Pages

Kamis, 26 September 2013

CERMIN


Oleh : R.Yulia
Dimuat tb. Gaul, 2005 


Chintya menatap cermin di depannya dengan puas. Akhirnya ia temukan juga posisi yang bagus untuk meletakkan cermin antik itu. Tepat di depan meja belajarnya. Dengan begitu, setiap jenuh dengan tumpukan pe er, ia dapat rileks dan memandangi wajahnya di cermin. Atau bisa juga sambil mengkhayalkan wajah kiyut Al, sang bintang di sekolahnya.
Sebenarnya, cermin yang dibeli Chintya bukanlah barang mahal. Belinya juga bukan di toko mebel yang elit. Melainkan di pasar loak. Pertamanya sih iseng pengen jalan sorangan ke pasar loak. Ia penasaran dengan kata-kata Juli.
“Kamu boleh saja nggak respek ngedenger pasar loak. Tapi kalo kamu semua mau nyempetin diri ke sana dan ngeliat dengan mata kepala sendiri, pasti deh pada terbelalak. Karena yang ada di sana bukan hanya barang rombengan. Banyak lho barang bagus dan antik. Harganya juga murah banget. Daripada beli ratusan ribu di toko barang antik. Emang sih, kamu mesti punya waktu banyak untuk ngubek-ngubek dan nyeleksi barangnya. Karena banyak juga yang butut.” Itu celoteh Juli kemarin siang di sekolahan.
Tentu saja celoteh itu bukan tanpa sebab. Chintya tertarik dengan jam tangan mungil milik Juli yang terlihat lain dari biasanya. Jam tangan itu tidak baru tapi unik sekali. Dengan alasan tersebutlah ia mengayun langkah ke pasar loak. Dan setelah hampir dua jam berkutat di sana, Chintya menemukan tambatan hatinya. Apalagi kalau bukan cermin yang kini ada di hadapannya.
Cermin itu berdiameter 15 centimeter. Dengan bingkai bulat dari perak yang sepanjang permukaannya berbungkal-bungkal seperti ombak lautan. Cermin itu juga memiliki landasan di bawahnya. Sebuah hiasan perahu dari kayu cendana. Penuh dengan ukiran. Ah, pokoknya bener-bener nggak nyesel deh, meski untuk itu ia harus merelakan seluruh tubuhnya berselimut debu. Selesai mengagumi cermin, Chintya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lusuh. IA merasakan kesegaran yang berbeda setelah bersalin pakaian.
Chintya membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Pandangnya terlayang ke cermin di dinding. Senyumnya mengembang dan terus begitu hingga angannya mengawan dan membawa kelopak matanya terpejam. Chintya terlelap dengan rasa puas.
Chintya mondar-mandir di sepanjang koridor depan sekolahnya. Hari mulai gelap. Mang Min yang biasa menjemputnya tak juga muncul di gerbang. Ted yang tadi menemani pun sudah pulang beberapa menit yang lalu, setelah Chintya meyakinkannya untuk meninggalkan dirinya di sekolah. Ia yakin Mang Min akan datang sebentar lagi. Walau tak urung terbetik ragu di hatinya. Mana ponselnya kehabisan batere lagi. Huh!
Chintya memutuskan untuk menunggu di halte yang tidak begitu jauh dari sekolahnya. Setidaknya di tempat itu lebih ramai dan terang. Ada seorang cowok berambut ikal berdiri menyandar tiang. Sepasang tangannya mendekap dada. Ada juga seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan. Cantik dan berwibawa. Serta anak perempuan dengan wajah tirus dan pucat yang menggandeng seorang perempuan tua. Keduanya duduk di bangku halte sambil sesekali menoleh ke arah kanan. Mungkin mereka menunggu bis, pikir Chintya dalam hati. Ia melirik ke arah sekolah. Tidak, ia belum juga melihat mobil Mang Min. Sementara mau naik angkot, bingung naik yang mana? Ia jarang sekali naik angkot dari sekolahnya ke rumah. Ada beberapa taksi yang melintas. Kosong. Tapi Chintya tidak berani menghentikannya. Ia takut. Diliriknya orang-orang yang ada di halte itu. Mereka juga tampaknya belum menemukan angkot yang mereka inginkan. Chintya menekuri lantai.
Gadis itu baru mengangkat wajah ketika menyadari ada beberapa pasang mata yang seperti mengawasinya. Ia menoleh ke sekeliling. Ya ampuun, ternyata semua yang ada di di halte itu tengah menatapnya dengan tajam. Chintya bergidik. Tatapan mereka begitu dingin dan menusuk. IA seperti seorang maling yang sedang tertangkap basah saja layaknya.
“Eng…, maaf. Boleh saya tahu mengapa kalian menatap saya seperti itu?” tanya Chintya gugup. Sungguh, ia begitu takut saat ini. Apalagi dengan mata perempuan tua yang berkilat-kilat itu.
Ada apa sebenarnya?” tanyanya panik. Aduh, Mang Min kemana sih? Kok lama bener datangnya, sungutnya di hati.
“Kau! Kau benar-benar biang sial!!” bentak cowok berambut ikal dengan wajah sangar. Chintya menatapnya tak mengerti.
“Apa maksudmu?” tanyanya memberanikan diri. Entahlah, darimana ia punya nyali untuk melontarkan pertanyaan itu.
“Gara-gara kau, kami semua tak bisa pulang ke rumah. Masih berlagak bego lagi ?!” gerutu si perempuan cantik dengan kesal. Chintya mengernyitkan dahinya sambil meringis. Kok jadi dia yang disalahkan sih..
“Kenapa saya? Saya kan tak melakukan apa-apa untuk menghambat perjalanan pulang kalian.” Bantahnya yakin. Perempuan tua itu berdiri dengan gemetar. Si anak perempuan ikut berdiri dan memeganginya. Sorot matanya semakin nyata menunjukkan kebencian pada Chintya.
“Anak ini benar-benar keterlaluan!! Kau sudah lancang dan mengganggu rencana kami, kini malah mengelak pula. Kurasa kau harus menanggung semua akibatnya sebentar lagi..” Kalimat terakhir diucapkan perempuan tua itu dengan setengah mendesis. Syuut! Bagaikan kilat ia mengambil tongkat tua yang tadi disandarkan ke bangku halte. “MAMPUS KAU!!” suara seraknya menggelegar di malam yang sunyi itu. Chintya bergetar dalam ketakutan dan ketidakmengertiannya. Rasanya seperti bertemu penyihir jahat di dongeng saja.
“Tunggu dulu, Nek!” sebuah suara muda mencegah dan mengambil alih tongkat tua itu. Si anak perempuan. IA mengetukkan tongkat ke lantai halte sebanyak dua kali.
“Mengapa kau menghalangiku, Asti?” Perempuan tua itu terlihat kesal. Ia menghentakkan kakinya. Chintya terpaku. Entahlah, ia merasa ada yang aneh dan tak beres dengan kejadian ini. Tiba-tiba saja ia tak melihat satu kendaraan pun yang melintas di jalan yang ada di hadapan mereka. Tak satu pun. Padahal, tadinya lumayan banyak juga kendaraan yang wira-wiri.
“Nek, jangan lakukan apapun padanya. Karena kuncinya ada pada dia. Kalau Nenek mencelakakannya, bagaimana kita dapat pulang. Sudahlah, kita minta saja dia mengembalikan cermin itu.” Cowok berambut ikal dan perempuan cantik nampaknya menyetujui usul si anak perempuan. Chintya semakin tak paham. Apa maksudnya dengan cermin? Apakah itu berarti cermin yang ia beli di pasar loak? Kalau memang iya, apa hubungannya dengan kepulangan mereka? Ah, mereka berempat sepertinya kurang waras, bisik Chintya dalam hati.
Perempuan tua itu mengeluh. “Terserah kau sajalah…” sahutnya lemah. Ia kembali duduk. Kini tatapan anak perempuan itu beralih ke Chintya. Chintya melihat ada yang ganjil. Tidak, anak itu bukanlah seorang bocah. Tubuhnya memang kecil dan tak menunjukkan tanda-tanda seorang perempuan dewasa. Namun wajahnya… Wajah itu bahkan sudah seperti seorang perempuan berusia dua puluh lima tahunan. Benar-benar kontras.
“Kau! Dengarkan aku! Sekarang juga serahkan cermin itu kepada kami. Jangan coba-coba untuk memilikinya kalau kau tak ingin hidupmu terkutuk selamanya..” serunya dengan suara nyaring. Chintya semakin bingung.
“Aku tak mengerti maksudmu..”akunya jujur dengan suara terbata.
“Kau payah sekali. Cobalah berfikir. Begini saja, Asti. Kita beri dia waktu tiga hari untuk mengembalikan cermin itu. Aku sudah bosan melihat tampang bodohnya.” Sela si perempuan karir. Perempuan kecil yang dipanggil Asti itu terdiam.
“Dengar, bocah! Kau kami beri waktu tiga hari untuk mengembalikan cermin itu. Jika tidak, ,tahu akibatnya.!” bentak Asti. Chintya terbelalak. Dia diancam. Wah, hebat betul! Seperti di film-film saja. Tapi ketakutan Chintya tidak bertahan lama. Karena tanpa disadari, orang-orang dengan sikap menyeramkan yang tadi ada di sekelilingnya, kini telah raib. Entah kemana. Chintya tercekam dalam kebingungan.
“Tya! Cepat bangun! Ikutan jalan pagi nggak?” Sayup Chintya mendengar suara mamanya. IA membuka mata dan menatap sekelilingnya. Ia ada di kamar. Kok bisa? Bagaimana mungkin, padahal lima menit yang lalu ia masih menunggu Mang Min di halte? Bermimpikah ia tadi? Tapi rasanya semua begitu nyata. Dan cermin yang tadi diminta perempuan kecil itu….Chintya refleks menatap cermin yang ada di dinding depannya. Mungkinkah cermin itu yang mereka maksud?
“Tya!” Ketukan di pintu semakin keras.
“YA, Ma. Sebentar lagi nih,” sahutnya sambil melompat dari ranjang. IA memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu. Ia yakin semua hanya mimpi. Dan itu terjadi karena ia begitu senang mendapatkan cermin antik tersebut.
Chintya mendekap perutnya yang kekenyangan. Aduh, rasanya siang ini ia makan terlalu banyak. Habis, mama sih, masakannya enak banget. Membuat tangannya terus terulur menyendok nasi dan mencubit pepes ikan mas yang dihidangkan. Chintya menguap lebar. Ini nih akibatnya, kalau perut kenyang. Bawaannya jadi mau tidur melulu. Ah, tapi sebelum tidur ia pengen bercermin dulu. Entahlah, Chintya merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu. Setiap kali ia bercermin wajahnya tampak begitu manis. Sepertinya, cermin itu telah memperlembut garis-garis keras di wajahnya dan menghilangkan butiran jerawat yang bertebaran di sana-sini.
Chintya baru beberapa detik termangu dan mengagumi dirinya ketika tiba-tiba saja bayangan wajahnya menghilang. Perlahan-lahan mencuat bayangan lain di sana. Wajah seorang perempuan bertubuh kecil. Wajah yang dikenali Chintya dalam mimpinya. Asti! Chintya tertegun sebelum akhirnya tanpa sadar ia menjauhkan wajah dari cermin. Asti menatapnya tanpa berkedip.
“Apa maumu? Siapa kau sebenarnya ?!” seru Chintya panik. Asti tersenyum. Tepatnya menyeringai. Wajahnya jadi kelihatan aneh.
“Kenapa bertanya? Bukankah kau sudah tahu apa yang kami mau?” Asti balik bertanya dengan getas.
“Kau..Kau.. Tidak! Kau tidak nyata! Kau hanyalah mimpiku!” bantah Chintya dengan tubuh mulai bergetar. IA benar-benar ketakutan sekarang. Mimpinya kemarin ternyata masih terus mengikuti. Dan kini bukan dalam keadaan tidur, melainkan dalam kesadaran penuh.
“Ya..ya..ya, terserah kau saja! Yang penting kalau kau tidak juga menyerahkan cermin ini berarti kau akan mendapatkan lebih dari sekedar mimpi buruk. Ingat itu!!!” tegas Asti. Seiring kalimat terakhirnya bayangan perempuan itu memudar dan akhirnya menghilang. Berganti dengan bayangan wajah Chintya yang pias dan memutih.
YA ampuuun, ternyata semua nyata! Semuanya bukan hanya mimpi! Chintya menekap wajahnya dengan panik. Ia mencoba menenangkan diri, Diambilnya nafas panjang dan menghembuskannya dengan sepenuh hati. Entahlah, ia tak yakin langkah apa yang akan ditempuhnya. Mungkin yang terbaik harus dilakukannya adalah mengembalikan cermin itu ke pasar loak dan menanyakan riwayat cermin itu pada penjualnya.
Setelah merasa agak baikan, Chintya segera mengganti bajunya dengan t-shirt dan jeans. Setelah mengenakan sepatu kets dan topi, ia merasa siap untuk pergi. Tangannya terulur menjangkau cermin.
“Tya..” Suara Mama mengagetkan Chintya, seiring terkuak lebarnya pintu kamar. Ia urung mengambil cermin.
“Ah kebetulan sekali, kau sudah rapi. Chintya, tolong temani Mama belanja ya? Besok kan ada arisan di sini. Ayo..” Mama memberi isyarat untuk mengikutinya. Tapi Chintya tak beranjak. Ia menatap Mama dengan bingung.
“Kenapa? Kok bengong begitu?” tanya mama heran.
“Eh, Tya nggak bisa, Ma. Tya ada janji dengan teman.” Tya menjawab sekenanya. Dahi Mama seketika berkerut.
“Masa kamu ngurusi teman-teman terus sih, Tya? Sesekali nemani Mama kan nggak ada salahnya.” Chintya tak sampai hati melihat wajah Mama yang memelas.Tapi cermin itu….
Tya tersenyum simpul. “Okelah, Ma.” Sahut Tya akhirnya. Mama tertawa lebar.
“Gitu dong..”
Malam itu, hujan baru saja reda. Udara yang dingin, seharusnya membuat tidur semakin nyenyak. Diiringi mimpi yang indah. Tapi tidak untuk Chintya. Ia berbaring di ranjangnya dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia mengubah posisi tidurnya. Percik gerimis satu-satu yang jatuh ke genangan air, semakin membuat matanya enggan terkatup.
Dalam posisi menelentang, Chintya menerawang. Menghitung langit-langit di atasnya. Tya resah. Waktunya habis hari ini. Sepanjang hari ini ia tak dapat keluar dari rumah barang sedetik pun. Acara arisan Mama memaksa Chintya untuk ikut berkutat mempersiapkan hidangan, dekorasi sekaligus menerima tamu. Dan itu baru berakhir pukul enam sore tadi. Jelas saja sudah tak memungkinkan baginya untuk pergi ke pasar loak. Mereka pasti sudah menutup dagangannya.
Jam dinding menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit. Sudah masuk dinihari. Chintya sudah menunggu sejak tadi tentang apa yang akan dihadapinya berkaitan dengan cermin itu. Tapi sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda. Bahkan Asti, perempuan kecil menjengkelkan itu, pun tidak menemuinya. Chintya mencoba memejamkan matanya. Namun ia tak juga merasakan kantuk. Sementara tubuhnya sudah lelah dan membutuhkan istirahat. Aneh.
Pukul lima lewat lima belas. Ah, sudah pagi. Chintya kesal karena matanya tak juga ingin terpejam. Dipaksakannya untuk tidur. Tapi semua sia-sia. Chintya bangkit dari tidurnya sambil menggerutu. Sialan! Bayangkan saja, sepanjang malam ia terus terjaga. Ia memutuskan untuk mandi. Setidaknya pilihan itu akan dapat menyegarkan tubuh dan fikirannya.
Chintya mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin. Ia menikmati semuanya tanpa menyadari perubahan di sekelilingnya. Dinding kamar mandi berukuran 2 x 3 meter itu tiba-tiba berubah menjadi cermin besar. Demikian pula dengan lantai dan langit-langitnya. Semua memantulkan bayangan Chintya yang masih terus mengguyur tubuhnya. Setelah beberapa lama, baru gadis itu sadar dengan apa yang terjadi. Chintya menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan tidak menemukan pintu dan jalan keluar lain. Semua menjadi cermin yang menakutkan.
“Tidak! Tidaaakk!! Keluarkan aku dari sini!” teriaknya histeris. Tapi tak ada yang mendengar. Perlahan-lahan, salah satu sisi cermin mencuatkan bayangan seorang perempuan kecil. Menyusul cowok berambut ikal, perempuan cantik dan perempuan tua yang memuakkan pada dinding cermin lainnya. Semua menyeringai kepadanya. Chintya masih terus menjerit untuk membebaskan dirinya.
“Kau tahu, anak manja ?! Inilah hukuman atas keteledoranmu mengingkari janji. Kau bernasib sama seperti kami. Terkurung selamanya di dalam cermin. Semua itu adalah kutukan saat pertama kali cermin ini kucuri dari seorang putri bangsawan. Dan itu akan terus begitu sampai ada yang mengembalikan cermin ini ke tempat asalnya.He..he..he…”Perempuan tua itu terkekeh di ujung kalimatnya.
“Tya, kamu belum bangun ya? Cepat sarapan, Papa sudah menunggu,” seorang perempuan parobaya memasuki kamar Chintya. Ia melongok ke ranjang anak gadisnya. Tapi tak seorang pun ditemuinya di sana.
“Tya, kamu dimana?” tanyanya sambil mencari-cari. Perempuan itu menuju kamar mandi dan menguakkan pintunya. Tak seorangpun di sana. Sementara kran air masih mengucurkan air. Ia mematikannya.
“Tya?” Perempuan itu masih mencari-cari sambil melangkah keluar kamar. Karena tak kunjung menemukan anak gadisnya, ia bergegas ke ruang makan. Nanti ia akan menanyakan keberadaan gadis itu pada Mang Min atau Mbok Nah. Perempuan itu memang tak menemukan Chintya. Padahal, seandainya ia menatap cermin di depan meja belajar itu, ia akan tahu dimana anak gadisnya berada. Walau sedetik kemudian gambaran itu juga ikut musnah seiring dengan cermin yang menghilang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar