Oleh : R.Yulia
Dimuat tb. Gaul, 2005
Chintya
menatap cermin di depannya dengan puas. Akhirnya ia temukan juga
posisi yang bagus untuk meletakkan cermin antik itu. Tepat di depan
meja belajarnya. Dengan begitu, setiap jenuh dengan tumpukan pe er,
ia dapat rileks dan memandangi wajahnya di cermin. Atau bisa juga
sambil mengkhayalkan wajah kiyut Al, sang bintang di sekolahnya.
Sebenarnya, cermin yang dibeli Chintya bukanlah barang
mahal. Belinya juga bukan di toko mebel yang elit. Melainkan di pasar
loak. Pertamanya sih iseng pengen jalan sorangan ke pasar loak. Ia
penasaran dengan kata-kata Juli.
“Kamu boleh saja nggak respek ngedenger pasar loak.
Tapi kalo kamu semua mau nyempetin diri ke sana dan ngeliat dengan
mata kepala sendiri, pasti deh pada terbelalak. Karena yang ada di
sana bukan hanya barang rombengan. Banyak lho barang bagus dan antik.
Harganya juga murah banget. Daripada beli ratusan ribu di toko barang
antik. Emang sih, kamu mesti punya waktu banyak untuk ngubek-ngubek
dan nyeleksi barangnya. Karena banyak juga yang butut.” Itu celoteh
Juli kemarin siang di sekolahan.
Tentu saja celoteh itu bukan tanpa sebab. Chintya
tertarik dengan jam tangan mungil milik Juli yang terlihat lain dari
biasanya. Jam tangan itu tidak baru tapi unik sekali. Dengan alasan
tersebutlah ia mengayun langkah ke pasar loak. Dan setelah hampir dua
jam berkutat di sana, Chintya menemukan tambatan hatinya. Apalagi
kalau bukan cermin yang kini ada di hadapannya.
Cermin itu berdiameter 15 centimeter. Dengan bingkai
bulat dari perak yang sepanjang permukaannya berbungkal-bungkal
seperti ombak lautan. Cermin itu juga memiliki landasan di bawahnya.
Sebuah hiasan perahu dari kayu cendana. Penuh dengan ukiran. Ah,
pokoknya bener-bener nggak nyesel deh, meski untuk itu ia harus
merelakan seluruh tubuhnya berselimut debu. Selesai mengagumi cermin,
Chintya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang
lusuh. IA merasakan kesegaran yang berbeda setelah bersalin pakaian.
Chintya membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Pandangnya
terlayang ke cermin di dinding. Senyumnya mengembang dan terus begitu
hingga angannya mengawan dan membawa kelopak matanya terpejam.
Chintya terlelap dengan rasa puas.
Chintya mondar-mandir di sepanjang koridor depan
sekolahnya. Hari mulai gelap. Mang Min yang biasa menjemputnya tak
juga muncul di gerbang. Ted yang tadi menemani pun sudah pulang
beberapa menit yang lalu, setelah Chintya meyakinkannya untuk
meninggalkan dirinya di sekolah. Ia yakin Mang Min akan datang
sebentar lagi. Walau tak urung terbetik ragu di hatinya. Mana
ponselnya kehabisan batere lagi. Huh!
Chintya memutuskan untuk menunggu di halte yang tidak
begitu jauh dari sekolahnya. Setidaknya di tempat itu lebih ramai dan
terang. Ada seorang cowok berambut ikal berdiri menyandar tiang.
Sepasang tangannya mendekap dada. Ada juga seorang perempuan berusia
sekitar tiga puluhan. Cantik dan berwibawa. Serta anak perempuan
dengan wajah tirus dan pucat yang menggandeng seorang perempuan tua.
Keduanya duduk di bangku halte sambil sesekali menoleh ke arah kanan.
Mungkin mereka menunggu bis, pikir Chintya dalam hati. Ia melirik ke
arah sekolah. Tidak, ia belum juga melihat mobil Mang Min. Sementara
mau naik angkot, bingung naik yang mana? Ia jarang sekali naik angkot
dari sekolahnya ke rumah. Ada beberapa taksi yang melintas. Kosong.
Tapi Chintya tidak berani menghentikannya. Ia takut. Diliriknya
orang-orang yang ada di halte itu. Mereka juga tampaknya belum
menemukan angkot yang mereka inginkan. Chintya menekuri lantai.
Gadis itu baru mengangkat wajah ketika menyadari ada
beberapa pasang mata yang seperti mengawasinya. Ia menoleh ke
sekeliling. Ya ampuun, ternyata semua yang ada di di halte itu tengah
menatapnya dengan tajam. Chintya bergidik. Tatapan mereka begitu
dingin dan menusuk. IA seperti seorang maling yang sedang tertangkap
basah saja layaknya.
“Eng…, maaf. Boleh saya tahu mengapa kalian menatap
saya seperti itu?” tanya Chintya gugup. Sungguh, ia begitu takut
saat ini. Apalagi dengan mata perempuan tua yang berkilat-kilat itu.
“Ada apa sebenarnya?” tanyanya panik. Aduh, Mang Min
kemana sih? Kok lama bener datangnya, sungutnya di hati.
“Kau! Kau benar-benar biang sial!!” bentak cowok
berambut ikal dengan wajah sangar. Chintya menatapnya tak mengerti.
“Apa maksudmu?” tanyanya memberanikan diri.
Entahlah, darimana ia punya nyali untuk melontarkan pertanyaan itu.
“Gara-gara kau, kami semua tak bisa pulang ke rumah.
Masih berlagak bego lagi ?!” gerutu si perempuan cantik dengan
kesal. Chintya mengernyitkan dahinya sambil meringis. Kok jadi dia
yang disalahkan sih..
“Kenapa saya? Saya kan tak melakukan apa-apa untuk
menghambat perjalanan pulang kalian.” Bantahnya yakin. Perempuan
tua itu berdiri dengan gemetar. Si anak perempuan ikut berdiri dan
memeganginya. Sorot matanya semakin nyata menunjukkan kebencian pada
Chintya.
“Anak ini benar-benar keterlaluan!! Kau sudah lancang
dan mengganggu rencana kami, kini malah mengelak pula. Kurasa kau
harus menanggung semua akibatnya sebentar lagi..” Kalimat terakhir
diucapkan perempuan tua itu dengan setengah mendesis. Syuut! Bagaikan
kilat ia mengambil tongkat tua yang tadi disandarkan ke bangku halte.
“MAMPUS KAU!!” suara seraknya menggelegar di malam yang sunyi
itu. Chintya bergetar dalam ketakutan dan ketidakmengertiannya.
Rasanya seperti bertemu penyihir jahat di dongeng saja.
“Tunggu dulu, Nek!” sebuah suara muda mencegah dan
mengambil alih tongkat tua itu. Si anak perempuan. IA mengetukkan
tongkat ke lantai halte sebanyak dua kali.
“Mengapa kau menghalangiku, Asti?” Perempuan tua
itu terlihat kesal. Ia menghentakkan kakinya. Chintya terpaku.
Entahlah, ia merasa ada yang aneh dan tak beres dengan kejadian ini.
Tiba-tiba saja ia tak melihat satu kendaraan pun yang melintas di
jalan yang ada di hadapan mereka. Tak satu pun. Padahal, tadinya
lumayan banyak juga kendaraan yang wira-wiri.
“Nek,
jangan lakukan apapun padanya. Karena kuncinya ada pada dia. Kalau
Nenek mencelakakannya, bagaimana kita dapat pulang. Sudahlah, kita
minta saja dia mengembalikan cermin itu.” Cowok berambut ikal dan
perempuan cantik nampaknya menyetujui usul si anak perempuan. Chintya
semakin tak paham. Apa maksudnya dengan cermin? Apakah itu berarti
cermin yang ia beli di pasar loak? Kalau memang iya, apa hubungannya
dengan kepulangan mereka? Ah, mereka berempat sepertinya kurang
waras, bisik Chintya dalam hati.
Perempuan tua itu mengeluh. “Terserah kau sajalah…”
sahutnya lemah. Ia kembali duduk. Kini tatapan anak perempuan itu
beralih ke Chintya. Chintya melihat ada yang ganjil. Tidak, anak itu
bukanlah seorang bocah. Tubuhnya memang kecil dan tak menunjukkan
tanda-tanda seorang perempuan dewasa. Namun wajahnya… Wajah itu
bahkan sudah seperti seorang perempuan berusia dua puluh lima
tahunan. Benar-benar kontras.
“Kau! Dengarkan aku! Sekarang juga serahkan cermin
itu kepada kami. Jangan coba-coba untuk memilikinya kalau kau tak
ingin hidupmu terkutuk selamanya..” serunya dengan suara nyaring.
Chintya semakin bingung.
“Aku tak mengerti maksudmu..”akunya jujur dengan
suara terbata.
“Kau payah sekali. Cobalah berfikir. Begini saja,
Asti. Kita beri dia waktu tiga hari untuk mengembalikan cermin itu.
Aku sudah bosan melihat tampang bodohnya.” Sela si perempuan karir.
Perempuan kecil yang dipanggil Asti itu terdiam.
“Dengar, bocah! Kau kami beri waktu tiga hari untuk
mengembalikan cermin itu. Jika tidak, ,tahu akibatnya.!” bentak
Asti. Chintya terbelalak. Dia diancam. Wah, hebat betul! Seperti di
film-film saja. Tapi ketakutan Chintya tidak bertahan lama. Karena
tanpa disadari, orang-orang dengan sikap menyeramkan yang tadi ada di
sekelilingnya, kini telah raib. Entah kemana. Chintya tercekam dalam
kebingungan.
“Tya! Cepat bangun! Ikutan jalan pagi nggak?” Sayup
Chintya mendengar suara mamanya. IA membuka mata dan menatap
sekelilingnya. Ia ada di kamar. Kok bisa? Bagaimana mungkin, padahal
lima menit yang lalu ia masih menunggu Mang Min di halte? Bermimpikah
ia tadi? Tapi rasanya semua begitu nyata. Dan cermin yang tadi
diminta perempuan kecil itu….Chintya refleks menatap cermin yang
ada di dinding depannya. Mungkinkah cermin itu yang mereka maksud?
“Tya!” Ketukan di pintu semakin keras.
“YA, Ma. Sebentar lagi nih,” sahutnya sambil
melompat dari ranjang. IA memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
Ia yakin semua hanya mimpi. Dan itu terjadi karena ia begitu senang
mendapatkan cermin antik tersebut.
Chintya mendekap perutnya yang kekenyangan. Aduh,
rasanya siang ini ia makan terlalu banyak. Habis, mama sih,
masakannya enak banget. Membuat tangannya terus terulur menyendok
nasi dan mencubit pepes ikan mas yang dihidangkan. Chintya menguap
lebar. Ini nih akibatnya, kalau perut kenyang. Bawaannya jadi mau
tidur melulu. Ah, tapi sebelum tidur ia pengen bercermin dulu.
Entahlah, Chintya merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin itu.
Setiap kali ia bercermin wajahnya tampak begitu manis. Sepertinya,
cermin itu telah memperlembut garis-garis keras di wajahnya dan
menghilangkan butiran jerawat yang bertebaran di sana-sini.
Chintya baru beberapa detik termangu dan mengagumi
dirinya ketika tiba-tiba saja bayangan wajahnya menghilang.
Perlahan-lahan mencuat bayangan lain di sana. Wajah seorang perempuan
bertubuh kecil. Wajah yang dikenali Chintya dalam mimpinya. Asti!
Chintya tertegun sebelum akhirnya tanpa sadar ia menjauhkan wajah
dari cermin. Asti menatapnya tanpa berkedip.
“Apa maumu? Siapa kau sebenarnya ?!” seru Chintya
panik. Asti tersenyum. Tepatnya menyeringai. Wajahnya jadi kelihatan
aneh.
“Kenapa bertanya? Bukankah kau sudah tahu apa yang
kami mau?” Asti balik bertanya dengan getas.
“Kau..Kau.. Tidak! Kau tidak nyata! Kau hanyalah
mimpiku!” bantah Chintya dengan tubuh mulai bergetar. IA
benar-benar ketakutan sekarang. Mimpinya kemarin ternyata masih terus
mengikuti. Dan kini bukan dalam keadaan tidur, melainkan dalam
kesadaran penuh.
“Ya..ya..ya, terserah kau saja! Yang penting kalau
kau tidak juga menyerahkan cermin ini berarti kau akan mendapatkan
lebih dari sekedar mimpi buruk. Ingat itu!!!” tegas Asti. Seiring
kalimat terakhirnya bayangan perempuan itu memudar dan akhirnya
menghilang. Berganti dengan bayangan wajah Chintya yang pias dan
memutih.
YA ampuuun, ternyata semua nyata! Semuanya bukan hanya
mimpi! Chintya menekap wajahnya dengan panik. Ia mencoba menenangkan
diri, Diambilnya nafas panjang dan menghembuskannya dengan sepenuh
hati. Entahlah, ia tak yakin langkah apa yang akan ditempuhnya.
Mungkin yang terbaik harus dilakukannya adalah mengembalikan cermin
itu ke pasar loak dan menanyakan riwayat cermin itu pada penjualnya.
Setelah merasa agak baikan, Chintya segera mengganti
bajunya dengan t-shirt dan jeans. Setelah mengenakan sepatu kets dan
topi, ia merasa siap untuk pergi. Tangannya terulur menjangkau
cermin.
“Tya..” Suara Mama mengagetkan Chintya, seiring
terkuak lebarnya pintu kamar. Ia urung mengambil cermin.
“Ah kebetulan sekali, kau sudah rapi. Chintya, tolong
temani Mama belanja ya? Besok kan ada arisan di sini. Ayo..” Mama
memberi isyarat untuk mengikutinya. Tapi Chintya tak beranjak. Ia
menatap Mama dengan bingung.
“Kenapa? Kok bengong begitu?” tanya mama heran.
“Eh, Tya nggak bisa, Ma. Tya ada janji dengan teman.”
Tya menjawab sekenanya. Dahi Mama seketika berkerut.
“Masa kamu ngurusi teman-teman terus sih, Tya?
Sesekali nemani Mama kan nggak ada salahnya.” Chintya tak sampai
hati melihat wajah Mama yang memelas.Tapi cermin itu….
Tya tersenyum simpul. “Okelah, Ma.” Sahut Tya
akhirnya. Mama tertawa lebar.
“Gitu dong..”
Malam itu,
hujan baru saja reda. Udara yang dingin, seharusnya membuat tidur
semakin nyenyak. Diiringi mimpi yang indah. Tapi tidak untuk Chintya.
Ia berbaring di ranjangnya dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia
mengubah posisi tidurnya. Percik gerimis satu-satu yang jatuh ke
genangan air, semakin membuat matanya enggan terkatup.
Dalam posisi menelentang, Chintya menerawang.
Menghitung langit-langit di atasnya. Tya resah. Waktunya habis hari
ini. Sepanjang hari ini ia tak dapat keluar dari rumah barang sedetik
pun. Acara arisan Mama memaksa Chintya untuk ikut berkutat
mempersiapkan hidangan, dekorasi sekaligus menerima tamu. Dan itu
baru berakhir pukul enam sore tadi. Jelas saja sudah tak memungkinkan
baginya untuk pergi ke pasar loak. Mereka pasti sudah menutup
dagangannya.
Jam dinding menunjukkan pukul satu lewat lima belas
menit. Sudah masuk dinihari. Chintya sudah menunggu sejak tadi
tentang apa yang akan dihadapinya berkaitan dengan cermin itu. Tapi
sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda. Bahkan Asti, perempuan kecil
menjengkelkan itu, pun tidak menemuinya. Chintya mencoba memejamkan
matanya. Namun ia tak juga merasakan kantuk. Sementara tubuhnya sudah
lelah dan membutuhkan istirahat. Aneh.
Pukul lima lewat lima belas. Ah, sudah
pagi. Chintya kesal karena matanya tak juga ingin terpejam.
Dipaksakannya untuk tidur. Tapi semua sia-sia. Chintya bangkit dari
tidurnya sambil menggerutu. Sialan! Bayangkan saja, sepanjang malam
ia terus terjaga. Ia memutuskan untuk mandi. Setidaknya pilihan itu
akan dapat menyegarkan tubuh dan fikirannya.
Chintya mengguyur tubuhnya dengan air yang
dingin. Ia menikmati semuanya tanpa menyadari perubahan di
sekelilingnya. Dinding kamar mandi berukuran 2 x 3 meter itu
tiba-tiba berubah menjadi cermin besar. Demikian pula dengan lantai
dan langit-langitnya. Semua memantulkan bayangan Chintya yang masih
terus mengguyur tubuhnya. Setelah beberapa lama, baru gadis itu sadar
dengan apa yang terjadi. Chintya menjerit sekuat tenaga. Ia bahkan
tidak menemukan pintu dan jalan keluar lain. Semua menjadi cermin
yang menakutkan.
“Tidak! Tidaaakk!! Keluarkan aku dari sini!”
teriaknya histeris. Tapi tak ada yang mendengar. Perlahan-lahan,
salah satu sisi cermin mencuatkan bayangan seorang perempuan kecil.
Menyusul cowok berambut ikal, perempuan cantik dan perempuan tua yang
memuakkan pada dinding cermin lainnya. Semua menyeringai kepadanya.
Chintya masih terus menjerit untuk membebaskan dirinya.
“Kau tahu, anak manja ?! Inilah hukuman atas
keteledoranmu mengingkari janji. Kau bernasib sama seperti kami.
Terkurung selamanya di dalam cermin. Semua itu adalah kutukan saat
pertama kali cermin ini kucuri dari seorang putri bangsawan. Dan itu
akan terus begitu sampai ada yang mengembalikan cermin ini ke tempat
asalnya.He..he..he…”Perempuan tua itu terkekeh di ujung
kalimatnya.
“Tya, kamu belum bangun ya? Cepat sarapan, Papa sudah
menunggu,” seorang perempuan parobaya memasuki kamar Chintya. Ia
melongok ke ranjang anak gadisnya. Tapi tak seorang pun ditemuinya di
sana.
“Tya, kamu dimana?” tanyanya sambil
mencari-cari. Perempuan itu menuju kamar mandi dan menguakkan
pintunya. Tak seorangpun di sana. Sementara kran air masih
mengucurkan air. Ia mematikannya.
“Tya?” Perempuan itu masih
mencari-cari sambil melangkah keluar kamar. Karena tak kunjung
menemukan anak gadisnya, ia bergegas ke ruang makan. Nanti ia akan
menanyakan keberadaan gadis itu pada Mang Min atau Mbok Nah.
Perempuan itu memang tak menemukan Chintya. Padahal, seandainya ia
menatap cermin di depan meja belajar itu, ia akan tahu dimana anak
gadisnya berada. Walau sedetik kemudian gambaran itu juga ikut musnah
seiring dengan cermin yang menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar