Pages

Selasa, 17 Desember 2013

PENSI LANGKITANG


Oleh : R. Yulia

Dimuat di laman Agamkab.go.id
 
"Tunggulah aku di tepi Maninjau, Uda. Akan kubawakan pensi dan langkitang."
Kalimat itu seperti selendang tipis yang berkibar-kibar dalam ingatan Adib, bergaung di sepanjang ceruk pendengaran, menghamparkan selapis demi selapis kenangan, hingga kian sesak dada pemuda itu oleh air mata. Sesungguhnya, bukankah diharamkan air mata atas anak bujang? Tapi apa daya Adib yang tak kuasa menghalau sebulir yang lepas dari sudut retinanya, meski ujung baju cekatan mengisatnya. Itu air mata yang pertama lolos dari cengkeram keteguhan hati.
Pandangan Adib yang berselaput kesedihan itu menghujam ke permukaan danau yang berkilau keperakan pada riak-riak tipisnya. Dari jangkau penglihatannya Adib mengamati ikan-ikan yang hilir-mudik berenang, mengayuh harapan. Ikan-ikan itu -entahlah apa mereka masih keturunan Bujang Sembilan yang terkena kutukan karena fitnah atas sepasang kekasih – berenang dalam kelompok-kelompok besar. Mereka membagi peruntungan. Duhai, kepada siapakah harus kubagi peruntunganku kelak? Adib mengeluh tertahan. Sungguh kedukaan ini tak tertanggungkan sementara hidupnya harus terus berjalan.
"Adib, jangan berkubang duka terlampau lama. Tanak sudah luka, tak perlu diratap berkepanjangan. Lanjutkan hidupmu. Sekolah yang baru sudah menunggu. Raih cita-cita yang kau genggam, maka semua senyum dan restu akan tercurah untukmu." Itu yang dikatakan Mak Etek dua hari yang lalu ketika mendapati Adib melamun di ambang pintu.
"Sekolah, Mak Etek?"
"Ya. Mak Etek sudah mendaftarkanmu."
"Tapi tanah kubur masih basah. Amak dan Rindu ...."
"Mereka sudah bahagia di sana, Adib. Jangan menunggu tanah kubur kering. Terlampau lama kau meninggalkan sekolah maka akan semakin jauh kau dari harapan Amakmu. Kau anak bujang, harus bisa jadi kebanggaan. Kalaupun tak merantau, bangunlah kampung hingga tersiar ke penjuru jauh." Mak Etek menepuk pundaknya sebelum berlalu.
Adib memungut sebutir kerikil dan melemparkannya sekuat tenaga ke tengah danau. Air memercik berpendar. Ia anak bujang yang malang. Sejak dari tubuh sepanjang galah layang-layang, tak sekalipun ia mendapati sosok di sampingnya yang dapat dipanggil ayah. Ayahnya hilang dalam sebuah kecelakaan pesawat di negeri seberang. Dan kini, saat hatinya tengah hangat oleh sentuhan bunga asmara, Amak dan Rindu berpulang karena longsor yang menerjang perbukitan.
Masih berkerak di ingatannya bagaimana wujud Amak dan Rindu yang berpelukan ditemukan tim SAR terkubur reruntuhan bebatuan besar, lumpur dan pepohonan. Bagaimana ia meraung berkepanjangan dan mencoba menerjang orang-orang kekar yang menggotong tubuh dua sosok pengisi hari-harinya. Amak yang penyabar dan Rindu yang ributnya seperti genderang perang, gaduh namun menyemangati. Bagaimana ia terduduk lemas di lumpur pekat, ketika tungkai kakinya tak lagi mampu menopang tubuh karena tersedot kesedihan.
Air mata Adib memang berhenti kemudian. Saat kedua jenazah itu disalatkan dan dikebumikan, ia hanya terdiam. Menatap seolah-olah, meski tak secuil gambaranpun ia cerna. Adib seperti sepotong kayu yang dihanyutkan gelombang, seperti hantu yang gagap kesiangan.

Selasa, 03 Desember 2013

SENYUM IBU


Dimuat Majalah Gadis no.29, edisi 1-10 november 2013

Oleh: R. Yulia

PELANGI
“Arin ingin membahagiakan Ibu.” Bocah perempuan sepuluh tahun itu berkata dengan sungguh-sungguh. Ia mendongak dengan sepasang mata berbinar cerah yang tertuju pada perempuan paruh baya berwajah ayu yang memangkunya.
“Terima kasih, Sayang. Kau cantik seperti bidadari yang meniti pelangi.” Perempuan itu menggamit dagunya dengan penuh kasih sayang.
“Benarkah, Bu? Berarti ada banyak bidadari di pelangi itu?” Bocah perempuan itu menunjuk pelangi yang menggantung samar di langit. Surya yang baru muncul dari balik awan menyilaukannya. Hujan telah lama berlalu, menggiring awan kelabu.
“Ya.”
“Berarti para bidadari itu tidak sekolah?”
“Tidak. Sama denganmu, kan?”
“Tapi aku tak sekolah karena menjaga Ibu yang sakit. Sementara bidadari itu tak sekolah karena hanya ingin bermain-main di pelangi. Bukankah itu tidak baik?” Perempuan itu tertawa perlahan. Suaranya merdu menggema. Ia menjentik ujung hidung putrinya.
“Kau pintar sekali.”
“Iya, dong. Anak Ibu..” Tawa keduanya berderai.

Rabu, 27 November 2013

AIR MATA SENJA


 foto oleh Syecfich S

R. Yulia

Aku ingin menangis hari ini. Seperti yang pernah kulakukan kemarin, kemarinnya lagi, seminggu lalu, bahkan beratus hari yang telah menjauh. Membiarkan mata, pipi dan tangan penuh dengan linangan air mata. Bukan hanya kesedihan yang memancing kilauan bening itu mengalir, namun juga keharuan, kebahagiaan. Menangis, meluapkan beban yang mengimpit hati, melapangkan kesempitan dan membuatku dapat merapikan ulang kata-kata yang akan terlontar kemudian. Begitulah, semestinya.
Namun kali ini berbeda. Kesedihan itu sudah sedemikian mengental, merongrong hati, mencubit kemarahan dan mendesak-desak di lorong retina. Air mata laksana bah yang tak sabar meronta. Tapi tak ada linangan, kilau berkaca-kaca, konon pula buliran bening yang disusul derai seumpama hujan. Tak ada.
Aku masih menatap jauh, melampaui jendela yang terbentang lebar, menyajikan langit senja yang memerah jingga. Langit yang kusuka.
Tiap-tiap senja, aku berdiri di depan jendela, menanti langit memerah dan surya merambat turun ke garis cakrawala. Aku menatapnya lekat dan menyimpan rekam jejaknya dalam ingatan. Lalu di Rabu pagi yang senantiasa cerah, aku akan menuangkan ingatan itu dalam lembaran kertas gambar. Mewarnainya hingga gradasi merah jingganya benar-benar mengilap dan tak berbatas. Senyumku seketika merekah manakala menatapnya kemudian. Aku memindahkan senja dan itu membuatku bahagia.
Selalu ada senja yang menggayuti mataku. Selalu ada senja di hari Rabu.

AIR MATA


gambar diunduh dari forum.kompas.com

R. Yulia
dimuat pada laman agamkab.go.id 

Sepasang pengantin - kekasih berwajah rembulan dan surya - berjalan lambat saling bergandengan di hamparan karpet merah yang membentang menyelimuti rumput, dengan tepi-tepi yang dijejali rangkaian bunga putih-merah, berkotak-kotak senyum dan berliter-liter doa. Di atas kepala pengantin, nun... langit memberi restu dengan mentari yang sumringah, awan bergaun putih dan bentangan lazuardi tanpa batas.
Aku menatap lurus ke wajah hangat yang tengah tersenyum di depanku. Sementara senyumku meringkuk di dasar hati. Kuamati keseluruhan wajahnya. Menarik. Sepasang mata seteduh telaga yang dinaungi alis berkarakter, hidung mancung dan bibir yang sempurna mewakilkan kehangatan pribadinya.
"Kamu harus menikah, Rahma. Usiamu tak muda lagi. Dua bulan ke depan tiga puluh tahun. Akan semakin sulit untukmu menemukan jodoh yang sesuai dengan keinginan. Pria sebayamu tentu lebih memilih gadis-gadis belia. Sementara yang lebih tua, tentu sudah menikah. Tempat yang bisa dipilih hanya menjadi istri kedua atau simpanan saja. Masya Allah, jangan sampai itu terjadi padamu, Rahma."
Kata-kata ibu mengiang, mengingatkan senantiasa. Seperti alarm yang memekik-mekik di jam tertentu.
Menikah. Kata itu seperti hantu yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Lebih khusus lagi, saat bertemu dengan para lelaki yang berada di sekitarku dan yang berusaha memikat serta mengikatku.

Kamis, 21 November 2013

BANGAU, BANGAU


foto oleh E.Andantino

Aku suka foto seperti ini. Kuminta dari seorang teman. Menatapnya seperti mengalirkan kesejukan yang kubutuhkan. Foto yang pas sebenarnya untuk disandingkan dengan puisi. Sayangnya, saat ini kepalaku terlampau penuh dengan kata-kata yang tak berguna. Jadi, puisinya menyusul sajalah..;) Aku namakan saja foto ini; BAYANG SERIBU BANGAU (meskipun bangaunya tak sampai seribu ;). Kulengkapi juga dengan salah satu buku koleksiku; SERIBU BURUNG BANGAU miliknya Kawabata. Mungkin lain kali bisa juga kusandingkan dengan seribu bangau kertas, agar segala harapan menjadi kenyataan..hehe..

Rabu, 20 November 2013

POHON, KAU




Kau belajar dari pohon-pohon
Pohon-pohon belajar dari langit
yang melahirkan hujan
Langit belajar dari udara
dari angin
dari surya
dari rembulan
dari bintang
dari puisi-puisi yang memplagiasi kebiruan
Lalu langit belajar dari tanah
basah
lekat dan gundah
Tanah belajar dari air
muntahan hujan yang mengalir
merembes
menetes
Air belajar dari batu
bergeming, beku
luluh
setelah itu?
Aku;
belajar dari mu

Selasa, 12 November 2013

KITA ADALAH KITA KEMUDIAN




R. Yulia

Kita adalah percakapan sepasang asing
yang melompat-lompat pada bibir jurang dan tebing
kata-kata meletus menyerupai balon
di tangan balita yang kemudian merengek kehilangan
lalu pada suatu waktu percakapan kita menggigil oleh sebab angin yang tak sepaham
hujan yang turun tanpa kabar dan badai yang pernah kau cemaskan
runtuh sudah kata jadi abu, abu berloncatan seperti mata pisau, menikam
mengubur gaduh, berkeriapan
kita kemudian menjelma menjadi demam dan salesma yang mengigau sendirian

KUIJINKAN

 
R. Yulia

Kuijinkan kau bersuara; lantang dan perkasa, menggema hingga ke bilik-bilik tanpa nama
kamar-kamar yang beku dan angkuh, dinding-dinding yang tak sesungguhnya jemu, ladang-ladang
tanpa empu, ilalang patah tepi, sungai sengkarut, awan kelabu muda dan apapun yang tegak memandang
lalu katakan; "Sesungguhnya aku , buih-buih sarapan pagi tadi, yang kau muntahkan di kelok 42."



PESAN, HUJAN



R. Yulia

Hujan mengantarkan sebaris pesan berselimut kuyup
Pintuku enggan terbuka
seribu ketukan hanya mengalir sia-sia
"Pergilah!" suaraku tertelan gemuruh
jemarimu yang mengelupas gaduh

KUBERI KAU NAMA



R. Yulia

Kuberi kau nama, agar dalam keramaian ku bisa menyapa
Tentu, seseorang dan lainnya bisa saja memiliki nama yang serupa
Tapi namamu adalah nama yang satu-satunya beriring dengan napasku
Kupayungi dengan harapan yang membesar waktu ke waktu
Maka saat kupanggil namamu, aku yakin takkan pernah keliru
Karena yang menyerumu bukan hanya suaraku
Tapi hati yang senantiasa didera rindu

Minggu, 13 Oktober 2013

KAMAR SEBELAH


Dimuat Hr. Mimbar Umum, 12 Oktober 2013
Oleh: R. Yulia
Malam seperti tulang-tulang yang menua dengan cepat. Menyisakan suara-suara aneh seperti berkeretak. Juga decap mulut-mulut tak terlihat yang tengah sibuk mengunyah. Melumat cahaya bulan dan menyimpannya di balik rerimbunan awan hitam yang murung. Pekat, tak lebih tak kurang. Senyap, lembab. Bahkan jangkrik pun lupa mengerik
Aku merapikan kembali tirai jendela yang barusan kusibak. Senyap dan gelap, tak punya daya tarik untuk menahanku termangu di kusen dan mengintip keluar lebih lama. Aku menggeser posisi sedikit ke kiri dan kembali berbaring, miring.
Pandanganku jatuh. Lantai keramik di tengah malam begini, di tengah embusan pendingin ruangan selama nyaris enam jam, tentulah sangat dingin. Aku dapat merasakannya, meski berada di atas ranjang. Kemungkinan itu dengan segera menepikan keinginan untuk beringsut. Kutarik kembali selimut hingga menutup ke pangkal leher.
Tak lama, suara langkah yang diseret bergegas mendekati kamar. Aku buru-buru mengatupkan mata dan memiringkan tubuh ke kanan, membelakangi pintu yang sebentar lagi akan terkuak.
Pintu dibuka perlahan. Aku menunggu. Pintu ditutup dan langkah-langkah berat mendekat ke ranjang. Lalu, seseorang yang membaringkan tubuh beratnya di sampingku membuat ranjang bergoyang sesaat.
"Kau sudah tidur?" Hening. Aku enggan menjawab dan memilih tetap berpura-pura. Namun, aku dapat merasakan tatapannya yang tertuju lurus ke wajahku.
"Baiklah, aku juga akan tidur. Selamat malam."
Ranjang kembali bergoyang seirama tubuh di sampingku yang menggeser posisi baringnya Aku membuka mata. Ia memunggungiku.
Aku menatap punggung telanjang itu. Punggung liat yang mengilap oleh keringat yang tak lagi berbulir-bulir seperti dua jam sebelumnya. Kukira, keringat yang lekat dan merembes perlahan ke seprai itu, juga bukan keringat yang kulihat dua jam yang lalu. Kali ini hanya keringat tipis, yang barangkali didapatnya dari kamar sebelah.
Aku mengeluh perlahan, menyembunyikannya dalam-dalam ke bantal.
Ia hanya setengah jam bersamaku, namun menghabiskan waktu empat kali lebih lama di kamar sebelah. Aku menggigit bibir dengan kuat; berharap rasa sakit yang mencekik hati dan menjalar hingga ke paru-paru, yang membuat nafasku tersumbat dan punggung tanganku berkeringat, lenyap!

Kamis, 10 Oktober 2013

ALICE MUNRO, RAIH NOBEL SASTRA 2013

[01-mirror-Alice+Munro-kredit-abebooks.jpg] Alice Munro (82)

Buku karya penulis Kanada, Alice Munro, pemenang Nobel Sastra 2013, dipajang di sebuah pameran buku di Frankfurt (10//10).

Komite Nobel di Stockholm telah mengumumkan Alice Munro, warga Kanada sebagai pemenang Hadiah Nobel 2013 untuk bidang Sastra. Dalam pengumuman hadiah, Kamis (10/10), Komite Nobel menyebut  Alice Munro, warga Kanada berusia 82 tahun sebagai "master” cerita pendek kontemporer.


Cerita-cerita Munro umumnya berlokasi di Kanada, dan sering menggunakan daerah asalnya di barat daya Ontario. Karyanya, sering menyiratkan pencerahan, dan telah dibandingkan dengan penulis Rusia Anton Chekhov, yang juga dianggap sebagai “master” cerita pendek.
Alice Munro, master cerpen dari Kanada cerpen dipuji sebagai penulis sejarah konprehensif dan manusiawi.

Munro adalah penulis Kanada pertama yang menerima penghargaan prestisius dari Swedish Academy ini. Dia mampu menangkap berbagai kehidupan dan kepribadian tanpa menghakimi karakternya. Luar biasa untuk konteks pemenang Nobel karena karya-karya Munro hampir seluruhnya cerita pendek. "Lives of Girls and Women" adalah novelnya.

Kritikus sastra menggambarkan Muncro sebagai Chekov dari Kanada atas kepiawaiannya menyusun narasi.
Munro lahir pada 10 Juli 1931 di Wingham, Ontario dan tumbuh di daerah pedesaan. Sang ayah, Robert Eric Laidlaw, dikenal sebagai petani dan peternak sementara ibunya adalah guru sekolah di satu kota kecil. Munro memutuskan ingin menjadi penulis ketika berusia 11 tahun.

Munro menjadi perempuan ke-13 yang memenangi hadiah ini sejak diselenggarakan pada 1901. Ia berhasil mengalahkan sejumlah sastrawan kondang lain, termasuk novelis Haruki Murakami dari Jepang.

“Saya bahagia dapat mempersembahkan hadiah ini untuk rakyat Kanada. Saya berharap hadiah ini dapat menarik minat dunia terhadap literatur Kanada,” kata Munro.
Menggambarkan Munro, kritikus sastra Amerika David Homel mengatakan kepada kantor berita Perancis baru-baru ini, "Dia menulis tentang perempuan untuk perempuan, tetapi tidak mengutuk lelaki.
  
Munro (82) mulai menulis cerita sejak remaja. Dia utamanya dikenal dengan cerita-cerita pendek dan telah menerbitkan banyak koleksi selama bertahun-tahun.Beberapa karya Munro yang terkenal antara lain "Who Do You Think You Are?" (1978), "The Moons of Jupiter" (1982), No Love Lost (2003), Vintage Munro (2004), Runaway (2004, pemenang The 2004 Giller Prize), The View from Castle Rock (2006), dan Too Much Happiness (2009) Koleksi terakhirnya berjudul Dear Life yang terbit tahun 2012.

Munro dikenal sebagai pendongeng yang baik, dengan ciri kejelasan dan realisme psikologis.

"Tulisannya sering menampilkan penggambaran kejadian keseharian yang menentukan, jenis pengalaman luar biasa, yang menerangi cerita yang melingkupi dan membiarkan pertanyaan eksistensial muncul dalam kilat," demikian pernyataan Swedish Academy.

Munro, yang mendapat hadiah delapan juta crown Swedia atau sekitar 1,25 juta dolar AS dari Komite Nobel, tinggal di Clinton, tak jauh dari rumah masa kecilnya di Ontario Barat Daya, Kanada. 
 Munro mengaku, setiap ide penulisannya berangkat dari pengalaman, anekdot,cerita di masyarakat hingga menjadi sebuah cerita lengkap.Dia juga selalu membiasakan menulis dengan komputer meskipun usianya telah lanjut.Dia juga menulis setiap hari sambil mengerjakan aktivitas rumah. Dia selalu memberikan nasihat kepada penulis muda untuk rajin membaca. Dia mengaku setiap penulis memang memiliki perbedaan dalam gayanya.Bagaimana kita jitu dalam menulis? “Jangan membaca (ketika menulis cerita), jangan berpikir, tapi tulislah,” paparnya.

“Jangan pernah menyerah dengan kesalahan dan kegagalan yang telah Anda perbuat,” imbuh Munro kepada Random House, situs kumpulan penulis ternama. Dalam menulis cerita pendek, Munro mampu menyajikan kisah kehidupan yang menyentuh hanya dalam satu halaman.Dia mengaku bercerita tentang kehidupan tidak lepas dari kedalaman karakter yang dimainkan dalam cerita itu.

“Bercerita dari hal sepele dan itu menjadi bagian paling menarik dalam kehidupan,”paparnya. Munro juga menuturkan bahwa dia selalu menulis di saat yang terbaik dalam kehidupannya.

Koleksi cerita pendeknya yang pertama, Dance of the Happy Shades (1968), meraih penghargaan sastra Kanada The Governor General’s Award. Tiga tahun kemudian karyanya yang lain,Lives of Girls and Women, mendapatkan Canadian Booksellers Association International Book Year Award.Pada 1980, karyanya yang lain, The Beggar Maid,masuk nominasi penghargaan tahunan Booker Prize untuk kategori fiksi. Dia juga pernah tiga kali mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jenderal Kanada untuk kategori fiksi sebanyak tiga kali.

Tak ayal, dia pun menjadi penulis cerita pendek yang termasyhur di Kanada. Sebagian besar tempat ceritanya berada di Southwestern Ontario dan the Canadian Pacific Northwest. Semunya ceritanya mampu mengalir bagi semua pembacanya. Munro mulai menulis cerita pendek sejak dia menjadi mahasiswi di Universitas Western Ontario pada 1950. Cerita pendek tersebut berjudul, “The Dimensions of a Shadow”.Dia keluar dari kuliahnya karena menikah dengan James Munro dan pindah ke Vancouver.

Setelah bercerai dengan suaminya pada 1972, dia kembali menjadi penulis. Pujian atas karya-karya Munro pun terus mengalir.Penulis Amerika Cynthia Ozick menyebut Munro sebagai “(Anton) Chekhov kita”. Chekhov merupakan penulis termasyhur dari Rusia. Ozick mengemukakan, alur dan cerita yang disajikan Munro sangat rapi dan gambaran di dalamnya begitu nyata. Penulis lainnya, Garan Holcombe,mengungkapkan cerita yang ditulis Munro mampu memberikan penerangan dan pencerahan bagi pembacanya.
Munro telah memenangi berbagai hadiah sastra lainnya, termasuk tiga Penghargaan Gubernur Jenderal Kanada, Man Booker International Prize dari Inggris, dan U.S. O. Henry Award untuk prestasi terus-menerus dalam fiksi pendek.

Hadiah untuk prestasi di bidang ilmu pengetahuan, sastra dan perdamaian pertama kali diberikan pada tahun 1901 sesuai dengan wasiat penemu dan pengusaha, Alfred Nobel.
Dihimpun dari berbagai sumber..

SEBUAH KEPUTUSAN



Dimuat Mj.Sekar, 21 September 2011


"Apa-apaan ini?!”
BRAAAK!!
Setumpuk kertas berhamburan di atas meja kerjaku. Aku yang tengah asyik mengecek status facebook, seketika melompat dari kursi. Astaga! Cepat kudekap dada untuk menentramkan jantung yang sontak ber-rock n roll. Hardikan berikut hujan lembaran kertas yang tiba-tiba juga turut menyetrum seluruh tubuhku. Aku menatap sosok di depanku. Ya ampuuun, dia lagi! Satu yang tak kuharapkan pagi ini..
“Kamu itu tamat kuliah nggak sih, Vi?!” Hardikan kedua menamparku. Aku menunduk dalam.
“Mikir itu yang ilmiah dong. Jangan pasaran!”
“Dengar! Aku nggak mau tahu! Yang penting, revisi proposal ini secepatnya. Kutunggu sore nanti di mejaku!!” Suara yang menggelegar penuh kemarahan itu telah mencampakkan seluruh keberanianku untuk berkata-kata.
Kukumpulkan berkas yang berserakan di meja dan lantai dekat kakiku. Proposal yang telah kukerjakan dengan sepenuh hati, telah penuh dengan coretan spidol merah di sana-sini dan beberapa baris tulisan cakar ayam di bagian penutupnya.
“Salah lagi ya?” Aku mendongak. Mbak Dewi, sekretaris direktur.
“Iya, harus diulang. Padahal untuk sore nanti,” keluhku.
“Mungkin kurang detil, Vi. Bos lagi kesal. Nggak ada yang lolos dari dampratannya.” Mbak Dewi setengah berbisik.
“Ya sudah, kerjakan cepat. Aku ke dalam dulu. Ntar kena lagi,” pamit Mbak Dewi sambil bergegas pergi. Aku manggut-manggut. Tidak bisa tidak, aku harus secepatnya mengoreksi proposal yang sudah tak karuan ini. Segera kututup facebook dan membuka file dokumen. Kupejamkan mata sesaat dan menarik nafas panjang. Hmmm, sekarang mulai konsentrasi! Konsentrasi…konsentrasi…konsentrasi…

MATA-MATA


Cerpen ini dimuat Tabloid Nova, 22 Maret 1998

Ini satu-satunya cerpenku yang tidak disertai ilustrasi. Mungkin karena karakternya terlampau banyak, atau bisa jadi ilustratornya tak ada (tak ada orangnya atau tak ada mood..hehe..)

HIMEKA






dimuat Mj. Bobo, 03 Oktober 2013

Cerpen anak yang satu ini, entah di mana file-nya bersembunyi. Tak kutemukan di mana-mana. :(

Selasa, 01 Oktober 2013

PINJAM, DONG!


dimuat Mj Bobo, 21 Februari 2013


"Pinjam pensilnya, dong."
Alina yang hendak menutup kotak pensilnya seketika menoleh ke samping kanan, asal suara barusan. Diwa tengah menatapnya dengan mimik memelas, dari kursinya yang berseberangan dengan tempat duduk Alina. Alina menghela nafas.
"Pensil ini maksudmu?" tanya Alina sembari mengacungkan pensil berhias boneka kelinci mungil di tangannya. Diwa mengangguk.
"Untuk apa?" Alina merendahkan suara, kuatir Bu Indah yang tengah sibuk memeriksa hasil latihan di mejanya, mendengar.
"Untuk menggambar. Pensilku ketinggalan di rumah." Diwa ikut-ikutan berbisik.
"Kenapa ditinggal terus, sih?" sungut Alina kurang senang.
Diwa selalu meminjam barang-barangnya, juga milik teman-teman lain. Nyaris setiap hari. Alasannya, ketinggalan. Aneh, sudah jelas mau ke sekolah pagi-pagi sekali, kenapa tak mempersiapkan alat-alat kelengkapan belajar sejak malam? Lebih parahnya lagi, barang yang dipinjam itu selalu lupa dikembalikan kalau tak diminta oleh pemiliknya. Dan jika sudah begitu, barang itu takkan pernah terlihat lagi selamanya. Alasan Diwa hanya dua, tertinggal dan hilang.
"Alina, sekali ini saja, deh. Besok nggak akan lupa lagi."
Alina cemberut. Ia mengalihkan pandangannya pada pensil yang ada dalam genggaman. Itu pensil baru yang dibelikan ayahnya ketika bertugas keluar kota beberapa hari lalu. Dia belum pernah menggunakannya. Rencananya, hari ini Alina akan memakainya untuk pelajaran menggambar. Kata ayah, pensil tersebut sangat halus dan cocok untuk menggambar.

KALUNG TIARA


dimuat Mj Bobo, 23 Februari 2012


Tiara bangun kesiangan. Matahari mulai meninggi. Cahayanya yang hangat telah menerpa seluruh tubuh Tiara. Ia menggeliat malas dan perlahan-lahan membuka mata. Beberapa kali matanya mengerjap, menghalau silau cahaya matahari. Ugh.., pasti tidurnya nyenyak sekali malam tadi. Ia bahkan tak ingat, mimpi apa yang dialaminya sehingga bisa bangun sesiang ini. Yang jelas, itu pasti mimpi indah!
Tiara bangkit dari ranjangnya yang empuk. Keysha telah membelikannya sebuah ranjang empuk di toko perlengkapan hewan seminggu yang lalu. Jadi, ia tak perlu tidur di kotak lagi. Sayang, Mama Keysha melarang gadis kecil itu untuk menempatkan Tiara di kamarnya. Alasannya, takut Tiara buang kotoran seenaknya.
Dengan gontai Tiara melangkah menuju dapur. Makanan dan minumannya telah tersedia di sana. Ia menghabiskan semuanya dengan lahap. Bangun kesiangan telah membuat perutnya benar-benar lapaaarrr. Setelah makan, berjemur dan membersihkan bulu-bulunya, tiba-tiba saja Tiara merasa bosan. Ia ingin berjalan-jalan ke luar rumah. Menjadi satu-satunya kucing di rumah Keysha, kerap kali membuatnya bosan. Meskipun Keysha sangat menyayangi dan memanjakannya. Seandainya Keysha membawakan seekor kucing lagi untuk menjadi temannya, tentu ia takkan merasa sebosan ini.

BENDA CANTIK DI ETALASE TOKO



dimuat Mj Bobo, 07 April 2011


Es krim vanilla! Airin menatap anak-anak yang mengerumuni tukang es krim dengan penuh minat. Di siang yang terik seperti ini, es krim adalah salah satu minuman yang paling diinginkannya. Apalagi es krim vanilla. Wuih, membayangkan rasanya saja sudah sangat menyiksa. Airin mengayunkan kakinya menuju tukang es krim. Namun, dua langkah lagi mencapai tujuan, Airin menghentikan langkahnya dengan setengah terpaksa. Tidak…tidak, ia tak boleh membelanjakan uang jajannya. Bukankah ia telah berjanji untuk tak jajan selama seminggu? Dan ini sudah memasuki hari kelima. Berarti tinggal dua hari lagi. Kalau ia membeli es krim hari ini, berarti uangnya takkan cukup di hari ke tujuh nanti. Berfikir begitu, Airin memutar langkahnya. Menjauh dari tukang es krim dan melanjutkan perjalanan, pulang ke rumah.
Airin tiba di rumah dengan peluh membanjiri dahi, leher dan baju seragamnya. Jarak antara rumah dan sekolah memang lumayan jauh. Tapi itu tak menyurutkan semangat Airin. Bayangan akan sesuatu yang dilihatnya di etalase toko beberapa hari lalu, membuat keletihannya tak terasa.
“Airin, habis ngapain? Kok mandi keringat begitu?” Mama menegurnya saat berpapasan di ruang tamu. Airin tersenyum. Wajahnya memerah karena terpaan sinar matahari.
“Lari-lari kecil tadi, Ma,” kilah Airin sambil buru-buru masuk kamar. Takut Mama bertanya macam-macam lagi. Mama geleng-geleng kepala.
“Cepat ganti bajunya, Airin. Basah semua tuh,” kata Mama sebelum Airin menutup pintu.
“Iya, Ma,” seru Airin sambil menarik nafas lega. Ia segera mengganti pakaian dan membaringkan tubuh di ranjang. Kedua kakinya diangkat tinggi dan menyandar ke dinding di samping ranjang. Duh, nyaman sekali rasanya.
Hari keenam. Airin tersenyum kecil. Besok adalah puncak dari perjuangannya. Uang yang terkumpul selama tujuh hari akan ditukarnya dengan benda yang diinginkannya. Benda cantik di etalase toko.

Kamis, 26 September 2013

KRISIS




Cerpen berjudul KRISIS ini dimuat Tabloid Nova tanggal 22 Maret 1998. Memang ditulis saat krisis moneter. Tak ada filenya karena ditulis saat di kantor, pakai disket jadul. Hanya bukti terbit ini saja yang masih tersimpan.


PINK


Oleh; R.Yulia

Dimuat Mj Gadis, 19 September 2011

“Hallo, Pink.”
Seseorang memanggilku begitu. Renyah. Dengan senyum sumringah. Bagaimana bisa aku menolaknya? Lalu seulas senyum yang sama, merekah di bibirku. Namun. buru-buru aku menarik kembali sudut bibir. Dari ekor mata, aku mengawasinya hingga hilang di ujung koridor.
Pffuh. Kenapa begitu sulit untuk menolak senyumnya? Kenapa pesonanya begitu kuat? Mencengkram bukan hanya aku, melainkan seluruh penghuni sekolah. Dia memang istimewa, akuku dalam hati. Tapi aku membencinya! Aku tak ingin tersenyum untuknya. Lantas gimana caranya agar kedua sudut bibir ini gak tertarik keluar? Uh, sepertinya aku harus menanyakan tipsnya ke Mbah Google.
“Wah..wah.., kayaknya ada yang klepek-klepek nih?” Kalimat menggoda itu mengulik telinga. Memaksaku memutar tubuh dan mencari tahu siapa pemiliknya. Jihan. Aku mencibir.
“Nggak segitunya, ah..’” bantahku seketika.
“Yuhuuu… , masa sih? Lihat, wajahmu memerah tuh!” Jihan bersiul panjang. Refleks kuraba permukaan wajah. Sedikit rasa panas menjalar di sana. Jihan terbahak.
“Udahlah. Akui aja. Nggak ada yang ngelarang kok. Lagian, masa perang dingin melulu. Damai dong.., damaiiiiii.” Jihan masih terus meledekku.
“Sok tahu!” Aku mengibaskan tangan dan berlalu dengan angkuh. Damai? Dengan Ray? Oh, mustahil..!! Aku menarik nafas lega. Jihan tak mengikuti.
Namun sayangnya, lepas dari Jihan tak berarti aku lepas dari masalah. Karena di depanku telah berdiri tegak seorang cowok. Tepatnya, makhluk Tuhan yang paling ingin kuhindari saat ini. God, tolong berikan aku arah yang lain… Aku celingak-celinguk. Nihil. Hanya tersisa dua pilihan, meneruskan langkah hingga ke hadapannya atau berbalik kembali ke kelas. Setelah berfikir sejenak, aku menarik nafas panjang. Baiklah, aku akan menghadapinya.

PUTRI REMBULAN DAN PANGERAN MALAM



Oleh; R.Yulia
Dimuat Mj Story, 25 Januari 2010

. Malam mulai turun menggandeng bulan dan jutaan bintang. Menghiasi hamparan langit yang pekat. Sepekat hati Chiva yang sarat keluh.
Ini hari ke sepuluh. Divo belum juga datang. Tiga hari lagi tanggal 14. Mungkinkah Divo lupa akan janjinya? Chiva menarik nafas panjang, mencoba melepaskan beban berat di dadanya.
“Aku harus pergi…” bisik Divo pagi itu, di taman lingkar rumah sakit. Chiva dapat merasakan getaran suara Divo, karena wajah pemuda itu begitu dekat di telinganya. “Pergi? Pergi kemana?” tanya Chiva mencoba wajar. Meskipun entah kenapa hatinya gelisah. “Pulang maksudnya?”
Divo menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tertunduk. Meskipun saat ini mudah untuknya berbohong, tapi Divo tak tega untuk melakukannya.
“Mmm, ya…pulang. Tapi aku juga tak bisa datang menjengukmu beberapa hari ke depan.” jawabnya berat. Chiva tersenyum.
“Kenapa? Kamu ujian? Banyak tugas ya?” Divo terdiam. Ditatapnya wajah Chiva yang begitu tulus. Dan itu membuat hatinya menjerit. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk. Tapi Chiva tak melihatnya.

GURUKU TAMPAN SEKALI


Oleh : R. Yulia
Dimuat Mj Kreatif, 23 Juni 2011 

Aku berjalan terburu-buru menuju kelas. Sudah lonceng. Tak seorang pun berada di luar kelas lagi. Duh, semoga Pak Rahim belum masuk ke kelas, harapku. Dan, hup. Aku tiba di ambang pintu kelas, disambut tawa riuh seluruh teman. Ada apa? Aku kebingungan. Olala, ternyata teman-teman mengira aku adalah Pak Rahim. Cihuii, Pak Rahim belum masuk. Aku bergegas menuju bangku. Kelas gaduh kembali.
“Pak Rahim nggak masuk, ya?” tanyaku pada Karen, teman sebangkuku. Cewek berhidung bangir berkacamata itu menggeleng.
“Kabarnya sih, Pak Rahim pindah.” Aku melotot. Pindah? Ya ampuun, beliau kan guru favoritku.
“Pindah kemana?” Karen angkat bahu.
“Tapi sudah ada penggantinya.”
“Oh ya?” Karen tak sempat menjawab. Kelas mendadak sepi. Seorang perempuan berjas biru memasuki kelas dengan langkah berwibawa. Bu Dian, sang kepala sekolah. Aku mengubah posisi duduk menjadi lebih tertib. Bu Dian terkenal galak. Tak seorang siswa pun ingin bermasalah dengan beliau. Termasuk, aku.
Tak lama, menyusul masuk seorang lelaki muda yang……ooow ya ampuunn. Aku terpana melihat lelaki yang memasuki kelas dengan senyum menawan itu. Gila, tampan sekali, decak hatiku.
“Mungkin ini pengganti Pak Rahim,” bisik Karen. Pandanganku tak teralihkan sedikitpun. Duh, lelaki itu mirip sekali dengan bintang idolaku.
Di depan kelas, Bu Dian memberi penjelasan singkat tentang lelaki itu. Benar, lelaki tampan itu adalah guru Bahasa Indonesia yang menggantikan Pak Rahim. Aku kegirangan. Asyiiikk, pasti menyenangkan diajar oleh guru setampan itu.

SEUNTAI MAAF DI MATAMU


Oleh: R.Yulia

Dimuat Mj. Story, 25 Oktober 2009

“Viaaa! Cepetan gih! Udah mo berangkat nih!!” Teriakan Mama membahana dari luar kamarku.
“Iya..iya…Ma. Bentar!!” Aku balas berteriak. Waah, sudah seperti di hutan aja nih. Ala Tarzan. Untung nggak pake auwoo-an segala.
Cepat kurapikan isi koper, setelah sebelumnya memeriksa kembali apakah ada barang-barangku yang ketinggalan. Mudik…mudik…Ya, saat ini kami sekeluarga memang tengah bersiap-siap untuk mudik. Tradisi tahunan yang tak pernah terlewatkan. Selalu disambut dengan antusias. Pertemuan kembali dengan seluruh sanak saudara, oma, opa, tante, om, sepupu dan lain-lain. Menikmati kue-kue dan makanan lebaran khas kampung halaman. Mengantongi ‘THR’ dari saudara-saudara yang lebih tua. Ha..ha.., biarpun sudah gede dan duduk di bangku SMU, tapi yang namanya THR tetap jadi incaranku di hari Lebaran.
“Viaa!!” Teriakan Mama kembali bergema. Bergegas kututup koper dan menarik pegangannya. Lalu melangkah keluar kamar,setelah sebelumnya sempat melirik sejenak ke cermin. Sekadar memastikan penampilanku secara keseluruhan. Perfect, decakku sedikit narsis.
“Iya, Ma. Nggak sabaran amat sih?” gerutuku begitu tiba di teras. Semua sudah lengkap di sana. Mama, Papa dan Uni Vira.
“Ya iyalah. Pengen ketinggalan pesawat?” sahut Mama dengan tajam. Aku hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku lebih banyak diam. Bahkan juga sampai di pesawat. Setiap pulang kampung, ada perasaan lain yang membawaku kembali ke masa lalu. Tepatnya, masa kecilku. Dan perasaan itu selalu berulang.
Ini bukan sekedar kenangan masa kecil yang berwarna-warni dengan teman-teman sebaya. Melainkan juga tentang ‘seseorang’ yang memiliki catatan hutang di benak dan hatiku. Aku mengeluh dalam hati. Kenapa ya, aku nggak juga bisa melupakannya? Padahal, itu kan hanya masa lalu. Dan terjadi saat aku masih anak-anak lagi. Toh, hati dan fikiranku tetap nggak mau melepaskannya hanya sebagai sebuah ‘catatan kecil’.
“Heii, kok diam aja, Via? Kesambet? Udah mau mendarat nih kita..” Uni Vira yang duduk di sebelahku, menepuk pahaku lumayan keras.
“Aww, sakit loh, Uni!’ pekikku tertahan. Lamunanku buyar.
“Rasain. Abis, sepanjang perjalanan kok bengong aja bawaannya. Tumben, betah diem.” Aku tertawa mendengar ‘pujian’ itu.
“Ya kan masih puasa...” kilahku.
“Halah, gayamu! Biasanya, makin kosong tuh perut makin cerewetlah bibirmu itu adikku...,” Uni Vira mencubit pelan pipiku. Aku meringis sambil mengusap-usap bekas cubitannya. Nggak sakit sih. Cuma reflek aja.
Akhirnya, tiba juga di kota kelahiran. Hmm, udara panas kota Padang langsung menyambut kami begitu keluar dari pesawat.
“Ma.., ntar malam cari durian ya? Adduh, udah ngidam lama nih ama durian. Hmm..., yummy..” kataku sambil mempermainkan lidah bagai orang yang tengah menikmati makanan lezat. Mama kontan melotot.
“Huss! Masih jam segini udah ngebayangin makanan.” Hardik Mama pura-pura marah. Aku terkekeh, berbarengan dengan Uni Vira.

CERMIN


Oleh : R.Yulia
Dimuat tb. Gaul, 2005 


Chintya menatap cermin di depannya dengan puas. Akhirnya ia temukan juga posisi yang bagus untuk meletakkan cermin antik itu. Tepat di depan meja belajarnya. Dengan begitu, setiap jenuh dengan tumpukan pe er, ia dapat rileks dan memandangi wajahnya di cermin. Atau bisa juga sambil mengkhayalkan wajah kiyut Al, sang bintang di sekolahnya.
Sebenarnya, cermin yang dibeli Chintya bukanlah barang mahal. Belinya juga bukan di toko mebel yang elit. Melainkan di pasar loak. Pertamanya sih iseng pengen jalan sorangan ke pasar loak. Ia penasaran dengan kata-kata Juli.
“Kamu boleh saja nggak respek ngedenger pasar loak. Tapi kalo kamu semua mau nyempetin diri ke sana dan ngeliat dengan mata kepala sendiri, pasti deh pada terbelalak. Karena yang ada di sana bukan hanya barang rombengan. Banyak lho barang bagus dan antik. Harganya juga murah banget. Daripada beli ratusan ribu di toko barang antik. Emang sih, kamu mesti punya waktu banyak untuk ngubek-ngubek dan nyeleksi barangnya. Karena banyak juga yang butut.” Itu celoteh Juli kemarin siang di sekolahan.
Tentu saja celoteh itu bukan tanpa sebab. Chintya tertarik dengan jam tangan mungil milik Juli yang terlihat lain dari biasanya. Jam tangan itu tidak baru tapi unik sekali. Dengan alasan tersebutlah ia mengayun langkah ke pasar loak. Dan setelah hampir dua jam berkutat di sana, Chintya menemukan tambatan hatinya. Apalagi kalau bukan cermin yang kini ada di hadapannya.
Cermin itu berdiameter 15 centimeter. Dengan bingkai bulat dari perak yang sepanjang permukaannya berbungkal-bungkal seperti ombak lautan. Cermin itu juga memiliki landasan di bawahnya. Sebuah hiasan perahu dari kayu cendana. Penuh dengan ukiran. Ah, pokoknya bener-bener nggak nyesel deh, meski untuk itu ia harus merelakan seluruh tubuhnya berselimut debu. Selesai mengagumi cermin, Chintya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lusuh. IA merasakan kesegaran yang berbeda setelah bersalin pakaian.
Chintya membaringkan tubuhnya ke pembaringan. Pandangnya terlayang ke cermin di dinding. Senyumnya mengembang dan terus begitu hingga angannya mengawan dan membawa kelopak matanya terpejam. Chintya terlelap dengan rasa puas.

AKHIR SEBUAH PERJALANAN

 Oleh : R.Yulia
Dimuat Mj Jelita Jakarta, 17-23 Juli 2006

“Dina! Apa kabar?” Teriakan histeris itu justru mengagetkan aku, yang sebenarnya ingin mengagetkan perempuan muda cantik di hadapanku ini. Aku tersenyum sambil mendekap dada.
“Aku keduluan nih..,” gerutuku kesal. Perempuan cantik itu tersenyum hangat.
“Dari dulu kan?”
“Iya. Aku selalu kalah cepat denganmu dalam hal apa pun,” keluhku.
“Ah, jangan sentimentil begitu. Masuklah. Silahkan duduk. Santai aja. Sebentar ya?” Ia meraih airphone. “Sus, tolong bawakan dua minuman ke ruangan saya ya? Nggak ada pasien kan? Bagus. Terima kasih ya?”
“Nggak usah repot, Siska. Aku cuma sekedar kangen-kangenan aja kok.” kataku jengah.
“Dinaaa.., kamu tuh kege-eran deh. Sebenarnya, yang haus itu aku. Jadi kamu dateng atau nggak, aku pasti minta dibawakan minuman.” kilahnya. Aku tersenyum lebar.
“Ngomong-ngomong, mimpi apa nih yang menuntunmu ke klinikku? Soalnya udah tahun kan? Sejak kamu menikah, kita nggak pernah ketemu lagi. Habis, kamu juga jauh kali sih merantaunya. Nah, sekarang ceritain dong semua pengalaman merantaumu.” Rentetan kalimat yang tak terputus dari bibir Siska memperlebar senyumku. Dia tak berubah. Masih cerewet.
“Biasa saja. Nggak ada yang istimewa. Namanya juga ikut suami. Paling-paling aku hanya menjalani semua rutinitas seorang ibu rumah tangga.”
“Oh ya? Anakmu sudah berapa?”
“Satu. Sudah lima tahunan.”
“Wah, pasti cantik dan pinter seperti kamu ya? Kok nggak diajak?” Siska begitu antusias menanyaiku. Aku menunda jawaban ketika seorang perawat mengetuk pintu dan memasuki ruangan.
“Tadinya sih mau diajak. Tapi udah keduluan sama neneknya. Mau diajak jalan ke rumah adik bungsuku, Hera.” jawabku begitu perawat itu meninggalkan ruangan.
“Ooh. Sudah sekolah belum dia?”

SENYUM UNTUK ELEN


Oleh : R. Yulia

Dimuat mj LISA Jakarta, 4-11-2002 

Selangkah lagi sebelum memasuki areal parkir kantornya, Elen melirik arloji di pergelangan. Pukul sembilan lewat tujuh menit. Hh, ini sudah untuk yang ketiga kalinya dalam seminggu ini, batinnya. Dikibaskannya tangan untuk mengabaikan rasa bersalah yang menyelinap di hati.
“Terlambat lagi ?” Perempuan cantik tiga puluhan, berambut ikal sebahu, sosok pertama yang berpapasan dengannya, menyambut dengan sapaan yang sama dengan kemarin dan kemarinnya lagi. Yosi, si pencatat absensi.
“Sorry..” Hanya kata itu yang terlontar dari bibirnya. Yosi menatap Elen sejurus. “No reason?” Elen menghela nafas berat. “Untuk apa? Toh aku sudah salah,” akunya pendek dan bergegas menuju ruangannya. Namun, belum jauh ia melangkah, Yosi kembali memanggil. Elen menggerakkan dagunya sebagai isyarat bertanya.
“Jangan lupa, rapat proyeksi setengah jam lagi!” seru gadis itu mengingatkan. Elen mengangguk dan secepatnya masuk ke ruangan. Ia harus segera menyiapkan progress report untuk rapat. Kalau tidak, Yudhis pasti akan mengomelinya di hadapan koordinator lain.
“Oke, saya sudah mendengar progress report kalian. Lumayan. Meskipun saya masih kecewa dengan hasil tersebut. Kalian terlalu santai! Seharusnya, untuk bulan ini kita dapat melampaui target dan meng-handle lebih dari empat case. Dengar, saya sangat menghargai kalau kalian dapat lebih serius dan mencurahkan perhatian sepenuhnya pada misi kita. Jadi bukan hanya asal memenuhi target!” Elen menatap white board yang dicoret-coret Yudhis dengan jemu. Pria gentle yang sedang berceramah panjang lebar itu kadang-kadang membuatnya bosan ke kantor. Ia terlalu ambisius dan budak kerja. Dan lebih parahnya, ia menginginkan seluruh staf di kantor ini berlaku seperti dirinya. Puhh!
“Elen! Apa proyeksi kamu untuk bulan depan? Sesuai program, kamu penuh dengan pembuatan newsletter, release dan campaign. Tapi saya ingin yang lain. Ada ide?” Elen tergagap. Ia merasa saat itu seluruh tatapan diarahkan kepadanya. Ya, ada dua belas pasang mata. Ditambah dengan hunjaman tajam milik Yudhis. Elen mencoba menatap Yudhis sesaat. Tapi otaknya terasa buntu.
“Sorry, aku…”
“Saya bukan ingin permintaan maaf. Coba fikirkan ide lain. Elen, kamu memegang posisi kunci untuk kesuksesan lembaga kita. Ingat, untuk ukuran Indonesia, lembaga kita merupakan salah satu LSM yang diperhitungkan donor. Kita punya komitmen dan prestasi. Saya nggak mau kamu mengabaikannya. Itu adalah peluang. Credit point yang kita miliki adalah jalan untuk meraih berbagai prestasi lain. Dan ingat, untuk semua itu kalian tidak pernah kerja dengan percuma kan? Nah Elen, teruskan..” Elen menyembunyikan cibirannya. Kadang ia merasa, Yudhis bukanlah seorang aktivis sejati. Ia hanya menjadikan seluruh aksinya sebagai batu loncatan untuk meraih prestasi dan posisi yang prestisius. Sangat pamrih dan bukan untuk rakyat semata!

TANTI MENCARI PENCURI






Dimuat Mj. Bobo, 29 Juli 2010
Oleh; R.Yulia


Tanti mengaduk-aduk isi tasnya dengan kesal. Ia kehilangan pensil Barbie yang baru kemarin dibeli. Itu sangat menyebalkan. Terlebih dalam satu minggu ini ia telah kehilangan banyak barang. Mulai dari penghapus, peraut, pena, gantungan kunci dan pin. Menyebalkan! Padahal kesemuanya adalah benda kesayangan Tanti. Ia memilihnya dengan sangat cermat di toko. Dan semua benda itu hilang hanya dalam waktu dua hari setelah dibeli!
Tanti tak juga menemukan barang-barangnya. Padahal, ia telah menggeledah lemari dan laci meja belajarnya. Huh, ini tak bisa dibiarkan berlama-lama. Ia harus mencari tahu siapa yang telah mencuri barang-barangnya. Kalau tidak, maka akan lebih banyak lagi barang yang hilang. Tapi bagaimana caranya? Tanti berfikir keras. Sesaat kemudian wajahnya menjadi cerah. Senyumnya merekah. Akhirnya ia menemukan caranya! Ia akan mengintip gerak-gerik pencuri itu. Tanti yakin, pencurinya adalah salah seorang dari teman sekolahnya. Dan ia akan memulai aksi pengintipan itu esok hari, saat jam istirahat. Karena biasanya di jam itulah Tanti meninggalkan tasnya.
Esok harinya, saat jam istirahat tiba, Tanti cepat-cepat pergi meninggalkan kelas. Ia memutar ke belakang kelas. Ia mengambil bangku taman, menggesernya ke dinding dan naik ke atasnya. Kini ia dapat mengawasi seluruh isi kelas dari jendela yang terbuka. Tanti berhati-hati sekali agar tak sampai terlihat teman-temannya yang keluar masuk kelas. Ia menunggu dengan sabar. Namun, sampai bel masuk berdentang, Tanti tak melihat seorangpun temannya yang mendekati mejanya. Apalagi membuka tasnya. Ah..Tanti mendesah kecewa.

Senin, 23 September 2013

PR MATEMATIKA JU

Oleh : R. Yulia
Dimuat laman agamkab.go.id, 13 September 2013


Hujan turun, mengetuk-ngetuk. Di atap seng, jendela, pintu dan kaki-kaki dinding luar. Orang-orang di lantai atas sibuk beradu celoteh, acap berteriak meningkah deru hujan. Beberapa menit sekali langkah-langkah berat berdentam-dentam kesana-kemari, membuat lantai kayu tua berderak-derak di atas kepala Ju. Gaduh. Berisik sekali. Tak tahukah mereka kalau aku nyaris sulit bernapas terbelit sepuluh soal Matematika, bahkan sebelum hujan tiba? Ju menggerutu dalam hati.
Matematika, entah kenapa, selalu hadir membonceng gerombolan penyakit dadakan yang membuat putaran otak Ju bekerja semakin melambat. Sesak napas, sakit kepala, sakit mata, sakit perut, mengantuk hingga sesak buang air. Dan itu membuatnya frustasi. Belum lagi orang-orang yang berisik di lantai bawah dan atas. Tak ada yang menghiraukan kesulitannya.
"Kamu harus rajin belajar, Ju. Biar pinter, jadi orang besar kayak bapak-bapak pejabat di tipi itu. Jangan males kayak Bapak dan Emak dulu. Akibatnya gini nih, Bapakmu cuma bisa kepake jadi kuli bangunan. Sementara Emak, cuma jadi tukang cuci. Nggak ada hebatnya." Emak tak pernah bosan mengulang-ulang kalimat itu pada Ju, setiap kali ia mengeluhkan sulitnya Matematika. Seperti hari ini.
"Tapi Mak, jadi orang pinter itu capek," tukas Ju. "Belajaaaar melulu, kayak Sholeh. Nggak pernah main keluar."
"Lha, kalau mau berhasil ya harus capek. Belajar. Kelak kalau sudah besar baru akan menerima hasilnya. Jadi orang hebat, kaya, punya mobil dan rumah bagus. Memang Ju nggak pengen?"
Emak masih terus menyemangati. Ju menunduk. Punya mobil, rumah bagus, siapa juga yang nggak mau. Tapi belajar, Matematika pula?
"Ju, kamu harus sabar. Emak memang nggak bisa membantu mengerjakan pe-ermu. Emak nggak ngerti. Jadi, apa salahnya kamu berteman dengan Sholeh dan minta diajarin sama dia cara mengerjakannya," bujuk Emak. Tunduk Ju semakin dalam.
Ju belum beranjak dari tempatnya. Ia duduk mencangkung sambil memelototi deretan soal yang tak satupun berhasil dikerjakannya. Ke rumah Sholeh? Ah, tidak. Ju enggan mendatangi rumah teman sekelasnya itu, meskipun letaknya tak begitu jauh dari rumah Ju. Gengsi, ketahuan bodohnya.
Seingat Ju, ia masih bergumul dengan angka-angka, ketika segala sesuatu, sekitar dan berisik yang begitu nyata, lenyap termakan hening. Hening sekali. Diketahui kemudian kalau ia tertidur tatkala serangkaian gambar tak berurutan melintas lambat di depan matanya, seperti gerbong kereta mainan yang kerap dilihatnya di pasar malam. Mata Ju mengerjap-ngerjap dalam pejaman, mencoba melihat lebih jelas gambar-gambar di tiap gerbong mimpinya.

Jumat, 20 September 2013

Selasa, 17 September 2013

HITAM



Aku mencintaimu dalam satu tarikan nafas 
yang tersengal mengikuti lafaz
akhirku di nadi yang sobek oleh amarah
jantung yang memar hitam merekah
tak lagi ingat, meskipun samar
binatang apa yang kau kirimkan penuh cakar
memelukku dalam teguk penghabisan
mual
terpental!!
dan aku sekarat sempurna di belatimu ..
dan aku berkarat sempurna di hatimu ..

KENANGAN YANG TERSIMPAN DI MAJALAH ANITA CEMERLANG (Alm)