik keluar? Uh, sepertinya aku harus menanyakan tipsnya ke Mbah Google.
“Wah..wah.., kayaknya ada yang klepek-klepek nih?” Kalimat menggoda itu mengulik telinga. Memaksaku memutar tubuh dan mencari tahu siapa pemiliknya. Jihan. Aku mencibir.
“Nggak segitunya, ah..’” bantahku seketika.
“Yuhuuu… , masa sih? Lihat, wajahmu memerah tuh!” Jihan bersiul panjang. Refleks kuraba permukaan wajah. Sedikit rasa panas menjalar di sana. Jihan terbahak.
“Udahlah. Akui aja. Nggak ada yang ngelarang kok. Lagian, masa perang dingin melulu. Damai dong.., damaiiiiii.” Jihan masih terus meledekku.
“Sok tahu!” Aku mengibaskan tangan dan berlalu dengan angkuh. Damai? Dengan Ray? Oh, mustahil..!! Aku menarik nafas lega. Jihan tak mengikuti.
Namun sayangnya, lepas dari Jihan tak berarti aku lepas dari masalah. Karena di depanku telah berdiri tegak seorang cowok. Tepatnya, makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini. God, tolong berikan aku arah yang lain… Aku celingak-celinguk. Nihil. Hanya tersisa dua pilihan, meneruskan langkah hingga ke hadapannya atau berbalik kembali ke kelas. Setelah berfikir sejenak, aku menarik nafas panjang. Baiklah, aku akan menghadapinya.
“Hai, Pink,” sapanya menyambutku dalam jarak setengah meter. Aku melengos. Mencoba bersikap tak perduli dan meneruskan langkah. Perutku sudah bernyanyi sejak tadi. Tak mungkin kuabaikan gara-gara cowok ini. Jarak semakin dekat. Lalu…
“Pink, kita harus mengakhiri semua ini.” Gugup yang datang tiba-tiba, mengacaukan konsentrasiku. Akibatnya, aku tak mampu menjaga jarak. Di pintu, siku kami bersinggungan. Aku mundur beberapa langkah.
“Sori,” katanya buru-buru. Aku bersiap memutar. Namun….
“Pink...”
“Jangan panggil aku dengan nama itu,” tukasku tak senang. Ia mengerutkan dahi. Sungguh, itu mimik terbaiknya.
“Kenapa? Bukankah itu panggilan yang biasa untukmu?”
“Tapi aku tak mau dipanggil begitu,” dengusku kesal. Kenapa ia begitu keras- kepala?
“Kenapa? Aku menyukainya.” Ia masih berkeras. Dan itu membuatku meradang.
“Tapi aku tidak! Tolong, jangan panggil aku dengan nama itu..,” pintaku bersungguh-sungguh. Bahkan, mungkin terdengar sedikit tajam. Cowok beralis tebal dengan sepasang mata teduh bagai telaga itu, menatapku dalam-dalam. Lalu mengangguk.
“Baiklah. Tapi dengan satu syarat, kita harus bahas masalah dulu.” Aku tercengang. Ya ampuuun, kenapa jadi dia yang menentukan? Tapi aku tak punya pilihan, kecuali dia akan terus memanggilku dengan nama itu.
“Baiklah…” Aku menyerah dengan sangat terpaksa. Tampaknya aku harus mengakui kebenaran yang beredar di tengah cewek-cewek di sekolah ini. Ray sulit untuk ditolak. Lihatlah, bahkan aku pun menyerah.
Kami duduk di sudut kantin, menjauh dari kelompok-kelompok yang berisik di tengah ruangan. Suara mereka berdengung bagai sekumpulan lebah yang mengitari madu. Sesekali gelak terbahak meruak, menyentak telinga. Apa aja sih yang mereka perbincangkan?
Menit-menit berlalu dalam diam. Kami duduk berhadapan dengan pandangan berlawanan. Aku membuang pandang ke luar kantin, menjangkau lapangan basket yang lengang. Ray sibuk dengan fikirannya. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Sesekali ekor mataku menangkap tatapannya yang tertuju ke wajahku. Uh, terperangkap dalam situasi beku seperti ini benar-benar menyebalkan. Kenapa dia belum bicara sih?!
“Kalo gak ada yang dibicarakan, aku pergi.” Aku berdiri dan menatapnya dengan gusar. Ray tersentak. Aku menangkap kegugupan yang membayang selintas di wajahnya.
“Oke, sori,” sahutnya buru-buru. “Duduklah. Aku bingung darimana harus memulainya. Apakah, sebuah permintaan maaf?” tanyanya hati-hati sambil menelisik wajahku. Aku melengos.
“Kayaknya udah basi tuh.”
“Kenapa? Bukankah kamu pernah bilang, setiap manusia berhak untuk memperoleh kesempatan kedua?” Aku membuang pandang.
“Masih ingat pernah ngucapin kalimat itu, kan?” Ia mencecarku dengan nada menyiratkan kemenangan. Dan aku tak rela!
“Aku ingat. Tapi itu gak berlaku untuk kasus kita. Kamu itu sadar nggak sih, udah mengatakan sesuatu yang sangat merendahkan seseorang?!” sergahku.
“Aku gak bermaksud begitu. Aku sedang kesal. Itu aja. Aku nggak punya niat sama sekali untuk merendahkan kamu.” Ray membela diri.
“Tapi kamu mengejekku dengan julukan cewek perempatan. Coba deh kamu tanya dengan orang lain, apakah kalimat itu gak merendahkan?” Ray menghela nafas dan menatapku dengan serius.
“Aku nggak punya pilihan. Aku nggak tahu nama kamu. Dan omongan kamu benar-benar membuatku tersinggung.”
“Tapi kamu membuat anak-anak lain ikut-ikutan!” Aku berkeras sambil menahan air mata yang hampir jatuh. Nggak, aku gak akan menangis di depan cowok ini!
Aku ingat sekali kejadian awal yang membuatku membenci Ray. Saat itu, umurku masih dua belas tahun. Aku besar di jalanan, sebagaimana ibu dan ayah. Rumah kami hanyalah sebuah rumah mungil di mulut gang sempit, tepat di bawah naungan sebatang pohon mangga tua. Gang itu adalah satu dari beberapa gang lain yang bermuara ke sebuah jalan besar, yang setiap harinya sesak oleh arus beragam kendaraan.
Jauh sebelum ia menemukanku, sosok Ray sudah tak asing di mataku. Ia anak salah satu pemilik rumah mewah di pinggir jalan besar, tak jauh dari rumahku. Setiap pagi ia pergi ke sekolah bersama ayahnya yang mengendarai sedan mahal buatan Eropa. Siangnya pulang bersama supir dengan mobil berbeda. Dua jam kemudian pergi lagi menyandang tas dan berpakaian rapi. Pulang lagi ke rumah. Tak lama, keluar mengenakan baju muslim dan sebuah peci. Kupikir, ia pergi mengaji. Dua jam berikutnya pulang, masuk ke rumah dan tak keluar-keluar lagi. Begitulah setiap harinya, kecuali Minggu. Karena hari Minggu, jadwal anak lelaki itu jadi tak beraturan. Terkadang ia bermain roller skate di halamannya yang luas. Atau bermain sepeda ke jalanan bersama teman-temannya. Sepedanya bagus. Sepeda balap berwarna silver dengan stang melengkung. Diam-diam, aku mengaguminya kala mengayuh sepeda di depanku. Ia tak memperhatikanku sama sekali. Selain itu, masih ada beragam hal lain yang dilakukannya di hari Minggu. Berenang, main badminton dengan ayahnya atau pergi ke pesta bersama seluruh keluarga. Nah, untuk hal terakhir, aku sering terkikik geli melihat penampilannya yang berjas dan berdasi kupu-kupu. Bagiku, penampilannya seperti aktor-aktor drama Korea, salah satu favoritku.
Lalu suatu ketika, saat aku hendak menyeberang jalan, seorang cowok bersepeda nyaris menubrukku. Aku menutup mata dan menjerit histeris melihat sepeda itu meluncur kencang ke arahku. Untung tak terjadi apa-apa. Kecuali permukaan ban yang menyentuh lembut kulit betisku. Aku membuka mata dan buru-buru berlari ke trotoar. Pengendara sepeda telah duluan berada di sana. Dan aku mengenalinya. Anak orang kaya dengan sepeda keren yang kukagumi.
“Kamu nggak punya mata, ya? Lampu merah masih main kebut. Percuma aja sekolah, tapi gak tahu aturan!” Aku mendampratnya dengan marah. Tapi anak lelaki itu malah balas melotot ke arahku. Wajahnya merah padam. Teman-temannya yang tiba belakangan udah merubungi kami.
“Dasar, cewek perempatan! Kamu tuh yang nggak tahu aturan. Bersepeda pake ngelamun segala.” Aku makin marah mendengar kata-katanya.
“Kamu…” Sangking marahnya, aku kehilangan kata-kata. Banyak kalimat yang ingin kuhamburkan tapi yang keluar hanya airmata. Belum pernah ada seorang pun yang memanggilku cewek perempatan. Dan aku bersumpah, aku takkan pernah melupakan itu. Nggak akan pernah!
“Udah, ah. Yuk, kita jalan lagi. Ngapain juga ngelayani cewek perempatan.” Anak lelaki itu memberi isyarat pada teman-temannya lewat tangannya. Mereka mengayuh sepedanya dan meninggalkanku dengan gelak tawa sumbang. Aku menggeram marah. Dan lebih marah lagi karena setelah itu, julukan cewek perempatan menjadi begitu lekat denganku. Teman-temannya dan seluruh anak-anak lelaki di kawasan itu memanggilku begitu.
“Pink, ngelamun?” Sebuah sentuhan di ujung jari membuat seluruh gambar dari masa laluku, buyar menguap. Cepat kutarik tanganku dari meja.
“Nggak,” jawabku ketus.
“Tapi kamu nggak mendengar kata-kataku barusan, kan?” Aku menatapnya dengan bibir terkatup rapat.
“Aku minta maaf karena pernah menjulukimu cewek perempatan. Tapi, aku ingin tetap memanggilmu Pink. Boleh?” Ray merendahkan suaranya. Aku menggeleng.
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Itu bukan namaku.”
“Tapi kamu membiarkan Papa memanggilmu demikian. Kenapa aku tidak boleh?” protes Ray. Aku memalingkan wajah.
“Karena merasa berhutang budi?” kejar Ray. Hatiku mengiyakan.
Ya, bagaimana mungkin aku menolak panggilan itu untuk orang yang telah mengangkatku sebagai anak, sejak ayah dan ibu meninggal dalam kecelakaan di depan rumah Ray? Aku memejamkan mata dengan hati perih. Semua seperti membayang kembali. Ayah dan Ibu yang terkapar berlumuran darah di badan jalan. Sepeda Ayah yang remuk di bawah ban truk. Orang-orang yang berkerumun dengan tatapan terenyuh. Dan tangisan seorang gadis kecil yang menyayat, pilu. Gadis kecil yang tiba-tiba merasa dunianya hampa, tanpa siapa-siapa. Lalu gelap. Ia pingsan, entah untuk berapa lama. Dan saat tersadar, wajah seorang lelaki berkumis tebal dengan senyum lebarlah yang pertama-tama didapati. Lelaki yang menolong Ayah, Ibu dan aku.
“Hallo, Pink? Kamu udah sadar?” Itu kalimat pertama yang kudengar sekaligus pertama kalinya aku disapa dengan sebutan Pink. Beberapa hari setelahnya baru ku tahu alasan lelaki itu melekatkan nama pink. Tak lain warna baju yang kupakai saat pingsan dan semburat merah muda yang membayang di pipiku ketika sadar. Sebutan pink itu sekaligus melekatkan identitas baru untukku sebagai anak angkat dr. Rahmad, ayah Ray!
Anehnya, meskipun telah serumah, aku dan Ray jarang bertegur sapa. Kecuali di depan papanya. Kebencian yang kutanam sejak kasus di perempatan, tak pernah pupus. Bahkan hingga aku duduk di bangku SMU.
“Pink…”
“Pokoknya aku nggak mau kamu memanggilku Pink. Itu hanya berlaku untuk Papa,” tandasku.
“Tapi aku suka. Apa aku harus membelikanmu baju pink, boneka pink, sepatu pink dan benda-benda pink lainnya, baru kamu mau kupanggil begitu?” Ray masih berkeras.
“Kamu kira aku cewek matre, ya?” Ray menggeleng kuat-kuat.
“Nggak. Aku nggak bilang begitu. Aku cuma ingin memanggilmu Pink.”
“Tapi aku nggak mau.”
“Ya, tapi kenapa? Bukankah semua butuh penjelasan?”
“Aku hanya ingin memakai namaku. Nama yang dipilihkan Ibu. Aku ingin nama itu selalu melekat. Dengan begitu, kuharap mereka tak pernah benar-benar pergi dariku,” paparku dengan susah-payah. Rasanya, untuk menelan ludah pun menjadi sangat sulit kulakukan sekarang ini. Apalagi menahan air mata yang terus-menerus berkecipak di pelupuk. Pertahananku runtuh. Sebutir demi sebutir air bening, menyusuri pipi. Dan tahu-tahu aku telah terisak.
“Ini.” Ray menyodorkan selembar tisu. Aku meraihnya dan cepat-cepat menyusut air mata.
“Aku mengerti,” ujarnya dengan mimik serius. “Aku ingin memanggilmu dengan nama itu sama dengan alasan Papa. Kami ingin kamu bangkit dari masa lalu. Bukan berarti menghilangkan jejak itu sama sekali. Kurasa, dengan atau tanpa nama asli kami memanggilmu, toh nama itu akan terus melekat. Di rapor, ijazah dan surat-surat penting lain. Takkan ada yang terhapus. Nama itu selalu melekat dengan dirimu, sebagaimana kedua orangtuamu. Mereka selalu ada dan hidup di hatimu meskipun teman-teman memanggilmu dengan sebutan apa saja. Begitu, kan?” Aku terdiam. Kupikir, apa yang dikatakan Ray ada benarnya juga. Tanpa sadar senyumku mengembang tipis. Meski rasanya masih memahit.
“Hei.., kamu tersenyum. Apa itu artinya aku boleh memanggilmu Pink?” Aku mengangguk. Ray tertawa lebar.
“Pink, adikku yang cantik..” katanya kemudian. Pipiku memanas. Rasa-rasanya ada semburat pink di sana. Bel berdentang. Hmm, itu artinya pembicaraan ini telah usai. Juga perang dingin kami.
*****









Tidak ada komentar:

Posting Komentar